Friday, 24 February 2017

Sejarah Singkat Hadits

A.    Pendahuluan
Sejarah perjalanan hadits tidak sama dengan perjalanan al-Qur’an. Jika al-Qur’an sejak awalnya sudah diadakan pencatatan secara resmi oleh para pencatat wahyu atas perintah dari nabi dan tidak ada tenggang waktu antara turunya wahyu dengan penulisanya, maka tidak demikian dengan hadits nabi. Jika al-Qur’an secara normatif telah ada garansi dari allah, dan tidak ada keraguan akan otentisitasnya, maka tidak juga demikian dengan hadits nabi, yang mendapatkan perlakuan berbeda dari al-Qur’an. Dalam kitab-kitab hadits terdapat larangan penulisan hadits.[1]
Dengan perbedaan sejarah perjalanan hadits dan sumber hukum utama al-Qur’an. Maka kami, dalam makalah ini akan membahas sejarah singkat perkembangan hadits dari zaman Rasulullah sampai zaman sekarang ini.
B.     Sejarah Ringkah Hadis
1.      Hadits pada Masa Nabi dan Sahabat
a.      Hadits pada masa nabi
Membicarakan hadits pada masa rasulullah, berarti membicarakan hadits pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi rasulullah SAW sebagai sumber hadits. Rasulullah SAW membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini cukup singkat, dimulai sejak tahun 13 sebelum Hijriah atau bertepatan dengan 610 Masehi sampai dengan tahun 11 Hijriah atau bertepatan dengan 632 Masehi. Masa ini merupakan kurun waktu turunya wahyu dan sekaligus diwurudkannya Hadits. Keadaan ini sangat menuntut keseriusandan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam.[2]
Wahyu Allah SWT kepadanya dijelaskannya melalui perkataan (aqwal), perbuatan  (af’al), dan penetapan (taqriir)-nya. Sehingga apa yang didengar, dilihat dan disaksikan oleh para sahabatmerupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiyah mereka. Nabi muhammad merupakan contoh satu-satunya bagi para sahabat, karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul Allah SWT yang berbeda dengan manusia lainya.[3]
a.      Cara nabi menyampaikan hadits
Ada suatu keistemawaan pada masa ini yang membedekannya dengan masa lainnya. Umat islam pada masa ini dapat secara lanhgsung memperoleh hadits dari Rasul SAW sebagai sumber hadits. Allah menurunkan al-Quran dan mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya adalah satu paket yang tidak bisa dipisah-pisahkan, dan apa-apa yang disampaikannya juga merupakan wahyu. Allah berfirman dalam menggambarkan kondisi utusan-Nya tersebut.[4]
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ   ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ  
Artinya: Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). QS al-Najm (53):3-4)
Ada beberapa cara Rasululullah menyampaikan hadits kepada para sahabat, yaitu: Pertama, melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-Ilmi. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Kedua,nabi menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertertu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Hal ini terjadi karena, terkadang ketika nabi mewurudkan haditsnya, para sahabat yang hadir hanya beberapa saja. Ketiga, Nabi Muhammad SAW menyampaikamn hadits melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh makkah.[5]
b.      Menghafal hadits
Untuk memelihara kemurnian  dan mencapai kemaslahatan al-Quran dan Hadits, sebagai dua sumber ajaran islam, Rasulullah menempuh jalan yang berbeda. Terhadap al-Quran beliau secaraa resmi mengintruksikan kepada sahabat supaya ditulis disamping dihafalkan. Sedang tehadap hadits Rasulullah hanya menyuruh menghafalkannya dan melarang menulisnya secara resmi.
