BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Terpuruknya
nilai–nilai pendidikan dilatar belakangi oleh kondisi internal Islam yang tidak
lagi menganggap ilmu pengetahuan umum sebagai satu kesatuan ilmu yang harus
diperhatikan. Selanjutnya, ilmu pengetahuan lebih banyak diadopsi bahkan
dimanfaatkan secara komprehensif oleh barat yang pada masa lalu tidak pernah
mengenal ilmu pengetahuan.
Secara garis
besar ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya proses pembaharuan Islam.
Pertama faktor internal yaitu, faktor kebutuhan pragmatis umat Islam yang
sangat memerlukan satu system yang betul – betul bisa dijadikan rujukan dalam
rangka mencetak manusia – manusia muslim yang berkualitas, bertaqwa, dan
beriman kepada Allah. Kedua faktor eksternal adanya kontak Islam dengan barat
juga merupakan faktor terpenting yang bisa kita lihat. Adanya kontak ini paling
tidak telah menggugah dan membawa perubahan phragmatik umat Islam untuk belajar
secara terus menerus kepada barat, sehingga ketertinggalan yang selama ini
dirasakan akan bisa terminimalisir.
Dalam makalah
ini, kami lebih menekankan pada makna pembaharuan beserta landasan dan tujuan
pembaharuan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tokoh
Pembaharuan Dalam Islam kawasan Timur
1.
Jamaluddin
Al-Afghani
a.
Biografi
Jamaluddin Al-Afghani lahir di As’adabad,
dekat Kanar di Distrik Kabul, Afghanistas tahun 1839 dan meninggal di Istambul
tahun 1897.[1] Tetapi penelitian para sarjana
menunjukkan bahawa ia sebenarnya lahir di kota yang bernama sama (As’adabad)
tetapi bukan di Afghanistan, melainkan di Iran. Ini menyebabkan banyak orang,
khususnya mereka di Iran lebih suka menyebut pemikir pejuang muslim modernis
itu Al-As’adabi, bukan Al-Afghani, walaupun dunia telah terlanjur mengenalnya
sebagaimana dikehendaki oleh yang bersangkutan sendiri, dengan sebutan Al-Afghani.[2] Ia mempunyai pertalian darah dengan
Husein bin Ali melalui Ali At-Tirmizi,ahli hadis terkenal. Keluarganya
mengikuti mazhab Hanafi. Ia adalah seorang pembaharu yang berpengaruh di Mesir.
Ia menguasai bahasa-bahasa Afghan, Turki, Persia, Perancis dan Rusia.
Pendidikannya sejak kecil sudah diajarkan
mengaji Al-Qur’an dari ayahnya sendiri, di samping bahsa Arab dan Sejarah.
Ayahnya mendatangkan seorang guru ilmu tafsir, hadits, dan fiqih yang
dlengkapi dengan ilmu tasawuf dan ilmu ketuhanan, kemudian dikirim ke India
untuk mempelajari ilmu pengetahuan modern (Erofa).
Ia menetap di Kairo dan menjauhkan urusan
politik untuk berkonsentrasi ke bidang ilmiah dan sastra Arab. Rumah tempat
tinggalnya menjadi pusat pertemuan bagi para mahasiswa, diantaranya adalah
Muhammad Abduh.[3]
Melihat kepada kegiatan politik yang demikian
besar dan daerah yang demikian luas, maka dapat dikatakan bahwa Al-Afghani
lebih banyak bersifat pemimpin politik daripada pemimpin dan pemikir
pembaharuan dalam Islam, tetapi kegiatan yang dijalankan Al-Afghani sebenarnya
didasarkan pada ide-idenya tentang pembaharuan dalam Islam.
b.
Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani
Menurut Afgany, ilmu pengetahuan yang dapat
menundukkan suatu bangsa, dan ilmu pula sebenarnya yang berkuasa di dunia ini
yang kadangkala berpusat di Timur ataupun di Barat. Ilmu juga yang
mengembangkan pertanian, industri, dan perdagangan, yang menyebabkan penumpukan
kekayaan dan harta. Tetapi filsafat menurutnya merupakan ilmu yang laping
teratas kedudukannya di antara ilmu-ilmu yang lain.[4]
Selain itu beliau juga dikenal sebagai
pejuang prinsip egaliter yang universal. Salah satu gagasannya adalah persamaan
manusia antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya keduanya mempunyai akal
untuk berpikir, maka tidak ada tantangan bagi wanita bekerja di luar jika
situasi menginginkan.[5]
Ini membuktikan bahwa pendidikan bagi beliau
mendapat prioritas utama agar umat Islam bisa bangkit dari keterpurukan menuju
kemajuan. Dalam hal menuntut ilmu tidak dibatasi kepada laki-laki saja
melainkan perempuan pun harus ikut andil dalam bidang pendidikan tersebut.
