Makalah Ahkam

PENDAHULUAN

Ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang utama dan sebagai pedoman bagi uamtnya. Setelah itu dilengkapai dengan as-Sunnah sebagai penjelasannya dan juga sebagai sumber hukum kedua.
Penjelasan tentang hukum wanita yang di talak sebelum dicampuri dan telah ditentukan atau disebutkan maharnya, maka baginya (wanita yang di talaq tersebut) berhak (wajib) mendapatkan separuh dari mahar yang tersebut kecuali apabila ia merelakan untuk tidak memintanya, demikian juga bagi suami yang telah menceraikannya tersebut apabila merelakan untuk memberikan seluruh mahar yang tersebut kepadanya maka hal itu adalah lebih baik.
Dalam kesempatan kali ini penulis akan membahas dan menganalisis hukum yang terdapat pada QS. An-Nisa: 19-21 dan QS. Al-Baqarah:237.
PEMBAHASAN
QS. An-Nisa’ : 19-21
  
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata. bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. (Q.S An-Nisa’: 19-21)






QS. Al-Baqarah: 237
bÎ)ur £`èdqßJçFø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& £`èdq¡yJs? ôs%ur óOçFôÊtsù £`çlm; ZpŸÒƒÌsù ß#óÁÏYsù $tB ÷LäêôÊtsù HwÎ) br& šcqàÿ÷ètƒ ÷rr& (#uqàÿ÷ètƒ Ï%©!$# ¾ÍnÏuÎ/ äoyø)ãã Çy%s3ÏiZ9$# 4 br&ur (#þqàÿ÷ès? ÛUtø%r& 3uqø)­G=Ï9 4 Ÿwur (#âq|¡Ys? Ÿ@ôÒxÿø9$# öNä3uZ÷t/ 4 ¨bÎ) ©!$# $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÅÁt/ ÇËÌÐÈ  
Artinya: “jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-Baqarah: 237)

A.    Asbab An-Nuzul
1.      Q.S An-Nisa’ : 19-21
Ada beberapa riwayat yang menjelaskan sebab turunnya ayat 19-21 dari surat an-Nisa’ di atas, antara lain :
a.       dari Ibnu Abbas, ia berkata : seorang lelaki di masa jahiliyah, jika ia meninggal maka walinya laki-laki itu adalah yang paling berhak terhadap istrinya daripada wali istrinya sendiri. Jika ia mau, maka ia sendiri yang menikahinya. Atau ia nikahkan wanita itu dengan lelaki yang lain. Ini diriwayatkan oleh al-Bukhori dan Abu Daud.[1]
b.      al-Zuhri dan Abu Majliz berkata : diantara adat jahiliyah, bila seorang meninggal maka anaknya yang dari istri lainnya atau kerabatnya yang terdekat melemparkan baju pada istri yang meninggal tadi. Dengan demikian, ia lebih berhak terhadap wanita itu daripada wanita itu pada dirinya sendiri dan daripada walinya juga. Bila ia mau, ia nikahi tanpa mahar kecuali mahar yang pernah diberikan si mayyit. Bila ia mau, ia nikahkan pada orang lain lalu ia ambil maharnya tanpa memberinya sedikitpun. Jika ia mau, ia tahan wanita itu ( tidak dinikahi dan tidak dinikahkan ) hingga ia menebus dirinya dengan warisan dari si mayit atau ia meninggal dan diambil warisannya.[2]
c.       al-Suddiy berkata : ahli waris si mayit bila lebih dulu melempar baju kepada istri si mayit maka ia lebih berhak terhadap wanita itu. Bila istri si mayit lebih mendahuluinya maka ia pulang ke keluarganya dan ia lebih berhak atas dirinya.
d.      diriwayatkan : ada lelaki punya istri sudah tua, sementara dirinya hanya tertarik pada yang muda. Ia tidak mau mencerai yang tua karena hartanya, tidak juga digaulinya agar wanita tua itu menebus dirinya dengan hartanya atau ia mati hingga dapat diwarisi hartanya.
e.       Zaid bin Aslam berkata tentang ayat ini : Ahli Yatsrib itu bila ada lelaki meninggal maka ahli warisnya mewarisi istrinya. Lalu ia tahan wanita itu hingga mati untuk diwarisi hartanya. Atau ia nikahkan wanita itu pada orang lain. Sedangkan orang Tuhamah, seorang suami berbuat jelek dalam menggauli istrinya hingga mencerainya, namun ia mensyaratkan atas istrinya tidak menikah dengan lelaki lain kecuali yang ia kehendaki atau menebus diri dulu dengan sebagian harta yang telah diberikan kepadanya. Maka Allah SWT melarang orang beriman dari kebiasaan jahiliyah itu.[3]
f.       Ikrimah berkata : ayat ini turun pada kisah Kubaisyah binti Ma'n bin 'Ashim bin al-Aus, saat suaminya Abu al-Qois bin al-Aslat meninggal maka anaknya menahan Kubaisyah. Lalu ia mengadu kepada Rosulullah : Ya RosulAllah, saya tidak mendapat warisan suami saya dan tidak dibiarkan menikah lagi. Maka Allah menjawab pengaduan ini dengan turunnya ayat tersebut.[4]