Maka segala hadits yang diterima dari Rasulullah oleh para sahabat diingatnya secara sungguh-sungguh dan hati-hati, dengan cara menghafalnya. Mereka sangat khawatir dengan ancaman Rasulullah untuk tidak terjadi kekeliruan tentang apa nyang diterimanya. Ada beberapa dorongan yang memotivasi para sahabat dalam kegiatan menghafal hadits ini. Pertama,menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak jamaman pra islam dan mereka terkenal kuat hafalannya; Kedua, rasulullah banyak memberikan spirit melalui doa-doanya; Ketiga, seringkali ia menjanjikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadits dan menyampaikan kepada orang lain.[6]
c.       Menulis hadits
Di balik larangan Rasulullah SAW seperti pada hadits Abu Sa’id Al-Khudri di atas, ternyata ditemukan sahabat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan terhadap hadits Nabi. Di antaranya adalah sahabat Abdullah ibn amr Al-‘ash. Ia memiliki catatan hadits yang menurut pengakuannya dibenarkan oleh rasulullah SAW. Sehingga diberi nama al-sahifah al-shadiqah. Menurut sebuah riwayat diceritakan, bahwa orang-orang Quraisy mengeritik sikap Abdullah ibn Amr, karena sikapnya yang selalu menulis apa yang datang dari rasulullah. Mereka berkata: “Engkau tuliskan apa saja yang datang dari rasulullah, padahal rasul itu manusia, yang bisa saja bicara dalam keadaan marah”. Kemudian kritikan itu disampaikan kepada rasulullah dan Rasul menjawabnya dengan mengatakan:[7]
اُكْتُبْفَوَاَلذِىنَفْسِىبِيَدِهِمَايَخْرُجُمِنْهُاِلاَّالحَقُّ.)رواهالبخارى(
Tulislah! Demi zat yang diriku berada di tangan-Nya,tidak ada yang keluar daripadanya kecuali yang benar”.(HR. Bukhari)[8]
Hadits-hadits yang terhimpun dalam catatannya ini sekitar seribu hadits, yang menurut pengakuanya diterima langsung dari Rasulullah ketika mereka berdua tanpa ada orang lain yang menemaninya.[9]
b.      Hadits pada Masa Sahabat
Periode sejarah perkembangan hadits setelah masa nabi adalah masa sahabat, khususnya masa Khulafa’ al-Rasyidin, yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H. Masa ini disebut juga masa sahabat besar.[10]
Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Quran, maka periwayatan hadits belum begitu berkembang dan berusaha untuk membatasinya. Oleh karena itu, oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan ( al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwayah).[11]
Pesan Rasulullah sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasul dibuktikan dengan melaksanakan segala yang dicontohkannya. Perhatian para sahabat padaa masa ini terutama sekali terfokus pada usaha memlihara dan menyebarkan al-Quran. Ini terlihat bagaimana al-Quran dibukukan pada masa Abu Bakar atas  saran Umar bin Khatab. Usaha pembukuan ini diulang juga pada masa Usman bin Affan, sehingga melahirkan Mushaf Usmani. Sikap memusatkan perhatian terhadap al-Quran bukan berarti mereka lalai dan tidak menaruh perhatiannya terhadap Hadits. Mereka memegang hadits seperti halnya yang diterimanya dari Rasulullah secara utuh ketika beliau masih hidup. Akan tetapi dalam meriwayatkan mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri. Karena mereka khawatir terjadi kekeliruan, yang padahal hadits merupakan sumber tasryi’ setelah al-Quran, yang harus terjaga dari kekeliruannya sebagaimana al-Quran. Mereka membatasi dalam meriwayatkan hadits-hadits tertentu. Khususnya yang berkaitan dengan permasalahan ibadah dan muamalah. Periwayatan itu dilakukan setelah diteliti secara ketat pembawa hadits tersebut dan kebenaran isi matannya. Ada dua jalan para sahabaat dalam meriwaytkan hadits dari rasul SAW. Pertama dengan jalan periwayatan lafzhi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul SAW) dan kedua dengan jalan periwayatan maknawi (maknanya saja).[12]
Karakteristik yang menonjol pada era sahabat ini adalah para sahabat memiliki komitmen yang kuat terhadap Kitab Allah. Mereka memelihara dalam lembaran-lembaran, mushaf, dan dalam hati mereka. Kehati-hatianya terhadap al-Quran ini juga diberlakukan terhadap sunnah (hadits) meskipun di satu sisi ada larangan dari Nabi SAW untuk tidak menuliskannya. Meskipun demikian mereka berupaya mempertahankan keotentikan kedua-duanya. Setelah al-Quran terkumpul dalam satu suhuf, mereka baru berani menuliskan sunnah nabi.[13]

2.      Hadits pada Masa Penulisan
Hadits Nabi saw memang belum ditulis secara umum pada zaman Nabi saw masih hidup, karena ketika itu Al-Qur’an masih dalam proses diturunkan dan diurutkan. Nabi Muhammad SAW menempuh jalan yang berbeda. Terhadap al-Quran beliau secara resmi menginstruksikan kepada para sahabat supaya ditulis disamping dihafal. Sedang terhadap hadits beliau hanya menyuruh menghafalnya dan melarang untuk menulisnya.
