Pemikiran Modern Dalam Islam

A.    Pengertian
Kata modern yang berada di belakang kata islam, berasal dari bahasa inggris modernistic yang berarti model baru. Selanjutnya dalam kamus umum bahasa Indonesia, Kata modern diartikan sebagai yang terbaru secara baru, mutakhir. Selanjutnya kata modern erat pula kaitannya dengan kata modernisasiyang berarti pembaharuan atau tajdid dalam bahasa arabnya. Dalam masyarakat barat modernisasi mengandung arti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat lama dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Kata tersebut selanjutnya masuk kedalam literature islam yang berarti upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukan interpretasi terhadap pemahaman, pemikiran, dan pendapat tentang masalah keislaman yang dilakukan oleh pemikiran terdahulu untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Kata yang lebih di kenal untuk pembaharuan adalah modernisasi. Kata modernisasi lahir dari dunia barat, adanya sejak terkait dengan masalah agama. Dalam masyarakat barat kata modernisasi mengandung pengertian pemikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya. Agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern.
Pembaharuan Islam adalah upaya untuk menyesuiakan paham keagamaan Islam dengan perkembangan dan yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan terknologi modern.[1] Dengan demikian pembaharuan dalam Islam bukan berarti mengubah, mengurangi atau menambahi teks Al-Quran maupun Hadits, melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya. Sesuai dengan perkembangannya zaman, hal ini dilakukan karena betapapun hebatnya paham-paham yang dihasilkan para ulama atau pakar di zaman lampau itu tetap ada kekurangannya dan selalu dipengaruhi oleh kecendrungan, pengetahuan, situasional, dan sebagainya. Paham-paham tersebut untuk di masa sekarang mungkin masih banyak yang relevan dan masih dapat digunakan, tetapi mungkin sudah banyak yang tidak sesuai lagi.
Kata tajdid sendiri secara bahasa berarti “mengembalikan sesuatu kepada kondisinya yang seharusnya”. Dalam bahasa Arab, sesuatu dikatakan “jadid” (baru), jika bagian-bagiannya masih erat menyatu dan masih jelas. Maka upaya tajdid seharusnya adalah upaya untuk mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam kembali. Atau dengan ungkapan yang lebih jelas, Thahir ibn ‘Asyur mengatakan, “Pembaharuan agama itu mulai direalisasikan dengan mereformasi kehidupan manusia di dunia. Baik dari sisi pemikiran agamisnya dengan upaya mengembalikan pemahaman yang benar terhadap agama sebagaimana mestinya, dari sisi pengamalan agamisnya dengan mereformasi amalan-amalannya, dan juga dari sisi upaya menguatkan kekuasaan agama”.[2]
Dalam Islam sendiri, seputar ide tajdid ini, Rasulullah saw. sendiri telah menegaskan dalam haditsnya tentang kemungkinan itu. Beliau mengatakan, yang artinya: “Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk ummat ini pada setiap pengujung seratus tahun orang yang akan melakukan tajdid (pembaharuan) terhadap agamanya.” (HR. Abu Dawud , no. 3740).
B.     Ruang Lingkup
Pemikiranya adalah upaya memperbaiki keadan umat Islam dan merupakan reaksi dari paham tauhid yang terdapat dikalangan Umat Islam saat itu. Dimana paham-paham tauhid mereka telah tercampur dengan ajaran-ajaran lain sejak abad ke-13.
Adapun aliran yang menyeleweng, pada saat itu orang-orang yang sering meminta pertolongan atau bantuan kepada makam-makam Syeh yang telah meninggal. Adapula yang meminta pertolongan untuk menyelesaikan masalah sehari hari, meminta anak, jodoh bahkan ada yang meminta kekayaan. Paham ini menurut paham wahabiyah termasuk syirik karena permohonan dan doa tidak lagi di panjatkan kepada Allah.
Masalah Tauhid merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila Muhammad Abdul Wahab memusatkan perhatianya pada persoalan ini.
Adapun pokok-pokok pemikiranya adalah:[3]
1.      Yang harus disembah hanyalah Allah dan orang-orang yang menyembah selain Allah dinyatakan Musyrik.
2.      Kebanyakan orang islam bukan lagi penganut paham Tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan kepada selain Allah, melainkan kepada Syeh, Wali atau kekuatan gaib. Orang Islam yang berprilaku demikian juga dikatakan musyrik.
