Makalah Filsafat Dakwah

A.    PENDAHULUAN
Al-Qur’an memandang manusia adalah makhluk biologis, psikologis dan sosial. Manusia sebagai basyar tunduk pada takdir Allah, sama dengan makhluk lain. Manusia sebagaiinsan dan al-nas bertalian dengan hembusan ilahi atau roh Allah yang memiliki kebebasan dalam memilih untuk tunduk atau menentang takdir Allah.[1]
Manusia adalah sosok makhluk yang sangat sulit untuk dipahamai. Tidak sedikit ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang manusia, bahkan wahyu yang pertama turun di Gua Hira’ manusia merupakan makhluk pertama yang disebut sebanyak dua kali. Manusia banyak mempunyai keistimewaan di banding makhluk lainnya, diantaranya adalah potensi untuk menerima dan mengembangkan ilmu dan ajaran Islam.
Upaya untuk mengetahui hakikat manusia secara utuh telah banyak pendapat para pakar, baik dikalangan filosof, ilmuan, pakar agama mereka kesulitan untuk mengungkapkannya. Kesulitan mengungkap hakikat manusia tersebut terungkap dalam temuan Alexis Carrel, bahwa manusia adalah makhluk unik dan misterius yang tak mampu ditelusuri secara keseluruhan.[2]

