Makalah Hadits Tarbawi

KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya penulis dapat menyusun makalah ini yang berjudul “Peduli Lingkungan” Sholawat serta salam penulis sanjung agungkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman kegelapan sampai terang benderang sekarang ini. Makalah ini dibuat selain untuk melengkapi tugas mata kuliah “Hadits Tarbawi” juga memberi wawasan bagi pembaca dan penulis khususnya.
Makalah ini berusaha untuk menyajikan pengetahuan dan penjabaran tentang perkembangan seni dan budaya  yang bermanfaat bagi pembaca dan khususnya bagi penulis.
Penulis menyadari makalah ini jauh dari sebuah kesempurnaan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun bagi penulis agar menjadi pelajaran yang berharga khususnya bagi penulis dan pembaca.


Way Jepara,      Maret 2012

   Penulis










BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukkan pribadi manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi manusia menurut ukuran normatif. Disisi lain proses perkembangan dan pendidikan manusia tidak hanya terjadi dan dipengaruhi oleh proses pendidikan yang ada dalam sistem pendidikan formal (sekolah) saja. Manusia selama hidupnya selalu akan mendapat pengaruh dari keluarga, sekolah, dan masyarakat luas. Ketiga lingkungan itu sering disebut sebagai tripusat pendidikan. Dengan kata lain proses perkembangan pendidikan manusia untuk mancapai hasil yang maksimal tidak hanya tergantung tentang bagaimana sistem pendidikan formal dijalankan. Namun juga tergantung pada lingkungan pendidikan yang berada di luar lingkungan formal. Salah satu yang memungkinkan proses kependidikan islam berlangsung secara konsisten dan berkesenambungan dalam rangka mencapai tujuannya adalah institusi atau kelembagaan pendidikan islam adalah institusiatau lembaga dimana lembaga itu berlangsung. Namun demikian, dapat di pahami bahwa lingkungan tarbiyah islamiyah itu adalah suatu lingkungan yang didalamnyan terdapat ciri-ciri keislaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan islam dengan baik.

B.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang ada, maka dapat diambil sebuah rumusan masalah sederhana sebagai berikut:
1.      Apa yang di maksud dengan lingkungan pendidikan?
2.      Apa tafsir dari Q.S, Asy-Syur’ara ayat 18?
3.      Apa tafsir dari Q.S, Al-Kahfi ayat 46?
4.      Bagaimana tafsir dari Q.S, Al-Tahrim ayat 6?
5.      Bagaimana tafsir dari Q.S, An-Nuur ayat 59?



C.  Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini diantaranya bertujuan untuk:
1.    Agar mengetahui dan memahami pengertian dari lingkungan pendidikan.
2.    Agar mengetahui dan memahami penafsiran dari Q.S, Asy-Syur’ara ayat 18.
3.    Agar memahami panafsiran dari Q.S, Al-Kahfi ayat 46.
4.    Agar mampu memahami dan menganalisis tafsir dari Q.S, At-Tahrim ayat 6.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Lingkungan Pendidikan
Pendidikan adalah usaha yang dijalankan seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.Pengertian pendidikan menurut para ahli :
1.    langeveld
Pendidikan lingkungan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju pada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri.
2.    John Dewey
Pendidikan lingkungan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesame manusia.
3.    Ki Hajar Dewantara
Pendidikan lingkungan adalah tuntunan didalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak itu, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
4.    Prof. Dr. Emil Salim
Lingkungan hidup adalah segala benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati dan mempengaruhi hal-hal yang hidup termasuk kehidupan manusia.

