Makalah Sidik Jari dalam Pidana

PENDAHULUAN
Penegakan hukum di dalam sistem peradilan pidana bertujuan untuk menanggulagi setiap kejahatan. Bahwa yang dimaksud sistem peradilan pidana ialah suatu sistem berprosesnya suatu peradilan pidana, dimana masing-masing komponen fungsi yang terdiri dari kepolisian sebagai penyidik, kejaksaan sebagai penuntut umum, pengadilan sebagai pihak yang mengadili dan lembaga pemasyarakatan yang berfungsi untuk memasyarakatkan kembali para terhukum, yang bekerja secara bersama-sama, terpadu dalam usaha untuk mencapai tujuan bersama yaitu untuk menanggulangi kejahatan.
Dengan adanya Undang Undang Kepolisian No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka tiap anggota Kepolisian harus membekali diri baik keterampilan ataupun pengetahuan sesuai dengan tugas yang diembannya, dalam hal ini penyidik mempunyai peran yang sangat penting dalam mengidentifikasi seseorang, baik seseorang itu sebagai penjahat ataupun korban untuk menemukan identitas diri seseorang tersebut.
Dalam ilmu tentang sidik jari (Daktiloskopi) menyebutkan bahwa tidak ada manusia yang mempunyai sidik jari yang sama dan tidak akan berubah seumur hidupnya. Karena sifatnya yang permanen maka sidik jari seseorang dipergunakan sebagai sarana yang mantap dan meyakinkan untuk menentukan jati diri seseorang. pengambilan dan pengumpulan sidik jari tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang, melainkan benar-benar dilakukan oleh tenaga ahli yang dalam hal ini adalah pihak Kepolisian.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1) Bagaimanakah peranan identifikasi sidik jari sebagai alat bukti? 2) Bagaimanakah hak kepolisian dalam mengesampingkan tindak pidana? 3) Bagaimanakah kendala penyidik dalam menemukan alat bukti sidik jari dalam penyidikan? Tujuan dari penelitian ini adalah 1) Untuk mengetahui peranan identifikasi sidik jari sebagai alat bukti; 2) Untuk mengetahui hak kepolisian dalam mengesampingkan tindak pidana; 3) Untuk mengetahui kendala penyidik dalam menemukan alat bukti sidik jari dalam penyidikan.
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini ada tiga. Pertama, manfaat teoritis: penulis berharap dengan penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan tentang sidik jari pada umumnya dan Kepolisian pada khususnya. Kedua, manfaat praktis: untuk memberikan masukan bagi aparat keamanan khususnya Kepolisian dalam rangka memberikan pengetahuan tentang peranan identifikasi dalam mengungkap tindak pidana dan hambatan yang terjadi dalam melakukan identifikasi sehubungan dengan terjadinya tindak kejahatan. Ketiga, manfaat historis: untuk memberikan gambaran tentang perkembangan pengetahuan mengenai identifikasi sehingga bermanfaat bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan bagi Kepolisian pada khususnya.
Kerangka Teori
Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das solen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua aspek penting, yaitu aspek statis (nomostatics) yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek dinamis (nomodinamic) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu. Hukum adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules) tentang perilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada satu aturan tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memiliki suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem. Konsekuensinya, adalah tidak mungkin memahami hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja.
Pendapat para sarjana mengenai pembagian tugas-tugas negara ini diilhami oleh kenyataan historis bahwa pemusatan kekuasaan negara pada satu tangan atau satu lembaga telah membawa bencana bagi kehidupan demokrasi dan kemasyarakatan. Oleh karena itu kekuasaan negara perlu dipencarkan atau dipisahkan. Pentingnya pemencaran dan pemisahan kekuasaan inilah yang kemudian melahirkan teori pemisahan kekuasaan atau teori pemencaran kekuasaan (spreading van machten of machtensscheiding). Adalah John Locke yang dianggap pertama kali mengintrodusir ajaran pemisahan kekuasaan negara, dengan membaginya menjadi kekuasaan legislatif (membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang), dan kekuasaan federatif (keamanan dan hubungan luar negeri).
