BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Apa yang dipahami dari sejarah peradaban ekonomi Islam, hakikatnya adalah memahami sejarah perjalanan panjang Islam yang titik puncaknya adalah sejarah hidup Rasulullah SAW. Hanya Muhammad SAW sebagai tolok ukur yang nyata dari semua aspek perilaku kehidupan Islam. Adam Smith, tokoh ekonomi Barat dalam bukunya The Wealth of Nation, menyatakan bahwa ekonomi yang paling maju adalah ekonomi bangsa Arab yang dipimpin oleh Muhammad bin Abdullah dan orang-orang sesudahnya meskipun tidak dipungkiri terdapat sejarah panjang sebelum kedatangan Islam Nabi Muhammad SAW. Betul, pengaruh Romawi dan Yunani menjadi bukti sejarah nyata terhadap sejarah ekonomi Islam, meskipun porsinya kecil. Akan tetapi, perjalanan Islam tidak akan terlepaskan dari figur Muhammad SAW dan para penerusnya, yakni Al-Khulafa Ar-Rasyidun, tabi’in, dan para pemikir ekonomi, baik pada masa pemerintahan Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah. Dengan demikian, memahami peradaban ekonomi Islam, pada dasarnya memahami sejarah. Yang paling pokok dari sejarah adalah meluruskan sejarah secara tepat dan akurat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah peradaban Islam pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq?
2. Bagaimanakah peradaban Islam pada masa Khalifah Umar bin Khatab?
3. Bagaimanakah peradaban Islam pada masa Khalifah Utsman bin Affan?
4. Bagaimanakah peradaban Islam pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib?
BAB II
PEMBAHASAN
Khulafaur Rasyidin (bahasa Arab: الخلفاء الراشدون) atau Khalifah Ar-Rasyidin adalah empat orang khalifah (pemimpin) pertama agama Islam, yang dipercaya oleh umat Islam sebagai penerus kepemimpinan setelah Nabi Muhammad wafat. Empat orang tersebut adalah para sahabat dekat Muhammad yang tercatat paling dekat dan paling dikenal dalam membela ajaran yang dibawanya di saat masa kerasulan Muhammad. Dalam sejarah Islam, empat orang pengganti Nabi yang pertama adalah para pemimpin yang adil dan benar. Mereka menyelamatkan dan mengembangkan dasar-dasar tradisi dari sang Guru Agung bagi kemajuan Islam bagi kemajuan Islam dan umatnya. Karena itu gelar “yang mendapat bimbingan dijalan lurus” (al-khulafa ar-rasyidin) diberikan pada mereka.
A. Peradaban Islam pada Masa Khalifah Abu Bakar As-Shidiq (11–13 H /632–634 M)
Abu Bakar, nama lengkapnya ialah Abdullah bin Abi Quhafah bin Utsman bin Amr bin Masud bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr At-Taimi Al-Qurasyi. Di zaman pra-Islam bernama Abdul Ka’bah, kemudian diganti oleh Nabi menjadi Abdullah. Ia termasuk salah seorang sahabat yang utama (orang yang paling awal) masuk Islam. Gelar Ash-Shiddiq diperolehnya karena ia dengan segera membenarkan Nabi dalam berbagai peristiwa, terutama Isra’ dan Mi’raj. Abu Bakar memangku jabatan khalifah selama dua tahun lebih sedikit, yang dihabiskannya terutama untuk mengatasi berbagai masalah dalam negeri yang muncul akibat wafatnya Nabi.[1]
Dalam pemerintahannya Abu Bakar memiliki tipologi kebijakan yang sangat baik diantaranya:[2]
1. Kebijaksanaan pengurusan terhadap agama
Pada awal pemerintahannya, ia diuji dengan adanya ancaman yang datang dari umat Islam yang menentang kepemimpinannya. Di antara perbuatan ingkar tersebut ialah timbulnya orang-orang yang murtad, orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat, orang-orang yang mengaku menjadi Nabi, dan pemberontakan dari beberapa kabilah.