2.
Tahtawi
a.
Biografi
al-Tahtawi memiliki nama
lengkap Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi, ia merupakan pembawa pemikiran pembaharuan yang besar pengaruhnya di
pertengahan pertama dari abad ke-19. Ia lahir di Tahta pada tahun 1801, Tahta
merupakan kota yang berada di bagian selatan mesir dan wafat pada tahun 1873 di
kairo. Ketika Muhammad Ali mengambil alih kekayaan di Mesir, harta orang tua
al-Tahtawi termasuk dalam kekayaan yang dikuasai itu dan ia terpaksa menempuh
pendidikan masa kecilnya oleh bantuan dari keluarga ibunya. Ketika berumur 16
tahun al-Tahtawi memutukan untuk melanjutkan studinya ke al-Azhar dan pada
tahun 1822 ia menyelesaikan studinya.
Al-Tahtawi merupak murid
kesayangan dari gurunya Syaikh Hasan al-Attar yang banyak mempunyai hubungan
dengan Napoleon ketika ia datang ke mesir. Gurunya al-Tahtawi ini sering
mengadakan kunungan kepada ahli-ahli dari Prancis tersebut untuk mengetahui
kemajuan ilmu pengetahuan mereka. Dan mereka pun menerima kunjungan itu dengan senang
hatu karena mereka bisa belajar bahasa arab dari gurunya al-Tahtawi.
b.
Pemikiran
Di antara pendapat baru yang dikemukakannya
adalah ide pendidikan yang universal. Sasaran pendidikannya terutama ditujukan
kepada pemberian kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan di tengah
masyarakat. Menurutnya, perbaikan pendidikan hendaknya dimulai dengan
memberikan kesempatan belajar yang sama antara pria dan wanita, sebab wanita
itu memegang posisi yang menentukan dalam pendidikan. Wanita yang terdidik akan
menjadi isteri dan ibu rumah tangga yang berhasil. Mereka yang diharapkan
melahirkan putra-putri yang cerdas.[6]
Bagi al-Tahtawi, pendidikan itu sebaiknya
dibagi dalam tiga tahapan. Tahap I adalah pendidikan dasar, diberikan secara
umum kepada anak-anak dengan materi pelajaran dasar tulis baca, berhitung,
al-Qur’an, agama, dan matematika. Tahap II, pendidikan menengah, materinya
berkisar pada ilmu sastra, ilmu alam, biologi, bahasa asing, dan ilmu-ilmu
keterampilan. Tahap III, adalah pendidikan tinggi yang tugas utamanya adalah
menyiapkan tenaga ahli dalam berbagai disiplin ilmu.[7]
Dalam proses belajar mengajar, al-Tahtawi
menganjurkan terjalinnya cinta dan kasih sayang antara guru dan murid, laksana
ayah dan anaknya. Pendidik hendaknya memiliki kesabaran dan kasih sayang dalam
proses belajar mengajar. Ia tidak menyetujui penggunaan kekerasan, pemukulan,
dan semacamnya, sebab merusak perkembangan anak didik.[8]
Dengan demikian, dipahami bahwa al-Tahtawi
sangat memperhatikan metode mengajar dengan pendekatan psikologi belajar.
3.
Muhammad Abduh
a.
Biografi
Syekh Muhamad Abduh bernama lengkap Muhammad
bin Abduh bin Hasan Khairullah. Beliau dilahirkan di desa Mahallat Nashr
di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada 1850 M/1266 H, berasal dari keluarga yang
tidak tergolong kaya dan bukan pula keturunan bangsawan.