Ajaran pemisahan kekuasaan ini menjadi kian popular segera setelah seorang ahli berkebangsaan Prancis Montesquieu menerbitkan buku “L’Esprit des Lois” (The spirit of the law), yang di dalamnya terdapat ajaran pemisahan kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif (membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang), kekuasaan yudikatif (mengadili pelanggar undang-undang). Meskipun dalam perkembangannya dalam pemisahan kekuasaan ini mendapat berbagai modifikasi terutama melalui ajaran pembagian kekuasaan (machtsverdeling atau distribution of power), yang menekankan pentingnya pembagian fungsi bukan pembagian lembaga, dan ajaran check and balance yang menekankan pentingnya hubungan saling mengawasi dan mengendalikan antar lembaga negara, akan tetapi esensi bahwa kekuasaan negara itu harus dibagi atau dipisah masih tetap relevan hingga kini.
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas memelihara keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 alinea empat yang berbunyi: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
POLRI harus menjadi satu kekuatan mandiri tanpa intervensi dari mana pun yang garis hirarkinya langsung kepala negara sesuai konsep manajemen tata negara modern. Konsep ini sudah diperkenalkan oleh pakar tata negara Belanda Van Volenhoven dengan teorinya yang terkenal “Catur Praja”. Negara akan kuat jika 4 pilarnya kuat, 4 pilar itu adalah Eksekutif (Pelaksana UU), Legislatif (Pembuat UU), Yudikatif (Penegak UU), dan Kepolisian (Pemaksa UU). Visi POLRI adalah POLRI yang mampu menjadi pelindung pengayom dan pelayan masyarakat yang selalu dekat dan bersama-sama masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang profesional dan proposional yang selalu menjunjung tinggi supermasi hukum dan hak azasi manusia, Pemelihara keamanan dan ketertiban serta mewujudkan keamanan dalam negeri dalam suatu kehidupan nasional yang demokratis dan masyarakat yang sejahtera.  
Metode Penelitian
Jenis penelitian merupakan yuridis empiris yang bersifat deskriptif analisis. Pendekatan penelitian menggunakan jenis pendekatan kualitatif. Sifat penelitiannya adalah deskriptif. Sumber data yang digunakan yaitu, 1) Data primer berupa studi pustaka/dokumen dan atau wawancara; 2) Data sekunder, berupa (a) Bahan hukum primer: UUD 1945, KUHP, KUHAP, UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No. 48 Tahun 2009 tentang  Kekuasaan Kehakiman; (b) Bahan Hukum Sekunder: hasil karya ilmiah dari kalangan hukum, artikel, koran dan internet serta bahan lain yang berkaitan dengan pokok bahasan; (c) Bahan Hukum Tertier: kamus hukum, kamus besar bahasa Indonesia.
Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka dan wawancara. Tehnik analisis data peneliti menggunakan  model  analisis interaktif (interaktif model of analisis), yaitu data yang dikumpulkan akan dianalisa melalui tiga tahap, yaitu mereduksi data, menyajikan data dan menarik kesimpulan.
Sistem Peradilan Pidana
Bahwa yang dimaksud sistem peradilan pidana ialah suatu sistem berprosesnya suatu peradilan pidana, dimana masing-masing komponen fungsi yang terdiri dari kepolisian sebagai penyidik, kejaksaan sebagai penuntut umum, pengadilan sebagai pihak yang mengadili dan lembaga pemasyarakatan yang berfungsi untuk memasyarakatkan kembali para terhukum, yang bekerja secara bersama-sama, terpadu dalam usaha untuk mencapai tujuan bersama yaitu untuk menanggulangi kejahatan.
Kebijakan kriminal bukan sekedar sebagai hasil perumusan bersama, tetapi juga sebagai hasil dari berbagai kewenangan dalam negara yang bekerjasama dalam menanggulangi masalah kriminalitas. Dimulai dari pembuat undang-undang yang menyediakan aturan-aturan hukum pidana serta wewenang maupun pembatasan dalam melaksanakan aturan hukum tersebut. Kemudian Kepolisian dan kejaksaan yang merupakan pelaksana aturan hukum itu dalam proses penyidikan dan penuntutan. Selanjutnya pengadilan sebagai penguji kebijakan penyidikan dan penuntutan yang menentukan apakah benar terdapat alasan untuk memidana pelaku kejahatan. Dan akhirnya, lembaga pemasyarakatan sebagai pelaksana pidana mempunyai kebijakan tersendiri dalam merawat atau memperbaiki terpidana dan mengusahakannya untuk kembali kemasyarakat sebagai warga yang diterima.
