BAB
II
PEMBAHASAN
A.
IJMA’
1.
Pengertian
Ijma’
Secara etimologi Ijma’ berarti kesepakatan atau
konsensus. Pengertian ini dijumpai dalam surat Yusuf, 12: 15, yaitu:
$£Jn=sù
(#qç7yds ¾ÏmÎ/ (#þqãèuHødr&ur br& çnqè=yèøgs
Îû ÏMt6»uxî Éb=ègø:$# 4
!$uZøym÷rr&ur
Ïmøs9Î)
Oßg¨Zt¤Îm6t^çFs9 öNÏdÌøBr'Î/ #x»yd öNèdur w tbráãèô±o
“Maka tatkala mereka
membawanya dan sepakat measukkannya ke dasar sumur..”
Pengertian
etimologi kedua dari ijma’ adalah ketetapan hati untuk melakukan sesuatu.
Pengertian kedua ini ditemukan dalam suart Yunus, 10: 71:
(#þqãèÏHødr'sù öNä.{øBr& öNä.uä!%x.uà°ur
“..Maka
buatkanlahkeputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutumu-sekutumu..."
Perbedaan
antara pengertian pertama dengan pengertiankedua terletak pada kuantitas
(jumlah) orang yang berketatapan hati. Pengertian pertama mencukukpkan satu
tekad saja, sedangkan pengertiaan kedua memerlukan tekad kelompok.
Secara
terminologi ada beberapa rumusan ijma’ yang dikemukan ulama usul fiqih.[1]
Ibrahim Ibn Siyar al-Nazzam, seorang tokokh Mu’tazilah,
merumuskan ijma’ dengan setiap pendapat yanng di dukung oleh hujjah, sekalipun
pendapat itu muncul dari seseorang. Akan tetapi rumusan ini tidak sejalan
dengan pengertian etimologi di atas.
Imam
al-Ghazali merumuskan ijma’ dengan “kesepakatan ummat Muhammad secara khusus
tentang suatu masalah agama. Rumusan al-Ghazali ini memberikan batasan bahwa
ijma’ harus dilakukan umat Muhammad s.a.w, yaitu umat Islam, tetapi harus
dilakukan oleh seluruh umat Islam; termasuk orang awam. Al-Ghazali pun tidak
memasukkan dalam definisinya bahwa ijma’ harus dilakukan setelah wafatnya
Rasulullah s.a.w.
Selanjutnya
Al-Amidi merumuskan ijma’ dengan kesepakatan sekelompok ahl al-hall wa al ‘aqdi
dari umat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu
peristiwa/kasus. Rumusan al-Amidi ini menunjukkan bahwa yang terlibat dalam
ijma’ tidak semua orang, melainkan orang-orang tertentu yang disebut dengan ahl
al-hal wa al-‘aqdi yang bertanggung jawab lansung terhadap umat.
Pada
suatu masa, setelah wafatnya Rasulullah s.a.w. terhadap suatu hukum syara’.
‘Muhammad Abu Zahrah menambahkan di akhir definisi tersebut kalimat yang
bersifat ‘amaliyah.” Hal tersebut mengandung pengertian bahwa ijma’ hanya
berkaitan dengan persoalan-persoalan furu’ (‘amaliyah praktis). Definisi ini,
menurut ketiga tokoh ushul fiqih ini, menyatakan bahwa ijma’ tersebut hanya
dilakukan dan disepakati oleh para mujtahid Muslim pada suatu masa setelah
wafatnya Rasulullah S.a.w.
2. Rukun
dan Syarat Ijma’
a. Yang
terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh
mujtahid. Apabila ada diantara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya
kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’.
b.
Mujtahid yang terlibat dalam permbahasan
hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai
belahan dunia
c.
Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing
mujtahid mengemukakan pandangannya.
d.
Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang
bersifat actual dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam Al-Qur’an.
e.
sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah Al-Qur’an atau Hadist
Rasulullah s.a.w
Syarat-syarat ijma’,
yaitu:
a.
Yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad.
b.
Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang
bersifat adil (berpendirian kuat terhadap agamanya).
c.
Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau
perbuatan bid’ah.
3. Kehujjahan Ijma’
Jumhur
ulama ushul fiqih berpendapat apabila rukun-rukun ijma’ telah terpenuhi, maka
ijma’ tersebut menjadi hujjah yang qath’I (pasti), wajib diamalkan dan tidak
boleh mengingkarinya; bahkan orang yang mengingkarinya dianggap kafir. Hukum
yang ditetapkan melalui ijma’ merupakan hukum syara’ yang qath’i dan menempati
urutan ketiga setelah Al-Qur’an dan Sunnah. Adapun bagi kalangan Syi’ah, ijma’
tidak mereka terima sebagai hujjah, karena pembuat hukum menurut mereka adalah
imam yang mereka anggap ma’shum (terhindar dari dosa).
Alasan
Jumhur Ulama ushul fiqih yang mengatakan bahwa ijma’ merupakan hujjah yang
qath’I dan menempati urutan ketiga sebagai dalil syara’ adalah:
a. Firman Allah S.W.T dalam surat An-Nisa’, 4: 59
“Wahai orang-orang yang
beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul dan Ulil amri diantara kamu…”
b.
Alasan Jumhur Ulama dari hadist adalah sabda Rasulullah s.a.w:
امتي لا تجتمع على الخطا
“ Ummatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap
yang salah (H.R Tirmidzi)
4. Tingkatan Ijma;’
Para ulama
ushul fiqih membagi ijma’ kepada dua bentuk, yaitu ijma’ sharih/ lafzhi dan
ijma’ sukuti
Ijma’
sharih/ lafzhi adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat maupun
melaui perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Adapun ijma’ sukuti adalah
pendapat sebagian mujtahid pada suatu masa tentang hukum suatu masalah dan tersebar
luas, sedangkan sebagian mujtahid yang dikemukakan di atas, tanpa ada yang
menolak pendapat tersebut. Ijma’ sukuti ini pengaruhnya terhadap hukum tidak
meyakinkan, karena para ulama ushul fiqh menempatkannya sebagai dalil zhanni.
Adapun
alasan ulama Hanafiyah dan Hanabilah dalam menetapkan kehujjahan ijma’ sukuti
hanya melalui logika (dalil akal). Dalil akal yang mereka kemukakan adalah
bahwa ijma’ sharih harus disepakati oleh setiap mujtahid yang hidup pada waktu
terjadinya ijma’ dan masing-masing mereka mengemukakan pendapat serta
menyetujui hukum yang ditetapkan. Muhammad Abu Zahrah mengukakan alasan yang
dikemukakan ulama Hanafiyah dan ulama Hanabilah adalah:
a.
Diamnya (al-sukut) para ulama
setelah mengetahui suatu hukum hasil ijtihad yang dikemukakan seorang mujtahid
adalah setelah mempelajari dan menganalisis hasil ijtihad itu dari berbagai
segi
b.
Adalah tidak dapat diterima
(tidak layak) jika para ahli fatwa diam saja ketika mendengar adanya fatwa
orang lain.
5. Landasan Ijma’
Jumur Ulama
usul fiqih mengatakan bahwa ijma, adalah sebagai upaya para mujtahid dalam
menetapkan hukum suatu kasus yang tidak ada hukumnya dalam nash, harus
mempunyai landasan dari nash atau qiyas (analogi). Apabila
ijma’ tidak mempunyai landasan, maka ijma’ tersebut tidak sah. Mayoritas ulama ushul fiqih mengatakan bahwa landasan
ijma’ itu dari dalil yang qath’i, yaitu Al-Qur’an, Sunnah mutawatir serta bias
juga berdasarkan dalil zhanni seperti hadist zhanni seperti hadits ahad (hadits
yang diriwayatkan oleh satu, dua atau tiga orang saja yang tidak mencapai
tingkat mutawatir) dan qiyas. Alasan mereka adalah ijma’ yang dilakukan para
sahabatntentang mandi wajib setelah bersetubuh dengan istri. Landasan ijma’
ini, menurut mereka adalah hadits ahad. Para sahabat juga berijma’ bahwa lemak
babi adalah haram dengan menganalogikan kepada daging babi.