Muhammad Abduh hidup dalam lingkungan
keluarga petani di pedesaan. Namun demikian, ayahnya dikenal sebagai
orang terhormat yang suka memberi pertolongan. Semua saudaranya membantu
ayahnya mengelola usaha pertanian, kecuali Muhammad Abduh yang oleh ayahnya
ditugaskan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Pilihan ini bisa jadi hanya
suatu kebetulan atau mungkin juga karena ia sangat dicintai oleh ayah dan
ibunya. Hal tersebut terbukti dengan sikap ibunya yang tidak sabar ketika
ditinggal oleh Muhammad Abduh ke desa lain, baru dua minggu sejak kepergiannya,
ibunya sudah datang menjenguk. Beliau dikawinkan dalam usia yang sangat muda
yaitu pada tahun 1865, saat ia baru berusia 16 tahun.
Pendidikan
Muhammad Abduh dimulai dari Masjid al-Ahmadi Thantha (sekitar 80 Km. dari
Kairo) untuk mempelajari tajwid Al-Qur'an. Setelah dua tahun berjalan di
sana, pada tahun 1864 ia memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani
seperti saudara-saudara dan kerabatnya. Waktu kembali ke desa inilah ia
dikawinkan.
b.
Pemikiran
Menurut Abduk, pendidikan merupakan lembaga
yang paling strategis untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan sosial secara
sistematis. Gagasannya yang paling mendasar dalam sistem pendidikan adalah
bahwa ia sangat menentang sistem dualisme. Menurutnya, dalam lembaga-lembaga
pendidikan umum harus diajarkan agama. Sebaliknya, dalam lembaga-lembaga
pendidikan agama harus diajarkan ilmu pengetahuan modern.
Usaha yang dilakukan oleh Abduh dalam
mewujudkan gagasan pembaharuannya adalah melalui Universitas al-Azhar.
Menurutnya, seluruh kurikulum pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan saat itu.
Ilmu-ilmu filsafat dan logika yang sebelumnya tidak diajarkan, dihidupkan
kembali. Demikian juga dengan ilmu-ilmu umum perlu diajarkan di al-Azhar.[9] Dengan
memasukkan ilmu pengetahuan modern ke lembaga-lembaga pendidikan agama dan
sebaliknya, dimaksudkan untuk memperkecil jurang pemisah antara golongan ulama
dan ahli modern, dan diharapkan kedua golongan ini bersatu dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan yang muncul di zaman modern.
4.
Rasyid Redha
a.
Biografi
Nama lengkap Muhammad Rasyid Rida adalah
al-Sayyid Muhammad Rasyid Rida ibn Ali Rida ibn Muhammad Syamsuddin ibn
al-Sayyid Baharuddin ibn al-Sayyid Munla Ali Khalifah al-Baghdadi.[10] beliau
dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4 Km dari Tripoli, Libanon, pada
bulan Jumadil ‘Ula 1282 H (1864 M). Dia adalah seorang bangsawan Arab yang
mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain, putra Ali ibn Abi
Thalib dan Fatimah putri Rasulullah saw.[11]
Pada tahun 1898 M. Muhammad Rasyid Rida
hijrah ke Mesir untuk menyebarluaskan pembaharuan di Mesir. Dua tahun kemudian
ia menerbitkan majalah yang diberi nama “al-Manar” untuk menyebar
luaskan ide-idenya dalam usaha pembaharuan.
b.
Pemikiran
Dalam bidang pendidikan, Rasyid Ridha
memandang bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bertentangan dengan Islam.
Oleh karena itu, peradaban Barat modern harus dipelajari oleh umat Islam. Hal
ini relevan dengan pendapat gurunya (Muhammad Abduh) bahwa ilmu pengetahuan
yang berkembang di Barat wajib dipelajari umat Islam untuk kemajuan mereka.[12] Beliau
juga berpendapat bahwa mengambil ilmu pengetahuan Barat modern sebenarnya
mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam.[13]
Usaha yang dilakukan di bidang pendidikan
adalah membangun sekolah misi Islam dengan tujuan utama untuk mencetak
kader-kader Muballig yang tangguh, sebagai imbangan terhadap
sekolah misionaris Kristen. Sekolah tersebut didirikan pada tahun 1912 di Kairo
dengan nama Madrasah al-Dakwah wa al-Irsyad.[14]
Dalam lembaga tersebut Ridha memadukan antara
kurikulum Barat dan kurikulum yang biasa diberikan madrasah tradisional.