Ketika Rasulullah SAW wafat, maka banyak orang Arab yang kembali murtad. Seiring dengan itu, banyak pula utusan orang-orang Arab berdatangan ke Madinah mengakui kewajiban sholat namun mengingkari kewajiban zakat. Abu Bakar bersikap tegas kepada mereka, dan merekapun ditumpasnya. Melihat hal ini, Umar pun berkata: “Akhirnya aku sadari bahwa Allah telah melapangkan hati Abu Bakar untuk memerangi mereka dan aku yakin itulah yang benar”.
Di samping itu, Jasa Abu Bakar yang abadi ialah atas usulan Umar, ia berhasil membukukan al-Qur’an dalam satuan mushaf, sebab setelah banyak penghafal al-Qur’an gugur dalam perang Riddah di Yamamah. Oleh karena itu, khalifah menugaskan Zaid ibn Tsabit untuk membukukan al-Qur’an dibantu oleh Ali ibn Abi Thalib. Naskah tersebut terkenal dengan naskah Hafsah yang selanjutnya pada masa khalifah Usman membukukan al-Qur’an berdasarkan mushaf itu, kemudian terkenal dengan Mushaf Utsmani yang sampai sekarang masih murni menjadi pegangan kaum muslim tanpa ada perubahan atau pemalsuan.
2. Kebijaksanaan politik kenegaraan
Di antara kebijakan politik Abu Bakar yang cukup menonjol adalah melanjutkan ekspedisi pasukan Usamah. Sebelum Rasulullah SAW. wafat, beliau telah memerintahkan sepasukan perang yang dipimpin oleh seorang anak muda, Usamah, untuk berjalan menuju tanah Al-Balqa yang berada di Syam, persisnya di tempat terbunuhnya Zaid bin Haritsah, Ja’far dan Ibnu Rawahah. Namun di tengah perjalanan terdengar berita wafatnya Rosulullah SAW, sehingga pasukan tersebut kembali ke kota Madinah.
Sedang diantara kebijaksanaan Abu Bakar dalam pemerintahan atau kenegaraan, diuraikan oleh Suyuthi Pulungan, sebagai berikut:[3]
a. Bidang eksekutif
Pendelegasian terhadap tugas-tugas pemerintahan di Madinah ataupun daerah. Misalnya untuk pemerintahan pusat menunjuk Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, dan Zaid bin Tsabit sebagai sekretaris dan Abu Ubaidah sebagai bendaharawan.
b. Bidang pertahanan dan keamanan
Dengan mengorganisasi pasukan-pasukan yang ada guna mempertahankan eksistensi keagamaan dan pemerintahan. Dari pasukan itu disebarkan untuk memelihara stabilisasi di dalam atau di luar negeri. Di antara panglima yang ada ialah Khalid bin Walid, Musanna bin Harisah, Amr bin ‘Ash, Zaid bin Sufyan, dan lain-lain.
c. Bidang yudikatif
Fungsi kehakiman dilaksanakan oleh Umar bin Khattab dan selama masa pemerintahan Abu Bakar tidak ditemukan suatu permasalahan yang berarti untuk dipecahkan. Hal ini didorong atas kemampuan dan sifat Umar, dan masyarakat pada waktu itu dikenal ‘alim.
