PENDAHULUAN
Advokat sendiri berarti
orang yang berprofesi memberikan jasa hukum berupa konsultasi hukum, bantuan
hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan
tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien baik di dalam maupun di luar
pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang – Undang.
Seorang advokat adalah
seorang pembela dan penasehat. Dalam perkara perdata, para pihak dapat
menguasakan kepada orang lain untuk mengurus perkaranya. Pihak berperkara disebut
pemberi kuasa dan yang diberi kuasa disebut pemegang kuasa.
Sedangkan syariah adalah
hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan manusia dengan
Allah SWT., hubungan manusia dengan manusia dan alam sekitar berdasarkan
Alquran dan hadis. Akan tetapi yang dimaksud dengan advokat syariah disini
adalah advokat yang mempunyai latarbelakang pendidikan dari Fakultas Syariah.
PEMBAHASAN
A. Kemunculan Advokat
(Kepengecaraan) syariah
Sebagaimana dalam Surat
Edaran MA no. 8 tahun 1987 yang menyebutkan bahwa Advokat (Kepengecaraan) dapat
berpraktik di seluruh Indonesia di semua lingkungan peradilan. Akan tetapi
dalam pasal 185 – 186 RO disebutkan bahwa yang
dapat diangkat sebagai Advokat (Kepengecaraan) adalah warga negara Indonesia
yang telah lulus pendidikan hukum. Sebagai konsekuensinya, sarjana syariah
tidak mendapat pengakuan karena tidak masuk dalam kategori sarjana hukum. Pada
tahun 1983 Menteri Agama membuat peraturan no. 1 tahun 1983 tentang pemberian
bantuan hukum. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa lulusan fakultas
syariah bersama – sama dengan lulusan fakultas hukum diberi hak untuk
memberikan bantuan hukum di Pengadilan Agama. Namun peraturan tersebut mendapat
kecaman dari Menteri Kehakiman yang merasa mempunyai otoritas mengatur
kepengacaraan. Pada Tahun 1998 MA mengeluarkan SEMA no. 1 tahun 1998 tentang 9
mata ujian yang harus ditempuh calon pengacara. Akan tetapi jika lulus sarjana
syariah hanya dapat berpraktek di PA sementara sarjana hukum dapat berpraktek
di semua lingkungan peradilan.[1]
Pada tahun 2003, para
pengacara Syariah di Semarang dengan difasilitasi LPKBHI Fakultas Syariah IAIN
Walisongo Semarang menyelenggarakan sebuah pertemuan yang bertujuan untuk
mengimpun sarjana Syariah seluruh Indonesia yang berkeinginan untuk menjadi Advokat
(Kepengecaraan) dan menyikapi RUU Advokat (Kepengecaraan) yang akan disahkan di
parlemen.[2] Mereka melakukan diskusi dan konsultasi secara aktif
dengan berbagai pihak. Akhirnya dirumuskanlah konsep akademik perubahan
beberapa pasal RUU yang masih terkesan diskriminatif dan dikirimlah kertas
kerja tersebut kepada pemerintah dan DPR.
Upaya tersebut membuahkan
hasil yang menggembirakan dengan dimasukkannyarumusan pada draft terakhir RUU
bahwa sarjana Syariah mendapat hak yang sama dengan sarjana hukum untuk menjadi
Advokat (Kepengecaraan). Akan tetapi masih ada beberapa pakar hukum yang belum
menerima usulan tersebut. Hal tersebut berangkat dari kurangnya pengetahuan
mereka tentang fakultas syariah dan mata kuliah yang diajarkan. Akhirnya berkat
perjuangan yang sungguh – sungguh, akhirnya sarjana syariah diakui dan memiliki
peluang yang sama dengan sarjana hukum untuk menjadi Advokat (Kepengecaraan).
Hal tersebut sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
(Kepengecaraan) yang telah disahkan pada sidang paripurna DPR RI tanggal 6
Maret 2003.[3]
B. Konsep Hukum Islam Tentang Advokat (Kepengecaraan)
1. Surat Shaad ayat 26
Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu
khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara
manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari
jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan.