5.
Qasim Amin
a.
Biografi
Qasim Amin di lahirkan di kota
Cairo paada tahun 1863, dari seorang ayah Muhammad Beik Amin yang berdarah
Turki dan Ibundanya berdarah Mesir Kelahiran Sha’id. Keluarga Muhammad Beik
berasal dari keluarga penguasa negara dan tergolong kaya.
Muhammad Beik juga merupakan sosok pratisi
yang tergolong ilmuan dan kaya dengan pengalaman praktis, terutama dari
pengalaman sebagai pegawai tinggi Turki, Beliau juga turut
berperan dalam karir Amin. Karena sang ayah tidak rela jika anaknya hanya
sekedar mempunyai kemampuan teoritis.
Cara Beliau mewujudkan kepeduliannya yaitu
dengan cara menjalin hubungan yang baik dengan Mustafa Fahmi. Yaitu dengan
cara, menitipkan putranya untuk dilatih secara praktis di kantor pengacara
tersebut.
Qasim Amin ialah sosok intelektual Mesir yang
memiliki basis pendidikan dan pergaulan yang luas, perjalanannya pun mulai dari
Dunia Arab khas Timur Tengah hingga dunia Eropa dan Amerika yang metropolis.
Qasim Amin bisa diandaikan sebagai “ikon” yang begitu getol memperjuangkan
terciptanya peradaban baru islam yang berbingkai keadilan, kesetaraan dan
kemuliaan bagi laki-laki dan perempuan sekaligus.
b.
Pemikiran
Usaha Amin memberdayakan dan mengangkat
martabat perempuan, di mata Amin, adalah usaha untuk menegakkan apa yang di
pandangnya sebagai prinsip ideal Islam vis avis realitas
sosial perempuan Mesir, dan juga demi sebuah kemajuan bangsa.
Gagasan ini muncul sebagai refleksi dan wujud
kepedulisn intelektual Amin terhadap realitas perempuan Mesir. Ia juga
melihat perempuan di Mesir telah dipinggirkan dalam relasi
laki-laki. Ide emansipasi wanita yang dicetuskan oleh Qasim Amin timbul
karena sentakan tulisan wanita prancis Duc. D’ Haorcourt yang
mengkritik struktur sosial masyarakat Mesir, terutama keadaan
perempuan di sana.[15]
Qasim Amin begitu menaruh harapan kepada kaum
perempuan untuk dapat menempuh pendidikan. Karena terdapat hubungan yang
positif antara pendidikan perempuan dengan kemajuan perempuan. Pendidikan
untuk perempuan di yakini sebagai salah satu cara untuk melepaskan kaum
perempuan Mesir dari perlakuan diskriminatif.
6.
Thaha Husein
a.
Biografi
Thaha Husein dilahirkan tahun 1889 M. di
Izbat al-Kilu. Ketika berumur dua tahun telah terkena penyakit optualmia
(kebutaan), penyakit yang biasa menyerang anak-anak ketika itu, namun penyakit
tersebut tidak menghalanginya menuntut ilmu. Ia belajar al-Quran dan dapat
menghafalnya pada usia sembilan tahun.
Pada tahun 1902, ia dikirim orang tuanya
untuk belajar di al-Azhar dengan harapan agar kelak Thaha Husein menjadi alim
Azhar, memberi palajaran agama dalam halaqah yang besar.
Akan tetapi Thaha Husein keluar dari
al-Azhar, ia kecewa dengan sistem pengejarannya yang sempit dan tidak
berkembang serta materi pelajarannya amat tradisonal dan menjemukan. Pada tahun
1905, ia mendalami pemikiran Muhammad Abduh, salah satu yang amat menonjol dari
keterpengaruhannya adalah sikapnya yang menentang praktek tawassul di
desanya sehingga dicap sebagai seorang yang tersesat dan menyesatkan.
Pada tahun 1908 bersamaan dengan dibukanya
Universitas Kairo, Thaha Husein mendaftarkan diri, di sinilah ia berkenalan
dengan sederatan orientalis semisal Iguazio Buidi, Enno Litman, Santillana,
Nallino dan Masignon. Pada tanggal 5 Mei 1914 Thaha Husein mempertahankan
disertasinya yang berjudul Dzikra Abi al-'Ala dan
berhasil yudisium jayyid jiddan pada tahun itu juga Thaha Husein
dikirim ke Perancis untuk belajar sejarah.
b.
