Makalah Tokoh Pembaharuan Dalam Islam

BAB I
PENDAHULUAN
Terpuruknya nilai–nilai pendidikan dilatar belakangi oleh kondisi internal Islam yang tidak lagi menganggap ilmu pengetahuan umum sebagai satu kesatuan ilmu yang harus diperhatikan. Selanjutnya, ilmu pengetahuan lebih banyak diadopsi bahkan dimanfaatkan secara komprehensif oleh barat yang pada masa lalu tidak pernah mengenal ilmu pengetahuan.
Secara garis besar ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya proses pembaharuan Islam. Pertama faktor internal yaitu, faktor kebutuhan pragmatis umat Islam yang sangat memerlukan satu system yang betul – betul bisa dijadikan rujukan dalam rangka mencetak manusia – manusia muslim yang berkualitas, bertaqwa, dan beriman kepada Allah. Kedua faktor eksternal adanya kontak Islam dengan barat juga merupakan faktor terpenting yang bisa kita lihat. Adanya kontak ini paling tidak telah menggugah dan membawa perubahan phragmatik umat Islam untuk belajar secara terus menerus kepada barat, sehingga ketertinggalan yang selama ini dirasakan akan bisa terminimalisir.
Dalam makalah ini, kami lebih menekankan pada makna pembaharuan beserta landasan dan tujuan pembaharuan Islam.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tokoh Pembaharuan Dalam Islam kawasan Timur
1.      Jamaluddin Al-Afghani
a.       Biografi
Jamaluddin Al-Afghani lahir di As’adabad, dekat Kanar di Distrik Kabul, Afghanistas tahun 1839 dan meninggal di Istambul tahun 1897.[1] Tetapi penelitian para sarjana menunjukkan bahawa ia sebenarnya lahir di kota yang bernama sama (As’adabad) tetapi bukan di Afghanistan, melainkan di Iran. Ini menyebabkan banyak orang, khususnya mereka di Iran lebih suka menyebut pemikir pejuang muslim modernis itu Al-As’adabi, bukan Al-Afghani, walaupun dunia telah terlanjur mengenalnya sebagaimana dikehendaki oleh yang bersangkutan sendiri, dengan sebutan Al-Afghani.[2] Ia mempunyai pertalian darah dengan Husein bin Ali melalui Ali At-Tirmizi,ahli hadis terkenal. Keluarganya mengikuti mazhab Hanafi. Ia adalah seorang pembaharu yang berpengaruh di Mesir. Ia menguasai bahasa-bahasa Afghan, Turki, Persia, Perancis dan Rusia.
Pendidikannya sejak kecil sudah diajarkan mengaji Al-Qur’an dari ayahnya sendiri, di samping bahsa Arab dan Sejarah. Ayahnya mendatangkan  seorang guru ilmu tafsir, hadits, dan fiqih yang dlengkapi dengan ilmu tasawuf dan ilmu ketuhanan, kemudian dikirim ke India untuk mempelajari ilmu pengetahuan modern (Erofa).
Ia menetap di Kairo dan menjauhkan urusan politik untuk berkonsentrasi ke bidang ilmiah dan sastra Arab. Rumah tempat tinggalnya menjadi pusat pertemuan bagi para mahasiswa, diantaranya adalah Muhammad Abduh.[3]
Melihat kepada kegiatan politik yang demikian besar dan daerah yang demikian luas, maka dapat dikatakan bahwa Al-Afghani lebih banyak bersifat pemimpin politik daripada pemimpin dan pemikir pembaharuan dalam Islam, tetapi kegiatan yang dijalankan Al-Afghani sebenarnya didasarkan pada ide-idenya tentang pembaharuan dalam Islam.
