A. Pendahuluan
Sejarah perjalanan hadits tidak sama dengan perjalanan
al-Qur’an. Jika al-Qur’an sejak awalnya sudah diadakan pencatatan secara resmi
oleh para pencatat wahyu atas perintah dari nabi dan tidak ada tenggang waktu
antara turunya wahyu dengan penulisanya, maka tidak demikian dengan hadits
nabi. Jika al-Qur’an secara normatif telah ada garansi dari allah, dan tidak
ada keraguan akan otentisitasnya, maka tidak juga demikian dengan hadits nabi,
yang mendapatkan perlakuan berbeda dari al-Qur’an. Dalam kitab-kitab hadits
terdapat larangan penulisan hadits.[1]
Dengan perbedaan sejarah perjalanan hadits dan sumber
hukum utama al-Qur’an. Maka kami, dalam makalah ini akan membahas sejarah
singkat perkembangan hadits dari zaman Rasulullah sampai zaman sekarang ini.
B. Sejarah
Ringkah Hadis
1. Hadits
pada Masa Nabi dan Sahabat
a. Hadits
pada masa nabi
Membicarakan hadits pada masa rasulullah, berarti
membicarakan hadits pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait
langsung dengan pribadi rasulullah SAW sebagai sumber hadits. Rasulullah SAW
membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini cukup singkat, dimulai sejak tahun 13
sebelum Hijriah atau bertepatan dengan 610 Masehi sampai dengan tahun 11
Hijriah atau bertepatan dengan 632 Masehi. Masa ini merupakan kurun waktu
turunya wahyu dan sekaligus diwurudkannya Hadits. Keadaan ini sangat menuntut
keseriusandan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam.[2]
Wahyu Allah SWT kepadanya dijelaskannya melalui
perkataan (aqwal),
perbuatan (af’al),
dan penetapan (taqriir)-nya.
Sehingga apa yang didengar, dilihat dan disaksikan oleh para sahabatmerupakan
pedoman bagi amaliah dan ubudiyah
mereka. Nabi muhammad merupakan contoh satu-satunya bagi para
sahabat, karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul Allah
SWT yang berbeda dengan manusia lainya.[3]
a. Cara
nabi menyampaikan hadits
Ada suatu keistemawaan pada masa ini yang
membedekannya dengan masa lainnya. Umat islam pada masa ini dapat secara
lanhgsung memperoleh hadits dari Rasul SAW sebagai sumber hadits. Allah
menurunkan al-Quran dan mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya adalah
satu paket yang tidak bisa dipisah-pisahkan, dan apa-apa yang disampaikannya
juga merupakan wahyu. Allah berfirman dalam menggambarkan kondisi utusan-Nya
tersebut.[4]
$tBur ß,ÏÜZt Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd wÎ) ÖÓórur 4Óyrqã ÇÍÈ
Artinya: Dan tiadalah yang
diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya). QS al-Najm (53):3-4)
Ada beberapa cara Rasululullah menyampaikan hadits
kepada para sahabat, yaitu: Pertama,
melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-Ilmi. Melalui
majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits,
sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti
kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Kedua,nabi
menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertertu, yang kemudian
disampaikannya kepada orang lain. Hal ini terjadi karena, terkadang ketika nabi
mewurudkan haditsnya, para sahabat yang hadir hanya beberapa saja. Ketiga, Nabi
Muhammad SAW menyampaikamn hadits melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka,
seperti ketika haji wada’ dan futuh
makkah.[5]
b. Menghafal
hadits
Untuk memelihara kemurnian dan mencapai
kemaslahatan al-Quran dan Hadits, sebagai dua sumber ajaran islam, Rasulullah
menempuh jalan yang berbeda. Terhadap al-Quran beliau secaraa resmi
mengintruksikan kepada sahabat supaya ditulis disamping dihafalkan. Sedang
tehadap hadits Rasulullah hanya menyuruh menghafalkannya dan melarang
menulisnya secara resmi.