Pemikiran
Untuk meningkatkan intelektual umat Islam,
beliau melihat bahwa perguruan tinggi adalah sarana terbaik mencetak ilmuwan
dan tenaga ahli yang diharapkan melakukan perubahan-perubahan fundamental yang
dapat memajukan Mesir yang saat itu masih berada pada kondisi yang
memprihatinkan dan terkebelakang dalam berbagai bidang khususnya pendidikan, di
banding dengan Dunia Barat.
Menurut beliau, universitas tersebut
mencerminkan intelektual, keilmiahan, dan memiliki metode analisis modern.
Kemerdekaan intelektual dan kemerdekaan jiwa menurutnya hanya bisa diperoleh
melalui kemerdekaan ilmu dan intelektual.[16]
Untuk mendapatkan kemerdekaan ilmu dan
intelektual, maka beliau menegaskan agar sistem pendidikan Mesir harus
didasarkan pada sistem dan metode Barat sejak tingkat menengah sampai ke
Perguruan Tinggi, demikian juga metode penelitiannya.[17]
Gagasan Thaha Husain ini memiliki arti
penting bagi kemajuan ilmu pengetahuan di Mesir karena mampu melahirkan
inovasi-inovasi baru dalam bidang pendidikan dan di sinilah muncul kemampuan
belajar efektif dalam belajar yang sesungguhnya.
B.
Tokoh
Pembaharuan Islam di Turki
1.
Sultan Mahmud
II
Kegagalan Sultan Sanlim III tidak menyulutkan
penggantinya Sultan Mahmud II untuk mengadalan pembaharuan. Pada tahun
1826 Sultan Mahmud II membentuk korp tentara baru di luar Jeniseri dan menggunakan
instruktur dari Mesir tidak berasal dari Eropa agar tidak direspon
negatif oleh ulama dan segera membubarkan.
Jeniseri serta melarang Tarekat Bektasy, mengadakan
penghapusan wajir agung diganti dengan perdana menteri, wajir agung pada saat
itu dipegang oleh syaikh al-Islam, pembaharuan sistem hukum yang memberlakukan
hukum sekuler di samping hukum syari’ah, peradilan syariah diserahkan kepada
syaikh al-Islam sedangkan peradilan sekuler diserahkan kepada Majlich-I Ahkam-I
Adliye, dan pembaharuan di bidang pendidikan dengan membentuk sekolah umum (
Mekteb-I Ma’arif) dan sekolah sastra ( mekteb-i ‘Ulum-u Edebiye).[18]
2.
Tanzimat
Sepeninggal Sultan Mahmud II, gerakan pembaharuan dilakukan
oleh Abdul Majid (1839-1861) dengan perdana menteri Rasyid Pasya. Periode ini
disebut masa Tanzimat yang mengandung arti peraturan dan
perundang-undangan baru. Tokoh-tokoh Tanzimat antara lain: Rasyid Pasya, Mehmed
Sadik Rifat Pasya, dan Muhammad Ali Pasya dan Fuad Pasya.
Diantara beberapa peraturan perundang-undangan yang
dihasilkan pada masa tanzimat antara lain:[19]
a.
Piagam
Hatt-I Sherif Gulhane tahun 1839 sebagai dasar pembaharuan di bidang
administrasi, perpajakan, hukum, pendidikan, kau minoritas dan militer yang menyebabkan
perang di Crimea akibat penolakan kaum ulama akibat dari reduksi
peran ulama.
b.
Piagam
Hatt-I Humayun ( 1856 M) yang mengakomodir hak-hak minoritas. Piagam ini
mendapat reaksi keras dari ulama dan kelompok penduduk yang berpendidikan Barat
yang tergabung dalam Usmani Muda.
3.
Utsmani Muda
Usmani Muda merupakan perkumpulan yang didirikan pada tahun
1865 dengan tujuan untuk mengubah pemerintahan absolut menjadi pemerintahan
yang konstitusional. Tokoh Usmani muda antara lain Mihdat Pasya, Ziya Pasya, dan
Nanik Kemal.