b.      Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani
Menurut Afgany, ilmu pengetahuan yang dapat menundukkan suatu bangsa, dan ilmu pula sebenarnya yang berkuasa di dunia ini yang kadangkala berpusat di Timur ataupun di Barat. Ilmu juga yang mengembangkan pertanian, industri, dan perdagangan, yang menyebabkan penumpukan kekayaan dan harta. Tetapi filsafat menurutnya merupakan ilmu yang laping teratas kedudukannya di antara ilmu-ilmu yang lain.[4]
Selain itu beliau juga dikenal sebagai pejuang prinsip egaliter yang universal. Salah satu gagasannya adalah persamaan manusia antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya keduanya mempunyai akal untuk berpikir, maka tidak ada tantangan bagi wanita bekerja di luar jika situasi menginginkan.[5]
Ini membuktikan bahwa pendidikan bagi beliau mendapat prioritas utama agar umat Islam bisa bangkit dari keterpurukan menuju kemajuan. Dalam hal menuntut ilmu tidak dibatasi kepada laki-laki saja melainkan perempuan pun harus ikut andil dalam bidang pendidikan tersebut.
2.      Tahtawi
a.       Biografi
 al-Tahtawi memiliki nama lengkap Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi, ia merupakan pembawa pemikiran pembaharuan yang besar pengaruhnya di pertengahan pertama dari abad ke-19. Ia lahir di Tahta pada tahun 1801, Tahta merupakan kota yang berada di bagian selatan mesir dan wafat pada tahun 1873 di kairo. Ketika Muhammad Ali mengambil alih kekayaan di Mesir, harta orang tua al-Tahtawi termasuk dalam kekayaan yang dikuasai itu dan ia terpaksa menempuh pendidikan masa kecilnya oleh bantuan dari keluarga ibunya. Ketika berumur 16 tahun al-Tahtawi memutukan untuk melanjutkan studinya ke al-Azhar dan pada tahun 1822 ia menyelesaikan studinya.
Al-Tahtawi merupak murid kesayangan dari gurunya Syaikh Hasan al-Attar yang banyak mempunyai hubungan dengan Napoleon ketika ia datang ke mesir. Gurunya al-Tahtawi ini sering mengadakan kunungan kepada ahli-ahli dari Prancis tersebut untuk mengetahui kemajuan ilmu pengetahuan mereka. Dan mereka pun menerima kunjungan itu dengan senang hatu karena mereka bisa belajar bahasa arab dari gurunya al-Tahtawi.
b.      Pemikiran
Di antara pendapat baru yang dikemukakannya adalah ide pendidikan yang universal. Sasaran pendidikannya terutama ditujukan kepada pemberian kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan di tengah masyarakat. Menurutnya, perbaikan pendidikan hendaknya dimulai dengan memberikan kesempatan belajar yang sama antara pria dan wanita, sebab wanita itu memegang posisi yang menentukan dalam pendidikan. Wanita yang terdidik akan menjadi isteri dan ibu rumah tangga yang berhasil. Mereka yang diharapkan melahirkan putra-putri yang cerdas.[6]
Bagi al-Tahtawi, pendidikan itu sebaiknya dibagi dalam tiga tahapan. Tahap I adalah pendidikan dasar, diberikan secara umum kepada anak-anak dengan materi pelajaran dasar tulis baca, berhitung, al-Qur’an, agama, dan matematika. Tahap II, pendidikan menengah, materinya berkisar pada ilmu sastra, ilmu alam, biologi, bahasa asing, dan ilmu-ilmu keterampilan. Tahap III, adalah pendidikan tinggi yang tugas utamanya adalah menyiapkan tenaga ahli dalam berbagai disiplin ilmu.[7]
Dalam proses belajar mengajar, al-Tahtawi menganjurkan terjalinnya cinta dan kasih sayang antara guru dan murid, laksana ayah dan anaknya. Pendidik hendaknya memiliki kesabaran dan kasih sayang dalam proses belajar mengajar. Ia tidak menyetujui penggunaan kekerasan, pemukulan, dan semacamnya, sebab merusak perkembangan anak didik.[8]
Dengan demikian, dipahami bahwa al-Tahtawi sangat memperhatikan metode mengajar dengan pendekatan psikologi belajar.
3.      Muhammad Abduh
a.       Biografi
Syekh Muhamad Abduh bernama lengkap Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah.  Beliau dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada 1850 M/1266 H, berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya dan bukan pula keturunan bangsawan.