Peranan polisi dalam penegakan hukum dapat ditemukan didalam perundang-undangan yang mengatur tentang hak dan kewajiban polisi yaitu Undang Undang No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tugas-tugas Polisi prefentif bersifat mencegah, mengatur atau melakukan tindakan-tindakan yang berupa usaha, kegiatan demi terciptanya keamanan, ketertiban, kedamaian dan ketenangan didalam masyarakat. Usaha-usaha yang dilakuakan Polisi itu berupa kegiatan patroli, penyuluhan, pantauan dan pertolongan pada masyarakat dimana bila dikaitkan dengan undang-undang disebut dengan pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat. Tugas-tugas prefentif ini lebih berorientasi pada kesejahteraan masyarakat umum. Tugas polisi represif lebih berorientasi pada penegakan hukum pidana yang bersifat menindak terhadap para pelanggar hukum untuk selanjutnya diproses dalam sistem peradilan pidana sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku baik dalam KUHAP maupun peraturan perundang-undangan lainnya.
Identifikasi
Dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf (h) Undang Undang No. 2 Tentang Kepolisian Republik Indonesia, bahwa salah satu tugas Kepolisian adalah menyelenggarakan identifikasi Kepolisian, Kedokteran Kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi Kepolisian untuk kepentingan tugas Kepolisian. Penyelenggaraan identifikasi Kepolisian dimaksudkan untuk kepentingan penyidikan tindak pidana dan pelayanan identifikasi non-tindak pidana bagi masyarakat dan instansi lain dalam rangka pelaksanaan fungsi Kepolisian.
Identifikasi secara harfiah adalah berasal dari kata to Identify artinya mengenal kembali. Identity artinya ciri-ciri. Dalam perkembangan identifikasi diartikan sebagai pengenalan kembali terhadap seseorang, benda atau hewan dengan cara mengenali melalui ciri-ciri yang ada pada orang atau hewan dan  benda  tersebut. Dalam ilmu kriminalistik dan ilmu-ilmu forensik istilah Identifikasi mengandung pengertian “Usaha mencari sejumlah persamaan suatu makluk (manusia, benda dan hewan) dengan membandingkannya dengan makluk lain, dengan maksud mencari persamaan atau sejumlah persamaan antara kedua makluk itu.”
Pengertian dan Ruang Lingkup Sidik Jari
Ilmu yang mempelajari tentang sidik jari adalah Daktiloskopi yang berasal dari dua kata Yunani yaitu Dactilos yang berarti jari jemari/garis-garis jari dan Scopein berarti mengamati/meneliti. Penyelenggaraan Daktiloskopi adalah kegiatan mencari, menemukan, mengambil, merekam, mengamati, mempelajari, mengembangkan, merumuskan, mendokumentasikan, mencari kembali dokumen, dan membuat keterangan sidik jari seseorang. Kegiatan pelaksanaan dari hal tersebut diatas dilakukan oleh orang yang ahli dalam teknis identifikasi sidik jari atau yang biasa dikenal dengan petugas unit identifikasi sidik jari.
Sidik jari sendiri merupakan hasil reproduksi tapak jari, baik yang sengaja diambil atau dicapkan dengan tinta khusus sidik jari maupun bekas yang ditinggalkan pada benda karena pernah tersentuh dengan kulit telapak tangan maupun kaki. dalam sidik jari untuk keperluan pendataan dikenal dengan istilah Data Sidik yaitu rekaman jari tangan atau telapak kaki yang terdiri atas kumpulan alur  garis-garis  halus dengan pola tertentu. Dalam pembahasan tesis ini hanya mengarah pada sidik jari telapak tangan.
Hasil Penelitian Dan Pembahasan
A.        Peranan Identifikasi Sidik Jari sebagai Alat Bukti
Diera yang serba canggih dan modern seperti saat ini, POLRI dituntut untuk berkembang mengikuti kemajuan teknologi dan perkembangan. Dengan semakin meningkatkan keakuratan alat bukti yang dimilikinya. Terutama sidik jari dalam tindakan pidana pembunuhan.
Adapun langkah-langkah penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dimulai dari mendatangi tempat kejadian perkara, memeriksa apa yang telah dilakukan penjahat, pemotretan dan pembuatan sketsa, pencarian alat-alat bukti yang tertinggal terutama alat-alat fisik seperti bekas sidik jari yang dimungkinkan pada alat-alat tersebut, pemeriksaan saksi atau korban kalau hidup dan orang-orang yang dianggap dapat memberikan keterangan, pencarian dan pengerjaan serta penangkapan dan penahanan para tersangka sampai dengan penyerahan berkas berita acara kepada penuntut umum/kejaksaan.
