Makalah Donor Dalam Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Transplantasi ialah pemindahan organ tubuh yang masih mempunyai daya hidup sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi lagi dengan baik . pada saat ini juga, ada upaya untuk memberikan organ tubuh kepada orang yang memerlukan, walaupun orang itu tidak menjalani pengobatan, yaitu untuk orang yang buta. Hal ini khusus donor mata bagi orang buta.
Dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh ada tiga pihak terkait dengannya: pertama, donor, yaitu orang yang menyumbangkan organ tubuhnya yang masih sehat untuk dipasangkan pada orang lain yang organ tubuhnya menderita sakit, atau terjadi kelainan. Kedua: resepien, yaitu orang yang menerrima organ tubuh dari donor yang karena satu dan lain ha, organ tubuhnya harus diganti. Ketiga, tim ahli, yaitu para dokter yangmenangani operasi transplantasi dari pihak donor kepada pasien.
Kesulitan para ibu memberikan ASI untuk anaknya menjadi salah satu pertimbangan mengapa bank ASI perlu didirikan, terutama di saat krisis seperti pada saat bencana yang sering membuat ibu-ibu menyusui stres dan tidak bisa memberikan ASI pada anaknya.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Donor Organ Tubuh
Transplantasi ialah pemindahan organ tubuh yang masih mempunyai daya hidup sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi lagi dengan baik . pada saat ini juga, ada upaya untuk memberikan organ tubuh kepada orang yang memerlukan, walaupun orang itu tidak menjalani pengobatan, yaitu untuk orang yang buta. Hal ini khusus donor mata bagi orang buta.[1]
Kata donor dalam Kamus Bahasa Indonesia berasal dari bahasa latin yang artinya menyumbangkan.[2]
Pencangkokan organ tubuh yang menjadi pembicaraan pada waktu ini adalah:Mata, Ginjal,dan jantung. Karena ketiga organ tubuh tersebut sangat penting fungsinya untuk manusia, terutama sekali ginjal dan jantung. Mengenai donor mata pada dasarnya dilakukan, karena ingin membagi kebahagiaan kepada orang yang belum pernah melihat keinadahan alam ciptaan Allah ini ataupun orang yang menjadi buta karena penyakit.
Ada 3 (tiga) tipe donor organ tubuh, dan setiap tipe mempunyai permasalahan sendiri—sendiri, yaitu;
1.      Donor dalam keadaan hidup sehat. Tipe ini memerlukan seleksi cermat dan general check up, baik terhadap donor maupun terhadap penerima (resepient), demi menghindari kegagalan transplantasi yang disebabkan oleh karena penolakan tubuh resepien, dan sekaligus mencegah resiko bagi donor.
2.      Donor dalam hidup koma atau di duga akan meninggal segera. Untuk tipe ini, pengambilan organ tubuh donor memerlukan alat control dan penunjang kehidupan, misalnya dengan bantuan alat pernapasan khusus. Kemudian alat-alat tersebut di cabut setelah pengambilan organ tersebut selesai.
3.      Donor dalam keadaan mati. Tipe ini merupakan tipe yang ideal, sebab secara medis tinggal menunggu penentuan kapan donor dianggap meninggal secara medis dan yudiris dan harus diperhatikan pula daya tahan organ tubuh yang mau di transplantasi.[3]
1.      Donor Organ Yang di Perbolehkan
Hadis Nabi SAW:”Berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena sesungguhya Allah tidak meletakkan suatu pentakit, kecuali dia juga meletakkan obat penyembuhnya,selain penyakit yang satu, yaitu penyakit tua.”(H.R. Ahmad, Ibnu Hibban dan  Al-Hakim dari Usamah Ibnu Syuraih)
Hadist  tersebut menunjukkan, bahwa wajib hukumnya berobat bila sakit, apapun jenis dan macam penyakitnya, kecuali penyakit tua. Oleh sebab itu, melakukan transplantasi sebagai upaya untuk menghilangkan penyakit hukumnya mubah, asalkan tidak melanggar norma ajaran islam.
