BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada esensinya, agama Islam yang terdiri atas
aqidah, syariat dan akhlak, merupakan agama yang sempurna dan semua
ajarannya terintegral dan saling berkaitan. Aqidah menjelaskan syariat,
syariat menjelaskan aqidah, dan aqidah serta syariat menjelaskan akhlak.
Dalam pelaksanaannya kemudian melahirkan praktek-praktek yang beragam
dikalangan ummat Islam. Dan dalam sejarah kemudian kita mengenal adanya
praktek-praktek sufi yang dijalani oleh beberapa orang dan kelompok.
Terdapat perbedaan pendapat berkaitan dengan
kemunculan tasawuf dalam Islam. Ada yang berpendapat bahwa tasawuf baru muncul
dalam Islam pada akhir abad ke II Hijriyah atau awal abad ke III Hijriyah,
kelompok lain berpendapat bahwa praktek kehidupan sufi sudah ada sejak awal
kemunculan Islam yang tercermin dalam kehidupan Nabi SAW., dan para sahabat
serta jalan hidup yang ditempuh oleh beberapa kelompok di Madinah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah dan latar
belakang munculnya praktek sufi?
2.
Bagaimana Ruang Lingkup,
Metode dan Kegunaan Ilmu Tasawuf?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah dan Latar
Belakang Munculnya Praktek Sufi
Istilah
tasawuf dikenal secara luas di kawasan Islam sejak penghujung abad ke-dua
Hijriyah, sebagai perkembangan lanjutan dari kesalehan asketis atau para
zahid yang mengelompok di serambi mesjid Madinah. Dalam perjalanan
kehidupan, kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan
pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan
duniawi.[1]
Pola
hidup kesalehan yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf
yang kemudian berkembang dengan pesat. Fase ini dapat disebut
sebagai fase asketisme dan merupakan fase pertama perkembangan tasawuf yang
ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan
akhirat, sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah. Fase asketisme
ini setidaknya berlangsung hingga abad ke-dua Hijriyah. Memasuki abad
ke-tiga Hijriyah sudah terlihatadanya peralihan dari asketisme
Islam ke sufisme.[2] Tetapi menurut mayoritas penulis sejarah
tassawuf mengatakan bahwa embrio atau benih tasawuf dalam dunia Islam sudah
Nampak dalam diri Nabi Muhammad SAW., baik jika melihat aspek kehidupan, akhlak
serta ibadah Beliau.
Untuk lebih mengetahui sejarah munculnya tasawuf
dalam Islam berikut penulis memaparkan indikasi-indikasi yang menjadi
dasar lahirnya gerakan ini yang dimulai dari kehidupan para sahabat Rasul
hingga menjelang akhir abad ke-dua Hijriyah.
1.
Tasawuf Pada Masa Sahabat Nabi, Atau
Khulafa’ Al-Rasyidin Dan Ahla Suffah
Untuk melihat lebih jauh bagaimana perkembangan tasawuf pada
masa ini, diuraikan kehidupan beberapa sahabat nabi sebagai berikut:
a.