3.      Menyebut nama Nabi, Syeh atau malaikat sebagai pengantar dalam doa juga dikatakan syirik.
4.      Meminta syafaat selain kepada Allah juga syirik.
5.      Bernazar kepada selain Allah juga syirik.
6.      Memperoleh pengetahuan selain dari Al-qur’an, Hadis dan Qiyas merupakan kekufuran.
7.      Tidak mempercayai kepada Qada’ dan Qadar juga mmerupakan kekufuran.
8.      Menafsirkan Al-qur’an dengan Ta’wil atau interpretasi bebas juga termasuk kekufuran.
Untuk mnegembalikan kemurnian Tauhid tersebut, makam-makam yang banyak dikunjungi dengan tujuan mencari syafaat, keberuntungan dan lain-lain yang membawa kepada paham syirik, mereka berusaha menghapuskan paham ini. Pemikiran Muhammad Abdul Wahab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaharuan di abad ke-19 adalah:
1.      Hanya Al qur’an dan Hadis yang merupakan sumber asli ajaran-ajran Islam. Dan pendapat ulama’ bukanlah sumber, menurut paham wahabiyah.
2.      Taklid kepada ulama’ tidak dibeanarkan.
3.      Pintu ijtihad senantiasa terbuka tidak tertutup.
Muhammd Abdul Wahab merupakan pemimpin yang aktif berusaha mewujudkan pemikiranya. Ia mendapat dukungan dari Muhammad Ibnu Su’ud dan putranya Abdul Aziz. Paham-pahamnya tersebar luas dan pengikutnya bertambah banyak sehingga ditahun 1773 M mereka mendapat mayoritas di Riyadh. Pada tahun 1787 Muhammad Abdul Wahab meninggal, namun ajaran-ajaranya tetap hidup dan mengambil bentuk aliran yang dikenal dengan nama Wahabiyah.[4]
C.    Metode
Untuk mewujudkan kedua tujuan di atas, maka ijtihad dapat dipandang sebagai metode pokok untuk berjalannya gerakan pembaruan Islam (tajdid). Statemen ini tentunya tidak terlalu berlebihan karena pada dasarnya pembaruan Islam akan bermuara kepada aktualisasi, rasionalisasi, dan kontekstualisasi ajaran Islam di tengah kehidupan sosial, dan semua itu memerlukan upaya ijtihady.
Aktualisasi di sini berkaitan dengan bagaimana agar pelaksanaan kehidupan umat tidak menyimpang dari ajaran Islam sekaligus bagaimana agar makna universalitas Islam dapat terwujud dan teraktualisasikan dalam semangat jaman sehingga dalam kehidupan sosial, Islam tidak dijadikan sebagai alasan terjadinya kemunduran dan kelemahan, bahkan kehancuran. Padahal, hal itu sebenarnya disebab-kan ketidakmampuannya menerjemahkan Islam dalam tatanan kehidupan yang terus berkembang.
Dalam konteks sejarahnya bahwa ijtihad telah memberikan sumbangan besar dalam perkembangan pemikiran umat Islam, khususnya dalam upaya menghadapi persoalan kehidupan sosial. Tentu ijtihad dalam konteks ini bukan dibatasi dalam hal hukum (syari’ah) semata yang selama ini banyak dipahami, melainkan yang terpenting bagaimana ijtihad dimaknai sebagai upaya untuk menilai “ulang” terhadap berbagai warisan keagamaan yang ada, serta adanya kebebasan untuk menafsirkan kembali sesuai dengan pemikiran modern. Semangat untuk terus menghidupkan ijtihad merupakan salah satu tema pokok yang selalu digelorakan oleh para pembaru (mujaddidun).