Dari dalil-dalil diatas maka dapat diambil hukum mengenai transplantasi organ yaitu:
Mengambil organ tubuh donor (jantung, mata, ginjal) yang sudah meninggal secara yuridis dan medis hukumnya mubah, yaitu dibolehkan menurut pandangan islam, dengan syarat bahwa resipien dalam keadaan darurat yang mengancam jiwanya bila tidak dilakukan transplantasi itu, sedangkan ia sudah berobat secara optimal, tetapi tidak berhasil.
Hingga kini, tidak ada ulama yang mengajukan  argumen tertulis  yang secara terang-terangan mendukung transplantasi organ. Namun demikian,  ulama di berbagai belahan dunia telah menulis  argumen-argumen yang mendukung maupun mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan tengtang transplantasi organ.
Para ulama yang mendukung pembolehan transplantasi organ berpendapat  bahwa transplantasi organ harus dipahami sebagai satu bentuk layanan altruistik bagi sesama muslim. Pendirian mereka tentang transplantasi organ dapat diringkas sebagai berikut:
a.       Kesejahteraan publik (al-Mashlahah)
Kebolehan transplantasi organ harus dibatasi dengan ketentuan-ketentuan berikut:
1)      Transplantasi organ tersebut adalah satu-satunya bentuk (cara) penyembuhan yang bisa ditempuh.
2)      Derajat keberhasilan dari prosedur ini diperkirakan tinggi.
3)      Ada persetujuan dari pemilik organ yang akan ditransplantasikan  atau dari ahli warisnya.
4)      Kematian orang yang organnya akan diambil itu telah benar-benar diakui oleh dokter yang reputasinya terjamin, sebelum diadakan operasi pengambilan organ.
5)      Resipien organ tersebut sudah diberitahu tentang operasi  transplantasi berikut implikasnya.
b.      Altruisme (al-Itsar)
Dalam surat Al-maidah ayat 2 telah  menganjurkan bahwa umat islam untuk bekerja sama satu sama lain dan memperkuat  ikatan persaudaraan mereka. Dengan demikian, berdasarkan ajaran diatas, tindakan seseorang yang masih  hidup untuk mendonorka salah satu organ tubuhnya  kepada saudara kandungnya atau orang lain yang sangat membutuhkan harus dipandang sebagai  tindakan  altruisme dari orang-orang yang menyadari bahwa mereka memiliki sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. 
c.       Organ Tubuh Non muslim
Kebolehan bagi seorang muslim untuk menerima organ tubuh nonmuslim didasarkan pada dua syarat  berikut ;
1)      Organ yang dibutuhkan tidak  bisa diperoleh dari tubuh seorang muslim.
2)      Nyawa muslim  itu bisa melayang jika transplantasi tidak segera dilakukan.
2.      Donor Organ yang diharamkan
Mendonorkan Organ tubuh dapat menjadi haram hukumya apabila Transplantasi organ tubuh diambil dari orang  yang masih dalam keadaan hidup  sehat, dengan alasan :
Firman Allah dalam Alqur’an S. Al-Baqarah ayat 195, bahwa ayat tersebut mengingatkan , agar jangan  gegabah dan ceroboh dalam melakukan sesuatu, tetapi harus memperhatikan akibatnya, yang kemungkinan bisa berakibat fatal bagi diri donor, meskipun perbuatan itu mempunyai tujuan kemanusiaan yang baik dan luhur. Melakukan transplantasi dalam keadaan dalam keadaan koma.