Muhammad Abduh hidup dalam lingkungan keluarga petani di pedesaan.  Namun demikian, ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan. Semua saudaranya membantu ayahnya mengelola usaha pertanian, kecuali Muhammad Abduh yang oleh ayahnya ditugaskan untuk menuntut ilmu pengetahuan.  Pilihan ini bisa jadi hanya suatu kebetulan atau mungkin juga karena ia sangat dicintai oleh ayah dan ibunya. Hal tersebut terbukti dengan sikap ibunya yang tidak sabar ketika ditinggal oleh Muhammad Abduh ke desa lain, baru dua minggu sejak kepergiannya, ibunya sudah datang menjenguk. Beliau dikawinkan dalam usia yang sangat muda yaitu pada tahun 1865,  saat ia baru berusia 16 tahun.
Pendidikan Muhammad Abduh dimulai dari Masjid al-Ahmadi Thantha (sekitar 80 Km. dari Kairo) untuk mempelajari tajwid Al-Qur'an.  Setelah dua tahun berjalan di sana, pada tahun 1864 ia memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-saudara dan kerabatnya.  Waktu kembali ke desa inilah ia dikawinkan.
b.      Pemikiran
Menurut Abduk, pendidikan merupakan lembaga yang paling strategis untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan sosial secara sistematis. Gagasannya yang paling mendasar dalam sistem pendidikan adalah bahwa ia sangat menentang sistem dualisme. Menurutnya, dalam lembaga-lembaga pendidikan umum harus diajarkan agama. Sebaliknya, dalam lembaga-lembaga pendidikan agama harus diajarkan ilmu pengetahuan modern.
Usaha yang dilakukan oleh Abduh dalam mewujudkan gagasan pembaharuannya adalah melalui Universitas al-Azhar. Menurutnya, seluruh kurikulum pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan saat itu. Ilmu-ilmu filsafat dan logika yang sebelumnya tidak diajarkan, dihidupkan kembali. Demikian juga dengan ilmu-ilmu umum perlu diajarkan di al-Azhar.[9] Dengan memasukkan ilmu pengetahuan modern ke lembaga-lembaga pendidikan agama dan sebaliknya, dimaksudkan untuk memperkecil jurang pemisah antara golongan ulama dan ahli modern, dan diharapkan kedua golongan ini bersatu dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul di zaman modern.
4.      Rasyid Redha
a.       Biografi
Nama lengkap Muhammad Rasyid Rida adalah al-Sayyid Muhammad Rasyid Rida ibn Ali Rida ibn Muhammad Syamsuddin ibn al-Sayyid Baharuddin ibn al-Sayyid Munla Ali Khalifah al-Baghdadi.[10] beliau dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4 Km dari Tripoli, Libanon, pada bulan Jumadil ‘Ula 1282 H (1864 M). Dia adalah seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain, putra Ali ibn Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah saw.[11]
Pada tahun 1898 M. Muhammad Rasyid Rida hijrah ke Mesir untuk menyebarluaskan pembaharuan di Mesir. Dua tahun kemudian ia menerbitkan majalah yang diberi nama “al-Manar” untuk menyebar luaskan  ide-idenya dalam usaha pembaharuan.
b.      Pemikiran
Dalam bidang pendidikan, Rasyid Ridha memandang bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu, peradaban Barat modern harus dipelajari oleh umat Islam. Hal ini relevan dengan pendapat gurunya (Muhammad Abduh) bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat wajib dipelajari umat Islam untuk kemajuan mereka.[12] Beliau juga berpendapat bahwa mengambil ilmu pengetahuan Barat modern sebenarnya mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam.[13]
Usaha yang dilakukan di bidang pendidikan adalah membangun sekolah misi Islam dengan tujuan utama untuk mencetak kader-kader Muballig yang tangguh, sebagai imbangan terhadap sekolah misionaris Kristen. Sekolah tersebut didirikan pada tahun 1912 di Kairo dengan nama Madrasah al-Dakwah wa al-Irsyad.[14]
Dalam lembaga tersebut Ridha memadukan antara kurikulum Barat dan kurikulum yang biasa diberikan madrasah tradisional.