Pendidikan dalam arti luas adalah segala pengalaman belajar diberbagai lingkungan yang berlangsung sepanjang hayat dan berpengaruh posotif bagi perkembangan individu. Pendidikan dalam arti sempit identik dengan kegiatan belar mengajar di sekolah ( Schooling ), yaitu pendidikan yang dilakukan secara sadar , terencana, terarah, memiliki tujuan serta terkontrol secara formal dan berlaku bagi mereka yang menjadi siswa pada suatu sekolah atau Mahasiswa pada Perguruan Tinggi. Menurut UU SPN No.20 Tahun 2003 “ Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dalam proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlakul karimah, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, Masyarakat, bangsa dan negara”.
 Lingkungan adalah kesatuan ruang dengan segala makhluk hidup maupun makhluk tak hidup dan daya serta manusia dengan semua perilakunya yang saling berhubungan secara timbal balik, jika ada perubahan pada salah satu komponen maka akan mempengaruhi komponen yang lainnya.[1]

B.     Pandangan Islam Mengenai Lingkungan Pendidikan
Manusia adalah “makhluk sosial”. Hal ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang hal tersebut. Khalaqa al-insaana min ‘alaq bukan hanya diartikan sebagai “menciptakan manusia dari segumpal darah” atau “sesuatu yang berdempet di dinding rahim”, akan tetapi juga dapat dipahami sebagai “diciptakan dinding dalam keadaan selalu bergantung kepada pihak lain atau tidak dapat hidup sendiri”.[2]
 Dari hal itu dapat dipahami bahwa manusia dengan seluruh perwatakan dan pertumbuhannya adalah hasil pencapaian dua faktor, yaitu faktor warisan dan faktor lingkungan. Faktor inilah yang mempengaruhi manusia dalam berinteraksi dengannya semenjak ia menjadi embrio hingga akhir hayat. Kemudian, lingkungan yang nyaman dan mendukung bagi terselenggaranya suatu pendidikan sangat dibutuhkan dan turut berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan yang diinginkan. Demikian pula dalam sistem pendidikan Islam, lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam itu sendiri.
Meskipun lingkungan tidak bertanggung jawab terhadap kedewasaan anak didik, namun lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan dan pengaruhnya sangat besar terhadap anak didik. Sebab, bagaimanapun seorang anak tinggal dalam suatu lingkungan, disadari atau tidak, lingkungan tersebut akan mempengaruhi anak tersebut.
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan ‘fitrah’. Namun, kedua orang tuanya(mewakili lingkungan) mungkin dapat menjadikannya beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Hal ini menunjukkan bahwa Islam mengakui potensi lingkungan yang pengaruhnya dapat sangat kuat sehingga sangat mungkin dapat mengalahkan fitrah.
Lingkungan yang buruk dapat merintangi pembawaan yang baik, tetapi lingkungan yang baik tidak dapat menjadi pengganti sesuatu pembawaan yang baik. Daerah yang penuh kejahatan dan kesempatan latihan yang kurang, akan menimbulkan kebiasaan-kebiasaan yang buruk dan akan membatasi prestasi seseorang yang memiliki kemampuan. Begitu juga lingkungan yang baik tidak dapat menjadikan orang-orang yang lemah pikiran menjadi orang yang pandai atau orang yang tidak berbakat menjadi berbakat, walaupun diakui dan tidak diragukan lagi bahwa lingkungan yang baik, latihan-latihan yang baik akan membantu memperbaiki tingkahlaku dan mendapat tempat di masyarakat.[3]