Kehidupan Khulafa’ al-Rasyidin
Perkembangan tasawuf sangat nampak dalam kehidupan para
khulafa’ al-rasyidin berikut ini :
1)
Abu bakar as-Siddiq (w. tahun 13 H)
Sebelum beliau masuk Islam ia adalah seorang pedagang besar
yag jujur di zamannya. Setelah ia memeluk agama Islam, maka dia berstatus
donatur tetap dalam semua aktifitas agama, maka semua kekayannya disumbangkan
demi kepentingan dan syiarnya agama Islam. Kejujuran dan kesucian hatinya
menyebabkan beliau dapat mendalami jiwa dan semangat Islam lebih dari yang
didapat para muslimin yang lain.[3]
2)
Umar bin Khattab (w. tahun 23 H)
Beliau memiliki kewibawaan dan kharismatik yang kuat, baik
sebelum dan sesudah masuk Islam. Dan sebelum dan sesudah menjabat khalifah,
beliau selalu tampil dengan bersahaja. Beliau dikenal sangat adil, mempunyai
keberanian yang kuat, dekat dengan kalangan bawah, dan sangat takut mengambil
harta kekayaan negara (amanah). Beliau adalah profil pemimpin yang sejati dan
sukses.[4]
3)
Usman bin Affan (w. tahun 25 H)
Beliau adalah konglomerat dizamannya, ia selalu tampil
sebagai penyandang dana, beliau rela menyerahkan sebahagian besar harta
bendanya demi perjuangan Islam, beliau selalu membebaskan budak-budak yang
teraniaya oleh orang-orang kafir yang ditebus dengan hartanya sendiri.[5]
4)
Ali bin Abi Thalib (w. tahun 40 H)
Beliau yang paling zuhud dalam hidupnya, paling luas
wawasannya tentang ilmu pengetahuan Beliau sangat luhur budi pekertinya,
terkenal kesalehannya, dan juga kebersihan jiwanya.[6]
Dengan contoh-contoh akhlakul karimah seperti yang
menjadi kepribadian khulafa’ al-Rasyidin itulah yang dipedomani oleh
orang-orang sufi dan orang-orang saleh yang ingin memperaktekkan dan
memperbanyak amalan-amalan ibadahnya dan melatih jiwanya untuk dekat dengan
Allah SWT.
b.
Kehidupan Para Ahli Suffah
Kehidupan ahli suffah yang memperlihatkan praktik-praktik
ketaatan dapat uraikan sebagai berikut :
1)
Salman al-Frisiy (w. 32 H)
Dikalangan ahli tasawuf Salman al-Farisy di kenal sebagai
seorang sahabat yang hidupnya zuhud, suka mengembara dan hidup dalam
kemiskinan, beliau di anggap sebagai ahli Suffah yang dikarunai
ilmu-ilmu ladunni yang dalam.[7]
2)
Abu Zar al-Gifariy (w. 22 H)
Salah satu sahabat Nabi yang paling zahid sabar
adalah Abu Zar al-Gifariy. Beliau tidak pernah merasa menderita bila ditimpa
musibah, senang menerima cobaan, dan tidak pernah memiki apa-apa, dan tidak
dimiliki oleh apa-apa. Abu Zar al-Gifariy menganggap cobaan itu sebagai
perhatian Tuhan kepadanya, sehingga ia selalu bersyukurdan bertahmid.[8]
Pernyataannya tentang cobaan Tuhan adalah “Sesungguhnya saya
menyadari bahwa kemiskinan itu lebih kusukai dari kekayaan, kesakitan lebih
kusukai dari pada kesehatan, kematian lebih kusukai dari pada
kehidupan”.
Dari uraian di atas, maka perkembangan tasawuf abad ini
yaitu pada masa Nabi, khulafa’ al-Rasyidin, dan masa ahlu Suffah,
nampaknya istilah atau term penggunaan tasawuf untuk kehidupan rohani memang
belum ada, tetapi tidak bisa di pungkiri faktanya bahwa Nabi dan para
sahabatnya adalah praktisi yang dijadikan teladan para sufi sesudahnya.
Dengan demikian kehidupan Nabi dalam segala hal di anggap,
sebagai embrio yang selanjutnya tumbuh dan dikembangkan oleh para sahabat khulafa’
al-Rasyidin dan ahlu Suffah yang dianggap sebagai pelaku-pelaku
ibadah yang konsisten mementingkan kehidupan rohani seperti yang dicontohkan
oleh Nabi dan selanjutnya diikuti oleh orang-orang shaleh dan orang-orang sufi
abad berikutnya.
2.
Dimulainya kehidupan Zuhud
Dari
kondisi politik yang tidak kondisif, dan dari kondisi sosial yang tidak bermoral, maka muncul kaum muslimin yang
merasa punya kewajiban moral mengingatkan penguasa, rakyat agar kembali pada
kehidupan seperti yang dicontohkan Nabi.