D.    Kajian
Revivalisme juga berati bangkit kembali, tetapi kembali ke masa lampau, bahkan berkeinginan untuk meng-hidupkan kembali yang sudah usang. Renaisans, jika hanya diartikan secara umum nampaknya membangkitkan kembali ke masa-masa yang sudah ketinggalan zaman, bahkan ada konotasi menghidupkan kembali masa Jahiliyah, sebagaimana renaisans di Eropa yang berarti menghidupkan kembali peradaban Yunani. Jika istilah ini terpaksa digunakan, maka Renaisans Islam harus berarti tajdid. Sementara itu reassertion berarti tegak kembali tetapi tidak mengandung tan tangan terhadap masalah sosial yang ada.
Sebagaimana halnya di barat, di dunia Islam juga timbul pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu. Dengan jalan demikian itu pemimpin-pemimpin Islam modern berharap akan dapat melepaskan umat Islam nilai suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa pada kemajuan.[5]
Akan tetapi di sebagian umat Islam tradisional hingga sat ini tampak ada perasaan masih belum mau menerima apa yang di maksud dengan pembaharuan Islam. Hal ini, antara lain disebabkan karena salah persepsi dalam memahami arti pembaharuan dalam Islam. Mereka memandang bahwa pembaharuan Islam adalah membuang ajaran Islam yang sama diganti dengan ajaran Islam baru, padahal ajaran Islam yang lama itu berdasarkan hasil Ijtihad ulama besar yang dalam ilmunya taat beribadah dan unggul kepribadiannya. Sedangkan ulama yang sekarang di pandang kurang mendalami ilmu agamanya, kurang taat, dalam beribadahnya, dan kurang baik budi pekertinya. Oleh Karena itu mereka masih beranggapan bahwa pemikiran ulama di abad yang lampau sudah cukup baik dan tidak perlu diganti dengan pemikiran ulama sekarang.
Selain itu ada pula yang memahami pembaharuan Islam dengan mengubah Al-Quran dan Hadits, memahami Al-Quran dan Hadits menurut selera orang yang memahaminya atau mencocokan makna Al-Quran dan Hadits dengan makna yang dimaui oleh orang-orang yang menafsirkannya, sehingga Al-Quran dan Hadits seperti yang terdapat dalam segala perbuatan yang dilakukan manusia. Dengan kata lain, pembahasan Islam mereka persepsikan dengan upaya mencocokkan kehendak Al-Quran dan Hadits dengan kehendak orang yang menafsirkannya, bukan mengajak orang untuk hidup sesuai dengan Al-Quran dan Hadits. Persepsi demikian hingga kini tampak di pegang terus oleh sebagian umat Islam Tradisional tanpa mau melakukan dialog atau diskusi dengan para tokoh Pembaharu Islam, sehingga munculah istilah kaum modernis dan kaum tradisional.  Modern berarti terbaru, mutakhir atau sikap dan cara berpikir serta bertindak dengan tuntutan zaman. Sedangkan modernisasi adalah pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan hidup masa kini. [6]
Selain itu pembaharuan dalam Islam dapat pula berarti mengubah keadaan umat agar mengikuti ajaran yang terdapat di dalam Al-Quran dan Sunnah. Hal ini perlu dilakukan, karena terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki Al-Quran dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat. Al-Quran misalnya mendorong umatnya agar menguasai pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan modern serta teknologi secara seimbang; hidup bersatu, rukun, dan damai sebagai suatu keluarga besar; bersikap dinamis, kreatif, inovatif, demokratis, terbuka, menghargai pendapat orang lain, menghargai waktu, menyukai kebersihan, dan lain sebagainya. Namun kenyataan umatnya menunjukan keadan yang berbeda. Sebagaian besar umat Islam hanya mengetahui pengetahuan agama sedangkan ilmu pengetahuan modern tidak dikuasai bahkan dimusuhi; hidup dalam keadaan penuh pertentangan dan peperangan, satu dan lainnya saling bermusuhan, statis, memandang cukup apa yang ada, tidak ada kehendak untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi kerja, bersikap diktator, kurang menghargai waktu, kurang terbuka, dan lain sebagainya. Sikap dan pandangan hidup umat demikian jelas tidak sejalan dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah, dan hal demikian harus diperbarui dengan jalan kembali kepada dua sumber ajaran Islam yang utama itu. Dengan demikian, maka pembaruan Islam mengandung maksud mengembalikan sikap dan pandangan hidup umat agar sejalan dengan petunjuk Al-Quran dan Sunnah.[7]