6. Kemungkinan Terjadinya Ijma’
Para ulama usul fiqih klasik dan modern telah mambahas persoalan kemungkinan
terjadinya ijma’. Mayoritas ulama klasik mengatakan tidaklah sulit melakukman
ijma’, bahkan secara aktual ijma’ itu telah ada. Adapun ijma’ dalam pandangan
ulama ushul fiqih kontemporer, seprti Muhammad Abu Zahrah, Al-Khudari Bek,
Abdul Wahhab Khalaf, Fathi Al-Duraini (guru besar fiqih dan ushul fiqih di
Universitas Damaskus, Syiria) dan Wahbah Al-Zuhaili, mengatakan bahwa ijma’
yang mungkin terjadi hanyalah di zaman sahabat, karena para sahabat masih
berada pada satu daerah. Adapun pada masa sesudahnya, untuk melakukan ijma’
tidak mungkin, karena luasnya wilayah Islam dan tidak mungkin mengumpulkan
seluruh ulama pada suatu tempat.
B.
Qiyash
1. Pengertian Qiyash
Secara bahasa (Arab) qiyash berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu,
membandingkan, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Pengertian qiyas
secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul
fiqih, sekalipun redaksinya berbeda, tetapi mengandung pengertian yang yang
sama. Diantaranya dikemukakan Sadr Al-syaria’ah (w. 747 H/ 1346 M, tokoh ushul
fiqih Hanafi). Menurutnya, qiyas adalah:
“Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan ‘illat
yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.
Maksudnya, ‘illat yang ada pada suatu nash sama dengan ‘illat yang ada
pada kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh
nash tersebut. Mayoritas ulama Syafi’iyyah mendifinisikan qiyash dengan:
Membawa
(hukum) yang (belum) diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya,
atau meniadakan hukum bagi keduanya, disebabkan sesuatu yang menyatukan
keduanya, baik hukum maupun sifat.
2. Rukun Qiyas
Para ulama usul fiqih menetapkan
bahwa rukun qiyas itu ada empat, yaitu: ashl (wadah hukum yang ditetapkan
melalui nash atau ijma’), far’u (kasus yang akan ditentukan hukumnya), ‘illat
(motivasi hukum) yang terdapat dan terlihat oleh mujtahid pada ashl, dan hukum al-ashl (hukum
yang telah ditentukan oleh nash atau ijma’).
a.
Ashl (الاصل) menurut para ahli usul
fiqh merupakan objek yang telah ditetapkan hukumnya oleh ayat Al-Qur’an, hadits
Rasulullah s.a.w.
b.
Far’u (الفرع) adalah objek yang akan
ditentukan hukumya, yang tidak ada nash atau ijma’ yang tegas dalam menentukan
hukumnya
c.
’Illat ((العلة adalah
sifat yang menjadi motif dalam menentukan hukum
d.
Hukum Al-Ashl (حكم الاصل ) adalah hukum syara’ yang
ditentukan oleh nash atau ijma’ yang akan diberlakukan kepada far’u, seperti
keharaman meminum khamar.
3. Kehujjahan Qiyas
Jumhur
Ulama usul fiqih berpendirian bahwa qiyas bias dijadikan sebagai metode atau
sarana untuk menginstibatnya hukum syara’. Hukum far’u harus lebih utama
daripada hukum ashl. Ulama Syia’ah Imamiyah dan Al-Nazzam dari Mu’tazilah
menyatakan qiyas bias dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan,
karena kewajiban mengamalkan qiyas adalah sesuatu yang bersifat mustahil
menurut akal. Setelah mengemukakan berbagai pendapat ulama ushul fiqih tentang
keutamaan qiyas, Wahbah Al-Zuhaili, menyimpulkan bahwa pendapat itu bias
dipilah ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyas sebagai dalil
hukum yang dianut mayoritas ulama ushul fiqih, dan kelompok yang menolak qiyas
sebagai dalil hukum, yaitu ulama-ulama Syi’ah, Al-Nazzam, Zhahiriyyah dan ulama
Mu’tazilah dari Irak. Alasan penolakan qiyas sebagai dalil dalam menetapkan
hukum syara’, menurut kelompok yang menolaknya adalah:
a.
Firman Allah dalam surat Al-Hujurat, 49: 1:
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Selanjutnnya dalam surat Al-Isra’, 17: 36 Allah
berfirman:
dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.
Dalam ayat lain surat Yunus, 10: 36, Allah berfirman:
dan
kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.
Menurut
mereka, qiyas itu bersifat zhann (prasangkaan), dan kerenanya tidak berguna
untuk menetapkan hukum.
b.
Alasan-alasan mereka dari Sunnah Rasulullah s.a.w
antara lain adalah sebuah riwayat yang mengatakan:
“Sesungguhnya Allah
Ta’ala menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan; menentukan
beberapa batasan, jangan kamu langgar; Dia haramkan sesuatu, maka jangan kamu
langgar larangan itu; Dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi
kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu. (H.R Al-Daruquthni)
c.
Mereka juga beralasan dengan sikap sebagian sahabat
yang mencela qiyas, meskipun sebagian sahabat lainnya bersikap diam atas celaan
sahabat tersebut.
Jumhur
Ulama ushul fiqih yang membolehkan qiyas sebagai salah satu motode dalam
menetapkan hukum syara’ mengemukakan beberapa alasan, baik dari ayat-ayat
Al-Qur’an, Sunnah Rasul, maupun dari ijma’ dan logika.
Alasan-alasan itu
diantaranya adalah
a. Alasan yang mereka jadikan alasan adalah firman Allah
dalam surat Al-Hashr, 59: 2:
Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi
pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.
b. Alasan Jumhur Ulama dari hadits Rasulullah s.a.w.
Menurut Jumhur Ulama
ushul fiqih, Rasulullah s.aw mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan
qiyas termasuk ijtihad melalui akal.
c. Alasan lain yang dikemukakan Jumhur Ulama ushul fiqih
adalah ijma’ para sahabat. Para sahabat menggunakan qiyas, seperti pendapat Abu
Bakar tentang masalah kalalah, yang menurutnya, adalah orang yang tidak
mempunya ayah dan anak laki-laki. Pendapat ini dikemukakan Abu Bakar
berdasarkan pendapat, dan qiyas termasuk ke dalam pendapat akal.
d. Secara logika, menurut Jumhur Ulama ushul fiqih, bahwa
hukum Allah mengandung kemashlahatan untuk umat manusia dan untuk itulah hukum
disyari’atkan.
4. Syarat-syarat Qiyas
a.
Al-Ashl
Patokan dalam penetapan
hukum adakalanya nash dan adakala ijma’. Menurut Jumhur Ulama ushul fiqih,
apabila hukum yang ditetapkan melalui nash pun boleh di-qiyas-kan, maka hukum
yang ditetapkan melalui ijma’ pun boleh di-qiyas-kan. Menurut Imam Al-Ghazali
(450- 505 H/ 805- 1111 M) dan Saifuddin Al-Amidi (keduanya ahli ushul fiqih
Syafi’iyah), syarat-syarat ashl itu adalah:
1)
Hukum ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak
mengandung kemungkinan di-nash-kan (dibatalkan)
2)
Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’
3)
Ashl itu bukan merupakan far’u dari ashl lainnya
4)
Dalil yang menetapkan ‘illat pada ashl itu adalah
dalil khusus, tidak bersifat umum
5)
Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas
6)
Hukum ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas
b.
Hukum Al-Ashl
Menurut para ulama
ushul fiqih mengatakan bahwa syarat-syarat hukum al-ashl adalah:
1)
Tidak bersifat khusus; dalam artian tidak bias
dikembangkan kepada far’u
2)
Hukum al-ashl itu tidak keluar dari
ketentuan-ketentuan qiyas. Maksudnya, suatu hukum yang ditetapkan berbeda
dengan kaidah qiyas, maka hukum lain tidak bias di-qiyas-kan kepada hukum itu.