Maka segala hadits yang diterima dari Rasulullah oleh
para sahabat diingatnya secara sungguh-sungguh dan hati-hati, dengan cara
menghafalnya. Mereka sangat khawatir dengan ancaman Rasulullah untuk tidak
terjadi kekeliruan tentang apa nyang diterimanya. Ada beberapa dorongan yang
memotivasi para sahabat dalam kegiatan menghafal hadits ini. Pertama,menghafal
merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak jamaman pra islam dan
mereka terkenal kuat hafalannya; Kedua,
rasulullah banyak memberikan spirit melalui doa-doanya; Ketiga, seringkali
ia menjanjikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadits dan menyampaikan
kepada orang lain.[6]
c. Menulis
hadits
Di balik larangan
Rasulullah SAW seperti pada hadits Abu Sa’id Al-Khudri di atas, ternyata
ditemukan sahabat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan
terhadap hadits Nabi. Di antaranya adalah sahabat Abdullah ibn amr Al-‘ash. Ia
memiliki catatan hadits yang menurut pengakuannya dibenarkan oleh rasulullah
SAW. Sehingga diberi nama
al-sahifah al-shadiqah. Menurut sebuah riwayat diceritakan, bahwa
orang-orang Quraisy mengeritik sikap Abdullah ibn Amr, karena sikapnya yang
selalu menulis apa yang datang dari rasulullah. Mereka berkata: “Engkau tuliskan apa saja yang
datang dari rasulullah, padahal rasul itu manusia, yang bisa saja bicara dalam
keadaan marah”. Kemudian kritikan itu disampaikan kepada rasulullah
dan Rasul menjawabnya dengan mengatakan:[7]
اُكْتُبْفَوَاَلذِىنَفْسِىبِيَدِهِمَايَخْرُجُمِنْهُاِلاَّالحَقُّ.)رواهالبخارى(
“Tulislah! Demi zat yang
diriku berada di tangan-Nya,tidak ada yang keluar daripadanya kecuali yang
benar”.(HR. Bukhari)[8]
Hadits-hadits yang
terhimpun dalam catatannya ini sekitar seribu hadits, yang menurut pengakuanya
diterima langsung dari Rasulullah ketika mereka berdua tanpa ada orang lain
yang menemaninya.[9]
b. Hadits
pada Masa Sahabat
Periode sejarah perkembangan hadits setelah masa nabi
adalah masa sahabat, khususnya masa Khulafa’
al-Rasyidin, yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai dengan 40
H. Masa ini disebut juga masa sahabat besar.[10]
Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih
terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Quran, maka periwayatan hadits belum
begitu berkembang dan berusaha untuk membatasinya. Oleh karena itu, oleh para
ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan ( al-tasabbut wa al-iqlal min
al-riwayah).[11]
Pesan Rasulullah sangat mendalam pengaruhnya kepada
para sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk
melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasul
dibuktikan dengan melaksanakan segala yang dicontohkannya. Perhatian para
sahabat padaa masa ini terutama sekali terfokus pada usaha memlihara dan
menyebarkan al-Quran. Ini terlihat bagaimana al-Quran dibukukan pada masa Abu
Bakar atas saran Umar bin Khatab. Usaha pembukuan ini diulang juga pada
masa Usman bin Affan, sehingga melahirkan Mushaf Usmani. Sikap memusatkan perhatian
terhadap al-Quran bukan berarti mereka lalai dan tidak menaruh perhatiannya
terhadap Hadits. Mereka memegang hadits seperti halnya yang diterimanya dari
Rasulullah secara utuh ketika beliau masih hidup. Akan tetapi dalam
meriwayatkan mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri. Karena mereka
khawatir terjadi kekeliruan, yang padahal hadits merupakan sumber tasryi’
setelah al-Quran, yang harus terjaga dari kekeliruannya sebagaimana al-Quran.
Mereka membatasi dalam meriwayatkan hadits-hadits tertentu. Khususnya yang
berkaitan dengan permasalahan ibadah dan muamalah. Periwayatan itu dilakukan
setelah diteliti secara ketat pembawa hadits tersebut dan kebenaran isi
matannya. Ada dua jalan para sahabaat dalam meriwaytkan hadits dari rasul SAW.
Pertama dengan jalan periwayatan lafzhi
(redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul SAW) dan kedua
dengan jalan periwayatan maknawi
(maknanya saja).[12]
Karakteristik yang menonjol pada era sahabat ini
adalah para sahabat memiliki komitmen yang kuat terhadap Kitab Allah. Mereka
memelihara dalam lembaran-lembaran, mushaf, dan dalam hati mereka.