5.      Qasim Amin
a.       Biografi
Qasim Amin di lahirkan  di kota Cairo paada tahun 1863, dari seorang ayah Muhammad Beik Amin yang berdarah Turki dan Ibundanya berdarah Mesir Kelahiran Sha’id. Keluarga Muhammad Beik berasal dari keluarga penguasa negara dan tergolong kaya.
Muhammad Beik juga merupakan sosok pratisi yang tergolong ilmuan dan kaya dengan pengalaman praktis, terutama dari pengalaman  sebagai pegawai tinggi Turki, Beliau juga turut berperan dalam karir Amin. Karena sang ayah tidak rela jika anaknya hanya sekedar mempunyai kemampuan teoritis.
Cara Beliau mewujudkan kepeduliannya yaitu dengan cara menjalin hubungan yang baik dengan Mustafa Fahmi. Yaitu dengan cara, menitipkan putranya untuk dilatih secara praktis di kantor pengacara tersebut.
Qasim Amin ialah sosok intelektual Mesir yang memiliki basis pendidikan dan pergaulan yang luas, perjalanannya pun mulai dari Dunia Arab khas Timur Tengah hingga dunia Eropa dan Amerika yang metropolis. Qasim Amin bisa diandaikan sebagai “ikon” yang begitu getol memperjuangkan terciptanya peradaban baru islam yang berbingkai keadilan, kesetaraan dan kemuliaan bagi laki-laki dan perempuan sekaligus.
b.      Pemikiran
Usaha Amin memberdayakan dan mengangkat martabat perempuan, di mata Amin, adalah usaha untuk menegakkan apa yang di pandangnya  sebagai prinsip  ideal Islam vis avis realitas sosial perempuan Mesir, dan juga demi sebuah kemajuan bangsa.
Gagasan ini muncul sebagai refleksi dan wujud kepedulisn intelektual Amin terhadap realitas perempuan Mesir. Ia juga melihat perempuan di Mesir telah dipinggirkan dalam relasi laki-laki. Ide emansipasi wanita yang dicetuskan oleh Qasim Amin timbul karena sentakan tulisan wanita prancis  Duc. D’ Haorcourt yang mengkritik  struktur sosial masyarakat Mesir, terutama keadaan perempuan di sana.[15]
Qasim Amin begitu menaruh harapan kepada kaum perempuan untuk dapat menempuh pendidikan. Karena terdapat hubungan yang positif antara pendidikan perempuan dengan kemajuan perempuan. Pendidikan untuk perempuan di yakini sebagai salah satu cara untuk melepaskan kaum perempuan Mesir dari perlakuan diskriminatif.
6.      Thaha Husein
a.       Biografi
Thaha Husein dilahirkan tahun 1889 M. di Izbat al-Kilu. Ketika berumur dua tahun telah terkena penyakit optualmia (kebutaan), penyakit yang biasa menyerang anak-anak ketika itu, namun penyakit tersebut tidak menghalanginya menuntut ilmu. Ia belajar al-Quran dan dapat menghafalnya pada usia sembilan tahun.
Pada tahun 1902, ia dikirim orang tuanya untuk belajar di al-Azhar dengan harapan agar kelak Thaha Husein menjadi alim Azhar, memberi palajaran agama dalam halaqah yang besar.
Akan tetapi Thaha Husein keluar dari al-Azhar, ia kecewa dengan sistem pengejarannya yang sempit dan tidak berkembang serta materi pelajarannya amat tradisonal dan menjemukan. Pada tahun 1905, ia mendalami pemikiran Muhammad Abduh, salah satu yang amat menonjol dari keterpengaruhannya adalah sikapnya yang menentang praktek tawassul di desanya sehingga dicap sebagai seorang yang tersesat dan menyesatkan.
Pada tahun 1908 bersamaan dengan dibukanya Universitas Kairo, Thaha Husein mendaftarkan diri, di sinilah ia berkenalan dengan sederatan orientalis semisal Iguazio Buidi, Enno Litman, Santillana, Nallino dan Masignon. Pada tanggal 5 Mei 1914 Thaha Husein mempertahankan disertasinya yang berjudul Dzikra Abi al-'Ala dan berhasil yudisium jayyid jiddan pada tahun itu juga Thaha Husein dikirim ke Perancis untuk belajar sejarah.
b.      Pemikiran
Untuk meningkatkan intelektual umat Islam, beliau melihat bahwa perguruan tinggi adalah sarana terbaik mencetak ilmuwan dan tenaga ahli yang diharapkan melakukan perubahan-perubahan fundamental yang dapat memajukan Mesir yang saat itu masih berada pada kondisi yang memprihatinkan dan terkebelakang dalam berbagai bidang khususnya pendidikan, di banding dengan Dunia Barat.