3)
Tidak ada nash yang menjelaskan hukum far’u yang akan
ditentukan hukumnya. Apabila hukum al-ashl mencakup hukum ashl pada suatu pihak
dan hukum far’u pada pihak lain, maka dalil yang mengandung hukum al-ashl juga
merupakan dalil bagi hukum far’u.
4)
Hukum al-ashl itu lebih dahulu disyari’atkan dari
far’u. dalam kaitan dengan ini, tidak boleh meng-qiyas-kan wudhu’ pada tayamum,
sekalipun ‘illat-nya sama, karena syari’at wudhu’ lebih dahulu turunnya dari
syari’at tayamum.
c.
Far’u
Para ulama ushul fiqih
mengemukakan empat syarat yang harus dipenuhi oleh al-far’u, yaitu:
1)
‘Illat-nya sama dengan’illat yang ada pada ashl’, baik
pada zatnya maupun pada jenisnya.
2)
Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qiyas
3)
Hukum far’u tidak mendahului hukum ashl
4)
Tidak ada nash atau ijma’yang menjelaskan hukum far’u
5. Pembagian
Qiyas
a. Dilihat
dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu’ dibandingkan dengan yang
terdapat pada ashl. Dari segi ini qiyas dibagi kepada tiga bentuk, yaitu:
1) Qiyash
Al-Aulawi, yaitu qiyas yang hukumnya pada furu’ lebih kuat dari yang ada pada
ashl
2) Qiyas
Al-Musawi, yaitu hukum pada furu’ sama kualitasnya dengan hukum yang ada pada
ashl, karena kualitas ‘illat pada keduanya juga sama.
3) Qiyas
Al-Adna (القياس الادنى), yaitu ‘illat yang ada pada furu’ lebih lemah dibandingkan
dengan ‘illat yang ada pada ashl.
b. Dari
segi kejelasan ‘illat yang teradapat pada hukum, qiyas dibagi kepada dua macam:
1) Qiyas
Al-Jaliy (القياس الخلي), yaitu qiyas yang ‘illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan
dengan hukum al-ashl; atau nash tidak menetapkan ‘illatnya, tetapi dipastikan
bahwa tidak ada pengaruh perbedaan antara ashl dengan furu’.
2) Qiyas
Al-Khafiy, yaitu yang ‘illatnya tidak disebutkan dalam nash.
c. Dilihat
dari keserasian ‘illat dengan hukum, qiyas terbagi atas dua bentuk yaitu:
1) Qiyas
Al-Mu’atstsir, yaitu qiyas yang menjadi penghubung antara ashl denga furu’
ditetapkan melalui nash sharih atau ijma’; atau qiyas yang ‘ain (sifat itu
sendiri) yang menghubungkan ashl dengan furu’ berpengaruh pada hukum itu
sendiri.
2) Qiyas
Al-Mula’im, yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashlnya mempunyai hubungan yang
serasi.
d. Dilihat
dari segi dijelaskan atau tidaknya ‘illat pada qiyas tersebut, qiyas dapat
dibagi kepada tiga bentuk yaitu:
1) Qiyas
Al-Mana’ atau qiyas pada makna ashl, yaitu qiyas yang di dalamnya tidak
dijelaskan ‘illatnya, tetapi antara ashl dengan furu’ tidak tidak dapat
dibedakan, sehingga furu’ seakan-akan ashl.
2) Qiyas
Al-Illat, yaitu qiyas yang dijelaskan ‘illatnya dan ‘illat itu sendiri
merupakan motivasi pada hukum ashl
3) Qiyas
Al-Dalalah, yaitu qiyas yang ‘illat-nya bukan pendorong bagi penetapan hukum
itu sendiri, tetapi ‘illat itu merupakan keharusan yang memberi petunjuk adanya
‘illat.
e. Dilihat
dari metode (masalik) dalam menemukan ‘illat, qiyas dapat dibagi kepada:
1) Qiyas
al-ikhalah, yaitu yang ‘illat-nya ditetapkan melalui munasabah dan ikhalah
2) Qiyas
al-syabah, yaitu yang ‘illat-nya ditetapkan melalui metode syabah
3) Qiyas
al-sibru, yaitu yang ‘illatnya ditetapkan melalui metode al-sibr wa al-taqsim
4) Qiyas
al-thard, yaitu yang ‘illat-nya ditetapkan melalui metode thard
6. Kritik
terhadap Qiyas
Al-Bazdawi mengemukakan bahwa kritikan terhadap
qiyas pada intinya ada dua segi, yaitu mumana’ah dan mu`aradbab. Di bawah:
a. Man`u
al-bukm fi al-albl
Maksudnya
seorang mujthid mengemukakan kritik bahwa ia tidak menerima adanya hukum pada
ashl.
b. Man’u
wujud al wasbfi fi al-ashl
Maksudnya,
seorang mujthid tidak mengakui keberadaan sifat pada ashl tempat
meng-qiyas-kan.
c. Man’u
kaun al-washfi ‘illatan
Maksudnya
pengertian mengtakan ia tidak menerima sifat yang dianggap sebagai ‘illat itu
sebagai ‘illat.
d. Mu’aradhah
fi al-ashl
Misalnya,
syafi’iyyah meng-qiyas-kan apel pada gandung dalam hal pemberlakuan riba fadhl,
karena keduanya mempunyai ‘illat yang sama, yaitu jenis makanan.
e. Mu’aradhah
wujud al washfi fi-furu
Maksudnya,
pengeritik menyatakan penolakan terhadap kevalidan suatu sifat yang dijadikan
‘illat pada ashl.
f. Mu’aradhah
fi al-far’u min ma yaqtadhi naqid alhukm
Maksudnya,
pengertik mengemukakan bahwa terhadap pertentangan dalam furu’ yang membawa
kepada pembatalan hukum ashl.
C. ‘ILLAT
1. Pengertian ‘illat
Secara etimologi ‘illat
berarti nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu dengan
keadan yang lain dengan keberadaanya.
Secara terminology
terdapat beberapa definisi ‘illat yang dikemukakan ulama ushul fiqih. Mayoritas
ulama Hanafiyyah, sebagian ulama Hanabilah, Imam Baidhawi, merumuskan definisi
‘illat dengan suatu sifat (yang
berfungsi) sebagai pengenal bagi suatu hukum.
Menurutnya, ‘illat itu
bukanlah hukum, tetapi merupakan penyebab adanya hukum. Imam Al-Ghazali
berpendapat bahwa pengaruh ‘illat terhadap hukum bukan dengan sendirinya,
melainkan harus karena izin Allah.
Dengan demikian, ‘illat
dalam keuda definisi di atas hanya merupakan indikasi, penyebab dan motif dalam
suatu hukum, yang dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui suatu hukum.
Saifuddin al-Amidi mengatakan ‘illat itu adalahy motif terhadap hukum. Maksudnya,
‘illat itu mengandung hikmah yang layak menjadi tujuan syar’i dalam menetapkan
suatu hukum.
Menurut Mu’tazilah,
‘illat adalah: “sifat yang secara lansung mempengaruhi hukum, bukan atas
kehendak atau perbuatan Allah.” Menurut mereka, ‘illat itulah yang menyebabkan
hukum itu disyari’atkan, dan syar’i dalam hal ini harus mengikuti ‘illat.
Para ulama ushul fqih
menyatakan bahwa apabila disebut ‘illat, maka biasanya yang dimaksud adalah:
a.
Suatu hikmah yang menjadi motivasi dalam menetapkan
hukum, berupa pencapaian kemashlahatan atau menolak kemafsadatan.
b.
Sifat zhahir yang dapat diukur yang sejalan dengan
suatu hukum dalam mencapai suatu kemashlahatan, berupa manfaat atau
menghindarkan kemudaratan bagi manusia.