B.     Makna Mufradat (kosa kata)
1.      QS. An-Nisa’ : 19-21
 تَرِثُوا dari kata ورث yang artinya mewarisi. Adapun yang dimaksud pada ayat ini adalah menjadikan wanita seperti harta yang dapat diwariskan dari para suaminya seperti warisan harta lainnya.[5]
كَرْهًا dengan fathah kaf berarti paksaan, sebagaimana dikatakan :طوعا او كرها yang artinya : 'dengan penuh keta'atan atau keterpaksaan'. Bila dibaca dengan dommah kaf, bermaknaمشقة artinya keberatan. Al-Kisai berkata : keduanya adalah bahasa arab yang dipakai dengan makna sama. Sedangkan al-Farra' berpendapat : Karhan itu dipaksakan oleh orang lain dan kurhan adalah keberatan yang timbul dari dirinya sendiri.[6]
تَعْضُلُوا dari kata العضل yang berarti التضييق والمنع ( mencegah dan mempersempit )Makna tersebut kembali pada kata الحبس yang artinya menahan / memenjara. Imam al-Qurtubi berkata " تعضلوهن " معناه تحبسوهن
فَاحِشَةٍ artinya jelek / tercela. Ulama berbeda pendapat tentang yang dimaksud dengan kalimat ini. Berkata al-Hasan : ia adalah zina. Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, al-Dlohhak dan Qotadah berpendapat : Fahisyah Mubayyinah dalam ayat ini adalah marah dan membangkang. Ada juga yang berpendapat : Fahisyah adalah kasar dalam berkata dan berprilaku jelek, baik perkataan maupun perbuatan.[7]
عَاشِرُوا dari lafadz عشر yang arti hakikinya dalam bahasa Arab adalah sempurna dan optimal. Diantara kata yang derivatif darinya adalah asyiroh dan asyaroh yang artinya sepuluh. Sepuluh adalah menunjukkan kata puncak dalam hitungan.[8][5]
قِنْطَارًا dalam budaya Arab adalah sejumlah harta yang banyak tapi mereka berbeda pendapat tentang ukuran pastinya. Sebagaimana dalam hadits Nabi SAW, sbb : من قرأَ أَربعمائة آية كتب له قِنْطارٌ ( Barang siapa yang membaca 400 ayat maka ditulis baginya Qinthor ). Ada sekitar sepuluh pendapat mengenai batas atau arti dari qinthor ini, al :
1.      sepuluh ribu dirham, sebagaimana disebut oleh al-Hasan dan Ibnu Abbas.
2.      seribu dua ratus dirham, ini pendapat yang juga dikemukakan oleh al-Hasan.
3.      seukuran diyat salah seorang diantara kamu ini pendapat Abdulloh bi Abbas.
4.      seribu dua ratus uqiyah, saperti yang diriwayatkan dari Abu Hurairah.
5.      dua belas ribu uqiyah, sebagaimana pendapat pilihan Abu Hurairah
6.      delapan puluh ribu dirham, diriwayatkan ibnu Abbas dan Ibnu Musayyib.
7.      seratus rithl, sebagaimana disebutkan oleh Qotadah.
8.      tujuhpuluh dinar, seperti yang dikatakan oleh Mujahid.
9.      sepenuh tempat misik berpa emas, dikatakan Abu Said al-Khudri.
10.  harta yang banyak dan tanpa batas, inilah pendapat jumhur ulama.
أَفْضَى Secara bahasa kata ini berasal dari kata الفضاء yang artinya tempat yang luas. Saat digunakan sebagai kata kerja mempunyai arti 'mencapai/menyambung'.[9] al-Qurtubi mengatakan asal katanya dari kata فوضى فضا mempunyai arti 'bercampur'.Sedangkan yang dimaksud dalam ayat ini, menurut sebagian ulama, adalah bila suami sudah satu selimut dengan istrinya, bersetubuh ataupun tidak. Ibnu abbas, Mujahid, al-suddiy dan lainnya berkata : maksud kata ini dalam ayat tersebut adalah jima' / bersetubuh.[10]
2.      QS. Al-Baqarah: 237
br& £`èdq¡yJs? : Kata tamassuhunna berasal dari kata tamassuna kemudian nun jamaknya dihilangkan karena telah dimasuki oleh an huruf nashab.  Kata tersebut berasal dari massa yang berarti menyentuh dan atau berjima’. Dalam ayat ini kata tersebut berarti mempergauli atau berjima’[11]