Kehati-hatianya terhadap al-Quran ini juga diberlakukan terhadap sunnah
(hadits) meskipun di satu sisi ada larangan dari Nabi SAW untuk tidak
menuliskannya. Meskipun demikian mereka berupaya mempertahankan keotentikan
kedua-duanya. Setelah al-Quran terkumpul dalam satu suhuf, mereka baru berani
menuliskan sunnah nabi.[13]
2. Hadits
pada Masa Penulisan
Hadits Nabi saw memang belum ditulis secara umum pada
zaman Nabi saw masih hidup, karena ketika itu Al-Qur’an masih dalam proses
diturunkan dan diurutkan. Nabi Muhammad SAW menempuh jalan yang berbeda.
Terhadap al-Quran beliau secara resmi menginstruksikan kepada para sahabat
supaya ditulis disamping dihafal. Sedang terhadap hadits beliau hanya menyuruh
menghafalnya dan melarang untuk menulisnya.
Hal ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu:[14]
a.
Para sahabat berpegang pada
kekuatan hafalan dan kecerdasan akal mereka, disamping tidak lengkapnya
peralatan tulis menulis yang mereka miliki.
b.
Adanya larangan menulis
hadits, Rosululloh bersabda:
لا تَكْتُبُوْا عَنِّيْ وَ مَنْ كَتَبَ عَنِّيْ غَيْرَ
الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَ حَدِّثُوْا عَنِّيْ وَ لا حَرَج وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ
مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّار (رواه مسلم(
“Janganlah kalian menulis
sesuatu pun dariku, barangsiapa yang telah menulis dariku selain Al-Qur’an
hendaklah dia menghapusnya, dan beritakanlah hadits dariku, yang demikian tidak
berdosa, namun barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah
dia mengambil tempat duduknya dari api neraka.” ( HR. Muslim )
Larangan menulis hadits itu karena dikhawatirkan akan
tercampurnya hadits dengan Al-qu’an atau penulisan hadits itu akan melalaikan
mereka dari Al-qur’an. Atau larangan penulisan hadits itu ditujukan kepada
orang-orang yang dipercaya kekuatan hafalannya. Tetapi bagi mereka yang tidak
lagi dikhawatirkan bahwa sunnah dengan Al-qur’an akan tercampur aduk, seperti
mereka yang pandai baca tulis atau karena mereka khawatir lupa akan penulisan hadits
itu diperbolehkan, dan dalam pengertian inilah menurut beberapa riwayat
penulisan hadits bagi sebagian sahabat itu diijinkan.[15]
Tidak berselang lama setelah Rosululloh berpulang
kehadirat Alloh, para penulis hadits dari kalangan sahabat maupun tabi’in bermunculan.
Khalifah Umar bin Khattab r.a. pernah bermaksud membukukan hadits, beliau
mengumpulkan para sahabat lainnya dan mereka sepakat untuk membukukan tetapi
nampaknya Alloh belum menghendaki ide Khalifah Umar terlaksana. Baru setelah
kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz (tahu 99 H) beliau mengintruksikan kepada Abu
Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (dia adalah ahli fiqih dari kalangan
tabi’in yang diangkat oleh Umar bin Abdul Aziz sebagai gubernur dan qodi (juru
hukum) di Madinah wafat pada tahun 120 H).[16]
3. Hadits
Pada Masa Pembukuan
Usaha pendiwanan (yaitu pembukuan, pelakunya ialah
pembuku Al Hadits disebut pendiwan) dan penyusunan Al Hadits dilaksanakan pada
masa abad ke 3 H. Langkah utama dalam masa ini diawali dengan pengelompokan Al Hadits.
Pengelompokan dilakukan dengan memisahkan mana Al Hadits yang marfu’, mauquf dan maqtu’.
Al Hadits marfu’ ialah Al Hadits yang berisi perilaku Nabi Muhammad, Al
Hadits mauquf ialah Al Hadits yang berisi perilaku sahabat dan Al
Hadits maqthu’ ialah Al Hadits yang berisi perilaku tabi’in. Pengelompokan
tersebut diantaranya dilakukan oleh :[17]
1.
Ahmad bin Hambal
2.
‘Abdullan bin Musa Al
‘Abasi Al Kufi
3.
Musaddad Al Bashri
4.
Nu’am bin Hammad Al Khuza’i
5.