            Walaupun  menurut dokter bahwa si donor itu akan segera meninggal maka transplantasi tetap haram hukumnya karena hal itu dapat  mempercepat kematiannya dan mendahului kehendak Allah. Dalam hadis nabi dikatakan:
“Tidak boleh membuat madharat pada diri sendiri dan tidak boleh pula membuat madharat pada orang lain.”(HR. Ibnu Majah, No.2331)
B.     Bank ASI
Merupakan tempat penyimpanan dan penyaluran ASI dari donor ASI yang kemudian akan diberikan kepada ibu-ibu yang tidak bisa memberikan ASI sendiri ke bayinya. Ibu yang sehat dan memiliki kelebihan produksi ASI bisa menjadi pendonor ASI. ASI biasanya disimpan di dalam plastik atau wadah, yang didinginkan dalam lemari es agar tidak tercemar oleh bakteri.[4]
Kesulitan para ibu memberikan ASI untuk anaknya menjadi salah satu pertimbangan mengapa bank ASI perlu didirikan, terutama di saat krisis seperti pada saat bencana yang sering membuat ibu-ibu menyusui stres dan tidak bisa memberikan ASI pada anaknya.
Semua ibu donor diskrining dengan hati-hati. Ibu donor harus memenuhi syarat, yaitu non-perokok, tidak minum obat dan alkohol, dalam kesehatan yang baik dan memiliki kelebihan ASI. Selain itu, ibu donor harus memiliki tes darah negatif untuk Hepatitis B dan C, HIV 1 dan 2, serta HTLV 1 dan 2. Juga tidak memiliki riwayat penyakit TBC aktif, herpes atau kondisi kesehatan kronis lain seperti multiple sclerosis atau riwayat kanker.
Pendapat yang membolehkan
Ulama besar seperti Dr. Yusuf Al-Qardawi tidak menjumpai alasan untuk melarang diadakannya semacam Bank ASI, asalkan bertujuan untuk mewujudkan maslahat syar’iyah yang kuat dan untuk memenuhi keperluan yang wajib dipenuhi. Tidak diragukan lagi bahwa tujuan dibangunnya Bank ASI adalah baik dan mulia dan tentu saja didukung oleh Islam yang mengajak untuk membantu setiap orang yang lemah, apapun sebab kelemahannya, terutama apabila ada anak yang dilahirkan premature yang tidak memiliki daya dan kekuatan apaun sebagaimana bayi yang lahir normal.
Beliau juga mengatakan bahwa para wanita yang menyumbangkan sebagian air susunya untuk makanan golongan anak-anak lemah ini akan mendapatkan pahala dari Allah, dan terpuji di sisi manusia. Bahkan sebenarnya wanita itu boleh menjual air susunya, bukan sekedar menyumbangkannya. Sebab di masa nabi, para wanita yang menyusui bayi melakukannya karena faktor mata pencaharian. Sehingga hukumnya memang diperbolehkan untuk menjual air susu.
Bahkan Al-Qardawi memandang bahwa institusi yang bergerak dalam bidang pengumpulan ASI itu yang mensterilkan serta memeliharanya agar dapat dinikmati oleh bayi-bayi atau anak-anak patut mendapatkan ucapan terima kasih dan mudah-mudahan memperoleh pahala.[5]
Selain Al-Qaradawi, yang menghalalkan bank ASI adalah Al-Ustadz Asy-Syeikh Ahmad Ash-Shirbasi - ulama besar Al-Azhar Mesir. Beliau menyatakan bahwa hubungan mahram yang diakibatkan karena penyusuan itu harus melibatkan saksi dua orang laki-laki. Atau satu orang laki-laki dan dua orang saksi wanita sebagai ganti dari satu saksi laki-laki. Bila tidak ada saksi atas penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara ibu yang menyusui dengan anak bayi tersebut.[6]
Pendapat yang mengharamkan
Menurut mayoritas fuqaha’ di antaranya imam yang tiga; Abu Hanifah, Maliki, dan Syafi’I, mereka memaknai menyusui yang berdampak pada hukum pengharaman adalah setiap yang masuk kedalam perut bayi melalui tenggorokan dan lainnya, seperti memasukkannya melalui hidungnya.[7] Selain itu,  di antara ulama kontemporer yang tidak membenarkan adanya bank ASI adalah Dr. Wahbah Az-Zuhayli dan juga Majma’ Fiqih Islami. Dalam kitab Fatawa Mua`sirah, beliau menyebutkan bahwa mewujudkan institusi bank susu tidak dibolehkan dari segi syariah.