Kematian Perdana Menteri Ali Pasya ( 1871 M) menandai
berakhirnya Tanzimat, gerakan pembaharuan diganti oleh kelompok Usmani Muda
yang berhasil menurunkan secara paksa Sultan Abdul Aziz pada tahun 1876 melalui
fatwa Syaikh al-Islam dan diganti oleh Murad V yang mendapat dukungan Usmani
Muda. Akan tetapi karena Murad V dianggap tidak berhasil memimpin Turki Usmani
dan dianggap sakit mental oleh Syaikh al-Islam di kemudian hari, maka diganti
oleh S sultan Abdul Hamid ( 31 Agustus 1876) dan perdana menterinya Mihdat
Pasya salah seorang tokoh Usmani Muda.[20]
Usmani Muda dalam pembaharuannya terbagi kepada 2 partai
ditinjau dari segi liberalisnya. Usmani Muda pertama liberal yang menghendaki
sistem pemerintahan otonomi bagi daerah-daerah ( desentralisasi), kedua Usmani
muda yang tergabung dalam partai Ittihadi ve Terekki, pemenang pemilu 1908 yang
ingin mempertahankan sistem pemerintahan sentralistik. Dan pada tahun 1912 M,
partai tersebut juga tampil sebagai pemenang yang melibatkan diri Turki
Usmani dalam perang Balkan bersama Jerman dengan harapan menjadi media untuk
merebut kembali daerah-daerah yang sudah memerdekakan diri sebelumnya dalam
sistem pemerintahan federasi. Diantara negara yang sudah memerdekakan diri dari
Turki Usmani Bulggaria,Austria, Yunani, Bosnia dan Herzegivina.
4.
Turki Muda
Setelah dibubarkannya parlemen dan dihancurkannya gerakan
Usmani Muda, maka Sultan Abdul Hamid memerintah dengan kekuasaan yang lebih
absolut. Kebebasan berbicara dan menulis tidak ada. Dalam suasana yang demikian
timbullah gerakan oposisi terhadap pemerintah yang obsolut Sultan Abdul Hamid
sebagaimana halnya di zaman yang lalu dengan Sultan Abdul Aziz. Gerakan oposisi
dikalangan perguruan tinggi, mengambil bentuk perkumpulan rahasia, dikalangan
cendekiawan dan pemimpin-pemimpinnya lari ke luar negeri dan disana melanjutkan
oposisi mereka dan gerakan di kalangan militer menjelma dalam bentuk
komite-komite rahasia. Oposisi berbagai kelompok inilah yang kemudian dikenal
dengan nama Turki Muda.Tokoh-tokoh Turki Muda, antara lain adalah Ahmad Riza
(1859-1930), Mehmed Murad (1853-1912) dan Pangeran Sahabuddin (1887-1948).[21]
5.
Kemal At-Turk
Mustafa Kemal lahir pada 1881 di suatu daerah di Salonika.
Sering dikenal dengan nama Mustafa Kemal Pasya. Dan dikenal juga dengan Mustafa
Kemal Attaturk (Bapak Bangsa Turki). Beliau juga mendapat julukan Ghazi,
artinya sang pembela keyakinan. Julukan ini diberikan ketika beliau dengan
gemilang membawa Turki kepada kemenangan dalam perang kemerdekaan melawan
Yunani, Mustafa Kemal dielu-elukan dan dipanggil dengan gelar kehormatan Ghazi.