C.    Tafsir Ayat
1.      QS. An-Nisa: 19-21
لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا ....
Terjamah ayat ini : "…tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa". Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. Menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. Janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.
Al-Qurtubi berkata : maksud ayat ini adalah menghilangkan adat kebiasaan jahiliyah dan bahwa wanita tidak boleh dijadikan seperti harta yang dapat diwarisi dari suaminya.[12] Ibnu katsir berkata : Ayat ini mencakup semua kebiasaan masyarakat jahiliyah ( sebagaimana yang diriwayatkan sebagai sebab – sebab turunnya ayat) dan apa yang disebut Mujahid beserta yang setuju dengannya.[13] Diantara praktek jahiliyah yang dilarang itu antara lain :
a.       Menikahi istri bapak yang bukan ibunya setelah meninggalnya.
b.      Menikahi istri kerabat yang meninggal tanpa mahar baru.
c.       Menikahkan istri si mayit dan mengambil maharnya.
d.      Meminta tebusan kepada istri si mayit atas dirinya.
e.       Menahan istri sendiri atau istri si mayit, tidak dinikahi dan digauli atau dibiarkan dinikahi orang lain, hingga ia mati agara dapat warisan hartanya.
وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آَتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ
Pada penggalan ayat ini, Allah mengarahkan pembicaraan kepada para suami yang berlaku jelek, kasar atau dhalim terhadap istrinya : "dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata". Maksudnya : seseorang memiliki istri yang ia tidak sukai padahal sudah diberikan mahar, lalu ia susahkan wanita itu agar mau menebus dirinya dengan mahar tersebut. Demikian dikatakan al-Dlohhak, Qotadah dan lainnya, pendapat ini yang dipilih ibnu jarir.
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Pada penggalan ayat ini, Allah SWT memerintahkan para suami untuk bergaul optimal dan sempurna dengan istri dengan cara yang baik atau dikenal dengan istilah Muasyaroh bil ma'ruf. Kata al-ma'ruf artinya segala sesuatu yang dimaklumi atau dikenali kebaikan atau kebenarannya, baik menurut atauran Allah dan Rosulnya maupun ukuran rasional manusia normal dan masyarakat banyak. Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini, yakni "Baguskanlah perkataan kalian kepada istri-istrimu, perbaikilah tingkah laku dan penampilan kalian sebatas kemampuanmu. Sebagaimana kamu senag istri berlaku seperti itu, maka berlakulah kamu seperti itu pula. Hal ini sesuai dengan firmannya : "Bagi istri berhak mendapat kebaikan seperti kewajibannya" dan sabda Nabi : Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap istrinya. Dan saya yang terbaik terhadap istri".

فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Maknanya adalah : jika seorang suami mendapat sesuatu yang tidak disukai pada istrinya dan sangat membenci hal itu serta tidak nyaman dekat dengannya, namun dia tidak melakukan perbuatan keji dan nusyuz, maka hendaknya ia bersabar atas hal tersebut, sebab bisa saja ini merupakan sesuatu yang baik baginya.
Abul qasim bin abu habib balmahdiyah memberitakan pada saya , dari abul qasim as-sayuri dari abu bakar bin abdur rahman , dia berkata , " syaikh abu muhammad bin abu zaid dikenal sebagai sosok yang memiliki ilmu dan agama yang sangat kuat . namun sayangnya , dia memiliki seorang istri yang memiliki perilaku dan pergaulan yang buruk . dia banyak tidak memenuhi hak–hak suaminya itu . dia sering menyakiti suami nya dengan ucapan dari lidahnya dengan cara yang sangat pedas . Maka , ada sebagian orang yang berkomentar tentang istrinya ini , dia mengatakan bahwa dirinya hendaknya sabar atasnya . dia juga berkata , " saya adalah seorang lelaki yang telah Allah sempurnakan ni'mat-Nya kepadaku ' dengan badan yang sehat , dengan ilmu pengetahuan yang Allah berikan , serta budak yang aku miliki . Mungkin dia diberikan kepada saya sebagai ujian atas agama saya . Maka saya khawatir jika menceraikannya , Allah akan menurunkan ujian yang lebih berat daripadanya kepada saya".[14]
..... وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْج
Muhammad Ali al-Shobuni menjelaskan maksud ayat ini : Dan jika kalian – wahai orang beriman- akan menikahi wanita lain sebagai pengganti wanita yang telah kamu ceraikan, dan kalian telah memberikan mahar besar yang mencapai berat jembatan kepada yang dicerai itu, maka jangan kalian mengambilnya walau sedikit. Apakah kalian akan mengambilnya dengan dhalim dan melampaui batas ?
Tatkala Allah SWT telah membolhkan terjadinya perceraian dan memungkinkan terjadi pernikahan kembali dengan yang lain, maka Dia memberitahukan tentang agamaNya yang lurus dan jalanNya yang lapang : yaitu tentang pemenuhan hak-hak mereka jika bercerai. Allah melarang para suami mengusik-usik mahar yang telah diberikan kepada istrinya, sebab telah menjadi hak istrinya itu.
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ .....
Dan bagaimana dibolehkan mengambilnya bagi kalian, padahal kalian telah menikmati wanita itu dalam hubungan suami istri dan persenggamaan, padahal kalian telah menghalalkan farji mereka dengan kalimat Allah ( akad nikah ). Bagaimana kalian mengambil kembali mahar yang telah diberikan lewat perjanjian besar ini ? Imam al-Qurthubi berkata : Ayat ini adalah illat ( alasan ) larangan mengambil kembali mahar dari istri yang sudah kholwat (berduaan walau tidak berjima) dengan suaminya.
2.      Q.S Al-Baqarah : 237
{إِلا أَنْ يَعْفُونَ}
kecuali jika istri-istri kalian itu memaafkan. (Al-Baqarah: 237)
Yakni mereka memaafkan suaminya dan membebaskannya dari tanggungan yang harus dibayarnya kepada mereka, maka tiada suatu pun yang harus dibayar oleh si suami.
{أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ}
atau  orang yang  memegang  ikatan nikah  memaafkan.  (Al-Baqarah: 237)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diceritakan dari Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
"وَلِيُّ عُقْدَةِ النِّكَاحِ الزَّوْجُ".
Orang yang menguasai ikatan nikah adalah suami.
Demikian pula menurut sanad yang diketengahkan oleh Ibnu Murdawaih melalui hadis Abdullah ibnu Luhai'ah dengan lafaz yang sama.
Ibnu Jarir telah menyandarkannya pula dari Ibnu Luhai'ah, dari Amr ibnu Syu'aib, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda demikian. Lalu Ibnu Jarir mengetengahkan hadis ini, tetapi ia tidak menyebutkan dari ayah Amr, dari kakeknya.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Yunus ibnu Habib, telah menceritakan kepada kami Abu Daud, telah menceritakan kepada kami Jabir (yakni Ibnu Abu Hazim), dari Isa (yakni Ibnu Asim) yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Syuraih mengatakan, "Ali ibnu Abu Talib pernah bertanya kepadaku tentang makna orang yang memegang ikatan nikah. Maka aku menjawabnya, bahwa dia adalah wali si pengantin wanita. Maka Ali mengatakan, 'Bukan, bahkan dia adalah suami'."