Hal
ini dipertajam lagi oleh Nurchalis Madjid bahwa dampak dari perubahan-perubahan
itu menimbulkan adanya beberapa orang yang merasa bahwa Islam saat ini sudah
tidak lagi seperti pada masa Nabi, khulafa’ al-Rasyidin sehingga
menimbulkan letupan-letupan dan kritikan-kritikan terhadap penguasa Umaiyyah
yang wujudnya berbentuk oposisi keagamaan terhadap rezim Umayyah.[9]
Kaum
muslimin yang punya keperdulian itu dikenal sebagai tokoh zahid, artinya
orang yang menjauhi kehidupan duniawi yang ingin melihat rakyat menjadi aman. Tokoh-tokoh
zahid yang termasyhur antara lain seperti Hasan al-Basri (w. 728 M).
Beliau banyak mempelajari ilmu yang sifanya moralitas sehingga ajaran itu
sangat mempengaruhi pola pikiran, sikap dan perilakunya sehari-hari, dan dia juga
dianggap sebagai tokoh oposisi moral. Karena beliau berani mengirim surat
kepada penguasa Abd. Malik Bin Marwan menuntut agar penguasa dapat memberikan
hak dan kebebasan pada rakyat.[10] Selain Hasan al-Basri, masih banyak lagi
tokoh-tokoh yang zahid seperti Sufyan as-Sauriy (w. 135 H), Malik bin
Dinar (w. 171 H) dan lain sebagainya.
Perkembangan
term tasawuf pada masa ini (abad I memasuki awal abad II H) masih terlihat
belum jelas wujudnya. Istilah-istilah yang dikenal pada masa ini hanyalah
kehidupan zuhud’, artinya suatu sikap jiwa yang lebih memilih dan
menyukai kehidupan akhirat dan memperbanyak ibadah dari pada hidup keduniaan[11].
Memasuki
akhir abad II H, terlihat adanya peralihan kehidupan zuhud ke istilah
tasawuf. Hal ini di tandai dengan adanya para zahid-zahid yang mulai
membicarakan konsep-konsep mengenai kehidupan yang berdimensi spiritual.
Sekalipun sangat sulit membedakan secara tepat dan pasti adanya peralihan itu,
tapi secara umum pendapat yang mengatakan bahwa adanya kecenderungan
membicarakan konsep tasawuf termasuk di dalamnya cara untuk kepada Tuhan maka
masa tersebut dinamai masa peralihan.
Nicholson
mengatakan bahwa sulit membedakan antara hidup zuhud dan hidup kesufian,
sebab umumnya orang sufi masa ini tadinya atau sebelumnya adalah orang-orang zahid.
Hal ini dipertajam oleh Taftazani bahwa mereka lebih layak dinamai zahid daripada
“sufi”.[12]
Tokoh-tokoh
zahid akhir abad II H, dan sudah mempunyai konsep tentang oleh rohani
antara lain diwakili oleh Rabiahtul Adawiah, seorang zahid perempuan
yang telah mengukir lembaran sejarah tasawuf dengan membawa versi baru yang
bernama hubb (cinta).
Pada
abad II H, dalam kehidupan spiritual telah terjadi transformasi, dari metode zuhud
ke metode tasawuf, yang di tandai dengan munculnya tokoh-tokoh sufi yang
menawarkan suatu konsep atau gagasan yang berbentuk teori sebagai suatu cara
untuk berdekatan dengan Allah, seperti Rabiahtul Adawiyah dengan konsep mahabbah
atau cintanya.[13]
Adanya
term tasawuf pada akhir abad II H, tapi itu tidak berarti telah lahir sistem
tasawuf sebagai suatu ilmu yang walaupun praktenya telah ada sejak masa
Rasulullah. Namun ketika memasuki abad ke III H., perkembangan tasawuf sudah
mulai jelas dan istilah tasawuf sudah dikenal secara meluas. Perkembangan
tersebut disebabkan prinsip-prinsip teoritisnya sudah mulai tersusun secara
sistimetis, demikian pula aturan-aturan praktisnya, sehingga melahirkan tiga
macam corak tasawuf yaitu: tasawwuf akhlaki, tasawuf amali, dan tasawuf
falsafi.[14] Pada masa inilah tasawuf mencapai puncak
keemasannya sebagai sebuah gerakan yang banyak dikaji dan
diamalkan/dipkraktikkan sebagai prinsip hidup.