3. Kebijaksanaan Bidang Sosial Ekonomi
Abu Bakar pernah berkata kepada Anas, “Jika seseorang mempunyai kewajiban untuk membayar zakat berupa seekor unta betina berumur 1 tahun, tetapi dia tidak mempunyainya lalu menawarkan seekor unta betina berumur 2 tahun, hal seperti itu dapat diterima dan petugas zakat akan mengembalikan kepada orang tersebut sebanyak 20 dirham atau 2 ekor domba sebagai kelebihan dari pembayaran zakatnya. Hasil pengumpulan zakat tersebut dijadikan sebagai pendapatan negara dan disimpan dalam Baitul Mal untuk langsung didistribusikan seluruhnya kepada kaum muslim hingga tidak ada yang tersisa. Selain dari dana zakat, di dalam Baitul Mal dikelola harta benda yang didapat dari infak, sedekah, ghanimah dan lain-lain. Penggunaan harta tersebut digunakan untuk gaji pegawai negara dan untuk kesejahteraan umat sesuai dengan aturan yang ada.[4]
B. Peradaban Islam pada Masa Khalifah Umar bin Khatab (13-23 H/634 - 644 M)
Umar bin Khattab adalah khalifah ke-2 dalam sejarah Islam. pengangkatan umar bukan berdasarkan konsensus tetapi berdasarkan surat wasiat yang ditinggalkan oleh Abu Bakar. Hal ini tidak menimbulkan pertentangan berarti di kalangan umat islam saat itu karena umat Muslim sangat mengenal Umar sebagai orang yang paling dekat dan paling setia membela ajaran Islam. Hanya segelintir kaum, yang kelak menjadi golongan Syi'ah, yang tetap berpendapat bahwa seharusnya Ali yang menjadi khalifah. Umar memerintah selama sepuluh tahun dari tahun 634 hingga 644.[5]
Peranan Umar dalam sejarah Islam pada masa permulaan tampak paling menonjol diantaranya yaitu:[6]
1. Penyebaran Agama
Di zaman Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi di ibu kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan 'Amr bin 'Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad bin Abi Waqqash. Iskandariah (Alexandria), ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam.
2. Segi Politik[7]
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif.
3. Segi Ekonomi
Dalam pemerintahannya, khalifah Umar bin Khattab memiliki gebrakan yang yang sangat besar diantaranya yaitu:[8]
a. Pembaruan Baitul Mal
b. Status Kepemilikan Tanah
c. Manajemen Zakat
Ushr dibebankan pada suatu barang hanya sekali dalam setahun. Seorang Taghlibi datang ke wilayah Islam untuk menjual kudanya. Setelah dilakukan penaksiran oleh Zaid, seorang asyir, kuda tersebut bernilai 20.000 dirham. Oleh karena itu, Zaid memintanya untuk membayar 1000 dirham (5%) sebagai ushr.
“Tidak ada Ahli Kitab yang membayar shadaqah atas ternaknya kecuali orang kristen Banu Taghlibi yang keseluruhan kekayaannya terdiri dari ternak. Mereka membayar dua kali lipat dari yang dibayar orang Muslim.”
Pada masa pemerintahannya, Khalifah Umar ibn Al-Khaththab mengklasifikasi pendapatan negara menjadi empat bagian. Pendapatan zakat dan ushr. Pendapatan ini didistribusikan di tingkat lokal dan jika terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut disimpan di Baitul mal pusat dan dibagikan kepada delapan ashnaf, seperti yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an. Pendapatan khums dan sedekah. Pendapatan ini didistribusikan kepada para fakir miskin atau untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah ia seorang muslim atau bukan.
4. Segi Reformasi dalam Budaya
Umar bin Khattab adalah khalifah yang pertama kali digelari Amirul Mukminin, yang menetapkan penanggalan hijriyah mengumpulkan manusia untuk sholat taraweh berjamaah, mendera peminum khomer 80x cambukan, dan berkeliling di malam hari menghontrol rakyatnya di Madinah. Khalifah bin Umar bin Khattab menetapkan perhitungan tahun baru, yaitu tahun hijriayah yang dimulai dari hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah (16 Juli 622 M).
C. Peradaban Islam pada Masa Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Utsman bin Affan dilahirkan pada tahun 573 M pada sebuah keluarga dari suku Quraisy bani Umayah. Nenek moyangnya bersatu dengan nasab Nabi Muhammad pada generasi ke-5. Sebelum masuk islam ia dipanggil degan sebutan Abu Amr. Ia begelar Dzunnurain, karena menikahi dua putri nabi (menjadi khalifah 644-655 M) adalah khalifah ke-3 dalam sejarah Islam.[12]
Dalam pemerintahannya, ada beberapa hal menarik dari kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan, diantaranya yaitu:[13]
1. Segi Agama, Pengetahuan dan Budaya
Di masa pemerintahan Utsman, Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut. Utsman ibn Affan adalah khalifah pertama yang memperluas masjid nabi di Madinah dan masjid Al-Haram di Mekkah. Utsman juga khalifah pertama yang menentukan adzan awal menjelang salat jumat.[14]
Pekerjaan berat yang dilakukan oleh Utsman adalah kodifikasi Al-Qur’an, lanjutan kerja yang telah diawali oleh Abu Bakar atas inisiatif Umar. Pengumpulan Al-Qur’an yang dilakukan pada zaman Abu Bakar di latar belakangi oleh peristiwa meninggalnya 70 sahabat yang hafal Al-Qur’an dalam perang Yamamah. Sedangkan latar belakang pembukuan Al-Qur’an pada zaman Utsman adalah perbedaan qira’at (bacaan) Al-Qur’an yang menimbulkan percekcokan antara murid dan gurunya.