Hal ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu:[14]
a.       Para sahabat berpegang pada kekuatan hafalan dan kecerdasan akal mereka, disamping tidak lengkapnya peralatan tulis menulis yang mereka miliki.
b.      Adanya larangan menulis hadits, Rosululloh bersabda:
لا تَكْتُبُوْا عَنِّيْ وَ مَنْ كَتَبَ عَنِّيْ غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَ حَدِّثُوْا عَنِّيْ وَ لا حَرَج وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّار (رواه مسلم(
“Janganlah kalian menulis sesuatu pun dariku, barangsiapa yang telah menulis dariku selain Al-Qur’an hendaklah dia menghapusnya, dan beritakanlah hadits dariku, yang demikian tidak berdosa, namun barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah dia mengambil tempat duduknya dari api neraka.” ( HR. Muslim )


Larangan menulis hadits itu karena dikhawatirkan akan tercampurnya hadits dengan Al-qu’an atau penulisan hadits itu akan melalaikan mereka dari Al-qur’an. Atau larangan penulisan hadits itu ditujukan kepada orang-orang yang dipercaya kekuatan hafalannya. Tetapi bagi mereka yang tidak lagi dikhawatirkan bahwa sunnah dengan Al-qur’an akan tercampur aduk, seperti mereka yang pandai baca tulis atau karena mereka khawatir lupa akan penulisan hadits itu diperbolehkan, dan dalam pengertian inilah menurut beberapa riwayat penulisan hadits bagi sebagian sahabat itu diijinkan.[15]
Tidak berselang lama setelah Rosululloh berpulang kehadirat Alloh, para penulis hadits dari kalangan sahabat maupun tabi’in bermunculan. Khalifah Umar bin Khattab r.a. pernah bermaksud membukukan hadits, beliau mengumpulkan para sahabat lainnya dan mereka sepakat untuk membukukan tetapi nampaknya Alloh belum menghendaki ide Khalifah Umar terlaksana. Baru setelah kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz (tahu 99 H) beliau mengintruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (dia adalah ahli fiqih dari kalangan tabi’in yang diangkat oleh Umar bin Abdul Aziz sebagai gubernur dan qodi (juru hukum) di Madinah wafat pada tahun 120 H).[16]
3.      Hadits Pada Masa Pembukuan
Usaha pendiwanan (yaitu pembukuan, pelakunya ialah pembuku Al Hadits disebut pendiwan) dan penyusunan Al Hadits dilaksanakan pada masa abad ke 3 H. Langkah utama dalam masa ini diawali dengan pengelompokan Al Hadits. Pengelompokan dilakukan dengan  memisahkan  mana Al Hadits yang marfu’, mauquf dan maqtu’. Al Hadits marfu’ ialah Al Hadits yang berisi perilaku Nabi Muhammad, Al Hadits mauquf ialah Al Hadits yang berisi perilaku sahabat dan Al Hadits maqthu’ ialah Al Hadits yang berisi perilaku tabi’in. Pengelompokan tersebut diantaranya dilakukan oleh :[17]
1.      Ahmad bin Hambal
2.      ‘Abdullan bin Musa Al ‘Abasi Al Kufi
3.      Musaddad Al Bashri
4.      Nu’am bin Hammad Al Khuza’i
5.      ‘Utsman bin Abi Syu’bah
Yang paling mendapat perhatian paling besar dari ulama-ulama sesudahnya adalah Musnadul Kabir karya Ahmad bin Hambal (164-241 H / 780-855 M) yang berisi 40.000 Al Hadits, 10.000 diantaranya berulang-ulang. Menurut ahlinya sekiranya Musnadul Kabir ini tetap sebanyak yang disusun Ahmad sendiri maka tidak ada hadist yang mardud (tertolak). Mengingat musnad ini selanjutnya ditambah-tambah oleh anak Ahmad sendiri yang bernama ‘Abdullah dan Abu Bakr Qathi’i sehingga tidak sedikit termuat dengan yang dla’if dan 4 hadist maudlu’.[18]