Menurut beliau, universitas tersebut mencerminkan intelektual, keilmiahan, dan memiliki metode analisis modern. Kemerdekaan intelektual dan kemerdekaan jiwa menurutnya hanya bisa diperoleh melalui kemerdekaan ilmu dan intelektual.[16]
Untuk mendapatkan kemerdekaan ilmu dan intelektual, maka beliau menegaskan agar sistem pendidikan Mesir harus didasarkan pada sistem dan metode Barat sejak tingkat menengah sampai ke Perguruan Tinggi, demikian juga metode penelitiannya.[17]
Gagasan Thaha Husain ini memiliki arti penting bagi kemajuan ilmu pengetahuan di Mesir karena mampu melahirkan inovasi-inovasi baru dalam bidang pendidikan dan di sinilah muncul kemampuan belajar efektif dalam belajar yang sesungguhnya.
B.     Tokoh Pembaharuan Islam di Turki
1.      Sultan Mahmud II
Kegagalan Sultan Sanlim III tidak menyulutkan penggantinya  Sultan Mahmud II untuk mengadalan pembaharuan. Pada tahun 1826 Sultan Mahmud II membentuk korp tentara baru di luar Jeniseri dan menggunakan instruktur dari Mesir  tidak berasal dari Eropa agar tidak direspon negatif oleh ulama dan segera membubarkan. 
Jeniseri serta melarang Tarekat Bektasy, mengadakan penghapusan wajir agung diganti dengan perdana menteri, wajir agung pada saat itu dipegang oleh syaikh al-Islam, pembaharuan sistem hukum yang memberlakukan hukum sekuler di samping hukum syari’ah, peradilan syariah diserahkan kepada syaikh al-Islam sedangkan peradilan sekuler diserahkan kepada Majlich-I Ahkam-I Adliye, dan pembaharuan di bidang pendidikan dengan membentuk sekolah umum ( Mekteb-I Ma’arif) dan sekolah sastra ( mekteb-i ‘Ulum-u Edebiye).[18]
2.      Tanzimat
Sepeninggal Sultan Mahmud II, gerakan pembaharuan dilakukan oleh Abdul Majid (1839-1861) dengan perdana menteri Rasyid Pasya. Periode ini disebut masa Tanzimat  yang mengandung arti peraturan dan perundang-undangan baru. Tokoh-tokoh Tanzimat antara lain: Rasyid Pasya, Mehmed Sadik Rifat Pasya, dan Muhammad Ali Pasya dan Fuad Pasya.
Diantara beberapa peraturan perundang-undangan yang dihasilkan pada masa tanzimat antara lain:[19]
a.       Piagam Hatt-I Sherif Gulhane tahun 1839 sebagai dasar pembaharuan di bidang administrasi, perpajakan, hukum, pendidikan, kau minoritas dan militer yang menyebabkan perang di Crimea akibat penolakan kaum ulama akibat dari  reduksi  peran ulama.
b.      Piagam Hatt-I Humayun ( 1856 M) yang mengakomodir hak-hak minoritas. Piagam ini mendapat reaksi keras dari ulama dan kelompok penduduk yang berpendidikan Barat yang tergabung dalam Usmani Muda.
3.      Utsmani Muda
Usmani Muda merupakan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1865 dengan tujuan untuk mengubah pemerintahan absolut menjadi pemerintahan yang konstitusional. Tokoh Usmani muda antara lain Mihdat Pasya, Ziya Pasya, dan Nanik Kemal.