2. Macam-macam ‘Illat
Dari segi cara
mendapatkannya, illat itu, menurut para ulama ushul fiqih ada dua macam, yaitu
al-‘illah al-manshushah an al-illah al-mustanbatah.
Al-illah al-manshushah
adalah illat yang dikandung lansung oleh nash. Al-illah al-mustanbathah adalah
illat yang digali oleh mujtahid ari nash sesuai dengan kaidah-kaidah yang
ditentukan dan sesuai dengan kaidah-kaidah yang ditentuka dan sesuai dengan
kaidah-kaidah bahasa Arab.
Dari
segi cakupan ‘illat itu, menurut ulama ushul fiqih ada dua macam, yaitu ‘illat
al-muta’addiyah dan al-illah al-mutaqashirah. Al-‘illah muta’addiyah adalah ‘illat yang ditetapkan
suatu nash dan bias diterapkan pada kasus hukum lainnya.
Al-‘illah al-qashirah
adalah ‘illat yang terbatas pada suatu nash saja; tidak terdapat dalam kasus
lain, baik ‘illat itu manshushah maupun mustanbathah.
Para ulama ushul fiqih
menyatakan bahwa ‘illat yang bersifat mta’addiyah, dapat dijadikan sifat dalam
menetapkan suatu hukum. Sedangkan untuk ‘illah al-qahirah diperselisihkan para
ushul fiqih. Ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa seluruh perbuatan dan hukum
Allah mempunyai ‘illat dan tujuan yang mengandung motivasi untuk dikerjakan,
yaitu kemashlahatan bagi ummat manusia.
3. Syarat-syarat ‘Illat
a.
‘Illat itu mengandung motivasi hukum, bukan sekedar
tanda-tanda atau indikasi hukum.
b.
‘Illat itu dapat diukur dan berlaku untuk semua orang.
c.
‘Illat itu jelas, nyata, dan bisa ditangkap indera
manusia, karena ‘illat merupakan
pertanda adanya hukum.
d.
‘Illat itu merupakan sifat yang sesuai dengan
hukum.
e.
‘Illat itu tidak bertentangan dengan nash atau
ijma’.
f.
‘Illat itu bersifat utuh dan berlaku secara
timbal balik.
g.
‘Illat itu tidak datang belakangan dari hukum
ashl.
h.
Hukum yang mmengandung ‘illat itu tidak
mencakup hukum far’u (yang akan dicarikan hukumnya melalui qiyas).
i.
‘Illat itu terdapat dalam hukum syara’
j.
‘Illat itu tidak bertentangan dengan ‘illat
lain yang posisinya lebih kuat.
k.
Apabila ‘illat itu dinisbatkan dari nash, maka
ia tidak menambah nash itu sendiri.
l.
‘Illat itu bisa ditetapkan an diterapkan pada
kasus hukum lain.
4. Cara-cara Mengetahui ‘Illat
a. Melalui
nash, adakalanya ‘illat yang terdapat dalam nashnya ‘illat itu jelas, tetapi
mengandung kemungkinan yang lain.
1) Huruf-huruf (lafal-lafal) tertentu yang
mengandung makna ‘illat, seperti: al-lam (اللام), al-ba’ (الباء), anna (ان), dan in (ان) atau inna (ان)
2) Nash
yang mengandung ‘illat tetapi melalui suatu isyarat yang dapat diketahui
melalaui indikasi lain. Hal ini dapat terjadi apabila:
a) Hukum
itu merupakan suatu jawaban pertanyaan.
b) Hukum
itu diiringi oleh suatu sifat.
b. Cara
kedua untuk mengetahui ‘illat suatu hukum adalah melalui ijma’. Melalui ijma’,
diketahui sifat tertentu yang terdapat alam hukum syara’ yang menjadi ‘illat
hukum itu.
c. Melalui
al-ilma’ wa al-tanbih. Yaitu penyertaan sifat dengan hukum dan disebutkan dalam
lafal. Penetapan ‘illat melalui al-ima’ wa al-tanbih ini terdapat beberapa
bentuk, diantaranya:
1) Penatapan
hukum oleh Syar’i setelah mendengar suatu sifat.
2) Penyebutan
sifat oleh Syar’i dalam hukum yang memberi petunjuk bahwa sifat yang disebutkan
bersama hukum itu adalah ‘illat untuk hukum tersebut.
3) Pembedaan
dua hukum yang disebabkan adanya sifat, syarat, mani’ (halangan), atau
pengecualian; baik kedua hukum yang dibedakan itu disebutkan secara jelas, atau
hanya satu hukum saja yang disebutkan secara jelas.
4) Mengiringi
hukum dengan sifat yang memberi petunjuk bahwa sifat itu menjadi ‘illat hukum
tersebut
d. Melalui
al-sibr wa al-taqsim.Sibr adalah penelitian dan pengujian yang dilakukan
mujtahid terhadap beberapa sifat yang terdapat dalam suatu hukum.
Cara
untuk memilih dan memilih sifat yang akan dijadikan ‘illat itu dapat dilakukan
dengan tiga cara:
1) Mujtahid
tersebut melihat bahwa sifat yang dipilihnyaternyata telah membentuk suatu
hukum, sedangkan sifat yang lainnya tidak demikian.
2) Sifat
yang tidak dipakai sebagai ‘illat tersebut tersebut memang sifat yang tidak
diterima oleh syara’
3) Mujtahid
itu sendiri tidak melihat adanya keterkaitan dan kesesuaian (munasabah) sifat
itu dengan hukum yang dibahas, karena syara’ tidak menjadikannya sebagai sifat
yang dapat menjadi ‘illat dalam kasus apa pun.
e. Munasabah
(المناسبة), yaitu sifat nyata yang
terdapat pada suatu hukum, dapat diukur dan dapat dinalar, merupakan tujuan
yang dikandung hukum itu, yaitu berupa pencapaian terhadap suatu kemaslahatan
atau penolakan terhadap kemudaratan. Munasabah ini disebut juga oleh para ahli
ushul ifqih dengan ikhalah (الاخالة) yang artinya: diduga bahwa suatu sifat itu merupakan (‘illat)
hukum, atau disebut juga dengan mashlahah (kemaslahatan), atau ri’ayah
al-maqashid (pemeliharaan tujuan-tujuan syara’), atau BAB
II
PEMBAHASAN
A.
IJMA’
1.
Pengertian
Ijma’
Secara etimologi Ijma’ berarti kesepakatan atau
konsensus. Pengertian ini dijumpai dalam surat Yusuf, 12: 15, yaitu:
“Maka tatkala mereka
membawanya dan sepakat measukkannya ke dasar sumur..”
Pengertian
etimologi kedua dari ijma’ adalah ketetapan hati untuk melakukan sesuatu.
Pengertian kedua ini ditemukan dalam suart Yunus, 10: 71:
“..Maka
buatkanlahkeputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutumu-sekutumu..."
Perbedaan
antara pengertian pertama dengan pengertiankedua terletak pada kuantitas
(jumlah) orang yang berketatapan hati. Pengertian pertama mencukukpkan satu
tekad saja, sedangkan pengertiaan kedua memerlukan tekad kelompok.
Secara
terminologi ada beberapa rumusan ijma’ yang dikemukan ulama usul fiqih.[1]
Ibrahim Ibn Siyar al-Nazzam, seorang tokokh Mu’tazilah,
merumuskan ijma’ dengan setiap pendapat yanng di dukung oleh hujjah, sekalipun
pendapat itu muncul dari seseorang. Akan tetapi rumusan ini tidak sejalan
dengan pengertian etimologi di atas.
Imam
al-Ghazali merumuskan ijma’ dengan “kesepakatan ummat Muhammad secara khusus
tentang suatu masalah agama. Rumusan al-Ghazali ini memberikan batasan bahwa
ijma’ harus dilakukan umat Muhammad s.a.w, yaitu umat Islam, tetapi harus
dilakukan oleh seluruh umat Islam; termasuk orang awam. Al-Ghazali pun tidak
memasukkan dalam definisinya bahwa ijma’ harus dilakukan setelah wafatnya
Rasulullah s.a.w.