B.
Ruang Lingkup,
Metode dan Kegunaan Ilmu Tasawuf
1.
Ruang Lingkup Ilmu
Tasawuf
Secara
umum para ahli tasawuf membagi tasawuf menjadi 3 (Tiga) macam : tasawuf akhlaki,
tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Ketiga jenis tasawuf
tersebut pada prinsipnya mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama ingin
“mendekatkan diri kepada Allah” dengan cara membersihkan diri dari perbuatan
tercela dan menghiasinya dengan perbuatan terpuji. Namun ketiga jenis tasawuf
tersebut mempunyai perbedaan dalam penerapan “pendekatan” yang di gunakan.[15]
Pendekatan-pendekatan
dari masing-masing jenis tasawuf, sekaligus merupakan spesifikasi dan ajaran
inti masing-masing jenis tasawuf tersebut. Para tasawuf yang bercorak akhlaki,
pendekatan yang di gunakan adalah pendekatan “moral” ( teori-teori أخلاق الكريمة ) atau biasa di sebut pencerdasan emosi.
Untuk
tasawuf yang bercorak falsafi, maka pendekatan yang di gunakan adalah
pendekatan “rasio” memberdayakan akal pikiran yang biasa di sebut pencerdasan
inteligen. Sedangkan tasawuf yang bercorak amali, pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan “amaliah”, memperbanyak aktifitas yang bersifat
rohani yang biasa disebut pencerdasan spiritual.
Ketiga
bentuk corak tasawuf itu merupakan perwujudan untuk meng-Esakan Tuhan secara
mutlak, dan itu berarti kita harus menyadari bahwa meng-Esakan dan memahami
Tuhan tidak bisa di jangaku atau didekati hanya dengan rasio atau akal semata,
tetapi memahami Tuhan harus dibantu dengan pendekatan moral atau emosi dan
spiritual yang keduanya itu bertempat dalam hati sebagai tempatnya iman
bersemayam.[16]
2.
Metode Ilmu Tasawuf
a. ﻣﻗﺎﻣﺎﺕ
( Maqamat )
Untuk
mencapai kedekatan dengan Tuhan, sufi memberikan suatu metode
atau cara atau jalan. Jalan itu berisi stasiun yang disebut ﻣﻗﺎﻣﺎﺕ .
Maqamat berasal dari bahasa Arab yang artinya tempat
orang berdiri. Selanjutnya istilah tersebut berkembang lebih jauh
dengan arti tingkatan, atau tahapan, atau jalan panjang yang harus
dilewati oleh sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah SWT.
Tingkatan tersebut berupa atau berbentuk sikap hidup yang nampak
kelihatan dan tercermin dalam perilaku akhlak yang mulia. Maqamat
ini sebagai hasil dari mujahadah (kesungguhan) dan riyadah (latihan)
berkesinambungnan yang dilaksanakannya serta putusnya hubungan dengan
selain Allah.[17]
Berdasarkan
defenisi di atas, dapat dikemukakan bahwa maqamat merupakan suatu
tingkatan, tahapan yang dicapai oleh sufi dari usahanya yang keras
dan sungguh-sungguh serta perjuangannya terus menerus dalam rangka
mendekatan diri kepada Allah SWT. Sebagai mana yang disebutkan oleh Harun
Nasution bahwa ada lima tingkatan yang populer dan diterima secara umum yaitu: Taubat,
Zuhud, Sabar,Tawakkal dan Ridha.[18] Berikut penjelasan singkat kelima
macam maqamat tersebut:
1)
ﺍﻟﺗﻭﺑﺔ
( taubah ) ialah meninggalkan keinginan untuk kembali melakukan
kejahatan seperti yang telah pernah dilakukannya karena rasa takut akan
kebesaran Allah SWT., dan menjauhkan diri dari kemurkaannya. Para sufi
berpendapat bahwa taubat adalah maqamat pertama.[19]
2)
ﺍﻟﺯﻫﺩ ( zuhud
) diartikan sebagai keadaan meninggalkan dunia dan menjauhkan diri
dari hidup kebendaan.[20] Namun al-Gazali mengartikan zuhud
sebagai sikap mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh darinya
dengan penuh kesadaran.