Tindak kejahatan yang terjadi di Indonesia pada umumnya masih sering meninggalkan sidik jari pelaku, kecuali dalam kejahatan-kejahatan yang benar-benar telah direncanakan oleh pelaku yang tentunya telah professional dalam melakukan tindak kejahatan. Oleh karena itu ketelitian dan keuletan penyidik dalam menemukan sidik jari pelaku yang tertinggal di TKP sangatlah diperlukan. Pada umumnya sidik jari yang tertinggal pada TKP merupakan jenis sidik jari latent dan memerlukan pengembangan terlebih dahulu untuk membuatnya menjadi lebih jelas yang kemudian bisa menjadi bukti ataupun petunjuk untuk pengenalan kembali pada pelaku tindak pidana.
Setelah sidik jari latent ditemukan di TKP, maka akan dicocokan dengan sidik jari tersangka atau orang yang dicurigai. Sebelum sidik jari latent yang ditemukan di tempat kejadian perkara dibandingkan dengan sidik jari tersangka atau sidik jari yang tersimpan di file yang tersimpan di data base Kepolisian atas nama orang tertentu, terlebih dahulu sidik jari latent tersebut dibandingkan dengan sidik jari orang-orang yang secara sah telah memegang sesuatu di TKP. Hal ini untuk mencocokkan sidik jari latent yang ditemukan di TKP guna mencari ada atau tidaknya sidik jari asing (diduga pelaku) dalam tempat kejadian perkara tersebut. Orang-orang yang dimaksud sah telah memegang sesuatu di TKP adalah orang-orang mempunyai kepentingan dalam TKP sebelum adanya laporan kehilangan, hal ini akan berpengaruh besar dalam penyidikan untuk mengetahui identitas pelaku, yaitu apakah pelaku berasal dari luar lingkungan atau dari dalam lingkungan.
Ada tiga bentuk sidik jari yaitu busur (arch), sangkutan (loop), dan lingkaran (whorl). Bentuk pokok tersebut terbagi lagi menjadi beberapaa sub-group yaitu bentuk busur terbagi menjadi plain arch dan tented arch, bentuk sangkutan terbagi menjadi Ulnar loop dan Radial loop, sedangkan bentuk lingkaran terbagi menjadi Plain whorl, Central pocket loop whorl, Double loop whorl dan Accidental whorl. Perbedaan utama dari ketiga bentuk pokok tersebut terletak pada keberadaan core dan delta pada lukisan sidik jarinya.
Pada umumnya sidik jari latent berdampingan satu sama lain (letaknya berdampingan/kombinasi), guna mempermudah pemeriksaan harus ditentukan terlebih dahulu dari jari/tangan manakah jari latent tersebut berasal, kemudian sidik jari latent atau sidik jari yang dicurigai diletakkan berdampingan dengan sidik jari yang diketahui pada Fingerprint Comparator kemudian dengan menggunakan peralatan tersebut di atas  dimulai membandingkan kedua sidik jari tersebut. Dalam pemeriksaan perbandingan tersebut harus selalu dimulai dari sidik jari latent (sidik jari yang dicurigai) ke sidik jari yang diketahui, dan tidak boleh sebaliknya. Langkah selanjutnya adalah menentukan apakah kedua sidik jari tersebut mempunyai bentuk pokok lukisan yang sama, kemudian melihat aliran garis-garis papiler antara kedua sidik jari tersebut serta mencari titik persamaan yang cukup yang dapat menunjukkan bahwa kedua sidik jari tersebut (latent dan yang diketahui) berasal dari yang sama (identik).
Dari pengertian Pasal 183 KUHAP, Hakim di dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang dapat menambah keyakinan Hakim di pengadilan, dalam KUHAP Pasal 184 ayat (1) Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; dan e. keterangan terdakwa. Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa “keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di bidang pengadilan”. Jadi, pasal tersebut tidak menjawab siapa yang disebut ahli dan apa itu keterangan ahli.