Demikian juga dengan Majma’ Fiqih Al-Islami melalui Badan Muktamar Islam yang diadakan di Jeddah pada tanggal 22 – 28 Disember 1985/ 10 – 16 Rabiul Akhir 1406. Lembaga ini dalam keputusannya (qarar) menentang keberadaan bank ASI di seluruh negara Islam serta mengharamkan pengambilan susu dari bank tersebut.

Perdebatan dari segi dalil
Ternyata perbedaan pendapat dari dua kelompok ulama ini terjadi diseputar syarat dari penyusuan yang mengakibatkan kemahraman. Setidaknya ada dua syarat penyusuan yang diperdebatkan.
Kalangan yang membolehkan mengatakan bahwa bayi yang diberi minum ASI dari bank ASI, tidak akan menjadi mahram bagi para wanita yang air susunya ada di bank itu. Sebab kalau sekedar hanya minum air susu, tidak terjadi penyusuan, karena harus lewat penghisapan puting susu ibu.
Mereka berdalil dengan fatwa Ibnu Hazm, beliau mengatakan bahwa sifat penyusuan haruslah dengan cara menghisap puting susu wanita yang menyusui dengan mulutnya. Dalam fatwanya, Ibnu Hazm mengatakan bahwa bayi yang diberi minum susu seorang wanita dengan menggunakan botol atau dituangkan ke dalam mulutnya lantas ditelannya, atau dimakan bersama roti atau dicampur dengan makanan lain, dituangkan ke dalam mulut, hidung, atau telinganya, atau dengan suntikan, maka yang demikian itu sama sekali tidak mengakibatkan kemahraman.[8] Dalilnya adalah firman Allah SWT: “Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuanmu sepersusuan…‘ (QS An-Nisa’:23)
Menurut Ibnu Hazim, proses memasukkan puting susu wanita di dalam mulut bayi harus terjadi sebagai syarat dari penyusuan.
Sementara itu, bagi mereka yang mengharamkan Bank ASI, tidak ada kriteria menyusu harus dengan proses bayi menghisap puting susu. Justru yang menjadi kriteria adalah meminumnya, bukan cara meminumnya. Dalil yang mereka kemukakan juga tidak kalah kuatnya, yaitu hadits yang menyebutkan bahwa kemahraman itu terjadi ketika bayi merasa kenyang.
“Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Perhatikan saudara laki-laki kalian, karena saudara persusuan itu akibat kenyangnya menyusu”. (HR Bukhari dan Muslim).
Sebagian ulama mengatakan bahwa untuk terjadinya persusuan yang mengakibatkan kemahraman, maka harus ada saksi. Seperti pendapat Ash-Sharabshi, ulama Azhar. Namun ulama lainnya mengatakan tidak perlu ada saksi. Cukup keterangan dari wanita yang menyusui saja.
Bagi kalangan yang mewajibkan ada saksi, hubungan mahram yang diakibatkan karena penyusuan itu harus melibatkan saksi dua orang laki-laki. Atau satu orang laki-laki dan dua orang saksi wanita sebagai ganti dari satu saksi laki-laki. Bila tidak ada saksi atas penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara ibu yang menyusui dengan anak bayi tersebut. Sehingga tidak perlu ada yang dikhawatirkan dari bank susu ibu. Karena susu yang diminum oleh para bayi menjadi tidak jelas susu siapa dari ibu yang mana. Dan ketidak-jelasan itu malah membuat tidak akan terjadi hubungan kemahraman.