B.     PEMBAHASAN
Berbicara mengenai pandangan filsafat tentang hakekat manusia sebagai subjek dan objek, ada 4 aliran yang ditawarkan oleh para ahli filsafat. Adapun keempat aliran tersebut, seperti yang dikutip Jalaluddin dan Abdullah (1997:107-108) dan Zuhairini (1995:71-74) adalah sebagai berikut:
1.      Aliran Serba Zat
Aliran ini menyatakan bahwa yang sungguh-sunguh ada hanyalah zat atau materi. Zat atau materi itulah hakikat sesuatu. Alam ini adalah zat atau materi, dan manusia adalah unsur alam. Oleh karena itu, hakikat manusia adalah zat atau materi.
2.      Aliran Serba Ruh
Aliran ini berpandangan bahwa hakikat segala sesuatu yang ada di dunia ini ialah ruh, termasuk juga hakikat manusia. Adapun zat atau materi adalah manifestasi ruh di atas dunia ini. Dengan demikian, jasad atau badan manusia hanyalah manifestasi atau penjelmaan ruh.
3.      Aliran Dualisme
Aliran ini menggabungkan pendapat kedua aliran di atas. Aliran ini berpandangan bahwa hakikatnya manusia terdiri dari dua substansi, yaitu jasmani dan rohani. Kedua substansi ini merupakan unsur asal, tidak tergantung satu sama lain. Jadi, badan tidak berasal dari ruh, dan sebaliknya, ruh tidak berasal dari badan. Dalam perwujudannya, manusia tidak serba dua, melainkan jadi hubungan sebab akibat yang keduanya saling mempengaruhi.
4.      Aliran Eksistensialisme
Aliran ini memandang manusia dari segi eksistensinya. Menurut aliran ini, hakikat manusia merupakan eksistensi atau perwujudan sesungguhnya dari manusia. intinya, hakikat manusia adalah apa yang menguasai manusia secara menyeluruh.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam perspektif filsafat, manusia dinamai berdasarkan fungsi dan potensinya. Dan manusia juga dipandang dalam bentuk aliran-aliran oleh para ahli filsafat.
1.      Manusia Dalam Perspektif Filosof
Manusia dalam jagad raya ini adalah makhluk yang unik. Keunikannya sangat menarik dimata manusia sendiri, sehingga banyak kajian-kajian tentang manusia terus berkembang karena memang pengetahuan manusia tentang dirinya terbatas. Beberapa pendapat para filosof tentang manusia diantaranya:[4]
a.      Protagoras (481-411 SM)
Manusia adalah ukuran segala-galanya, baik dan buruk, benar dan salah ditentukan oleh manusia itu sendiri (man is measure of all things), artinya segala sesuatu untuk menuju kebaikan dan keburukan ditentukan oleh manusia sendiri, oleh karena konsep kebenaran baginya bersifat sama, bahkan cendrung tidak ada yakni bersifat relatif.[1]
b.      Socrates (w. 399 SM)
Socrates berpendapat bahwa manusia terdiri dari dua unsur yaitu unsur materi yakni badan kasar dan non materi disebut juga jiwa sebagai jati diri dari kepribadian manusia. Dapat di pahami bahwa manusia itu terdiri dari jasmani dan rohani. Yang mana tujuan hidup manusia adalah untuk mencari kebahagiaan, kebahagiaan itu dapat dicapai dengan mempotensikan jiwa dengan sifat-sifat utama, keutamaan tersebut terletak pada pengetahuan.
c.       Plato (428-348 SM)
Pemikiran Plato bersifat dualistis, dimana ia membagi seluruh yang realitas ini kepada dua bagian, yaitu jasmani (dunia realitas) dan bentuk abstrak (dunia ide). Ide yang dimaksudkan tidak sama dengan “pemahaman” atau “pandangan”, akan tetapi sebagai bentuk riil dan merupakan hakikat dari segala yang ada. Kemudian Plato membagi manusia kepada tiga bagian yaitu:[5]
1)      Bagian rasional (mere logistikon)
2)      Bagian keberanian (mere thymoeidos)
3)      Bagian keinginan (mere apithymetikon).
Dari tiga komponen diatas saling berkaitan satu sama lainnya. Rasioanal adalah digunakan sebagai alat untuk membedakan yang benar dan yang salah. Keberanian merupakan hal untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan sedangkan keinginan merupakan nafsu untuk mendapatkan segala-galanya.
d.      Aristoteles (384 – 348 SM)
Manusia adalah hewan yang berbicara. Dia membagi jiwa kepada tiga golongan menurut kenyataan yang ada pada makhluk hidup di alam wujud ini yakni jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa kehewanan dan jiwa berakal.[6]
Para ahli pikir filsafat mencoba memaknai hakikat manusia. Mereka mencoba manamai manusia sesuai dengan potensi yang ada pada manusia itu.  Berdasarkan potensi yang ada, para ahli pikir dan ahli filsafat tersebut memberi nama pada diri manusia di muka bumi ini, yaitu dengan sebutan-sebutan sebagai berikut:
1)      Homo Sapiens, artinya makhluk yang mempunyai budi.
2)      Animal Rational, artinya binatang yang berpikir.
3)      Homo Laquen, artinya makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan pikiran manusia dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun.
4)      Homo Faber, yaitu makhluk yang terampil, pandai membuat perkakas, atau disebut juga tool making animal, yaitu binatang yang pandai membuat alat.
5)      Aoon Politicon, yaitu makhluk yang pandai bekerjasama, bergaul dengan orang lain dan mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
6)      Homo Economicus, yaitu makhluk yang tunduk pada prinsip-prinsip ekonomi dan bersifat ekonomis.
7)      Homo Religius, yaitu makhluk yang beragama.
Dalam perspektif filsafat, konsep manusia menurut Jalaluddin juga mencakup ruang lingkup kosmologi (bagian dari alam semester), antologi (pengabdi penciptanya), philosophy of mind (potensi), epistemology (proses pertumbuhan dan perkembangan potensi) dan aksiologi (terikat nilai-nilai).
Berbicara tentang manusia berarti kita berbicara tentang dan pada diri kita sendiri makhluk yang paling unik di bumi ini. Banyak di antara ciptaan Allah yang telah disampaikan lewat wahyu yaitu kitab suci. Manusia merupakan makhluk yang paling istimewa dibandingkan dengan makhluk yang lain.