Selanjutnya
Al-Amidi merumuskan ijma’ dengan kesepakatan sekelompok ahl al-hall wa al ‘aqdi
dari umat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu
peristiwa/kasus. Rumusan al-Amidi ini menunjukkan bahwa yang terlibat dalam
ijma’ tidak semua orang, melainkan orang-orang tertentu yang disebut dengan ahl
al-hal wa al-‘aqdi yang bertanggung jawab lansung terhadap umat.
Pada
suatu masa, setelah wafatnya Rasulullah s.a.w. terhadap suatu hukum syara’.
‘Muhammad Abu Zahrah menambahkan di akhir definisi tersebut kalimat yang
bersifat ‘amaliyah.” Hal tersebut mengandung pengertian bahwa ijma’ hanya
berkaitan dengan persoalan-persoalan furu’ (‘amaliyah praktis). Definisi ini,
menurut ketiga tokoh ushul fiqih ini, menyatakan bahwa ijma’ tersebut hanya
dilakukan dan disepakati oleh para mujtahid Muslim pada suatu masa setelah
wafatnya Rasulullah S.a.w.
2. Rukun
dan Syarat Ijma’
a. Yang
terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh
mujtahid. Apabila ada diantara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya
kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’.
b.
Mujtahid yang terlibat dalam permbahasan
hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai
belahan dunia
c.
Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing
mujtahid mengemukakan pandangannya.
d.
Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang
bersifat actual dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam Al-Qur’an.
e.
sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah Al-Qur’an atau Hadist
Rasulullah s.a.w
Syarat-syarat ijma’,
yaitu:
a.
Yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad.
b.
Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang
bersifat adil (berpendirian kuat terhadap agamanya).
c.
Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau
perbuatan bid’ah.
3. Kehujjahan Ijma’
Jumhur
ulama ushul fiqih berpendapat apabila rukun-rukun ijma’ telah terpenuhi, maka
ijma’ tersebut menjadi hujjah yang qath’I (pasti), wajib diamalkan dan tidak
boleh mengingkarinya; bahkan orang yang mengingkarinya dianggap kafir. Hukum
yang ditetapkan melalui ijma’ merupakan hukum syara’ yang qath’i dan menempati
urutan ketiga setelah Al-Qur’an dan Sunnah. Adapun bagi kalangan Syi’ah, ijma’
tidak mereka terima sebagai hujjah, karena pembuat hukum menurut mereka adalah
imam yang mereka anggap ma’shum (terhindar dari dosa).
Alasan
Jumhur Ulama ushul fiqih yang mengatakan bahwa ijma’ merupakan hujjah yang
qath’I dan menempati urutan ketiga sebagai dalil syara’ adalah:
a. Firman Allah S.W.T dalam surat An-Nisa’, 4: 59
“Wahai orang-orang yang
beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul dan Ulil amri diantara kamu…”
b.
Alasan Jumhur Ulama dari hadist adalah sabda Rasulullah s.a.w:
امتي لا تجتمع على الخطا
“ Ummatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap
yang salah (H.R Tirmidzi)
4. Tingkatan Ijma;’
Para ulama
ushul fiqih membagi ijma’ kepada dua bentuk, yaitu ijma’ sharih/ lafzhi dan
ijma’ sukuti
Ijma’
sharih/ lafzhi adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat maupun
melaui perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Adapun ijma’ sukuti adalah
pendapat sebagian mujtahid pada suatu masa tentang hukum suatu masalah dan tersebar
luas, sedangkan sebagian mujtahid yang dikemukakan di atas, tanpa ada yang
menolak pendapat tersebut. Ijma’ sukuti ini pengaruhnya terhadap hukum tidak
meyakinkan, karena para ulama ushul fiqh menempatkannya sebagai dalil zhanni.
Adapun
alasan ulama Hanafiyah dan Hanabilah dalam menetapkan kehujjahan ijma’ sukuti
hanya melalui logika (dalil akal). Dalil akal yang mereka kemukakan adalah
bahwa ijma’ sharih harus disepakati oleh setiap mujtahid yang hidup pada waktu
terjadinya ijma’ dan masing-masing mereka mengemukakan pendapat serta
menyetujui hukum yang ditetapkan. Muhammad Abu Zahrah mengukakan alasan yang
dikemukakan ulama Hanafiyah dan ulama Hanabilah adalah:
a.
Diamnya (al-sukut) para ulama
setelah mengetahui suatu hukum hasil ijtihad yang dikemukakan seorang mujtahid
adalah setelah mempelajari dan menganalisis hasil ijtihad itu dari berbagai
segi
b.
Adalah tidak dapat diterima
(tidak layak) jika para ahli fatwa diam saja ketika mendengar adanya fatwa
orang lain.
5. Landasan Ijma’
Jumur Ulama
usul fiqih mengatakan bahwa ijma, adalah sebagai upaya para mujtahid dalam
menetapkan hukum suatu kasus yang tidak ada hukumnya dalam nash, harus
mempunyai landasan dari nash atau qiyas (analogi). Apabila
ijma’ tidak mempunyai landasan, maka ijma’ tersebut tidak sah. Mayoritas ulama ushul fiqih mengatakan bahwa landasan
ijma’ itu dari dalil yang qath’i, yaitu Al-Qur’an, Sunnah mutawatir serta bias
juga berdasarkan dalil zhanni seperti hadist zhanni seperti hadits ahad (hadits
yang diriwayatkan oleh satu, dua atau tiga orang saja yang tidak mencapai
tingkat mutawatir) dan qiyas. Alasan mereka adalah ijma’ yang dilakukan para
sahabatntentang mandi wajib setelah bersetubuh dengan istri. Landasan ijma’
ini, menurut mereka adalah hadits ahad. Para sahabat juga berijma’ bahwa lemak
babi adalah haram dengan menganalogikan kepada daging babi.
6. Kemungkinan Terjadinya Ijma’
Para ulama usul fiqih klasik dan modern telah mambahas persoalan kemungkinan
terjadinya ijma’. Mayoritas ulama klasik mengatakan tidaklah sulit melakukman
ijma’, bahkan secara aktual ijma’ itu telah ada. Adapun ijma’ dalam pandangan
ulama ushul fiqih kontemporer, seprti Muhammad Abu Zahrah, Al-Khudari Bek,
Abdul Wahhab Khalaf, Fathi Al-Duraini (guru besar fiqih dan ushul fiqih di
Universitas Damaskus, Syiria) dan Wahbah Al-Zuhaili, mengatakan bahwa ijma’
yang mungkin terjadi hanyalah di zaman sahabat, karena para sahabat masih
berada pada satu daerah. Adapun pada masa sesudahnya, untuk melakukan ijma’
tidak mungkin, karena luasnya wilayah Islam dan tidak mungkin mengumpulkan
seluruh ulama pada suatu tempat.
B.
Qiyash
1. Pengertian Qiyash
Secara bahasa (Arab) qiyash berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu,
membandingkan, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Pengertian qiyas
secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul
fiqih, sekalipun redaksinya berbeda, tetapi mengandung pengertian yang yang
sama. Diantaranya dikemukakan Sadr Al-syaria’ah (w. 747 H/ 1346 M, tokoh ushul
fiqih Hanafi). Menurutnya, qiyas adalah:
“Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan ‘illat
yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.
Maksudnya, ‘illat yang ada pada suatu nash sama dengan ‘illat yang ada
pada kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh
nash tersebut. Mayoritas ulama Syafi’iyyah mendifinisikan qiyash dengan:
Membawa
(hukum) yang (belum) diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya,
atau meniadakan hukum bagi keduanya, disebabkan sesuatu yang menyatukan
keduanya, baik hukum maupun sifat.
