Sejarah Pperkembangan Dakwah Sebagai
Ilmu
Ada yang mengatakan bahwa sejarah
dakwah secara umum dimulai semanjak filosofi Yunani sebelum masehi. Tetapi
sebenarnya jauh lebih tua dari itu. Sejarahnya dimulai sejak iblis mempengaruhi
adam dan hawa dengan propogandanya yang sangat menarik dan memikat hati kedua
nenek moyang itu untuk memakan buah khuldi yang terlarang itu, sebagaiman yang
dikisahkan di dalam Al Qur’an surat Thaha ayat 120-121:
Kemudian
syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam,
maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi[948] dan
kerajaan yang tidak akan binasa?"
Maka keduanya
memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan
mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan
durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia
Sejarah perkembangan ilmu dakwah tidak dapat
dilepaskan dari sejarah dakwah itu sendiri. Sejauh ini sejarah perkembangan
ilmu dakwah belum pernah dibahas oleh literatur-literatur ilmu dakwah. Karena
ilmu dakwah tergolong kedalam ilmu yang masih baru.
Secara garis besar perkembangan ilmu dakwah adalah:
1. Tahap Konvensional.
Pada tahap ini dakwah masih merupakan kegiatan kemanusiaan berupa seruan
atau ajakan untuk menganut dan mengamalkan ajaran Islam yang dilakukan secara
konvensional, artinya dalam pelaksanaan secara operasional belum mendasar pada
metode-metode ilmiah, akan tetapi berdasarkan pengalaman orang perorangan. Oleh
karena itu, tahapan ini juga disebut dengan tahapan tradisional.
2. Tahapan Sistematis.
Tahap ini merupakan tahap pertengahan, pada tahap ini dakwah juga
ditandai dengan adanya perhatian masyarakat yang lebih luas terhadap
pelaksanaan dakwah islam sehingga memunculkan seminar, diskusi sarasehan, dan
pertemuaan-pertemuan ilmiah lainnya, yang secara khusus membicarakan masalah
yang berkenaan dengan dakwah. Tahap ini merupakan tahap yang sangat menetukan
dalam tahap atau pengembagan selanjutnya sebab tahap-tahap gejala ilmu dakwah
mulia kelihatan.
3. Tahapan Ilmiah.
Pada tahap ini dakwah telah berhasil tersusun sebagai
ilmu pengetahuan setelah melalui tahap sebelumya dan memenuhi syarat-syaratnya
yang objektif, metodik, sistematik, sebagaimana telah disinggung pada
pembahasan-pembahasan sebelumnya. Ini adalah berkat jasa para Ulama’ yang telah
banyak berupaya untuk menyusun dan mengembangkannya dengan jalan mengadakan
pembahasan dan penelitian kepustakaan maupun secara lapangan tentang
fenomena-fenomena dakwah yang dianalisis lebih jauh dan telah melahirkan beberapa
teori dakwah. Walaupun demikian tidak berarti ilmu ini lepas dari keraguan
tentang eksistensi keilmuannya.
Ilmu dakwah mengalami proses perkembangan yang positif
sehinnga semakin hari semakin estabilished
sehingga semakin waktu mendapat sambutan dan pengakuan dari masyarakat mengenai
eksistensinya.
Khusus untuk Indonesia, pengakuan ilmu dakwah ini
pertama kali dapat dilihat dengan dibukanya jurusan dakwah pada fakultas yang
ada di IAIN yang ada di sseluruh Indonesia dan ditambah dengan program pascasarjananya
baik di S2 maupun S3 di seanatero Indonesia. Pengakuan masyarakat ilmiah
tentang ilmu dakwah di atas juga diperkuat dengan hasil diskusi pembidangan
ilmu agama Islam yang dilakukan oleh proyek pembinaan Perguruan Tinggi Agama
Jakarta setelah mendapatkan dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
bahwa dakwah Islamiah telah memiliki disiplin ilmu dakwah, bimbingan Islam,
dll.
Diskursus
Dakwah Sebagai ilmu
Adanya beberapa pandangan terhadap ilmu dakwah:
1.
Golongan yang
berpendapat bahwa ilmu dakwah yang pembenarannya normatif doktrin mengambil
arti ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits sudah memadai sebagai ilmu walaupun
bukan sebagai ilmu pengetahuan. Golongan ini terlalu berlebihan dalam
mefungsikan ayat-ayat AlQur’an dan Hadits. Padahal penerapan wahyu dalam
dunia empiris perlu penggunaan rasio manusia, wahyu berfungsi sebaga penyinar,
petunjuk, pembimbing, dan pengarah. Dan atas penemuannya disusunlah teori-teori
unruk mengatasi problem kehidupan.
2.