Menurur M. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan  Al-Qur’an dijelaskan bahwa ada tiga kata istilah manusia dalam Al-Qur’an yakni:[7]
a.       Kata yang terdiri dari huruf alif, nun dan sin seperti insan, ins,nas atau unas.
b.      Kata Basyar
c.       Kata Bani Adam dan Zuriyat Adam. 
Adapun istilah Bani Adam dan Zuriyah Adam maksudnya ialah manusia itu turunan Adam.
Sementara  menurut Salamadanis bahwasanya secara garis besar dalam Al-Qur’an makna manusia itu adalah  Al-Basyar, Al-Insan dan Annas.[8]  
a.       Kata Al-Basyar di ungkapkan dalam Al-Qur’an sebanyak 38 kali yang terdapat dalam 26 surat, yang menurut bahasa berarti kepala wajah dan tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Indikasinya menunjukan bahwa secara biologis yang dominan pada manusia adalah kulitnya dibanding rambut atau bulunya. Kata Al-Basyar juga dapat diartikan persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan. Artinya manusia mempunya sifat makhluk biologis yang memiliki segala sifat kemanusiaan seperti makan, minum dan seks.
Menurut Quraish Shihab, kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama muncul katabasyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas dan berbeda dengan kulit binatang. Di bagian lain dari Al Qur’an disebutkan bahwa kata basyar digunakan untuk menunjukkan proses kejadian manusia sebagai basyar melalui tahap-tahap sehingga mencapai kedewasaan. Disini tampak bahwa kata basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia yang menjadikannya mampu memikul tanggung jawab, sebab itu pula tugas kekhalifahan dipikulkan kepada basyar seperti dijelaskan dalam Al Qur’an surat Al Hijr ayat 28, Al-Qur’an surat Al-Kahfi : 110, dan  Q.S Ar-Rum : 20.
Kata Al-Insan  juga digunakan untuk menunjukkan proses kejadian manusia setelah Adam As dalam rahim yang mempunyai pengertian yaitu proses biologis yang berasal dari saripati tanah melalui makanan. Maknanya bahwa proses kehidupan manusia itu tidak terlepas dari alam dan isinya seperti tumbuhan yang diberikan oleh Allah sebagai kebutuhan untuk kelangsungan hidup manusia. Kemudian juga mempunyai arti psikologis (spiritual) yakni proses ditiupkannya ruh pada diri manusia. Maknanya mengisyaratkan bahwa selain kebutuhan materi, ia juga tak lepas dari kebutuhan immateri yang senantiasa tunduk dan patuh kepada Allah SWT tanpa ada batasnya, tanpa ilat dan tanpa akhir. Sikap tersebut berhubungan dengan kebaikan dan kesetiaannya terhadap sang Khaliknya. [9]
c.       Kata al-nas, berarti melihat, mengetahui, dan minta izin. Atas dasar ini, kata tersebut mengandung petunjuk adanya kaitan substansial antara manusia dengan kemampuan penalarannya. Manusia dapat mengambil pelajaran dari hal-hal yang dilihatnya, dapat mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, serta dapat meminta izin ketika akan menggunakan sesuatu yang bukan miliknya. Berdasarkan pengertian ini, tampak bahwa manusia mampunyai potensi untuk memberi dan diberi pengajaran yang baik.
3.      Manusia Dalam Pandangan Teologi
Qadi al-Quda’ Abdul Jabbar, seorang teolog rasional, melihat manusia dari dua sudut pandang, pertama manusia secara lahir, kedua manusia sbagai esensi (hakikat). Manusia dalam bentuk lahir adalah tidak ada lagi lafaz yang dapat mewakili dan lebih jelas selain dari kata al-Insan. Bagi Abdul Jabar, manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan (al-Qadir), mengetahui (al-Ilm), mempersepsi, hidup, berkehendak. Hakikat manusia seperti ni dilatar belakangi oleh jalan fikiran bahwa Tuhan tidak membebani suatu perbuatan kepada Manusia kecuali kepada yang mampu untuk mewujudkannya, tahu tata pelaksanaannya dan mempunyai kehendak untuk melakukan atau untuk tidak melakukan.
Diantara syarat-syarat uyang dikemukakannya yang berkaitan langsung dengan mukallaf adalah:
a.       Memiliki Kemampuan untuk mengerajakan atau meninggalkan taklif.
b.      Memiliki kesempurnaan akal. Dengan kesempurnaan akal, manusia dapat mengetahui atau meungkinkan untuk dapat mengetahui taklif.
Selain kedua syarat di atas, masih ada persyaratan lainnya seperti mempunyai keinginan, tidak terpaksa, mempunyai maksud atau dorongan untuk melakukannya. Ke semua itu mengacu kepada kebebasan dan kemandirian manusia untuk melaksanakan taklif, karena hal itu adalah sebagai amanah yang dipikulnya sebagai suatu kebutuhan hidup bagi manusia.[10]
C.    PENUTUP
Kajian mengenai manusia sangat luar biasa sekali uniknya. Sangatlah pantas manusia itu dikatakan makhluk yang paling mulia. Dilihat dari proses penciptaan sampai kepada fungsinya, sudah menunjukkan bahwa manusia merupakan makhluk yang terpilih oleh Allah.
Dalam uraian singkat makalah di atas, terdapat beberapa hal yang perlu digaris bawahi berkaitan tentang manusia, yaitu:
1.      Hakikat manusia itu sangat beragam sekali, mulai dari hakikatnya sebagai makhluk Allah SWT dan hakikatnya sebagai makhluk social
2.      Pandangan tentang manusia itu dapat dilihat dari tiga perspektif.







DAFTAR PUSTAKA
Fuad, Ahmad Al-Ahwani, 1997. Filsafat Islam, Jakarta:Pustaka Firdaus.
Quraish, M. Shihab, 1997. Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan.
Rachman, Abd. Assegaf, 2005. Studi Islam Kontekstual, Yokyakarta:Gama Media.
Salmadanis, 2003. Filsafat Dakwah, Jakarta: Surau.


 



[1] Abd. Rachman Assegaf,Studi Islam Kontekstual, (Yokyakarta:Gama Media, 2005), hal 57
[2] Salmadanis, Filsafat Dakwah, (Jakarta: Surau, 2003),hal. 62
[3]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1997), hal 277-278
[4] Salmadanis, Op.Cit. hal. 62-63
[5] Salmadanis, Ibid, hal 63
[6] Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1997),hal.158
[7] M. Quraish Shihab, Op.Cit , hal. 278-280
[8] Salmadanis, Op.Cit , hal.65
[9] Salmadanis, Ibid, hal.66
[10] Salmadanis, Ibid, hal.73

No comments:

Post a Comment