Adapun mengenai hadits Rosulullah S.a.w tentang peduli lingkungan ini banyak sekali, salah satu diantaranya sebagai berikut :
1.      Larangan Menelantarkan Lahan
حَدِيْثُ جَابِرِ ابْنِ عَبْدِ اللهِ رضى الله عنهما, قَالَ : كَانَتْ لِرِجَالٍ مِنَّا فُضُوْلُ اَرَضِيْنَ, فَقَالُوْا نُؤَاجِرُهَا بِالثُّلُثِ وَالرُّبُعِ وَالنِّصْفِ, فَقَالَ النَّبِىُّ ص.م. : مَنْ كَانَتْ لَهُ اَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا اَوْلِيَمْنَحْهَا اَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ.
Hadist Jabir bin Abdullah r.a. dia berkata : Ada beberapa orang dari kami mempunyai simpanan tanah. Lalu mereka berkata: Kami akan sewakan tanah itu (untuk mengelolahnya) dengan sepertiga hasilnya, seperempat dan seperdua. Rosulullah S.a.w. bersabda: Barangsiapa ada memiliki tanah, maka hendaklah ia tanami atau serahkan kepada saudaranya (untuk dimanfaatkan), maka jika ia enggan, hendaklah ia memperhatikan sendiri memelihara tanah itu. “ (HR. Imam Bukhori dalam kitab Al-Hibbah)
Selain dari hadits diatas, ada juga bersumber dari Abu Hurairah r.a. dengan lafazd sebagai berikut :
حَدِيْثُ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قال: قال رسول الله عليه وسلم : مَنْ كَانَتْ لَهُ اَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا اَوْلِيَمْنَحْهَا اَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ.(اخرجه البخارى فى كتاب المزاعة)
Antara kedua tersebut terdapat persamaan, yaitu masing-masing ditakhrijkan oleh Imam Bukhori. Sedangkan perbedaannya adalah sumber hadits tersebut dari Jabir yang diletakkan dalam kitab Al-Hibbah yang satunya bersumber dari Abu Hurairah dan diletakkan dalam kitab Al-Muzara’ah.
Dari ungkapan Nabi S.a.w. dalam hadits diatas yang menganjurkan bagi pemilik tanah hendaklah menanami lahannya atau menyuruh saudaranya (orang lain) untuk menanaminya. Ungkapan ini mengandung pengertian agar manusia jangan membiarkan lingkungan (lahan yang dimiliki) tidak membawa manfaat baginya dan bagi kehidupan secara umum. Memanfaatkan lahan yang kita miliki dengan menanaminya dengan tumbuh-tumbuhan yang mendatangkan hasil yang berguna untuk kesejahteraan pemiliknya, maupun bagi kebutuhan konsumsi orang lain. Hal ini merupakan upaya menciptakan kesejahteraan hidup melalui kepedulian terhadap lingkungan. Allah S.w.t. telah mengisyaratkan dalam Al-Qur’an supaya memanfaatkan segala yang Allah ciptakan di muka bumi ini. Isyarat tersebut seperti diungkapkan dalam firman-Nya:

“ Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu semua.” (Qs. Al-Baqoroh : 29)
Dalam hadits dari Jabir di atas menjelaskan bahwa sebagian para sahabat Nabi S.a.w. memanfaatkan lahan yang mereka miliki dengan menyewakan lahannya kepada petani. Mereka menatapkan sewanya sepertiga atau seperempat atau malahan seperdua dari hasil yang didapat oleh petani. Dengan adanya praktek demikian yang dilakukan oleh para sahabat, maka Nabi meresponnya dengan mengeluarkan hadits diatas, yang intinya mengajak sahabat menanami sendiri lahannya atau menyuruh orang lain mengolahnya apabila tidak sanggup mengolahnya. Menanggapi permasalahan sewa lahan ini, para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya.
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid menjelaskan bahwa segolongan fuqoha tidak membolehkan menyewakan tanah. Mereka beralasan dengan hadits Rafi’ bin Khuday yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab Al-Muzara’ah :
اَنَّ النَّبِى ص.م. نَهَى عَنْ كَرَاءِ الْمَزَارَعِ. (رواه البخارى)
Bahwasanya Nabi S.a.w. melarang menyewakan lahan “ (HR. Bukhori)
Sedangkan jumhur ulama membolehkan, tetapi imbalan sewanya haruslah dengan uang (dirham atau dinar) selain itu tidak boleh. Ada lagi yang berpendapat boleh dengan semua barang, kecuali makanan termasuk yang ada dalam lahan itu. Berbagai pendapat yang lain seperti yang dikemukakan Ibnu Rusyd bahwa dilarang menyewakan tanah itu lantaran ada kesamaran didalamnya. Sebab kemungkinan tanaman yang diusahakan di atas tanah sewaan itu akan tertimpa bencana, baik karena kebakaran atau banjir. Dan akibatnya si penyewa harus membayar sewa tanpa memperoleh manfaat apapun daripadanya.
Terkait dengan hadits diatas, disini Rosulullah S.a.w. juga bersabda dalam kitab Al-Lu’lu’ wal Marjan tentang menyerahkan tanah kepada orang untuk dikerjakan kemudian memberikan sebagian hasilnya :
حَدِيْثُ ابْنُ عُمَرَ رضى الله عنه, اَنَّ النَّبِىَ ص.م. عَامَلَ خَيْبَرَ بِشَرْطٍ مَايَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرْعٍ, فَكَانَ يُعْطِى اَزْوَاجَهُ مِائَةَ وِسْقٍ: ثَمَانُوْنَ وِسْقَ تَمْرٍ, وَعِشْرُوْنَ وِسْقَ شَعِيْرٍ : فَقَسَمَ عُمَرُ خَيْبَرَ فَخَيَّرَ اَزْوَاجَ النَّبِىِّ ص.م. اَنْ يُقْطِعَ لَهُنَّ مِنَ الْمَاءِ وَالاَرْضِ اَوْ يُمْضِىَ لَهُنَّ فَمِنْهُنَّ مَنِ اخْتَارَ الاَرْضَ وَمِنْهُنَّ مَنِ اخْتَارَ الوَسْقَ, وَكَانَتْ عَائِشَةُ اخْتَارَتِ الاَرْضَ. (اخرجه البخارى)
Ibnu Umar r.a. berkata : Nabi S.a.w. menyerahkan sawah ladang dan tegal di khaibar kepada penduduk Khaibar dengan menyerahkan separuh dari penghasilannya berupa kurma atau buah dan tanaman, maka Nabi S.a.w. memberi istri-istrinya seratus wasaq (1 wasaq=60 sha’. 1 sha’ =4 mud atau 2 ½ Kg), delapan puluh wasaq kurma tamar, dan dua puluh wasaq sya’er (jawawut). Kemudian dimasa Umar r.a. membebaskan kepada istri-istri Nabi S.a.w. untuk memilih apakah minta tanahnya atau tetap minta bagian wasaq itu, maka diantara mereka ada yang memilih tanah dan ada yang minta bagian hasilnya berupa wasaq.”
 (HR. Bukhori)



[1] Wayudin, Din Dkk. Pengantar Pendidikan, (Jakarta : Universitas Terbuka, 2004).Hal 3.1
[2] Uhbiyati nur, ilmu pendidikan islam, (Bandung : Pustaka Setia),  hal 212
[3] .blogspot.com/2010/12/lingkungan-pendidikan-islam.html
[4]Ibnu Katsier, Tafsir Ibnu Katsier Jilid 6, ( Surabaya: Bina Ilmu, 1990 ), hal 41-42
[5] As-Syur”ara ayat 18.
[6] Syaikh imam, Tafsir Al Qurthubi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hal 231-232
[7] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, ( Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal 69
[8] Syaikh Imam, Tafsir al-Qurthubi, ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hal 1050-1051
[9] Lih. Asy-Syarh Al-Mumti’ ala Zad Al Mustaqni’ oleh syaikh Utsaimin juz.13 hal.217
[10] Ibnu Katsier, Tafsir Ibnu Katsier, ( Surabaya: Bina Ilmu, 2003), hal 163-164
[11] Qs. An-Nuur [24]:59
[12] Syaikh Imam, Tafsir al-Qurthubi, ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hal 772.
[13] Mahali,A.Mujab. Asbabun nuzul, ( Jakarta: Raja Grafindo, 2002), hal 626.


No comments:

Post a Comment