Pada saat penyalinan Al-Qur’an yang kedua kalinya, panitia (lajnah) penyusunan Mushaf yang di bentuk oleh Utsman melakukan pengecekan ulang dengan meneliti kembali mushaf yang sudah di simpan di rumah Hafsash, dengan membandingkan dengan mushaf-mushaf yang lain.
2. Segi Politik
Ada beberapa kebijakan politik Utsman yang cukup menonjol, antara lain:[15]
a. Melanjutkan Ekspansi Wilayah Islam
Pada masa pemerintahannya, berkat jasa para panglima yang ahli dan berkualitas, di mana peta Islam sangat luas dan bendera Islam berkibar dari perbatasan Aljazair (Barqah dan Tripoli, Syprus di front al-Maghrib bahkan ada sumber menyatakan sampai ke Tunisia) di al-Maghrib, di Utara sampai ke Aleppo dan sebagian Asia Kecil, di Timur Laut sampai ke Ma Wara al-Nahar – Transoxiana – dan di Timur seluruh Persia, bahkan sampai di perbatasan Balucistan (wilayah Pakistan sekarang), serta Kabul dan Ghazni.
b. Membentuk Armada Laut yang Kuat
Pada masa pemerintahannya, Utsman berhasil membentuk armada laut dengan kapalnya yang kokoh sehingga berhasil menghalau serangan-serangan di Laut Tengah yang dilancarkan oleh tentara Bizantium dengan kemenangan pertama kali di laut dalam sejarah Islam.
c. Menggiatkan Pembangunan
Utsman berjasa membangun banyak bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Beliau juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid Nabi di Madinah.
Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat berburuk sangka terhadap kepemimpinan Utsman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting di antaranya adalah Marwan ibn Hakam rahimahullah. Dialah pada dasarnya yang dianggap oleh orang-orang tersebut yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Utsman hanya menyandang gelar khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Utsman laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan.
D. Peradaban Islam pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
Para pemberontak terus mengepung rumah Utsman. Ali memerintahkan ketiga puteranya, Hasan, Husain dan Muhammad bin Ali al-Hanafiyah mengawal Utsman dan mencegah para pemberontak memasuki rumah. Namun kekuatan yang sangat besar dari pemberontak akhirnya berhasil menerobos masuk dan membunuh Khalifah Utsman.
Setelah Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membai’at Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ali bin Abi thalib lahir pada tahun 603 M disamping Ka’bah kota Makkah, lebih muda 32 tahun dari Nabi Muhammad SAW.
Banyak hal yang terjadi selama pemerintahan yang dipimpin khalifah Ali bin Abi Thalib, diantaranya yaitu:[16]
1. Segi Politik
Dalam periode khalifah Abu Bakar dan Umar, kehidupan masyarakat masih dalam taraf kesederhanaan seperti periode Nabi Muhammad SAW. Rakyat masih bersatu padu dan kokoh dibawah ikatan tali persaudaraan Islam. Kebijakan-kebijakan Khalifah Ali dalam menanggulangi hal-hal tersebut adalah:
a. Tanah-tanah atu pemberian-pemberian yang dilakukan Khalifah Usman bin Affan kepada famili, sanak kerabatnya dan kepada siapa saja yang tanpa alasan yang benar atu tidak syah, ditarik kembali dan menjadi milik Baitul Mal sebagai kekayaan negara. Hal ini dilakukan Khalifah untuk membersihkan pemerintahan.
b. Wali/Amir atau gubernur-gubernur penguasa wilayah yang diangkat Khalifah Utsman diganti dengan orang-orang baru.