Dalilnya adalah bahwa sesuatu yang bersifat syak (tidak jelas, ragu-ragu, tidak ada saksi), maka tidak mungkin ditetapkan di atasnya suatu hukum. Pendeknya, bila tidak ada saksinya, maka tidak akan mengakibatkan kemahraman.
Sedangkan menurut ulama lainnnya, tidak perlu ada saksi dalam masalah penyusuan. Yang penting cukuplah wanita yang menyusui bayi mengatakannya. Maka siapa pun bayi yang minum susu dari bank susu, maka bayi itu menjadi mahram buat semua wanita yang menyumbangkan air susunya. Dan ini akan mengacaukan hubungan kemahraman dalam tingkat yang sangat luas. Agar tidak terjadi kekacauan, maka para ulama lainnya memfatwakan bahwa Bank ASI menjadi haram hukumnya.
Sehingga masalah ini tetap menjadi titik perbedaan pendapat dari dua kalangan yang berbeda pandangan. Wajar terjadi perbedaan ini, karena ketiadaan nash yang secara langsung membolehkan atau mengharamkan bank susu. Nash yang ada hanya bicara tentang hukum penyusuan, sedangkan syarat-syaratnya masih berbeda. Dan karena berbeda dalam menetapkan syarat itulah makanya para ulama berbeda dalam menetapkan hukumnya.[9]
C.    Bank Mata
Donor mata diartikan dengan pemberian kornea mata kepada orang yang membutuhkannya. Kornea mata tersebut berasal dari mayat yang telah diupayakan oleh dokter ahli, sehingga dapat digunakan oleh orang yang sangat membutuhkannya.
Masalah donor mata, termasuk salah satu keberhasilan teknologi dalam ilmu kedokteran, yang dapat mengatasi salah satu kesulitan yang dialami oleh orang buta. Dan yang terjadi masalah dalam hokum islam, karena kornea mata yang dipindahkan kepada orang buta, adalah berasal dari mayat, sehingga terjadi dua pendapat di kalangan Fuqaha. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang membolehkannya dengan mengemukakan alasan masing-masing. Misalnya:[10]
1.      Bagi ulama yang mengharamkannya; mendasarkan pendapatnya pada hadits yang berbunyi:
كَسْرُ عَظْمِ الْـمَيَّتِ كَكَسْرِهِ حَيَّا
“seseungguhnya pecahnya tulang mayat (bila dikoyak-koyak), seperti (sakitnya dirasakan mayat) ketika pecahnya tulangnya diwaktu ia masih hidup. H. R. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah yang bersumber dari Aisyah.
2.      Bagi ulama yang membolehkannya; mendasarkan pendapatnya pada hajat (kebutuhan) orang yang buta untuk melihat, maka perlu ditolong agar dapat terhindar dari kesulitan yang dialaminya, dengan cara mendapatkan donor mata dari mayat.
Dalam ayat alqur’an disebutkan bahwa:
$tBur…… Ÿ@yèy_ öä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym 4……….
Artinya :  …… dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan suatu kesulitan untuk kamu dalam agama…….( Q.S. Al-Hajj: 78 )

Dalam hadits juga terdapat petunjuk umum yang berbunyi:
“bersikap mudahlah (dalam menjalankan agama), dan janganlah engkau mempersulit”.[11]
D.    Bank Sperma
Bank Sperma adalah pengambilan sperma dari donor sperma lalu dibekukan dan disimpan ke dalam larutan nitrogen cair untuk mempertahankan fertilitas sperma. Dalam bahasa medis disebut juga Cryiobanking yaitu suatu teknik penyimpanan sel Cryopreserved untuk digunakan di kemudian hari. Pada dasarnya, semua sel dalam tubuh manusia dapat disimpan dengan menggunakan teknik dan alat tertentu sehingga dapat bertahan hidup untuk jangka waktu tertentu.