Kemajuan tekhnologi dalam menunjang tugas Kepolisian dalam mengumpulkan sidik jari sangat besar manfaatnya, seperti sistem INAFIS (Indonesia Automatic Fingerprint Identification System) yang merupakan sebuah sistem identifikasi sidik jari yang memiliki pusat data serta yang merekam setiap individu warga negara Indonesia tak terkecuali bayi begitu lahir maka segera terekam ke dalam INAFIS. Seluruh sidik jari akan disimpan ke dalam database sidik jari nasional dan akan menunjang program KTP nasional yang memiliki single identification number (SIN) atau nomor induk kependudukan (NIK). Setiap warga akan memiliki kartu yang benar-benar cerdas karena chips yang terbenam di dalam kartu merekam seluruh biodata kehidupan pemegang kartu dan catatan tindak kriminal yang pernah dilakukan. Diharapkan dengan tehnologi tersebut akan mempercepat tugas Kepolisian untuk melaksanakan tugasnya dalam mengungkap tindak pidana.
B.         Hak Kepolisian dalam Mengesampingkan Tindak Pidana
Sebagai penegak hukum, Polisi masuk dalam jajaran sistem peradilan pidana, sebagai salah satu subsistem. Subsistem yang lain adalah Kejaksaan, Kehakiman, dan Pemasyarakatan. Dalam sistem peradilan pidana, Polisi merupakan pintu gerbang untuk dapat atau tidaknya seseorang masuk dalam peradilan pidana. Dari sinilah segala sesuatunya dimulai. Posisi awal ini menempatkan Polisi pada posisi yang tidak menguntungkan.
Penyidikan dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang pada tahap pertama harus dapat memberikan keyakinan, walaupun sifatnya masih sementara, kepada penuntut umum tentang apa yang sebenarnya terjadi atau tentang tindak pidana yang telah dilakukan serta siapa tersangkanya. Status Polisi sebagai penyidik utama di dalam sistem peradilan pidana atau sebagai pintu gerbang di dalam proses menempatkan Polisi sebagai tempat menerima dan mendapatkan segala macam persoalan pidana. Tidak jarang Polisi sebagai penyidik menerima terlalu banyak perkara-perkara yang sifatnya terlalu ringan, kurang berarti dan kurang efisien kalau diproses.
Tindakan yang dilakukan Polisi untuk melakukan penyaringan atau penyampingan terhadap perkara pidana, jika dilihat menurut sikap hukum pidana yang kaku dimana tidak mengenal kompromi, maka tidak bisa dibenarkan begitu saja tentunya. Sementara jika dilihat dari alasan sosiologis yang terkadang digunakan dalam praktek, biasanya lebih dipengaruhi oleh unsur subyektif yang melekat pada diri polisi, juga situasi dan kondisi.
Tugas Polisi sebagai penyidik dalam sistem peradilan pidana menempatkannya dalam jajaran paling depan, sehingga Polisi dituntut untuk bisa menyeleksi atau memilah-milah perkara mana yang pantas untuk diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan. Tanpa adanya penyeleksian oleh Polisi pada saat penyidikan maka akan terjadi penumpukan perkara yang nantinya tidak efisien bagi semua pihak. Dalam hal ini pengambilan keputusan oleh Polisi menjadi hal yang penting adanya.
Thomas J. Aaron mendefinisikan diskresi bahwa “discretion is power authority conferred by law to action on the basic of judgement of conscience, and its use is more than idea of morals than law”, yang dapat diartikan sebagai suatu kekuasaan atau wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atas pertimbangan dan keyakinan serta lebih menekankan pertimbangan-pertimbangan moral dari pada pertimbangan hukum.
Menurut Wayne La Farve maka diskresi menyangkut pengambilan keputusan yang tidak sangat terikat oleh hukum, dimana penilaian pribadi juga memegang peranan. Dari beberapa pengertian diskresi tersebut maka dapat dikatakan bahwa secara sederhana diskresi adalah suatu wewenang menyangkut pengambilan suatu keputusan pada kondisi tertentu atas dasar pertimbangan dan keyakinan pribadi seseorang, dalam hal ini Polisi.
Diskresi yang ada pada tugas Polisi dikarenakan pada saat Polisi menindak, lalu dihadapkan pada dua macam pilihan apakah memprosesnya sesuai dengan tugas dan kewajibannya sebagai penegak hukum pidana ataukah mengenyampingkan perkara itu dalam arti mengambil tindakan diskresi Kepolisian. Tindakan diskresi ini mempunyai arti tidak melaksanakan tugas kewajibannya selaku penegak hukum pidana berdasarkan alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan oleh hukum. Alasan-alasan itu bisa berupa membina pelaku, demi ketertiban atau karena alasan-alasan hukum yang lainnya. Secara keseluruhan alasan-alasan inipun erat kaitannya atau masuk dalam kerangka tugas prefentif  Polisi.