‘Utsman bin Abi Syu’bah
Yang paling mendapat perhatian paling besar dari
ulama-ulama sesudahnya adalah Musnadul Kabir karya Ahmad bin
Hambal (164-241 H / 780-855 M) yang berisi 40.000 Al Hadits, 10.000
diantaranya berulang-ulang. Menurut ahlinya sekiranya Musnadul Kabir ini tetap
sebanyak yang disusun Ahmad sendiri maka tidak ada hadist yang mardud
(tertolak). Mengingat musnad ini selanjutnya ditambah-tambah oleh anak Ahmad
sendiri yang bernama ‘Abdullah dan Abu Bakr Qathi’i sehingga tidak sedikit
termuat dengan yang dla’if dan 4 hadist maudlu’.[18]
Adapun pendiwanan Al Hadits dilaksanakan
dengan penelitian sanad dan rawi-rawinya. Ulama terkenal yang mempelopori
usaha ini adalah Ishaq bin Rahawaih bin Mukhlad Al Handhali At Tamimi Al
Marwazi (161-238 H / 780-855 M).[19]
Ia adalah salah satu guru Ahmad bin Hambal, Bukhari,
Muslim, At Tirmidzi, An Nasai.Usaha Ishaq ini selain dilanjutkan juga
ditingkatkan oleh Bukhari, kemudian diteruskan oleh muridnya yaitu Muslim.
Akhirnya ulama-ulama sesudahnya meneruskan usaha tersebut sehingga pendiwanan
kitab Al Hadits terwujud dalam kitab Al Jami’ush Shahih Bukhari, Al Jamush
Shahih Muslim As Sunan Ibnu Majah dan seterusnya sebagaimana terdapat dalam
daftar kitab masa abad 3 hijriyah.[20]
Yang perlu menjadi catatan pada masa ini (abad 3 H)
ialah telah diusahakannya untuk memisahkan Al Hadits yang shahih dari Al
Hadits yang tidak shahih sehingga tersusun 3 macam Al Hadits, yaitu:[21]
1.
Kitab Shahih – (Shahih
Bukhari, Shahih Muslim) – berisi Al Hadits yang shahih saja
2.
Kitab Sunan – (Ibnu Majah,
Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, Ad Damiri) – menurut sebagian ulama selain
Sunan Ibnu Majah berisi Al Hadit shahih dan Al Hadits dla’if yang tidak munkar.
3.
Kitab Musnad – (Abu Ya’la,
Al Hmaidi, Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) – berisi
berbagai macam Al Hadits tanpa penelitian dan penyaringan. Oleh seab itu hanya
berguna bagi para ahli Al Hadits untuk bahan perbandingan.[22]
4. Hadits
pada Masa Puncak Pembukuan
Apa yang telah dilakukan oleh para ahli Al Hadits abad
3 Hijriyah tidak banyak yang mengeluarkan atau menggali Al Hadits dari
sumbernya seperti halnya ahli Al Hadits pada adab 2 Hijriyah. Ahli Al Hadits
abad 3 umumnya melakukan tashhih (koreksi atau verifikasi) saja atas
Al Hadits yang telah ada disamping juga menghafalkannya. Sedangkan pada masa
abad 4 hijriyah dapat dikatakan masa penyelesaian pembinaan Al
Hadist. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki
susunan kitab Al Hadits, menghimpun yang terserakan
dan memudahkan mempelajarinya, Masa seleksi atau penyaringan hadits
terjadi ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti Bani Abbas, khususenya sejak
masa al-Makmun sampi dengan al-Muktadir sekitar tahun 201-300 H..[23]
Munculnya periode seleksi ini, karena pada periode
sebelumnya, yakni periode tadwin, belum berhasil memisahkan beberapa
beberapa hadits hadits mauquf
dan maqthu’
dari hadits marfu’.
Begitu pula belum bisa memisahkan beberapa hadits yang dha’if dari yang
sahih. Bahkan masih ada hadits yang maudhu’
tercampur pada yang sahih.[24]
Melalui kaidah-kaidah yang ditetapkannya, para ulama’
pada masa ini berhasil memisahkan hadits seperti kriteria di atas, meskipun
berdasarkan penelitian berikutnya masih ditemukan terselipnya hadits yang dha’if pada kitab
sahih karya
mereka. Berkat keuletan dan keseriusan para ulama pada masa ini, maka
bermunculanlah kitab-kitab hadits yang hanya memuat hadits-hadits yang sahih.
Kitab tersebut pada masa perkembangannya dikenal dengan kutub Al-Shittah (kitab
induk yang enam). Ulama’ yang berhasil menyusun kitab tersebut, ialah Imam
Bukhari dan Imam Muslim yang sekarang dikenal sebagai mutafaqun alaihi. Usaha
yang sama dilakukan oleh Imam Abu Daud, Imam tirmidzi, Imam Nasa’i, dan Imam
Ibnu Majah.[25]
Secara lengkap kitab-kitab yang enam di atas,
diurutkan sebagai berikut:[26]
1.