Kematian Perdana Menteri Ali Pasya ( 1871 M)  menandai berakhirnya Tanzimat, gerakan pembaharuan diganti oleh kelompok Usmani Muda yang berhasil menurunkan secara paksa Sultan Abdul Aziz pada tahun 1876 melalui fatwa Syaikh al-Islam dan diganti oleh Murad V yang mendapat dukungan Usmani Muda. Akan tetapi karena Murad V dianggap tidak berhasil memimpin Turki Usmani dan dianggap sakit mental oleh Syaikh al-Islam di kemudian hari, maka diganti oleh S sultan Abdul Hamid ( 31 Agustus 1876) dan perdana menterinya Mihdat Pasya salah seorang tokoh Usmani Muda.[20]
Usmani Muda dalam pembaharuannya terbagi kepada 2 partai ditinjau dari segi liberalisnya. Usmani Muda pertama liberal yang menghendaki sistem pemerintahan otonomi bagi daerah-daerah ( desentralisasi), kedua Usmani muda yang tergabung dalam partai Ittihadi ve Terekki, pemenang pemilu 1908 yang ingin mempertahankan sistem pemerintahan sentralistik. Dan pada tahun 1912 M, partai tersebut juga tampil sebagai pemenang  yang melibatkan diri Turki Usmani dalam perang Balkan bersama Jerman dengan harapan menjadi media untuk merebut kembali daerah-daerah yang sudah memerdekakan diri sebelumnya dalam sistem pemerintahan federasi. Diantara negara yang sudah memerdekakan diri dari Turki Usmani Bulggaria,Austria, Yunani, Bosnia dan Herzegivina.
4.      Turki Muda
Setelah dibubarkannya parlemen dan dihancurkannya gerakan Usmani Muda, maka Sultan Abdul Hamid memerintah dengan kekuasaan yang lebih absolut. Kebebasan berbicara dan menulis tidak ada. Dalam suasana yang demikian timbullah gerakan oposisi terhadap pemerintah yang obsolut Sultan Abdul Hamid sebagaimana halnya di zaman yang lalu dengan Sultan Abdul Aziz. Gerakan oposisi dikalangan perguruan tinggi, mengambil bentuk perkumpulan rahasia, dikalangan cendekiawan dan pemimpin-pemimpinnya lari ke luar negeri dan disana melanjutkan oposisi mereka dan gerakan di kalangan militer menjelma dalam bentuk komite-komite rahasia. Oposisi berbagai kelompok inilah yang kemudian dikenal dengan nama Turki Muda.Tokoh-tokoh Turki Muda, antara lain adalah Ahmad Riza (1859-1930), Mehmed Murad (1853-1912) dan Pangeran Sahabuddin (1887-1948).[21]
5.      Kemal At-Turk
Mustafa Kemal lahir pada 1881 di suatu daerah di Salonika. Sering dikenal dengan nama Mustafa Kemal Pasya. Dan dikenal juga dengan Mustafa Kemal Attaturk (Bapak Bangsa Turki). Beliau juga mendapat julukan Ghazi, artinya sang pembela keyakinan. Julukan ini diberikan ketika beliau dengan gemilang membawa Turki kepada kemenangan dalam perang kemerdekaan melawan Yunani, Mustafa Kemal dielu-elukan dan dipanggil dengan gelar kehormatan Ghazi. Ayahnya bernama Ali Riza, seorang juru tulis rendahan di salah satu kantor pemerintahan di kota itu. Beliau sempat mencoba lari dari kemalangan hidupnya dengan cara menegak racun. Sedangkan Ibunya bernama Zubayde, seorang wanita sholihah. Ali Riza meninggal saat Mustafa Kemal berusia tujuh tahun sehingga ia kemudian diasuh oleh ibunya.[22]
Sejak kecil, Mustafa Kemal memiliki bakat untuk selalu memberontak terhadap segala keadaan yang tidak berkenan di hatinya. Ia secara brutal menentang peraturan apapun. Bahkan, tanpa malu-malu ia sering memaki-maki gurunya saat bersekolah. Sehingga suatu hari pernah ditampar salah satu gurunya karena sang guru sudah kehilangan kesabaran menghadapi perilaku Mustafa Kemal. Dan akibatnya, Mustafa Kemal kecil lari dan tidak mau masuk sekolah lagi.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Karakteristik pembaharuan Islam yang terjadi di Mesir dan Turki ada  keragaman yang menjadi  acuan serta latar belakang tokohnya. Pembaharuan di Mesir lebih banyak berangkat dan digerakan pembaharuan pemikiran akademis baik itu dari lulusan Al-Azhar sebagai tempat khazanah ilmu atau perguruan tinggi lainnya. Begitu pula latar belakang kehidupan dan pengalaman seorang tokoh pembaharu akan mewarnai gerakan pembaharuan yang dilakukannya, seperti adanya perbedaan gerakan pembaharuan  Jamaludin al-Afghani dengan Muhammad Abduh.  Sedangkan pembaharuan di Turki lebih terpokus kepada tokoh kepemimpinan atau kelompok yang  menyokong kekuasaan pada saat itu dengan melihat Barat sebagai acuannya.