Dengan luasnya kekuasaan yang dimiliki oleh Polisi, mempunyai potensi kekuasaan itu disalahgunakan untuk keuntungan diri sendiri, kelompok maupun organisasi lain. Padahal penggunaan kekuasaan diskresi yang diberikan oleh pembuat undang-undang sebenarnya apabila jalur hukum yang disediakan untuk menyelesaikan suatu masalah malah menjadi kurang efisien, kurang ada manfaatnya maupun macet. Ditinjau dari sudut hukumpun setiap kekuasaan akan dilandasi dan dibatasi oleh ketentuan hukum. Namun, kekuasaan diskresi yang begitu luas dan kurang jelas batas-batasnya akan menimbulkan permasalahan terutama apabila dikaitkan dengan asas-asas hukum pidana yaitu asas kepastian hukum dan hak asasi manusia.
C.         Kendala Penyidik dalam Menemukan Alat Bukti Sidik Jari dalam Penyidikan
Seringkali di dalam melakukan tugas penyidikan, petugas menemui hambatan atau bahkan gagal dalam mengumpulkan bukti dari TKP. Adapun kendala yang ditemui penyidik dalam kegiatan yang dilakukan oleh unit identifikasi untuk membantu penyidikan dibagi menjadi 2 faktor, yaitu:
1.      Faktor Intern
Faktor petugas mempunyai peranan yang sangat dominan dalam mengolah TKP guna mengumpulkan bukti untuk penyidikan selanjutnya. Kemampuan petugas dalam melakukan identifikasi merupakan unsur penting dalam mencari bukti, kemampuan petugas yang kurang menguasai pengetahuan tentang identifikasi akan kesulitan dalam mencari bukti atau bahkan justru merusak jejak pelaku yang seharusnya dapat dijadikan bukti.
Peralatan juga merupakan salah satu faktor terpenting di dalam melakukan identifikasi. Kelengkapan peralatan untuk penyidikan juga sangat menunjang keberhasilan penyidik dalam mengumpulkan bukti, keterbatasan alat juga berpengaruh terhadap keterbatasan bukti yang dikumpulkan. Terlebih apabila penyidik dihadapkan pada TKP yang sudah lama, disebabkan karena tindak pidana baru diketahui setelah sekian lama.
2.      Faktor Ekstern

Kurangnya kesadaran hukum dan kepedulian masyarakat mengenai tindak pidana dan proses penyidikan di TKP dalam kasus pidana, dapat mengakibatkan kesulitan bagi penyidik dalam mendapatkan bukti. Antusias masyarakat di sekitar lokasi TKP bisa menjadi ancaman besar terutama pada keaslian TKP, hal ini dikarenakan pada umumnya masyarakat ingin menyaksikan apa yang telah terjadi, dan tanpa sepengetahuannya dapat mengakibatkan hilangnya jejak pelaku dan bahkan rusaknya sidik jari latent pelaku karena terhapus atau tertumpuk oleh masyarakat saat menyentuh atau memindahkan barang-barang yang mungkin terpegang oleh pelaku kejahatan.
Faktor alam sangat memungkinkan untuk terjadinya berubahnya TKP, keadaan cuaca/iklim, kelembaban, suhu udara, dan perubahan-perubahan temperatur disuatu daerah dimana sidik jari latent ditinggalkan, keadaan alam tersebut mengakibatkan berbagai kemungkinan, baik kesulitan dalam melakukan identifikasi atau bahkan hilangnya bukti-bukti yang ada.Faktor alam merupakan penghambat alamiah yang bisa terjadi kapan saja, bisa dikarenakan oleh perubahan cuaca atau memang tindak pidana tersebut terjadi dalam keadaan alam yang kurang baik untuk mendapatkan bukti tindak pidana, misalnya tindak pidana terjadi saat keadaan banjir.
Kesimpulan
Peranan Identifikasi Sidik Jari Sebagai Alat Bukti
Penyidikan merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan apabila ada dugaan telah terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, kegiatan yang dimaksudkan adalah untuk mencari serta menemukan suatu tindak pidana yang terjadi, siapa pelakunya dan serta mencari dan menemukan bukti-bukti untuk mendapatkan suatu keyakinan.