Sebenarnya ayat di atas lebih cenderung kepada
perilaku hakim yang baik. Namun demikian, hal ini juga bias dijadikan dalil
untuk Advokat (Kepengecaraan). Karena seorang Advokat (Kepengecaraan) yang
baik, apalagi Advokat (Kepengecaraan) Islam,
maka harus dituntut untuk berlaku adil dan tidak mengikuti hawa nafsu. Hawa
nafsu disini bias ditafsir hermeneutik-kan dengan seorang Advokat
(Kepengecaraan) yang berlaku curang atau membela yang orang salah lantaran disogok atau boleh
jadi Advokat (Kepengecaraan) yang cenderung mengikuti hawa nafsu tersebut
mempengaruhi pemikiran hakim dengan menyampaikan argumen-argumen yang tidak
sesuai dengan fakta.
2. Al-Isra’ ayat 36
Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur ‘@ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggunganjawabnya.
Ayat tersebut di atas, cukup menginstruksi
tajam sebagai pedoman permainan hukum bagi hakim maupun Advokat (Kepengecaraan).
3. An-Nahl ayat 125
serulah
(manusia) kepada jalanTuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.
Dengan demikian, seorang secara tidak langsung
kode etik seorang Advokat (Kepengecaraan) juga diatur dalam ayat ini, karena
mengisyaratkan kepada kita semua agar berlaku lemah lembut, dan mencintai
perdamaian.
4. Thaha ayat 29 - 33
Dan
Jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku,
teguhkanlah dengan Dia kekuatanku, dan jadikankanlah Dia sekutu dalam urusanku,
supaya Kami banyak bertasbih kepada Engkau,
Ayat yang artinya ”dan jadikanlah dia sekutu
dalam urusanku” mengisyaratkan pada masa Nabi Daud dan Harun telah ada yang
namanya meminta bantuan, yaitu Nabi Daud meminta kepada Allah akan bantuan atau
meminta jadikan Nabi Harun sebagai teman
dalam berdakwah.
Jika kita tarik ke masa kini, maka seorang
klien yang meminta bantuan atau sekutu kepada seorang Advokat (Kepengecaraan)
dalam menyelesaikan sengketanya, juga sejalan dengan firman Allah di atas.
5. An-Nahl ayat 90
Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, member kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia member pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Keadilan sudah merupakan kewajiban seorang Advokat
(Kepengecaraan) islam. Adapun larangan Allah untuk berbuat keji, kemungkaran
dan permusuhan itu menjadi image bagi seorang Advokat (Kepengecaraan). Karena
jika seorang Advokat (Kepengecaraan) berlaku keji dan permusuhan maka wibawanya
akan jatuh di mata masyarakat.[4]
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Gunaryo, Pergumulan
Politik Dan Hukum Islam Reposisi Peradilan Agama dari Pengadilan “Puouk Bawang”
Menuju Peradilan Sesungguhnya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006.
Ridwan Lubis,Edt., Peradilan
Satu Atap Dan Profesi Advokat Implikasi Dan Tantangan Bagi Fakultas Syariah,
Jakarta : Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005.
Aris Bintania, Hukum
Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh Al Qadha, Jakarta : Rajagrafindo
Persada, 2012.
[1] Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik Dan Hukum Islam
Reposisi Peradilan Agama dari Pengadilan “Puouk Bawang” Menuju Peradilan
Sesungguhnya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006, Hal. 299-302.
[2] Ibid,
h. 304
[3] Ridwan Lubis,Edt., Peradilan Satu Atap Dan Profesi
Advokat Implikasi Dan Tantangan Bagi Fakultas Syariah, Jakarta : Puslitbang
Kehidupan Beragama, 2005, Hal. 154.
[4] Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam
Kerangka Fiqh Al Qadha, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2012, Hal. 111.
No comments:
Post a Comment