3)
ﺍﻟﺻﺑﺮ ( sabar ),
secara harfiah berarti menahan. Menurut al-Gazali sabar adalah sebuah kondisi
mental dalam mengendalikan hawa nafsu yang tumbuhnya adalah atas
dorongan agama. Sabar yang dimaksud para sufi adalah konsekwen dan
konsisten dalam melaksanakan perintah Allah dan meniggalkan larangnannya,
tahan uji mengahdapi kesulitan dan cobaan yang ditimpakan kepadanya.[21]
4)
ﺍﻟﺗﻭﻛﻞ ( tawakkal
). Pengertian tawakkal secara umum adalah sikap pasrah secara total
setelah melaksanakan suatu usaha. Tawakkal juga berarti berpasrah
diri sepenuhnya kepada Allah SWT dalam menghadapi atau menunggu
pekerjaan. Menurut sufi tawakkal tidak cukup hanya sekedar penyerahan
diri seperti itu, tetapi lebih mendalam lagi dengan merefleksikannya
melalui sikap dan tindakan dalam segala hal.[22]
5)
ﺍﻟﺮﺿﺎ ( Ridha ),
secara harfiah ridha artinya rela. Sementara menurut
Harun Nasution ridha berarti menerima qadha dan qadar
Tuhan dengan senang hati. Untuk itu, semua perasaan benci di dalam hati
harus dibuang jauh-jauh sehingga yang tersisa ialah perasaan senang
dan gembira walaupun ditimpa mala petaka ia tetap senang dan ridha menerimanya
sebagaimana ketika ia mendapat rahmat dan nikmat.[23]
b. ﺍﻷﺣﻭﺍﻞ ( Ahwal )
Selain
maqamat, dalam tasawuf juga dikenal istilah ahwal. Ahwal merupakan
keadaan mental, seperti keadaan senang, perasaan sedih, perasaan takut
dan sebagainya.[24] Ahwal Juga diartikan sebagai
keadaan mental atau situasi kejiwaan yang diperoleh sufi sebagai karunia dari
Allah SWT. Ahwal sebenarnya manifestasi dari maqamat yang
dilalui oleh sufi sehingga ahwal sangat sulit untuk
dilukiskan secara informatif dan dideteksi secara logis, sebab ia
termasuk pengalaman rohani yang hanya diketahui oleh sufi yang yang
pernah mengalaminya. Karena itu ahwal sangat bersifat subjektif dan
personal.[25]
Dalam
tasawuf kemudian dikenal bermacam ahwal. Berikut penjelasannya:
1)
ﺍﻟﺧﻭﻑ merupakan sikap
mental dengan merasakan ketakutan pada Allah SWT, karena kurang sempurna
pengabdiannya dan atas kesalahan yang telah diperbuat. Takut dan khawatir
jika Allah SWT tidak senang padanya. Oleh karena itu, sufi selalu
berusaha agar perilakunya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah SWT.
Sikap seperti ini memberikan motivasi untuk berbuat baik dan
mendorong untuk menjauhi maksiat.[26]
2)
ﺍﻟﺮﺟﺎﺀ merupakan sikap
mental yang optimis dalam memperoleh karunia Ilahi. Allah yang maha
pengampun dan penyayang, maka sufi penuh ‘harap’ memperolah ampunan dan
limpahan rahmat. Sikap raja ini akan memberi semangat dalam riyadhah
dan mujahadah sehingga dengan penuh gairah menanti
harapan datangnya rahmat Allah SWT.[27]
3)
ﺍﻟﺷﻭﻖ :
Kondisi kejiwaan yang dirasakan oleh sufi untuk ingin bertemu dengan Tuhannya.