Penyidik POLRI dalam melaksanakan tugas penyidikan juga berwenang mengambil sidik jari seseorang. Dari pengertian Pasal 183 KUHAP, Hakim di dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang dapat menambah keyakinan Hakim di pengadilan, dalam KUHAP Pasal 184 ayat (1) Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; dan e. keterangan terdakwa.
Alat bukti sidik jari merupakan alat bukti berupa keterangan seorang ahli (verklaringen van een deskundige: expert testimony). Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di bidang pengadilan.
2. Hak kepolisian dalam mengesampingkan tindak pidana
Dalam sistem peradilan pidana, Polisi merupakan pintu gerbang untuk dapat atau tidaknya seseorang masuk dalam peradilan pidana. Dari sinilah segala sesuatunya dimulai. Posisi awal ini menempatkan Polisi pada posisi yang tidak menguntungkan. Tindakan yang dilakukan Polisi untuk melakukan penyaringan atau penyampingan terhadap perkara pidana, jika dilihat menurut sikap hukum pidana yang kaku dimana tidak mengenal kompromi, maka tidak bisa dibenarkan begitu saja tentunya. Sementara jika dilihat dari alasan sosiologis yang terkadang digunakan dalam praktek, biasanya lebih dipengaruhi oleh unsur subyektif yang melekat pada diri Polisi, juga situasi dan kondisi.
Salah satu dari kewenangan yang diberikan dalam KUHAP adalah melakukan upaya paksa yang meliputi penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Sifat dari pelaksanaan upaya paksa disatu sisi adalah sebagai upaya untuk menciptakan ketentraman di masyarakat. Ditinjau dari sudut hukum, setiap kekuasaan akan dilandasi dan dibatasi oleh ketentuan hukum. Namun, kekuasaan diskresi yang begitu luas dan kurang jelas batas-batasnya akan menimbulkan permasalahan terutama apabila dikaitkan dengan asas-asas hukum pidana yaitu asas kepastian hukum dan hak asasi manusia.
3. Kendala yang ditemui penyidik dalam kegiatan yang dilakukan oleh unit identifikasi untuk membantu penyidikan
Faktor petugas mempunyai peranan yang sangat dominan dalam mengolah TKP guna mengumpulkan bukti untuk penyidikan selanjutnya. Kemampuan petugas dalam melakukan identifikasi merupakan unsur penting dalam mencari bukti, kemampuan petugas yang kurang menguasai pengetahuan tentang identifikasi akan kesulitan dalam mencari bukti atau bahkan justru merusak jejak pelaku yang seharusnya dapat dijadikan bukti.
Ketelitian petugas dalam melakukan identifikasi juga sangat diperlukan dalam mengumpulkan bukti dari TKP. Petugas identifikasi juga wajib dibekali kemampuan-kemampuan khusus dalam melakukan penyidikan di TKP untuk mengumpulkan bukti, oleh karena itu tidak semua petugas Polisi diberi wewenang untuk melakukan penyidikan. Peralatan juga merupakan salah satu faktor terpenting di dalam melakukan identifikasi. Kelengkapan peralatan untuk penyidikan juga sangat menunjang keberhasilan penyidik dalam mengumpulkan bukti.

Saran-Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, peneliti menyampaikan saran-saran sebagai berikut:
1.   Mengingat arti pentingnya peranan sidik jari, maka perlu kiranya untuk segera mengesahkan RUU Daktiloskopi menjadi UU Daktiloskopi dan mensukseskan program INAFIS (Indonesia Automatic Fingerprint Identification System).
2.  Mengingat sifat-sifat dari sidik jari yang tidak akan berubah dari kelahiran hingga kematian, maka penulis menyarankan untuk mengambil sidik jari warga negara Indonesia di usia sedini mungkin.
3.  Mengingat untuk menghimpun sidik jari nasional dari masyarakat awam hanya bagi masyarakat yang berkepentingan untuk mendapatkan SKCK, dapat diperluas dengan mengambil sidik jari pada saat pengambilan ijasah kelulusan, baik dari tingkat Sekolah Dasar Maupun Perguruan Tinggi serta pada masyarakat yang hendak membuat kartu tanda penduduk (KTP).

No comments:

Post a Comment