Adapun pendiwanan Al Hadits dilaksanakan dengan penelitian sanad dan rawi-rawinya. Ulama terkenal yang mempelopori usaha ini adalah Ishaq bin Rahawaih bin Mukhlad Al Handhali At Tamimi Al Marwazi (161-238 H / 780-855 M).[19]
Ia adalah salah satu guru Ahmad bin Hambal, Bukhari, Muslim, At Tirmidzi, An Nasai.Usaha Ishaq ini selain dilanjutkan juga ditingkatkan oleh Bukhari, kemudian diteruskan oleh muridnya yaitu Muslim. Akhirnya ulama-ulama sesudahnya meneruskan usaha tersebut sehingga pendiwanan kitab Al Hadits terwujud dalam kitab Al Jami’ush Shahih Bukhari, Al Jamush Shahih Muslim As Sunan Ibnu Majah dan seterusnya sebagaimana terdapat dalam daftar kitab masa abad 3 hijriyah.[20]
Yang perlu menjadi catatan pada masa ini (abad 3 H) ialah telah diusahakannya untuk memisahkan Al Hadits yang shahih dari Al Hadits yang tidak shahih sehingga tersusun 3 macam Al Hadits, yaitu:[21]
1.      Kitab Shahih – (Shahih Bukhari, Shahih Muslim) – berisi Al Hadits yang shahih saja
2.      Kitab Sunan – (Ibnu Majah, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, Ad Damiri) – menurut sebagian ulama selain Sunan Ibnu Majah berisi Al Hadit shahih dan Al Hadits dla’if yang tidak munkar.
3.      Kitab Musnad – (Abu Ya’la, Al Hmaidi, Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) – berisi berbagai macam Al Hadits tanpa penelitian dan penyaringan. Oleh seab itu hanya berguna bagi para ahli Al Hadits untuk bahan perbandingan.[22]
4.      Hadits pada Masa Puncak Pembukuan
Apa yang telah dilakukan oleh para ahli Al Hadits abad 3 Hijriyah tidak banyak yang mengeluarkan atau menggali Al Hadits dari sumbernya seperti halnya ahli Al Hadits pada adab 2 Hijriyah. Ahli Al Hadits abad 3 umumnya melakukan tashhih (koreksi atau verifikasi) saja atas Al Hadits yang telah ada disamping juga menghafalkannya. Sedangkan pada masa abad 4 hijriyah dapat dikatakan masa penyelesaian pembinaan Al Hadist. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab Al Hadits, menghimpun yang terserakan dan memudahkan mempelajarinya, Masa seleksi atau penyaringan hadits terjadi ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti Bani Abbas, khususenya sejak masa al-Makmun sampi dengan al-Muktadir sekitar tahun 201-300 H..[23]
Munculnya periode seleksi ini, karena pada periode sebelumnya, yakni periode tadwin, belum berhasil  memisahkan beberapa beberapa hadits hadits mauquf dan maqthu’ dari hadits marfu’. Begitu pula belum bisa memisahkan beberapa hadits yang dha’if dari yang sahih. Bahkan masih ada hadits yang maudhu’ tercampur pada yang sahih.[24]
Melalui kaidah-kaidah yang ditetapkannya, para ulama’ pada masa ini berhasil memisahkan hadits seperti kriteria di atas, meskipun berdasarkan penelitian berikutnya masih ditemukan terselipnya hadits yang dha’if pada kitab sahih karya mereka. Berkat keuletan dan keseriusan para ulama pada masa ini, maka bermunculanlah kitab-kitab hadits yang hanya memuat hadits-hadits yang sahih. Kitab tersebut pada masa perkembangannya dikenal dengan kutub Al-Shittah (kitab induk yang enam). Ulama’ yang berhasil menyusun kitab tersebut, ialah Imam Bukhari dan Imam Muslim yang sekarang dikenal sebagai mutafaqun alaihi. Usaha yang sama dilakukan oleh Imam Abu Daud, Imam tirmidzi, Imam Nasa’i, dan Imam Ibnu Majah.[25]
Secara lengkap kitab-kitab yang enam di atas, diurutkan sebagai berikut:[26]