2. Rukun Qiyas
Para ulama usul fiqih menetapkan
bahwa rukun qiyas itu ada empat, yaitu: ashl (wadah hukum yang ditetapkan
melalui nash atau ijma’), far’u (kasus yang akan ditentukan hukumnya), ‘illat
(motivasi hukum) yang terdapat dan terlihat oleh mujtahid pada ashl, dan hukum al-ashl (hukum
yang telah ditentukan oleh nash atau ijma’).
a.
Ashl (الاصل) menurut para ahli usul
fiqh merupakan objek yang telah ditetapkan hukumnya oleh ayat Al-Qur’an, hadits
Rasulullah s.a.w.
b.
Far’u (الفرع) adalah objek yang akan
ditentukan hukumya, yang tidak ada nash atau ijma’ yang tegas dalam menentukan
hukumnya
c.
’Illat ((العلة adalah
sifat yang menjadi motif dalam menentukan hukum
d.
Hukum Al-Ashl (حكم الاصل ) adalah hukum syara’ yang
ditentukan oleh nash atau ijma’ yang akan diberlakukan kepada far’u, seperti
keharaman meminum khamar.
3. Kehujjahan Qiyas
Jumhur
Ulama usul fiqih berpendirian bahwa qiyas bias dijadikan sebagai metode atau
sarana untuk menginstibatnya hukum syara’. Hukum far’u harus lebih utama
daripada hukum ashl. Ulama Syia’ah Imamiyah dan Al-Nazzam dari Mu’tazilah
menyatakan qiyas bias dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan,
karena kewajiban mengamalkan qiyas adalah sesuatu yang bersifat mustahil
menurut akal. Setelah mengemukakan berbagai pendapat ulama ushul fiqih tentang
keutamaan qiyas, Wahbah Al-Zuhaili, menyimpulkan bahwa pendapat itu bias
dipilah ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyas sebagai dalil
hukum yang dianut mayoritas ulama ushul fiqih, dan kelompok yang menolak qiyas
sebagai dalil hukum, yaitu ulama-ulama Syi’ah, Al-Nazzam, Zhahiriyyah dan ulama
Mu’tazilah dari Irak. Alasan penolakan qiyas sebagai dalil dalam menetapkan
hukum syara’, menurut kelompok yang menolaknya adalah:
a.
Firman Allah dalam surat Al-Hujurat, 49: 1:
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Selanjutnnya dalam surat Al-Isra’, 17: 36 Allah
berfirman:
dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.
Dalam ayat lain surat Yunus, 10: 36, Allah berfirman:
dan
kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.
Menurut
mereka, qiyas itu bersifat zhann (prasangkaan), dan kerenanya tidak berguna
untuk menetapkan hukum.
b.
Alasan-alasan mereka dari Sunnah Rasulullah s.a.w
antara lain adalah sebuah riwayat yang mengatakan:
“Sesungguhnya Allah
Ta’ala menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan; menentukan
beberapa batasan, jangan kamu langgar; Dia haramkan sesuatu, maka jangan kamu
langgar larangan itu; Dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi
kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu. (H.R Al-Daruquthni)
c.
Mereka juga beralasan dengan sikap sebagian sahabat
yang mencela qiyas, meskipun sebagian sahabat lainnya bersikap diam atas celaan
sahabat tersebut.
Jumhur
Ulama ushul fiqih yang membolehkan qiyas sebagai salah satu motode dalam
menetapkan hukum syara’ mengemukakan beberapa alasan, baik dari ayat-ayat
Al-Qur’an, Sunnah Rasul, maupun dari ijma’ dan logika.
Alasan-alasan itu
diantaranya adalah
a. Alasan yang mereka jadikan alasan adalah firman Allah
dalam surat Al-Hashr, 59: 2:
(#rçÉ9tFôã$$sù Í<'ré'¯»t
Ì»|Áö/F{$#
Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi
pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.
b. Alasan Jumhur Ulama dari hadits Rasulullah s.a.w.
Menurut Jumhur Ulama
ushul fiqih, Rasulullah s.aw mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan
qiyas termasuk ijtihad melalui akal.
c. Alasan lain yang dikemukakan Jumhur Ulama ushul fiqih
adalah ijma’ para sahabat. Para sahabat menggunakan qiyas, seperti pendapat Abu
Bakar tentang masalah kalalah, yang menurutnya, adalah orang yang tidak
mempunya ayah dan anak laki-laki. Pendapat ini dikemukakan Abu Bakar
berdasarkan pendapat, dan qiyas termasuk ke dalam pendapat akal.
d. Secara logika, menurut Jumhur Ulama ushul fiqih, bahwa
hukum Allah mengandung kemashlahatan untuk umat manusia dan untuk itulah hukum
disyari’atkan.
4. Syarat-syarat Qiyas
a.
Al-Ashl
Patokan dalam penetapan
hukum adakalanya nash dan adakala ijma’. Menurut Jumhur Ulama ushul fiqih,
apabila hukum yang ditetapkan melalui nash pun boleh di-qiyas-kan, maka hukum
yang ditetapkan melalui ijma’ pun boleh di-qiyas-kan. Menurut Imam Al-Ghazali
(450- 505 H/ 805- 1111 M) dan Saifuddin Al-Amidi (keduanya ahli ushul fiqih
Syafi’iyah), syarat-syarat ashl itu adalah:
1)
Hukum ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak
mengandung kemungkinan di-nash-kan (dibatalkan)
2)
Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’
3)
Ashl itu bukan merupakan far’u dari ashl lainnya
4)
Dalil yang menetapkan ‘illat pada ashl itu adalah
dalil khusus, tidak bersifat umum
5)
Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas
6)
Hukum ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas
b.
Hukum Al-Ashl
Menurut para ulama
ushul fiqih mengatakan bahwa syarat-syarat hukum al-ashl adalah:
1)
Tidak bersifat khusus; dalam artian tidak bias
dikembangkan kepada far’u
2)
Hukum al-ashl itu tidak keluar dari
ketentuan-ketentuan qiyas. Maksudnya, suatu hukum yang ditetapkan berbeda
dengan kaidah qiyas, maka hukum lain tidak bias di-qiyas-kan kepada hukum itu.
3)
Tidak ada nash yang menjelaskan hukum far’u yang akan
ditentukan hukumnya. Apabila hukum al-ashl mencakup hukum ashl pada suatu pihak
dan hukum far’u pada pihak lain, maka dalil yang mengandung hukum al-ashl juga
merupakan dalil bagi hukum far’u.
4)
Hukum al-ashl itu lebih dahulu disyari’atkan dari
far’u. dalam kaitan dengan ini, tidak boleh meng-qiyas-kan wudhu’ pada tayamum,
sekalipun ‘illat-nya sama, karena syari’at wudhu’ lebih dahulu turunnya dari
syari’at tayamum.
c.
Far’u
Para ulama ushul fiqih
mengemukakan empat syarat yang harus dipenuhi oleh al-far’u, yaitu:
1)
‘Illat-nya sama dengan’illat yang ada pada ashl’, baik
pada zatnya maupun pada jenisnya.
2)
Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qiyas
3)
Hukum far’u tidak mendahului hukum ashl
4)
Tidak ada nash atau ijma’yang menjelaskan hukum far’u
5. Pembagian
Qiyas
a. Dilihat
dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu’ dibandingkan dengan yang
terdapat pada ashl. Dari segi ini qiyas dibagi kepada tiga bentuk, yaitu:
1) Qiyash
Al-Aulawi, yaitu qiyas yang hukumnya pada furu’ lebih kuat dari yang ada pada
ashl
2) Qiyas
Al-Musawi, yaitu hukum pada furu’ sama kualitasnya dengan hukum yang ada pada
ashl, karena kualitas ‘illat pada keduanya juga sama.