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa di dalam suatu riwayat dari Ibnu Abbas, Jubair ibnu Mut'im, Sa'id ibnul Musayyab, Syuraih di dalam salah satu pendapatnya, Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, Asy-Sya'bi. Ikrimah, Nafi', Muhammad ibnu Sirin, Ad-Dahhak, Muhammad ibnu Ka’b Al-Qurazi, Jabir ibnu Zaid, Abul Mijlaz, Ar-Rabi' ibnu Anas, has ibnu Mu'awiyah, Makhul, dan Muqatil ibnu Hayyan, disebutkan bahwa dia (orang yang di tangannya ikatan nikah) adalah suami.
Menurut kami, pendapat ini pula yang dikatakan oleh Imam Syafii dalam salah satu qaul jadid-nya, mazhab Imam Abu Hanifah dan semua temannya, As-Sauri, Ibnu Syabramah, dan Al-Auza'i. Ibnu Jarir memilih pendapat ini.
Alasan pendapat ini yang mengatakan bahwa orang yang di tangannya terpegang ikatan nikah secara hakiki adalah suami, karena sesungguhnya hanya di tangan suamilah terpegang ikatan nikah, kepastian, pembatalan, dan pengrusakannya. Perihalnya sama saja, ia tidak boleh memberikan sesuatu pun dari harta anak yang berada dalam perwaliannya kepada orang lain, begitu pula dalam masalah mas-kawin ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa pendapat yang kedua mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna orang yang di tangannya terdapat ikatan nikah. Ibnu Abbas mengatakan, dia adalah ayahnya atau saudara laki-lakinya atau orang yang si wanita tidak boleh kawin melainkan dengan seizinnya.
Telah diriwayatkan dari Alqamah, Al-Hasan, Ata, Tawus, Az-Zuhri, Rabi'ah, Zaid ibnu Aslam, Ibrahim An-Nakha'i, Ikrimah di dalam salah satu pendapatnya dan Muhammad ibnu Sirin menurut salah satu pendapatnya, bahwa dia adalah wali.
Pendapat ini merupakan mazhab Imam Malik dan pendapat Imam Syafii dalam qaul qadim-nya. Alasannya ialah karena walilah yang mengizinkan mempelai lelaki boleh mengawininya, maka pihak walilah yang berkuasa menentukannya; berbeda halnya dengan harta lain milik si mempelai wanita (maka pihak wali tidak berhak ber-tasarruf padanya).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnur Rabi' Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa Allah telah mengizinkan untuk memberi maaf, bahkan menganjurkannya. Karena itu, wanita yang memaafkan, tindakannya itu diperbolehkan. Apabila ternyata dia kikir dan tidak mau memaafkan, maka pihak walinyalah yang boleh memaafkan. Hal ini jelas menunjukkan keabsahan tindakan pemaafan si wali, sekalipun pihak mempelai wanita bersikap keras.
Riwayat ini diketengahkan melalui Syuraih, tetapi sikapnya itu diprotes oleh Asy-Sya'bi. Akhirnya Syuraih mencabut kembali pendapatnya dan cenderung mengatakan bahwa dia adalah suami, dan tersebutlah bahwa Asy-Sya'bi melakukan mubahalah terhadapnya (Syuraih) untuk memperkuat pendapatnya ini.
{وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى}
dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. (Al-Baqarah: 237)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa sebagian kalangan mufassirin mengatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada kaum lelaki dan kaum wanita.
{وَلا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ}
dan janganlah kalian melupakan keutamaan di antara kalian. (Al-Baqarah: 237)
Apabila seseorang kedatangan orang yang meminta-minta, sedangkan ia tidak memiliki sesuatu pun yang akan diberikan kepadanya, maka hendaklah ia berdoa untuknya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
{إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ}
Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kalian kerjakan. (Al-Baqarah: 237)
Yakni tiada sesuatu pun dari urusan kalian dan sepak terjang kalian yang samar bagi Allah Swt. Kelak Dia akan membalas semua orang sesuai dengan amal perbuatan yang telah dikerjakannya.
D.    Pendapat Ulama
1.      Q.S An-Nisa’ : 19-21
Abul qasim bin abu habib balmahdiyah memberitakan pada saya , dari abul qasim as-sayuri dari abu bakar bin abdur rahman , dia berkata , " syaikh abu muhammad bin abu zaid dikenal sebagai sosok yang memiliki ilmu dan agama yang sangat kuat . namun sayangnya , dia memiliki seorang istri yang memiliki perilaku dan pergaulan yang buruk . dia banyak tidak memenuhi hak–hak suaminya itu . dia sering menyakiti suami nya dengan ucapan dari lidahnya dengan cara yang sangat pedas . Maka , ada sebagian orang yang berkomentar tentang istrinya ini , dia mengatakan bahwa dirinya hendaknya sabar atasnya . dia juga berkata , " saya adalah seorang lelaki yang telah Allah sempurnakan ni'mat-Nya kepadaku ' dengan badan yang sehat , dengan ilmu pengetahuan yang Allah berikan , serta budak yang aku miliki . Mungkin dia diberikan kepada saya sebagai ujian atas agama saya . Maka saya khawatir jika menceraikannya , Allah akan menurunkan ujian yang lebih berat daripadanya kepada saya