1.      Al-Jami’ Al-Shahih susunan imam Al-Bukhari;
2.      Al-Jami’ Al-Shahih susunan imam Al-Muslim;
3.      Al-Sunan susunan Abu Daud;
4.      Al-Sunan susunan Al-Thirmidzi;
5.      Al-Sunan susunan Al-Nasa’i;
6.      Al-Sunan susunan Ibnu Majah.
Masa perkembangan hadits yang disebut terakhir ini terbentang cukup panjang, dari mulai abad ke empat Hijriyah terus berlangsung beberapa abad berikutnya, sampai abad kontemporer. Dengan demikian masa perkembangan ini melewati dua fase sejarah perkembangan Islam, yakni fase pertengahan dan fase modern.[27]
C.    Kesimpulan
Tradisi tulis hadis memang sudah ada sejak masa Nabi, tapi bukan berarti semua hadis Nabi sudah dibukukan sejak zaman Nabi tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari tidak dibukukannya hadis secara resmi saat itu, sedang sahabat yang menulis hadis itu lebih didorong oleh keinginan dirinya sendiri. Padahal koordinasi antara sahabat untuk merekam seluruh aspek kehidupan Nabi tidak ditemukan tanda-tandanya.
Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga ucapan dan tutur kata Nabi menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik Nabi menjadi contoh dan pedoman hidup mereka. Para sahabat sangat memperhatikan perilaku Nabi dan sangat memerlukan untuk mengetahui segala apa yang disabdakan Nabi. Mereka tentu meyakini, bahwa mereka diperintahkan mengikuti dan menaati apa-apa yang diperintahkan Nabi.
DAFTAR PUSTAKA
Khon, Abdul Majid. 2010. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
Rudliyana, Muhammad Dede. 2004. Perkembangan Pemikiran Ulumul Hadist dari Klasik Sampai Modern, Bandung: Pustaka Setia.
Ash-Shiddieqy, 1997. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Suparta, Munzier. 2003, Ilmu Hadits. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Soerati, Endang. 2005. Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung: Mimbar Pustaka.
Toha, Ahmadi, 1986. Terjemah Sahih Bukhori, Jakarta: Pustaka Panjimas.
Wahid, Ramly Abdul, 2005. Studi Ilmu Hadist, Bandung: Cita Pustaka Media.
Zein, Mashum, 2007. Ulumul Hadits dan Musthalah Hadits, Direktorat Pendidikan Madrasah Dirjen Pendis Depag.







[1]Endang Soerati, Ilmu Hadits:Kajian Riwayah dan Dirayah. (Bandung: Mimbar Pustaka. 2005). h 29
[2] Ramly Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadist, , (Bandung: Cita Pustaka Media 2005,) h 52
[3] Munzier Suparta , Ilmu Hadits.( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.2003). h 71.
[4] Mashum Zein, Ulumul Hadits dan Musthalah Hadits, (Direktorat Pendidikan Madrasah Dirjen Pendis Depag, 2007), hlm. 112
[5] Ibid, h. 113
[6] Munzier Suparta.  Op.Cit. h 75.
[7] Abdul Majid Khon. Ulumul Hadis. (Jakarta: Amzah, 2010). h. 68
[8] Ahmadi Toha, Terjemah Sahih Bukhori, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), hlm. 89
[9] Ibid.,h 76
[10]Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 140
[11]Ibid,
[12]Muhammad Dede Rudliyana. Perkembangan Pemikiran Ulumul Hadist dari Klasik Sampai Modern, (Bandung: Pustaka Setia, 2004) h. 109
[13] Ash-Shiddieqy. Op.Cit  h 82-85
[14] Mashum Zein, Op.Cit, h. 114
[15] Ibid,
[16] Ibid, h. 115
[17] Muhammad Dede Rudliyana. Op.Cit, h. 111
[18] Ibid,
[19] Ibid,  h. 112
[20] Ibid,
[21] Ibid, h. 113
[22] Ibid,
[23] Ramly Abdul Wahid, Op.Cit. h. 58
[24] Ibid, h. 59
[25] Ibid,
[26] Ibid, h. 60
[27] Ibid, 

No comments:

Post a Comment