Hasratnya bergelora untuk selalu bersama dengan yang dikasihi. Dalam hal
ini, pengetahun, pemahaman, pengenalan yang sempurna dan mendalam pada
Allah SWT, menimbulkan rasa senang yang luar biasa dan bergairah yang
melahirkan cinta dan obsesi yang kuat untuk bertemu dengan Yang dicintai.[28]
4)
ﺍﻷﻧﺲ : yaitu
kedaan jiwa yang sepenuhnya terfookus kepda Alah SWT. Tidak merasa
tidak mengingat dan tidak mengharap kecuali kepada Alah SWT.[29]
Dari
penjelasan di atas, maka ddapat diketahui bahwa ahwal itu sebagai
kondisi mental yang sedang dirasakan dan dinikmati secara
damai dan intensif oleh sufi. Selanjutnya dapat diketahui bahwa
jalan yang harus ditempuh oleh sufi untuk mencapai tujuan memperoleh
hubungan batin dan “bersatu” dengan Tuhan bukanlah sesuatu cara
yang mudah.
Maqamat
dan ahwal memiliki
perbedaan dalam konsep dan penrapannya. Maqamat diperoleh
melalui usaha yang berat dan keadaan atau kondisinya tetap bersifat
stabil dan tidak berubah. Seperti kesabarnnya menerima cobaan sama saja
ketika menerima nikmat. Sikap hidupnya dapat dilihat dari prilaku
keseharian sufi seperti kesabaran, tawakkal, suzud dan kerrelaan. Sementara ahwal
diperoleh sebagai suatu anugrah, rahmat (bukan unsur usaha dan perjuangan),
keadannya bersifat labil dan tidak tetap, mudah berubah, (kadang merasa sedih,
kadang senang). Kondisi mental yang dirasakan bersifat abstrak (tidak
bisa dilihat orang lain), dan hanya bisa dirasakan dan dipahami serta
diketahui oleh orang yang mengalaminya.
Walaupun
keduanya mempunyai perbedaan, namun keduanya sangat berkaitan. Karena
keduanya mempunyai dua sisi yang sama dan sulit dipisahkan. Hal ini
disebabkan makin tinggi tingkat maqamat yang dicapai oleh
seorang sufi, maka semakin intens pula ahwal yang
diperolehnya dan dirasakannya.
3.
Kegunaan Ilmu Tasawuf
Pada
dasarnya hakikat Tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT. Melalui
penyucian diri dan perbuatan-perbuatan (amaliyah) Islam. Oleh karena itu,
beberapa tujuan Tasawuf adalah Ma’rifatullah (mengenal Allah secara mutlak dan
lebih jelas). Inti sari ajaran Tasawuf bertujuan memperoleh hubungan langsung
dengan Allah SWT. Sehingga seseorang akan merasa berada di hadirat-Nya.
Tasawuf
memliki tujuan yang baik yaitu kebersihan diri dan taqorrub kepada Allah SWT.
Namun, Tasawuf tidak boleh melanggar apa-apa ynag telah jelas diatur dalam
Al-Qur’an dan As-sunnah , baik dalam aqidah, pemahaman ataupun tata cara yang
dilakukan, Mustafa Zuhri mengatakan bahwa tujuan perbaikan akhlak itu, ialah
untuk membersihkan kalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga
hati menjadi suci dan bersih, bagaikan cermin yang dapat menerima Nur cahaya
Tuhan.
Ada
beberapa peran Tasawuf dalam kehidupan modern, antara lain:
a. Menjadikan manusia berkepribadian yang saleh dan berakhlak baik
b. Lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.
c. Sebagai obat mengatasi krisis kerohanian manusia (dekadensi moral)
.
Faedah
Tasawuf ialah membersihkan hati agar sampai kepada Ma’rifat Allah SWT. Sebagai
Ma’rifat yang sempurna untuk keselamatan diakhirat dan mendapatkan keridlaan
Allah SWT. Dan mendapat kebahagiaan abadi . Dengan adanya bantuan Tasawuf ,
maka ilmu pengetahuan satu dengan yang lainnya tidak akan bertabrakan, karena
ia berada dalam satu jalan dan satu tujuan . Juga Untuk memperoleh hubungan
langsung dan disadari denganTuhan, sehingga seseorang merasa berada di
hadirat-Nya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tasawuf pada umumnya merupakan usaha untuk
melaksanakan ajaran agama Islam secara murni dengan maksud untuk mendekatkan
dirai kepada Allah SWT. dengan cara menempuh kehidupan zuhud, menghindari
gemerlap kehidupan dunia, rela hidup dalam keprihatinan, melakukan berbagai
jenis amalan ibadah, melaparkan diri, mengerjakan shalat malam, dan
melakukan berbagai jenis wirid sampai fisik atau dimensi jasmani
seseorang menjadi lemah dan dimensi jiwa atau ruhani menjadi kuat.