3) Qiyas
Al-Adna (القياس الادنى), yaitu ‘illat yang ada pada furu’ lebih lemah dibandingkan
dengan ‘illat yang ada pada ashl.
b. Dari
segi kejelasan ‘illat yang teradapat pada hukum, qiyas dibagi kepada dua macam:
1) Qiyas
Al-Jaliy (القياس الخلي), yaitu qiyas yang ‘illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan
dengan hukum al-ashl; atau nash tidak menetapkan ‘illatnya, tetapi dipastikan
bahwa tidak ada pengaruh perbedaan antara ashl dengan furu’.
2) Qiyas
Al-Khafiy, yaitu yang ‘illatnya tidak disebutkan dalam nash.
c. Dilihat
dari keserasian ‘illat dengan hukum, qiyas terbagi atas dua bentuk yaitu:
1) Qiyas
Al-Mu’atstsir, yaitu qiyas yang menjadi penghubung antara ashl denga furu’
ditetapkan melalui nash sharih atau ijma’; atau qiyas yang ‘ain (sifat itu
sendiri) yang menghubungkan ashl dengan furu’ berpengaruh pada hukum itu
sendiri.
2) Qiyas
Al-Mula’im, yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashlnya mempunyai hubungan yang
serasi.
d. Dilihat
dari segi dijelaskan atau tidaknya ‘illat pada qiyas tersebut, qiyas dapat
dibagi kepada tiga bentuk yaitu:
1) Qiyas
Al-Mana’ atau qiyas pada makna ashl, yaitu qiyas yang di dalamnya tidak
dijelaskan ‘illatnya, tetapi antara ashl dengan furu’ tidak tidak dapat
dibedakan, sehingga furu’ seakan-akan ashl.
2) Qiyas
Al-Illat, yaitu qiyas yang dijelaskan ‘illatnya dan ‘illat itu sendiri
merupakan motivasi pada hukum ashl
3) Qiyas
Al-Dalalah, yaitu qiyas yang ‘illat-nya bukan pendorong bagi penetapan hukum
itu sendiri, tetapi ‘illat itu merupakan keharusan yang memberi petunjuk adanya
‘illat.
e. Dilihat
dari metode (masalik) dalam menemukan ‘illat, qiyas dapat dibagi kepada:
1) Qiyas
al-ikhalah, yaitu yang ‘illat-nya ditetapkan melalui munasabah dan ikhalah
2) Qiyas
al-syabah, yaitu yang ‘illat-nya ditetapkan melalui metode syabah
3) Qiyas
al-sibru, yaitu yang ‘illatnya ditetapkan melalui metode al-sibr wa al-taqsim
4) Qiyas
al-thard, yaitu yang ‘illat-nya ditetapkan melalui metode thard
6. Kritik
terhadap Qiyas
Al-Bazdawi mengemukakan bahwa kritikan terhadap
qiyas pada intinya ada dua segi, yaitu mumana’ah dan mu`aradbab. Di bawah:
a. Man`u
al-bukm fi al-albl
Maksudnya
seorang mujthid mengemukakan kritik bahwa ia tidak menerima adanya hukum pada
ashl.
b. Man’u
wujud al wasbfi fi al-ashl
Maksudnya,
seorang mujthid tidak mengakui keberadaan sifat pada ashl tempat
meng-qiyas-kan.
c. Man’u
kaun al-washfi ‘illatan
Maksudnya
pengertian mengtakan ia tidak menerima sifat yang dianggap sebagai ‘illat itu
sebagai ‘illat.
d. Mu’aradhah
fi al-ashl
Misalnya,
syafi’iyyah meng-qiyas-kan apel pada gandung dalam hal pemberlakuan riba fadhl,
karena keduanya mempunyai ‘illat yang sama, yaitu jenis makanan.
e. Mu’aradhah
wujud al washfi fi-furu
Maksudnya,
pengeritik menyatakan penolakan terhadap kevalidan suatu sifat yang dijadikan
‘illat pada ashl.
f. Mu’aradhah
fi al-far’u min ma yaqtadhi naqid alhukm
Maksudnya,
pengertik mengemukakan bahwa terhadap pertentangan dalam furu’ yang membawa
kepada pembatalan hukum ashl.
C. ‘ILLAT
1. Pengertian ‘illat
Secara etimologi ‘illat
berarti nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu dengan
keadan yang lain dengan keberadaanya.
Secara terminology
terdapat beberapa definisi ‘illat yang dikemukakan ulama ushul fiqih. Mayoritas
ulama Hanafiyyah, sebagian ulama Hanabilah, Imam Baidhawi, merumuskan definisi
‘illat dengan suatu sifat (yang
berfungsi) sebagai pengenal bagi suatu hukum.
Menurutnya, ‘illat itu
bukanlah hukum, tetapi merupakan penyebab adanya hukum. Imam Al-Ghazali
berpendapat bahwa pengaruh ‘illat terhadap hukum bukan dengan sendirinya,
melainkan harus karena izin Allah.
Dengan demikian, ‘illat
dalam keuda definisi di atas hanya merupakan indikasi, penyebab dan motif dalam
suatu hukum, yang dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui suatu hukum.
Saifuddin al-Amidi mengatakan ‘illat itu adalahy motif terhadap hukum. Maksudnya,
‘illat itu mengandung hikmah yang layak menjadi tujuan syar’i dalam menetapkan
suatu hukum.
Menurut Mu’tazilah,
‘illat adalah: “sifat yang secara lansung mempengaruhi hukum, bukan atas
kehendak atau perbuatan Allah.” Menurut mereka, ‘illat itulah yang menyebabkan
hukum itu disyari’atkan, dan syar’i dalam hal ini harus mengikuti ‘illat.
Para ulama ushul fqih
menyatakan bahwa apabila disebut ‘illat, maka biasanya yang dimaksud adalah:
a.
Suatu hikmah yang menjadi motivasi dalam menetapkan
hukum, berupa pencapaian kemashlahatan atau menolak kemafsadatan.
b.
Sifat zhahir yang dapat diukur yang sejalan dengan
suatu hukum dalam mencapai suatu kemashlahatan, berupa manfaat atau
menghindarkan kemudaratan bagi manusia.
2. Macam-macam ‘Illat
Dari segi cara
mendapatkannya, illat itu, menurut para ulama ushul fiqih ada dua macam, yaitu
al-‘illah al-manshushah an al-illah al-mustanbatah.
Al-illah al-manshushah
adalah illat yang dikandung lansung oleh nash. Al-illah al-mustanbathah adalah
illat yang digali oleh mujtahid ari nash sesuai dengan kaidah-kaidah yang
ditentukan dan sesuai dengan kaidah-kaidah yang ditentuka dan sesuai dengan
kaidah-kaidah bahasa Arab.
Dari
segi cakupan ‘illat itu, menurut ulama ushul fiqih ada dua macam, yaitu ‘illat
al-muta’addiyah dan al-illah al-mutaqashirah. Al-‘illah muta’addiyah adalah ‘illat yang ditetapkan
suatu nash dan bias diterapkan pada kasus hukum lainnya.
Al-‘illah al-qashirah
adalah ‘illat yang terbatas pada suatu nash saja; tidak terdapat dalam kasus
lain, baik ‘illat itu manshushah maupun mustanbathah.
Para ulama ushul fiqih
menyatakan bahwa ‘illat yang bersifat mta’addiyah, dapat dijadikan sifat dalam
menetapkan suatu hukum. Sedangkan untuk ‘illah al-qahirah diperselisihkan para
ushul fiqih. Ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa seluruh perbuatan dan hukum
Allah mempunyai ‘illat dan tujuan yang mengandung motivasi untuk dikerjakan,
yaitu kemashlahatan bagi ummat manusia.
3. Syarat-syarat ‘Illat
a.
‘Illat itu mengandung motivasi hukum, bukan sekedar
tanda-tanda atau indikasi hukum.
b.
‘Illat itu dapat diukur dan berlaku untuk semua orang.
c.
‘Illat itu jelas, nyata, dan bisa ditangkap indera
manusia, karena ‘illat merupakan
pertanda adanya hukum.
d.