Bank sperma didirikan untuk memenuhi keperluan orang yang menginginkan anak, tetapi dengan berbagai sebab, seperti sperma suami tidak mungkin dibuahkan dengan sel telur (ovum) si istri. Dengan demikain atas kesepakatan suami istri, dicarikan donor sperma.[12]
Dengan melajunya IPTEK, maka dikenallah inseminasi buatan donor yang pertama oleh Pancoast (Philadelphia, 1984). Ilmuwan ini telah melakukan inseminasi buatan seorang ibu dengan sperma salah seorang muridnya yang paling rupawan. Inseminasi buatan donor ini telah banyak dilakukan, bukan saja untuk mengatasi permasalahan keinginan untuk mempunyai anak pada pasangan suami isteri yang mandul, namun telah dilakukan pula inseminasi buatan donor dengna sperma-sperma atau sel telur orang lain yang lebih jenius (seperti Einstein), cantik (Diana Rose), tampan (Juhn Travolta) dan lain sebagainya.
Untuk itu, maka IPTEK membuka pula kemungkinan untuk ‘menyimpan’ sperma-sperma orang-orang seperti yang disebutkan di atas, sehingga membuka pula kemungkinan untuk pasangan suami isteri memperoleh keturunan/anak dengan ciri-ciri yang diinginkannya. Bank sperma kini memungkinkan untuk menyimpan sperma manusia dalam keadaan tetap subur sampai lebih dari 10 tahun, bahkan mungkin pada tahun-tahun berikutnya sperma akan dapat disimpan untuk selama-lamanya sesuai dengan perkembangan IPTEK.[13]
Sebagaimana diketahui, bahwa donor sperma tetap dirahasiakan dan tidak boleh diberitahukan kepada resipien (penerima). Hal ini berarti, bahwa donor sperma tetap kabur sehingga anak hasil inseminasi yang diperoleh dari Bank Sperma lebih kabur statusnya dari anak zina. Sebab, sejelek-jelek anak zina masih mungkin diketahui bapaknya (yang tidak sah menurut hukum), paling tidak hanya dapat diketahui oleh ibu anak zina itu.[14]
Persoalan bank sperma dalam hukum Islam adalah bagaimana hukum onani dalam kaitan dengan pelaksanaan pengumpulan sperma di bank sperma dan inseminasi buatan. Secara umum Islam memandang melakukan onani merupakan tergolong perbuatan yang tidak etis. Mengenai masalah hukum onani fuqaha berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan secara mutlak dan ada yang mengharamkan pada suatu hal-hal tertentu, ada yang mewajibkan juga pada hal-hal tertentu, dan ada pula yang menghukumi makruh. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa Malikiyah, Syafi`iyah, dan Zaidiyah menghukumi haram. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa Allah swt. memerintahkan menjaga kemaluan dalam segala keadaan kecuali kepada isteri dan budak yang dimilikinya. Sebagaimana dalam Q.S al-Mu'minun ayat 5-7.
Hanabilah berpendapat bahwa onani memang haram, tetapi kalau karena takut zina, maka hukumnya menjadi wajib, kaidah usul :
اِرْتِكَابُ اَخَفُّ الضَّرُرَيْنِ وَاجِبٌ
Mengambil yang lebih ringan dari suatu kemudharatan adalah wajib
Kalau tidak ada alasan yang senada dengan itu maka onani hukumnya haram. Ibnu Hazim berpendapat bahwa onani hukumnya makruh, tidak berdosa tetapi tidak etis. Ali Ahmad Al-Jurjawy dalam kitabnya Hikmat Al-Tasyri` Wa Falsafatuhu, telah menjelaskan kemadharatan onani mengharamkan perbuatan ini, kecuali kalau karena kuatnya syahwat dan tidak sampai menimbulkan zina. Agaknya Yusuf Al-Qardhawy juga sependapat dengan Hanabilah mengenai hal ini, Al-Imam Taqiyuddin Abi Bakar Ibnu Muhammad Al-Husainy juga mengemukakan kebolehan onani yang dilakukan oleh isteri atau ammahnya karena itu memang tempat kesenangannya:
لَوِاسْتَمْنَى الرَّجُلُ بِيَدِ امْرَأَتِهِ جَازَ لِأَنَّهَامَحَلُ اسْتِمْتَاعِهِ
“Seorang laki-laki dibolehkan mencari kenikmatan melalui tangan isteri atau hamba sahayanya karena di sanalah (salah satu) dari tempat kesenangannya.”