Golongan yang
berpendapat bahwa ilmu dakwah yang sekarang ini belum bisa diterima sebagai
sebuah disiplin ilmu, masih merupakan pengetahuan nonsains. Alasan yang
dikemukakan adalah bahwa ia belum dibangun atas metode keilmuan. Golongan ini
terlalu apriori. Padahal apabila kita mau berfikir dengan seksama, seorang
penulis yang terpelajar di dalam memahami nash-nash Al Qur’an d an Hadits, dan
menjabarkannya dalam tulisan, ia tidak bekerja dengan jiwa yang kosong seperti
robot. Pengalaman demi pengalaman telah terolah dengan logikanya, kemudian
mengendap dan secara reflektif keluar berupa pikiran-pikiran yang baru,
tertuang dalam tulisan-tulisannya, namun demikian memang perlu diadakan
rekonstruksi tentang sistem penulisan buku-buku ilmu keislaman.
3.
Golongan ini
berpendapat bahwa ilmu dakwah tidak lain adalah ilmu komunikasi, mengingat yang
berbeda hanyalah mengenai materi messages-nya.
Golongan ini kurang seksama dalam aspek-aspek yang berada antara ilmu dakwah
dan ilmu komunikasi. Bahkan perbedaan itu menyangkut yang paling asasi yaitu
mengenai objek forma dan dasar pembentukannya. Objek kajian ilmu komunkasi
adalah penyampaian pesan sosialisasi untuk pergaulan islamisasi untuk
kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Ilmu komunikasi dasar pembentukannya
menggunakan metode deduksi minus wahyu.
Sedang ilmu dakwah menggunakan metode deduksi induksi
plus wahyu. Agar lebih memahami tingkat keilmuan ilmu dakwah sejauh ini, perlu
dianlisis tiga landasan:
a) Landasan
Ontologis.
Ontologis merupakan bagian dari filsafat sistematis
metafisika. The Lian Gie telah membuat struktur pengetahuan filsafat yang
terbagai dalam tiga bidang, yaitu filsafat sistematis, filsafat khusus,
filsafat keilmuan.
Ontologi ilmu dakwah ada yang menghadirkan sub
pembahasannya meliputi sifat dan objek ilmu dakwah, ada pula yang menghadirkan
subnya tentang unsur-unsur dakwah dan ada pula sub tentang ruang lingkup kajian
ilmu dakwah. Kajian ilmu seputar ontologi ini pada dasarnya sama yaitu
meliputi, kajian tentang hakekat dan substansi yang membangun ilmu dakwah.
Objek tela’ah ilmu dakwah adalah sistem panggilan
islam terhadap manusia agar melaksanakan ajaran Allah dan RasulNya. Sebagai
sistem, dakwah perlu diorgani
sir ke dalam komponen–komponen yang saling berkaitan sehingga membentuk
bangunan ilmu.
b) Landasan
epistemologis.
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, asal katanya episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti teori. Epistemologi
ini merupakan cabang dan filsafat yang membahas persoalan apa dan bagaimana
seseorang memperoleh pengetahuan dalam bidang epistemologi.
Landasan epistemologis melihat sejauh mana suatu
pengetahuan telah di peroleh melalui pendekatan ilmiah.Metode ilmiah adalah
gabungan antara pemikiran rasional dan penempatan empiris sebagai
farifikasinya. Menurut pengamatan sementara tentang literatur-literatur dakwah
yang ada, landasan epistemologis masih mengandalkan pada sumber yang transenden
dari Alquraan dan Hadist, kurang berusaha menggali dari kerangka teoritisnya.
Seolah-olah ada anggapan bahwa Al Qur’an dan Hadist cukup memadai sebagai
kerangka teoritisnya untuk lansung dioperasionalka.
c) Landasan
axiologis.
Aksiologi dapat dipahami sebagai bidang telaah
terhadap ilmu yang mempertanyakan tujuan ilmu. Apakah suatu ilmu itu hanya
merupakan penjelasan objektif terhadap realitas, atau teori ilmu pengetahuan
untuk mengatasi berbagai masalah yang relevan dengan realitas bidang kajian
ilmu tertentu.
Pengetahun adalah kekuasaan, kata fracis bacon di abad yang silam.
Pengetahuan sangat tergantung pada sistem nilai bagi si pemilik sistem
tersebut. Ilmu dakwah jelas pemiliknya adalah umat Islam yang memiliki syarat
nilai, bahwa hidup ini untuk Allah semata dan memanfaatkan hidup bagi sesama
manusia.
Guna ilmu dakwah adalah untuk membantu umat Islam
dalam memecahkan problema dakwah, dengan memberikan landasan teoritis dan
tuntutan praktis sehingga dalam menjalankan tugasnya lebih efektif.
ada sumbernya ga ka
ReplyDeleteTerima kasih,😊sangat bermanfaat
ReplyDelete