Al-Jami’ Al-Shahih susunan
imam Al-Bukhari;
2.
Al-Jami’ Al-Shahih susunan imam
Al-Muslim;
3.
Al-Sunan susunan Abu Daud;
4.
Al-Sunan susunan
Al-Thirmidzi;
5.
Al-Sunan susunan Al-Nasa’i;
6.
Al-Sunan susunan Ibnu
Majah.
Masa perkembangan hadits yang disebut terakhir ini
terbentang cukup panjang, dari mulai abad ke empat Hijriyah terus berlangsung
beberapa abad berikutnya, sampai abad kontemporer. Dengan demikian masa
perkembangan ini melewati dua fase sejarah perkembangan Islam, yakni fase
pertengahan dan fase modern.[27]
C. Kesimpulan
Tradisi tulis hadis memang sudah ada sejak masa Nabi,
tapi bukan berarti semua hadis Nabi sudah dibukukan sejak zaman Nabi tersebut.
Hal ini bisa kita lihat dari tidak dibukukannya hadis secara resmi saat itu,
sedang sahabat yang menulis hadis itu lebih didorong oleh keinginan dirinya
sendiri. Padahal koordinasi antara sahabat untuk merekam seluruh aspek
kehidupan Nabi tidak ditemukan tanda-tandanya.
Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga ucapan dan tutur
kata Nabi menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik Nabi
menjadi contoh dan pedoman hidup mereka. Para sahabat sangat memperhatikan
perilaku Nabi dan sangat memerlukan untuk mengetahui segala apa yang disabdakan
Nabi. Mereka tentu meyakini, bahwa mereka diperintahkan mengikuti dan menaati
apa-apa yang diperintahkan Nabi.
DAFTAR PUSTAKA
Khon, Abdul Majid. 2010. Ulumul
Hadis. Jakarta: Amzah.
Rudliyana, Muhammad Dede. 2004.
Perkembangan Pemikiran Ulumul Hadist dari
Klasik Sampai Modern, Bandung: Pustaka Setia.
Ash-Shiddieqy, 1997. Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Suparta, Munzier. 2003,
Ilmu Hadits. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Soerati, Endang. 2005. Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan
Dirayah. Bandung: Mimbar Pustaka.
Toha, Ahmadi, 1986. Terjemah
Sahih Bukhori, Jakarta: Pustaka Panjimas.
Wahid, Ramly Abdul, 2005. Studi Ilmu Hadist, Bandung: Cita Pustaka Media.
Zein, Mashum, 2007. Ulumul
Hadits dan Musthalah Hadits, Direktorat Pendidikan Madrasah Dirjen Pendis
Depag.
[1]Endang
Soerati, Ilmu
Hadits:Kajian Riwayah dan Dirayah. (Bandung: Mimbar Pustaka.
2005). h 29
[2] Ramly
Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadist, ,
(Bandung: Cita Pustaka Media
2005,) h 52
[3] Munzier
Suparta , Ilmu
Hadits.( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.2003). h 71.
[4] Mashum
Zein, Ulumul Hadits dan Musthalah Hadits, (Direktorat Pendidikan
Madrasah Dirjen Pendis Depag, 2007), hlm. 112
[5] Ibid,
h. 113
[6] Munzier
Suparta. Op.Cit. h 75.
[7] Abdul
Majid Khon. Ulumul Hadis. (Jakarta: Amzah, 2010). h. 68
[8] Ahmadi
Toha, Terjemah Sahih Bukhori, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), hlm. 89
[9] Ibid.,h 76
[10]Ash-Shiddieqy,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
1997), hlm. 140
[11]Ibid,
[12]Muhammad
Dede Rudliyana. Perkembangan Pemikiran
Ulumul Hadist dari Klasik Sampai Modern, (Bandung: Pustaka Setia, 2004) h.
109
[13] Ash-Shiddieqy. Op.Cit h 82-85
[14] Mashum
Zein, Op.Cit, h. 114
[15] Ibid,
[16] Ibid,
h. 115
[17]
Muhammad Dede Rudliyana. Op.Cit, h. 111
[18] Ibid,
[19] Ibid,
h. 112
[20] Ibid,
[21] Ibid,
h. 113
[22] Ibid,
[23] Ramly
Abdul Wahid, Op.Cit. h. 58
[24] Ibid,
h. 59
[25] Ibid,
[26] Ibid,
h. 60
[27] Ibid,
No comments:
Post a Comment