2.      QS Al-Baqarah: 237
As-Saddi meriwayatkan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: kecuali jika istri-istri kalian ilu memaafkan. (Al-Baqarah: 237) Bahwa makna yang dimaksud ialah 'kecuali jika si janda yang bersangkutan memaafkan dan merelakan haknya'.
Imam Abu Muhammad ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan dari Syuraih, Sa'id ibnul Musayyab, Ikrimah, Mujahid, Asy-Sya'bi, Al-Hasan, Nafi', Qatadah, Jabir ibnu Zaid, Ata Al-Khurrasani, Ad-Dahhak, Az-Zuhri, Muqatil ibnu Hayyan, Ibnu Sirin, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi hal yang semisal.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, lain halnya dengan Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, ia berpendapat berbeda. Ia mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: terkecuali jika istri-istri kalian itu memaafkan. (Al-Baqarah: 237) Yang dimaksud ialah para suami.
Akan tetapi, pendapat ini bersifat syaz (menyendiri) dan tidak dapat dijadikan sebagai pegangan.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, bahwa ia pernah mendengar Ibnu Juraij menceritakan asar berikut dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. (Al-Baqarah: 237) Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang paling dekat kepada takwa di antara kedua belah pihak (suami istri) adalah orang yang memaafkan. Hal yang sama telah diriwayatkan pula dari Asy-Sya'bi dan lain-lainnya.
Mujahid, An-Nakha'i, Ad-Dahhak, Muqatil ibnu Hayyan, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Sauri mengatakan bahwa hal yang utama dalam masalah ini ialah hendaknya pihak wanita memaafkan separo mas kawinnya, atau pihak lelaki melengkapkan maskawin secara penuh buat pihak wanita. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: Dan janganlah kalian melupakan keutamaan di antara kalian. (Al-Baqarah: 237) Yang dimaksud dengan al-fadl ialah kebajikan, menurut Sa'id.
E.     Hadits-hadits yang mendukung
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إسحاق، حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ الْوَلِيدِ الْوَصَّافِيُّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيْدٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "ليأتينَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ عَضُوض، يَعَضّ الْمُؤْمِنُ عَلَى مَا فِي يَدَيْهِ وَيَنْسَى الْفَضْلَ، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ} شِرَارٌ يُبَايِعُونَ كُلَّ مُضْطَرٍّ، وَقَدْ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْمُضْطَرِّ، وَعَنْ بَيْعِ الغَرَر، فَإِنْ كَانَ عِنْدَكَ خَيْرٌ فعُدْ بِهِ عَلَى أَخِيكَ، وَلَا تَزِدْهُ هَلَاكًا إِلَى هَلَاكِهِ، فَإِنَّ الْمُسْلِمَ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحْزُنه وَلَا يَحْرِمُهُ"
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Uqbah ibnu Makram, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Walid Ar-Rassafi, dari Abdullah ibnu Ubaid, dari Ali ibnu Abu Talib, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya benar-benar akan datang atas manusia suatu zaman yang kikir akan kebajikan, seorang mukmin menggigit (kikir) apa yang ada pada kedua tangannya (harta bendanya) dan melupakan kebajikan. Padahal Allah Swt. telah berfirman, "Janganlah kalian melupakan keutamaan (kebajikan) di antara kalian" (Al-Baqarah: 237). Mereka adalah orang-orang yang jahat, mereka melakukan jual beli dengan semua orang yang terpaksa.  Rasulullah Saw. sendiri melarang melakukan jual beli terpaksa dan jual beli yang mengandung unsur tipuan. Sebagai jalan keluarnya ialah apabila kamu memiliki kebaikan, maka ulurkanlah tanganmu untuk menolong saudaramu. Janganlah kamu menambahkan kepadanya kebinasaan di atas kebinasaan yang dideritanya, karena sesungguhnya seorang muslim itu adalah saudara muslim yang lain; ia tidak boleh membuatnya susah, tidak boleh pula membuatnya sengsara.