E.     Kegunaan
Tajdid yang dimaksud oleh Rasulullah saw di sini tentu bukanlah mengganti atau mengubah agama, akan tetapi –seperti dijelaskan oleh Abbas Husni Muhammad maksudnya adalah mengembalikannya seperti sediakala dan memurnikannya dari berbagai kebatilan yang menempel padanya disebabkan hawa nafsu manusia sepanjang zaman. Termasuk “mengembalikan agama seperti sediakala” tidaklah berarti bahwa seorang pelaku tajdid (mujaddid) hidup menjauh dari zamannya sendiri, tetapi maknanya adalah memberikan jawaban kepada era kontemporer sesuai dengan Syariat Allah Ta’ala setelah ia dimurnikan dari kebatilan yang ditambahkan oleh tangan jahat manusia ke dalamnya. Itulah sebabnya, di saat yang sama, upaya tajdid secara otomatis digencarkan untuk menjawab hal-hal yang mustahdatsat (persoalan-persoalan baru) yang kontemporer. Dan untuk itu, upaya tajdid sama sekali tidak membenarkan segala upaya mengoreksi nash-nash syar’i yang shahih, atau menafsirkan teks-teks syar’i dengan metode yang menyelisihi ijma’ ulama Islam. Sama sekali bukan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kegunaan tajdid dalam Islam mempunyai 2 bentuk:[8]
1.      Memurnikan agama -setelah perjalanannya berabad-abad lamanya- dari hal-hal yang menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Konsekuensinya tentu saja adalah kembali kepada bagaimana Rasulullah saw dan para sahabatnya mengejawantahkan Islam dalam keseharian mereka.
2.     Memberikan jawaban terhadap setiap persoalan baru yang muncul dan berbeda dari satu zaman dengan zaman yang lain. Meski harus diingat, bahwa “memberikan jawaban” sama sekali tidak identik dengan membolehkan atau menghalalkannya. Intinya adalah bahwa Islam mempunyai jawaban terhadap hal itu. Berdasarkan ini pula, maka kita dapat memahami bahwa bidang-bidang tajdid itu mencakup seluruh bagian ajaran Islam. Tidak hanya fikih, namun juga aqidah, akhlaq dan yang lainnya. Tajdid dapat saja dilakukan terhadap aqidah, jika aqidah ummat telah mengalami pergeseran dari yang seharusnya.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan penting sebagai berikut: Pertama, pembaruan Islam (tajdid) merupakan suatu keharusan karena ajaran Islam yang rahmah li al’alamin serta sebagai agama “pamungkas” menuntut adanya upaya rasionalisasi dan konteks-tualisasi sesuai dengan semangat jaman. Hal itu karena pada hakikatnya pembaruan Islam merupakan ikhtiar melakukan rasionalisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam dalam segala ranah kehidupan.
Kedua, keharusan bagi upaya tajdid setidaknya memiliki tiga landasan dasar yaitu landasan teologis, landasan normatif, dan landasan historis. Artinya bahwa gerakan tajdid dilaksanakan dengan dasar dan pijakan yang kuat.
Ketiga, agar tajdid dalam Islam dapat terimplementasikan dan teraktualisasikan, maka ijtihad harus dijalankan karena tajdid dan ijtihad hakikatnya merupakan dua hal yang saling terkait.

B.     Saran




[1] Abudin Nata,Metodologi Studi Islam. (PT. raja Grafindo Persada, Jakarta), h. 41
[2]M. Yusran Asmuni. Pengantar Studi Pemikiran dan Geerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. (Jakarta: Rajawali, 1998.), h. 56
[3]Achmad Jainuri. “Landasan Teologis Gerakan Pembaruan Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, (No. 3. Vol. VI, Tahun 1995.), h. 62
[4]Abdul Sani. Perkembangan Modern dalam Islam. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), h, 78
[5]Didiek Ahmad Supadie dan Sarjuni. Pengantar Studi Islam. (Jakarta : Rajawali Pers, 2011), h. 41
[6] Ibid, h, 42
[7]Muhammad Husain Abdullah. Studi dasar-dasar Pemikiran Islam. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002), h. 80
[8] Ibid, h. 81

No comments:

Post a Comment