Friday, 24 February 2017

Makalah Kepengecaraan

PENDAHULUAN
Advokat sendiri berarti orang yang berprofesi memberikan jasa hukum berupa konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang – Undang.
Seorang advokat adalah seorang pembela dan penasehat. Dalam perkara perdata, para pihak dapat menguasakan kepada orang lain untuk mengurus perkaranya. Pihak berperkara disebut pemberi kuasa dan yang diberi kuasa disebut pemegang kuasa.
Sedangkan syariah adalah hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan manusia dengan Allah SWT., hubungan manusia dengan manusia dan alam sekitar berdasarkan Alquran dan hadis. Akan tetapi yang dimaksud dengan advokat syariah disini adalah advokat yang mempunyai latarbelakang pendidikan dari Fakultas Syariah.



PEMBAHASAN
A.    Kemunculan Advokat (Kepengecaraan) syariah
Sebagaimana dalam Surat Edaran MA no. 8 tahun 1987 yang menyebutkan bahwa Advokat (Kepengecaraan) dapat berpraktik di seluruh Indonesia di semua lingkungan peradilan. Akan tetapi dalam pasal 185 – 186 RO disebutkan bahwa yang dapat diangkat sebagai Advokat (Kepengecaraan) adalah warga negara Indonesia yang telah lulus pendidikan hukum. Sebagai konsekuensinya, sarjana syariah tidak mendapat pengakuan karena tidak masuk dalam kategori sarjana hukum. Pada tahun 1983 Menteri Agama membuat peraturan no. 1 tahun 1983 tentang pemberian bantuan hukum. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa lulusan fakultas syariah bersama – sama dengan lulusan fakultas hukum diberi hak untuk memberikan bantuan hukum di Pengadilan Agama. Namun peraturan tersebut mendapat kecaman dari Menteri Kehakiman yang merasa mempunyai otoritas mengatur kepengacaraan. Pada Tahun 1998 MA mengeluarkan SEMA no. 1 tahun 1998 tentang 9 mata ujian yang harus ditempuh calon pengacara. Akan tetapi jika lulus sarjana syariah hanya dapat berpraktek di PA sementara sarjana hukum dapat berpraktek di semua lingkungan peradilan.[1]


Pada tahun 2003, para pengacara Syariah di Semarang dengan difasilitasi LPKBHI Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang menyelenggarakan sebuah pertemuan yang bertujuan untuk mengimpun sarjana Syariah seluruh Indonesia yang berkeinginan untuk menjadi Advokat (Kepengecaraan) dan menyikapi RUU Advokat (Kepengecaraan) yang akan disahkan di parlemen.[2] Mereka melakukan diskusi dan konsultasi secara aktif dengan berbagai pihak. Akhirnya dirumuskanlah konsep akademik perubahan beberapa pasal RUU yang masih terkesan diskriminatif dan dikirimlah kertas kerja tersebut kepada pemerintah dan DPR.
Upaya tersebut membuahkan hasil yang menggembirakan dengan dimasukkannyarumusan pada draft terakhir RUU bahwa sarjana Syariah mendapat hak yang sama dengan sarjana hukum untuk menjadi Advokat (Kepengecaraan). Akan tetapi masih ada beberapa pakar hukum yang belum menerima usulan tersebut. Hal tersebut berangkat dari kurangnya pengetahuan mereka tentang fakultas syariah dan mata kuliah yang diajarkan. Akhirnya berkat perjuangan yang sungguh – sungguh, akhirnya sarjana syariah diakui dan memiliki peluang yang sama dengan sarjana hukum untuk menjadi Advokat (Kepengecaraan). Hal tersebut sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Kepengecaraan) yang telah disahkan pada sidang paripurna DPR RI tanggal 6 Maret 2003.[3]

B.     Konsep Hukum Islam Tentang Advokat (Kepengecaraan)
1.      Surat Shaad ayat 26
   
 Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
Sebenarnya ayat di atas lebih cenderung kepada perilaku hakim yang baik. Namun demikian, hal ini juga bias dijadikan dalil untuk Advokat (Kepengecaraan). Karena seorang Advokat (Kepengecaraan) yang baik, apalagi Advokat (Kepengecaraan) Islam, maka harus dituntut untuk berlaku adil dan tidak mengikuti hawa nafsu. Hawa nafsu disini bias ditafsir hermeneutik-kan dengan seorang Advokat (Kepengecaraan) yang berlaku curang atau membela  yang orang salah lantaran disogok atau boleh jadi Advokat (Kepengecaraan) yang cenderung mengikuti hawa nafsu tersebut mempengaruhi pemikiran hakim dengan menyampaikan argumen-argumen yang tidak sesuai dengan fakta.
2.      Al-Isra’ ayat 36
Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmΠíOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ  
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.
Ayat tersebut di atas, cukup menginstruksi tajam sebagai pedoman permainan hukum bagi hakim maupun Advokat (Kepengecaraan).
3.      An-Nahl ayat 125

serulah (manusia) kepada jalanTuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Dengan demikian, seorang secara tidak langsung kode etik seorang Advokat (Kepengecaraan) juga diatur dalam ayat ini, karena mengisyaratkan kepada kita semua agar berlaku lemah lembut, dan mencintai perdamaian.
4.      Thaha ayat 29 - 33

Dan Jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan Dia kekuatanku, dan jadikankanlah Dia sekutu dalam urusanku, supaya Kami banyak bertasbih kepada Engkau,
Ayat yang artinya ”dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku” mengisyaratkan pada masa Nabi Daud dan Harun telah ada yang namanya meminta bantuan, yaitu Nabi Daud meminta kepada Allah akan bantuan atau meminta  jadikan Nabi Harun sebagai teman dalam berdakwah.
Jika kita tarik ke masa kini, maka seorang klien yang meminta bantuan atau sekutu kepada seorang Advokat (Kepengecaraan) dalam menyelesaikan sengketanya, juga sejalan dengan firman Allah di atas.
5.      An-Nahl ayat 90

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, member kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia member pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Keadilan sudah merupakan kewajiban seorang Advokat (Kepengecaraan) islam. Adapun larangan Allah untuk berbuat keji, kemungkaran dan permusuhan itu menjadi image bagi seorang Advokat (Kepengecaraan). Karena jika seorang Advokat (Kepengecaraan) berlaku keji dan permusuhan maka wibawanya akan jatuh di mata masyarakat.[4]


DAFTAR PUSTAKA

Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik Dan Hukum Islam Reposisi Peradilan Agama dari Pengadilan “Puouk Bawang” Menuju Peradilan Sesungguhnya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006.
Ridwan Lubis,Edt., Peradilan Satu Atap Dan Profesi Advokat Implikasi Dan Tantangan Bagi Fakultas Syariah, Jakarta : Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005.
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh Al Qadha, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2012.




[1] Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik Dan Hukum Islam Reposisi Peradilan Agama dari Pengadilan “Puouk Bawang” Menuju Peradilan Sesungguhnya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006, Hal. 299-302.
[2] Ibid, h. 304
[3] Ridwan Lubis,Edt., Peradilan Satu Atap Dan Profesi Advokat Implikasi Dan Tantangan Bagi Fakultas Syariah, Jakarta : Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005, Hal. 154.
[4] Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh Al Qadha, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2012, Hal. 111.

No comments:

Post a Comment