Tahap kedua setelah bank sperma berhasil mengumpulkan sperma dari beberapa pendonor maka bank sperma akan menjualnya kepada pembeli dengan harga tergantung kualitas spermanya, setelah itu agar pembeli sperma dapat mempunyai anak maka harus melalui proses yang dinamakan inseminasi buatan yang telah dijelaskan di atas. Hukum dan pendapat inseminasi buatan menurut pendapat ulama` apabila sperma dari suami sendiri dan ovum dari istri sendiri kemudian disuntikkan ke dalam vagina atau uterus istri, asal keadaan kondisi suami isteri yang bersangkutan benar-benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk memperoleh anak, karena dengan cara pembuahan alami, suami isteri tidak berhasil memperoleh anak, maka hukumnya boleh. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum fiqh :
اَلْحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ وَالضَّرُوْرَةِ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
Hajat (kebutuhan yang sangat penting itu) diperlakukan seperti dalam keadaan terpaksa (emergency), dan keadaan darurat/terpaksa itu membolehkan melakukkan hal-hal yang terlarang.
Selain kasus sperma dari suami ditanam pada rahim isteri, demi kehati-hatian maka ulama mengharamkannya. Contoh sperma dari orang lain ditanam pada rahim isteri. Diantara yang mengharamkan adalah Lembaga fiqih Islam OKI, Majelis Ulama DKI Jakarta, Mahmud Syaltut, Yusuf al-Qardhawy, al-Ribashy dan Zakaria Ahmad al-Barry dengan pertimbangan dikhawatirkan adanya percampuran nasab dan hal-hal yang tidak diinginkan lainnya. Hal ini sesuai dengan keputusan Majelis Ulama Indonesia tentang masalah bayi tabung atau inseminasi buatan.
Dengan demikian, hukum pendirian bank sperma bisa mubah jika bertujuan untuk memfasilitasi suami isteri yang ingin menyimpan sperma suaminya di bank tersebut, sehingga jika suatu saat nanti terjadi hal yang dapat menghalangi kesuburan, isteri masih bisa hamil dengan cara inseminasi yang halal. Adapun jika tujuan pendirian bank sperma adalah untuk mendonorkan sperma kepada wanita yang bukan isterinya maka pendirian bank sperma adalah haram, karena hal yang mendukung terhadap terjadinya haram maka hukumnya haram.[15]




E.     Hukum Jual Beli Organ Tubuh
Penjualan Organ Tubuh Sejauh  mengenai  praktik  penjualan organ tubuh  manusia, ulama sepakat bahwa praktik seperti itu hukumnya haram berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut[16]:
      Seseorang tidak boleh menjual benda-benda yang bukan  miliknya. Sebuah hadis menyatakan, “Diantara orang-orang yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat adalah mereka yang menjual manusia merdeka dan memakan hasilnya.”
Dengan demikian, jika seseorang menjual manusia merdeka, maka selamanya si pembeli tidak memiliki hak apapun atas diri manusia itu, karena sejak awal hukum transaksi itu sendiri adalah haram. Penjualan organ manusia bisa mendatangkan penyimpangan, dalam arti bahwa hal tersebut dapat mengakibatkan diperdagangkannya organ-organ tubuh orang miskin dipasaran layaknya komoditi lain.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa Transplantasi organ hukumnya  mubah dan dapat berubah hukumnya sesuai  dengan situasi  dan kondisi yang dihadapi. Transplantasi ini  dapat di qiyaskan dengan donor darah dengan  illat bahwa donor darah dan organ tubuh dapat dipindahkan tempatnya, keduannya suci dan tidak dapat diperjual belikan. Tentu saja setelah perpindahan  itu terjadi maka tanggungjawab atas organ itu menjadi tanggungan orang yang menyandangnya.