Embrio munculnya praktek sufi dan ajaran tasawuf dalam
Islam telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah SAW. dan para sahabatnya. Dan
menjadi sebuah gerakan yang terperinsip dan menjadi sebuah cabang keilmuan pada
akhir abad ke II Hijriyah.
Maqamat
berarti tingkatan, atau tahapan, atau jalan panjang yang harus dilewati
oleh sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah SWT. Tingkatan
tersebut berupa atau berbentuk sikap hidup yang nampak kelihatan
dan tercermin dalam perilaku akhlak yang mulia. Dan Ahwal diartikan
sebagai keadaan mental atau situasi kejiwaan yang diperoleh sufi sebagai
karunia dari Allah SWT.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari
kesempurnaan, masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam bahasanya,
materi dan penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik,
saran dan masukan yang dapat membangun penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Asmaran AS, 1994. Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta:
PT. Raja Grafindo,.
Hamka, 1960. Tasawuf Dari Masa ke Masa, Jakarta:
Pustaka Islam,
Ibrahim, Muhammd Zaki, 2002. Abjadiyyah
al-Tashawwuf al-Islam, terj. Abdul Syukur dan Rivai Usman, Tasawuf
Salafi, Cet. I; JAkarta: Hikmah,.
Kalsum, Ummu, 2002 Ilmu Tasawuf, Cet.
II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar.
Madjid, Nurcholis, 1992. Islam Doktrin
dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
Nasution, Harun, 1995. Falsafah dan
Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Rondon, 1995. Tashawwuf dan Aliran
Kebatinan: Suatu Perbandingan antara Aspek-Aspek Mistik Jawa, Cet. II;
Yogyakarta: LESFI.
Siregar, H. A. Rivay, 2002. Tasawuf Dari Sufisme
Klasik ke Neo-Sufisme, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, 1993. Ensiklopedi
Islam, Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, jilid 5.
[1] H. A.
Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Cet. II;
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 36
[2] Ibid. h. 37
[3] Ummu
Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar,
2002), h.30
[4] Tim
Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ictiar Baru
Van Hoeve, jilid 5, 1993, h. 127
[5] Ibid. h. 141
[6] Ummu
Kalsum, op. cit. h. 31
[7] Ibid.
[8] Hamka, Tasawuf
Dari Masa ke Masa, Jakarta: Pustaka Islam, 1960, h. 61
[9] Nurcholis
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 1992, h. 256.
[10] Ummu
Kalsum, op. cit., h. 34
[11] Muhammd
Zaki Ibrahim, Abjadiyyah al-Tashawwuf al-Islam, terj. Abdul Syukur dan
Rivai Usman, Tasawuf Salafi, (Cet. I; JAkarta: Hikmah, 2002), h. 23.
[12] Rondon, Tashawwuf
dan Aliran Kebatinan: Suatu Perbandingan antara Aspek-Aspek Mistik Jawa, (Cet.
II; Yogyakarta: LESFI, 1995), h. 15
[13] Ummu
Kalsum, op. cit., 36.
[14] Ibid
[15] Asmaran
AS, Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1994, h. 46
[16] H. A.
Rivay Siregar, op. cit., h. 52.
[17] Harun
Nasution, Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1995, h. 62
[18] Harun
Nasution, op. cit., h. 102.
[19] Ummu
Kalsum, op. cit., h. 64
[20] Ibid. h. 65
[21] Harun
Nasution, op. cit., h. 68
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Harun
Nasution, op. cit., h 63
[25] Ummu
Kalsum. op. cit., h. 71
[26] Ibid. h. 71
[27] Harun
Nasution, op. cit., h. 73
[28] Ibid. h. 75
[29] Ummu
Kalsum, loc. cit.
No comments:
Post a Comment