PENUTUP

A.    Kesimpulan
Abul qasim bin abu habib balmahdiyah memberitakan pada saya , dari abul qasim as-sayuri dari abu bakar bin abdur rahman , dia berkata , " syaikh abu muhammad bin abu zaid dikenal sebagai sosok yang memiliki ilmu dan agama yang sangat kuat . namun sayangnya , dia memiliki seorang istri yang memiliki perilaku dan pergaulan yang buruk . dia banyak tidak memenuhi hak–hak suaminya itu .
mazhab Imam Malik dan pendapat Imam Syafii dalam qaul qadim-nya. Alasannya ialah karena walilah yang mengizinkan mempelai lelaki boleh mengawininya, maka pihak walilah yang berkuasa menentukannya; berbeda halnya dengan harta lain milik si mempelai wanita (maka pihak wali tidak berhak ber-tasarruf padanya).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnur Rabi' Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa Allah telah mengizinkan untuk memberi maaf, bahkan menganjurkannya. Karena itu, wanita yang memaafkan, tindakannya itu diperbolehkan. Apabila ternyata dia kikir dan tidak mau memaafkan, maka pihak walinyalah yang boleh memaafkan. Hal ini jelas menunjukkan keabsahan tindakan pemaafan si wali, sekalipun pihak mempelai wanita bersikap keras.
B.     Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan, masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam bahasanya, materi dan penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran dan masukan yang dapat membangun penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Haji Abdul Malik Abdulkarim Amrullah (HAMKA). Tafsir Al-Azhar. (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983
Tafsir al-Qur'an al-'Adzim, al-Imam al-Hafidh Abul Fida Isma'il ibnu Katsir, Maktabah al-Ulum wal Hikam – Madinah, 1993 M.
Rowa'iul Bayan Tafsir Ayatil Ahkam minal Qur'an, Muhammad Ali al-Shobuni, Dar Ihya Turots al-Arobi.
Al-Jami' li Ahkamil Qur'an, al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthubi, Darul Kutub al-Ilmiyah – Bairut, 1993 M.
Kadar M. Yusuf. Tafsir Ayat Ahkam: Tafsir Tematik Ayat-ayat Hukum. Jakarta: Bumi Aksara, 2013
Tafsir Wanita, tarjamah 'Tafsir al-Qur'an al-Azhim li an-Nisa karya Syaikh Imad Zaki al-Barudi, penerjemah : Samson Rahman, Pustaka al-Kautsar, 2003 M.




[1]Haji Abdul Malik Abdulkarim Amrullah (HAMKA). Tafsir Al-Azhar. (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983), h. 299
[2] Haji Abdul Malik Abdulkarim Amrullah (HAMKA). Op.Cit. h. 299
[3] Ibid, h. 300
[4] Tafsir al-Qur'an al-'Adzim, al-Imam al-Hafidh Abul Fida Isma'il ibnu Katsir, (Maktabah al-Ulum wal Hikam – Madinah, 1993 M.) h. 441
[5] Tafsir al-Qur'an al-'Adzim, al-Imam al-Hafidh Abul Fida Isma'il ibnu Katsir, (Maktabah al-Ulum wal Hikam – Madinah, 1993 M), h. 63
[6] Rowa'iul Bayan Tafsir Ayatil Ahkam minal Qur'an, Muhammad Ali al-Shobuni, Dar Ihya Turots al-Arobi.
[7] Al-Jami' li Ahkamil Qur'an, al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthubi, (Darul Kutub al-Ilmiyah – Bairut, 1993 M.) h. 63-64
[8] Al-Jami' li Ahkamil Qur'an, Op.Cit. h. 62-63
[9] Tafsir al-Qur'an al-'Adzim, Op.Cit.  h. 441
[10] Ibid.
[11] Kadar M. Yusuf. Tafsir Ayat Ahkam: Tafsir Tematik Ayat-ayat Hukum. (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 197
[12] al-Jami li ahkamil Qur'an, Op.Cit. hal 62-63,
[13] Tafsir al-Qur'an al-Adzim, Op.Cit. hal 441,
[14] Tafsir Wanita, tarjamah 'Tafsir al-Qur'an al-Azhim li an-Nisa karya Syaikh Imad Zaki al-Barudi, penerjemah : Samson Rahman, (Pustaka al-Kautsar, 2003 M.), h. 400

No comments:

Post a Comment