Ayahnya bernama Ali Riza, seorang juru tulis rendahan di salah satu kantor
pemerintahan di kota itu. Beliau sempat mencoba lari dari kemalangan hidupnya
dengan cara menegak racun. Sedangkan Ibunya bernama Zubayde, seorang wanita
sholihah. Ali Riza meninggal saat Mustafa Kemal berusia tujuh tahun sehingga ia
kemudian diasuh oleh ibunya.[22]
Sejak kecil, Mustafa Kemal memiliki bakat untuk selalu
memberontak terhadap segala keadaan yang tidak berkenan di hatinya. Ia secara
brutal menentang peraturan apapun. Bahkan, tanpa malu-malu ia sering
memaki-maki gurunya saat bersekolah. Sehingga suatu hari pernah ditampar salah
satu gurunya karena sang guru sudah kehilangan kesabaran menghadapi perilaku
Mustafa Kemal. Dan akibatnya, Mustafa Kemal kecil lari dan tidak mau masuk
sekolah lagi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Karakteristik pembaharuan Islam yang terjadi di Mesir dan
Turki ada keragaman yang menjadi acuan serta latar belakang
tokohnya. Pembaharuan di Mesir lebih banyak berangkat dan digerakan pembaharuan
pemikiran akademis baik itu dari lulusan Al-Azhar sebagai tempat khazanah ilmu
atau perguruan tinggi lainnya. Begitu pula latar belakang kehidupan dan
pengalaman seorang tokoh pembaharu akan mewarnai gerakan pembaharuan yang
dilakukannya, seperti adanya perbedaan gerakan pembaharuan Jamaludin
al-Afghani dengan Muhammad Abduh. Sedangkan pembaharuan di Turki lebih
terpokus kepada tokoh kepemimpinan atau kelompok yang menyokong kekuasaan
pada saat itu dengan melihat Barat sebagai acuannya.
Di Mesir tokoh pembaharuan berhadapan dengan keadaan pola
pendidikan, politik dan sosial keagamaan masyarakat yang sedang mengalami
penjajahan dari bangsa Barat, sementara di Turki melihat Barat sebagai negara
yang telah mengalahkan mereka di kancah perpolitikan dunia dengan cara
mengimbangi atau lebih banyak belajar kepada Barat dalam segala halnya.
Sehingga segala sesuatu yang akan menghalangi tujuan tersebut akan
dilawan dengan cara revolusioner seperti yang dilakukan Mustafa
Kemal yang menghapuskan kekhilafahan Turki Usmani menjadi Republik Turki.
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka
al-Husna, t.th.), h. 181.
A. Athaillah, Aliran Akidah Tafsîr al-Manar,
Banjarmasin: Balai Penelitian IAIN Antasari, 1990.
Ahmad Amin, Islam dari Masa ke masa, Bandung: Remaja /Rosdakarya.
Ali Mufradi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab .Cet. II;
Jakarta: Logos, 1999.
Eka Yanuarti.Kumpulan Materi Pemikiran Modern Dalam Islam.
John J. Donohue, John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
H.M. Yusran Asmuni. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Isam,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran / Tafsir, Jakarta
: Bulan Bintang, 1994.
Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Qasim Amin, Sejarah Penindasan Perempuan, Menggugat Islam
Laki-Laki, Menggurat Perempuan Baru, .Yogyakarta:
IRCiSoD, 2003.
Syahrin Harahap, Al-Qur’an dan Sekularisasi .Cet. I;
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta:
Djambatan, 1992.
Tim Penyusun Text Book Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Alauddin.Sejarah
dan Kebudayaan Islam. Ujungpandang: IAIN Alauddin, 1993.
[3] Ibid, h. 203-204
[4]Ali
Mufradi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Cet. II; Jakarta:
Logos, 1999), h. 158
[5]Tim
Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia, ( Jakarta:
Djambatan, 1992.), h. 300
[6] Tim Penyusun Text Book Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Alauddin.Sejarah
dan Kebudayaan Islam. (Ujungpandang: IAIN Alauddin, 1993.) h, 220
[7] Ibid, h. 221
[8] Ibid, h. 221-222
[9] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka
al-Husna, t.th.), h. 181.
[10] A. Athaillah, Aliran Akidah Tafsîr
al-Manar, (Banjarmasin: Balai Penelitian IAIN Antasari, 1990), h. 13
[11] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu
al-Quran / Tafsir, (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), h. 280.
[12] Harun Nasution, op. cit., h. 151.
[13] Ibid, h. 75
[14] Redaksi Ensiklopedi Islam, Op. Cit., h. 163.
[15] Qasim Amin, Sejarah Penindasan Perempuan, Menggugat Islam
Laki-Laki, Menggurat Perempuan Baru, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003) h. 85-109
[16] Syahrin Harahap, Al-Qur’an dan Sekularisasi (Cet. I;
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994), h. 99
[17] Ibid,
[18] H.M. Yusran
Asmuni. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Isam,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 3
[20]John J. Donohue, John L.
Esposito, Islam dan Pembaharuan, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
hal. 144-145
[21] Ibid,
No comments:
Post a Comment