Di Mesir tokoh pembaharuan berhadapan dengan keadaan pola pendidikan, politik dan sosial keagamaan masyarakat yang sedang mengalami penjajahan dari bangsa Barat, sementara di Turki melihat Barat sebagai negara yang telah mengalahkan mereka di kancah perpolitikan dunia dengan cara mengimbangi atau lebih banyak belajar kepada Barat dalam segala halnya. Sehingga segala sesuatu yang akan menghalangi tujuan tersebut akan dilawan  dengan cara revolusioner seperti yang dilakukan Mustafa  Kemal yang menghapuskan kekhilafahan Turki Usmani menjadi Republik Turki.
B.     Saran



DAFTAR PUSTAKA
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, t.th.), h. 181.
A. Athaillah, Aliran Akidah Tafsîr al-Manar, Banjarmasin: Balai Penelitian IAIN Antasari, 1990.
Ahmad Amin, Islam dari Masa ke masa, Bandung: Remaja /Rosdakarya.
Ali Mufradi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab .Cet. II; Jakarta: Logos, 1999.
Eka Yanuarti.Kumpulan Materi Pemikiran Modern Dalam Islam.
John J. Donohue, John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
H.M. Yusran Asmuni. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Isam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran / Tafsir, Jakarta : Bulan Bintang, 1994.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang. 
Qasim Amin, Sejarah Penindasan Perempuan, Menggugat Islam Laki-Laki, Menggurat Perempuan Baru, .Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
Syahrin Harahap, Al-Qur’an dan Sekularisasi .Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.
Tim Penyusun Text Book Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Alauddin.Sejarah dan Kebudayaan Islam. Ujungpandang: IAIN Alauddin, 1993.
 



[1] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, op cit hal. 130
[2] Eka Yanuarti.Kumpulan Materi Pemikiran Modern Dalam Islam.hal 203
[3] Ibid, h. 203-204
[4]Ali Mufradi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Cet. II; Jakarta: Logos, 1999), h. 158
[5]Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia, ( Jakarta: Djambatan, 1992.), h. 300
[6] Tim Penyusun Text Book Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Alauddin.Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Ujungpandang: IAIN Alauddin, 1993.) h, 220
[7] Ibid,  h. 221
[8] Ibid, h. 221-222
[9] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, t.th.), h. 181.
[10] A. Athaillah, Aliran Akidah Tafsîr al-Manar, (Banjarmasin: Balai Penelitian IAIN Antasari, 1990), h. 13
[11] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran / Tafsir, (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), h. 280.
[12] Harun Nasution, op. cit., h. 151.
[13] Ibid, h. 75
[14] Redaksi Ensiklopedi Islam, Op. Cit., h. 163.
[15] Qasim Amin, Sejarah Penindasan Perempuan, Menggugat Islam Laki-Laki, Menggurat Perempuan Baru, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003) h. 85-109
[16] Syahrin Harahap, Al-Qur’an dan Sekularisasi (Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994), h. 99
[17] Ibid,
[18] H.M. Yusran Asmuni. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Isam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 3
[19] Ahmad Amin, Islam dari Masa ke masa, Bandung: Remaja Rosdakarya,  hal. 283
[20]John J. Donohue, John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 144-145
[21] Ibid,
[22] Ibid, h. 146

No comments:

Post a Comment