Mengenai tentang hukum diadakannya bank ASI ada dua pendapat, yaitu sebagian ulama mengharamkan dan sebagian lainnya membolehkan. Diantara ulama yang mengharamkan yaitu mayoritas ulama dengan dalih bahwa mereka memaknai menyusui yang berdampak pada kemahraman yaitu setiap yang masuk pada perut bayi baik dengan cara lansung atau melalui perantara. Sedangkan ulama yang membolehkan diantaranya yang paling terkenal, Syaikh Al-Qaradhawi, beliau mengutip perkataan Ibnu Hazm yaitu sifat susuan yang mengharamkan adalah apabila bayi menyusui dari putting susu ibu yang menyusuinya secara langsung.
Donor mata diartikan dengan pemberian kornea mata kepada orang yang membutuhkannya. Kornea mata tersebut berasal dari mayat yang telah diupayakan oleh dokter ahli, sehingga dapat digunakan oleh orang yang sangat membutuhkannya.
B.     Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan, masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam bahasanya, materi dan penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran dan masukan yang dapat membangun penulisan makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Ali. 2000. “Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada masalah masalah kontemporer hukum islam” .Jakarta. Raja Grafindo persada.
Hasan, M.Ali. 1996. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Mahjuddin. 2003. “Masailul Fiqhiyah berbagai kasus yang dihadapi hukum islam’ masa  kini”. Jakarta, Kalam Mulia.
Nata, Abuddin. 2006. Masail Al-Fiqhiyah . Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Rida, Muhyiddin Mas. 2009.  Wanita dalam Fikih Al-Qaradhawi. Jakarta Timur : Pustaka Al-Kautsar
Supardan. 1991. Ilmu, Teknologi dan Etika. Jakarta : PT BPK Gunung Mulia.
Zuhdi, Masjfuk. 1997. “Masail Fiqhiyah”. Jakarta. Toko Gunung Agung.
 



[1]Ali Hasan. “Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada masalah-masalah kontemporer hukum islam” .Jakarta. PT Raja Grafindo persada. 2000. H. 121.
[2]Ahmad Dimyathi Badruzzaman. Umat bertanya Bertanya Ulama Menjawab. (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2009), h. 1  
[3] Masjfuk Zuhdi. “Masail Fiqhiyah”. Jakarta. PT Toko Gunung Agung. 1997. H. 86-87
[4] Ichtiar Baru Van Hoeve. Suplemen Ensiklopedi Islam 1, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 60
[5] Rida, Muhyiddin Mas. 2009.  Wanita dalam Fikih Al-Qaradhawi. Hal. 178
[6] Ibid,
[7] Ibid, h. 179
[8] Ibid, 181
[9] Ichtiar Baru Van Hoeve. Suplemen Ensiklopedi Islam 1, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 65
[10] Muhammad Nu’aim. Fikih Kedokteran. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), h. 173
[11] Mahjuddin. “Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Dihadapi ‘Hukum Islam’ Masa Kini”. Jakarta, Kalam Mulia. 2003. H. 122
[12] Hasan, M.Ali. 1996. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah. Hal. 164
[13] Supardan. 1991. Ilmu, Teknologi dan Etika. Hal. 23
[14] Hasan, M.Ali. 1996. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah. Hal. 164
[15] Abuddin Nata, Masail Al-Fiqhiyah. Jakarta. Kencana Predana Media Group. 2006. H.115-120
[16] Ibid,

No comments:

Post a Comment