‘Illat itu merupakan sifat yang sesuai dengan
hukum.
e.
‘Illat itu tidak bertentangan dengan nash atau
ijma’.
f.
‘Illat itu bersifat utuh dan berlaku secara
timbal balik.
g.
‘Illat itu tidak datang belakangan dari hukum
ashl.
h.
Hukum yang mmengandung ‘illat itu tidak
mencakup hukum far’u (yang akan dicarikan hukumnya melalui qiyas).
i.
‘Illat itu terdapat dalam hukum syara’
j.
‘Illat itu tidak bertentangan dengan ‘illat
lain yang posisinya lebih kuat.
k.
Apabila ‘illat itu dinisbatkan dari nash, maka
ia tidak menambah nash itu sendiri.
l.
‘Illat itu bisa ditetapkan an diterapkan pada
kasus hukum lain.
4. Cara-cara Mengetahui ‘Illat
a. Melalui
nash, adakalanya ‘illat yang terdapat dalam nashnya ‘illat itu jelas, tetapi
mengandung kemungkinan yang lain.
1) Huruf-huruf (lafal-lafal) tertentu yang
mengandung makna ‘illat, seperti: al-lam (اللام), al-ba’ (الباء), anna (ان), dan in (ان) atau inna (ان)
2) Nash
yang mengandung ‘illat tetapi melalui suatu isyarat yang dapat diketahui
melalaui indikasi lain. Hal ini dapat terjadi apabila:
a) Hukum
itu merupakan suatu jawaban pertanyaan.
b) Hukum
itu diiringi oleh suatu sifat.
b. Cara
kedua untuk mengetahui ‘illat suatu hukum adalah melalui ijma’. Melalui ijma’,
diketahui sifat tertentu yang terdapat alam hukum syara’ yang menjadi ‘illat
hukum itu.
c. Melalui
al-ilma’ wa al-tanbih. Yaitu penyertaan sifat dengan hukum dan disebutkan dalam
lafal. Penetapan ‘illat melalui al-ima’ wa al-tanbih ini terdapat beberapa
bentuk, diantaranya:
1) Penatapan
hukum oleh Syar’i setelah mendengar suatu sifat.
2) Penyebutan
sifat oleh Syar’i dalam hukum yang memberi petunjuk bahwa sifat yang disebutkan
bersama hukum itu adalah ‘illat untuk hukum tersebut.
3) Pembedaan
dua hukum yang disebabkan adanya sifat, syarat, mani’ (halangan), atau
pengecualian; baik kedua hukum yang dibedakan itu disebutkan secara jelas, atau
hanya satu hukum saja yang disebutkan secara jelas.
4) Mengiringi
hukum dengan sifat yang memberi petunjuk bahwa sifat itu menjadi ‘illat hukum
tersebut
d. Melalui
al-sibr wa al-taqsim.Sibr adalah penelitian dan pengujian yang dilakukan
mujtahid terhadap beberapa sifat yang terdapat dalam suatu hukum.
Cara
untuk memilih dan memilih sifat yang akan dijadikan ‘illat itu dapat dilakukan
dengan tiga cara:
1) Mujtahid
tersebut melihat bahwa sifat yang dipilihnyaternyata telah membentuk suatu
hukum, sedangkan sifat yang lainnya tidak demikian.
2) Sifat
yang tidak dipakai sebagai ‘illat tersebut tersebut memang sifat yang tidak
diterima oleh syara’
3) Mujtahid
itu sendiri tidak melihat adanya keterkaitan dan kesesuaian (munasabah) sifat
itu dengan hukum yang dibahas, karena syara’ tidak menjadikannya sebagai sifat
yang dapat menjadi ‘illat dalam kasus apa pun.
e. Munasabah
(المناسبة), yaitu sifat nyata yang
terdapat pada suatu hukum, dapat diukur dan dapat dinalar, merupakan tujuan
yang dikandung hukum itu, yaitu berupa pencapaian terhadap suatu kemaslahatan
atau penolakan terhadap kemudaratan. Munasabah ini disebut juga oleh para ahli
ushul ifqih dengan ikhalah (الاخالة) yang artinya: diduga bahwa suatu sifat itu merupakan (‘illat)
hukum, atau disebut juga dengan mashlahah (kemaslahatan), atau ri’ayah
al-maqashid (pemeliharaan tujuan-tujuan syara’), atau disebut juga dengan
takhrij al-manath (mendapatkan ‘illat pada hukum ashl semata-mata mengaitkan
antara munasabah dengan hukum). Contoh munasabah adalah perbuatan zina.
f. Cara
keenam dalam mencari ‘illat adalah melalui tanqih al-manath, yaitu upaya
seorang mujtahid dalam menentukan ‘illat dari berbagai sifat yang dijadikan
‘illat oleh Syar’i dalam berbagai hukum
g. Al-Thard
(الطرد) yaitu pernyataan hukum
dengan sifat tanpa adanya keserasian antara keduanya.
h. Al-Syabah
(الشبة), yaitu sifat yang
mempunyai keserupaan. Al-Syabah ini, menurut para ulama ushul fiqih, ada dua
bentuk yaitu:
1) Melakukan
qiyas kesamaan yang dominan dalam hukum dan sifat, yaitu mengaitkan furu’ yang
mempunyai bentuk kesamaan dengan dua hukum al-ashl.
2) Qiyas
shuri atau qiyas yang semu, yaitu meng-qiyas-kan sesuatu kepada yang lain
semata-mata karena kesamaan bentuknya.
i.
Dauran (الدوران), suatu keadaan dimana ditemukan hukum apabila bertemu sifat
dan tidak terdapat hukum ketika sifat tidak ditemukan.
j.
Ilgha Al-Fariq (الغاء
الفارق), yaitu terdapat titik perbedaaan antara sifat dengan hukum,
tetapi titik perbedaan itu dibuang, sehingga yang tinggal hanya kesamaannya.
[1] Ibn al-Hajib, op. Cit., Jilid II hal. 29; Tajuddin Abdul Wahhab Ibn
al-Subki, Jam’u al-jawimi, Jilid II, 156; Syaif al-Din al-Amidi, op. Cit., hal.
128disebut juga dengan
takhrij al-manath (mendapatkan ‘illat pada hukum ashl semata-mata mengaitkan
antara munasabah dengan hukum). Contoh munasabah adalah perbuatan zina.
f. Cara
keenam dalam mencari ‘illat adalah melalui tanqih al-manath, yaitu upaya
seorang mujtahid dalam menentukan ‘illat dari berbagai sifat yang dijadikan
‘illat oleh Syar’i dalam berbagai hukum
g. Al-Thard
(الطرد) yaitu pernyataan hukum
dengan sifat tanpa adanya keserasian antara keduanya.
h. Al-Syabah
(الشبة), yaitu sifat yang
mempunyai keserupaan. Al-Syabah ini, menurut para ulama ushul fiqih, ada dua
bentuk yaitu:
1) Melakukan
qiyas kesamaan yang dominan dalam hukum dan sifat, yaitu mengaitkan furu’ yang
mempunyai bentuk kesamaan dengan dua hukum al-ashl.
2) Qiyas
shuri atau qiyas yang semu, yaitu meng-qiyas-kan sesuatu kepada yang lain
semata-mata karena kesamaan bentuknya.
i.
Dauran (الدوران), suatu keadaan dimana ditemukan hukum apabila bertemu sifat
dan tidak terdapat hukum ketika sifat tidak ditemukan.
j.
Ilgha Al-Fariq (الغاء
الفارق), yaitu terdapat titik perbedaaan antara sifat dengan hukum,
tetapi titik perbedaan itu dibuang, sehingga yang tinggal hanya kesamaannya.
[1] Ibn al-Hajib, op. Cit., Jilid II hal. 29; Tajuddin Abdul Wahhab Ibn
al-Subki, Jam’u al-jawimi, Jilid II, 156; Syaif al-Din al-Amidi, op. Cit., hal.
128
No comments:
Post a Comment