Hal ini dilakukan Khalifah Ali, karena mereka banyak yang tidak disenangi oleh kaum muslimin, bahkan banyak yang menganggap bahwa mereka itulah yang menyebabkan timbulnya pemberontakan-pemberontakan pada masa Khalifah Utsman.
2. Segi Pengetahuan
Sebagai upaya untuk mencerdaskan umat, Khalifah Ali meningkatkan dalm Ilmu pengetahuan, khususnya ilmu yang berkaitan dengan Bahasa Arab agar umat Islam mudah dalam mempelajari Al-Qur’an dan Hadits.
3. Segi Agama
Dari segi agama, khalifah Ali bin Abi Thalib berusaha untuk mengembalikan persatuan dan kesatuan umat Islam. Akan tetapi usahanya ini kurang berhasil, karena api fitnah dikobarkan kaum munafik Yahudi yang tidak menyukai Islam. Mengatur tata pemerintahan untuk mengembalikan kepentingan umat, seperti memberikan kepada kaum muslimin tunjangan yang diambil dari Baitul Mal sebagaimana yang telah dilakukan Abu Bakar dan Umar.
Di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu’awiyah, Syi’ah (golongan yang tetap setia mendukung Ali sebagai Khalifah) yang menyusup pada barisan tentara Ali, dan al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu’awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah bin Muljam.[18]
5. Segi Bahasa dan Ilmu Pengetahuan
Di antara perkembangan yang ada pada masa Khalifah Ali adalah pertama, terciptanya ilmu bahasa / nahwu (Aqidah nahwiyah), berkembangnya ilmu Khatt al-Qur’an serta berkembangnya Sastra.
Sejarah sastra Arab, mencatat banyak penyair-penyair Mu’allaqat, diantaranya adalah tujuh orang yaitu yang terkenal dengan sebutan (seven suspendeds poems) mereka adalah Ibnu al-Qais bin Haris al-Kindi (500-540), Zuhair bin Abu Sulma Al-Muzani (530-627), Al Nabiqah al Zubiani (sekitar 604), Labid bin Rabiah al-Amiri (560-661), Tarafah bin Abdul Bakri (543-569), Antarah bin Syaddad Al-Bakri ( sekitar 580). Banyaknya sastrawan-sastrawan Arab ini menunjukkan bahwa sastra pada saat itu sudah sangat terkenal dan menjadi budaya orang Arab, orang Arab sangat menghormati sastrawan. Sehingga Allah menurunkan Al-Qur’an dengan segala keindahan syair yang terkandung dan tak ada yang dapat menandingi syair Al-Qur’an dan kepadatan makna yang terkandung di dalamnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Khulafaur Rasyidin (bahasa Arab: الخلفاء الراشدون) atau Khalifah Ar-Rasyidin adalah empat orang khalifah (pemimpin) pertama agama Islam, yang dipercaya oleh umat Islam sebagai penerus kepemimpinan setelah Nabi Muhammad wafat. Keempat khalifah tersebut dipilih bukan berdasarkan keturunannya, melainkan berdasarkan konsensus bersama umat Islam. Sistem pemilihan terhadap masing-masing khalifah tersebut berbeda-beda, hal tersebut terjadi karena para sahabat menganggap tidak ada rujukan yang jelas yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad tentang bagaimana suksesi kepemimpinan Islam akan berlangsung.
Sistem perekonomian pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin adalah bertani dan berdagang setiap hari mereka disibukkan dengan pesoalan air dan rumput. Hasil pertanian yang mereka ekspor antara lain, kurma, kayu gaharu, buah kismis anggur dan lainnya selain bertani, unsur terpenting dalam perekonomian mereka adalah berdagang. Masyarakat Arab waktu itu sudah mengenal ekspor impor.
Orang Arab memiliki solidaritas internal yang sangat kuat dan sebaliknya ganas terhadap suku dan kabilah lain. Pada masa Nabi, sifat kesukuan ini berhasil dirubah menjadi sifat nasionalisme kenegaraan, yang awalnya mereka bangga menyebut-nyebut semboyan kesukuannya menjadi berubah menjadi semboyan Islam.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan, masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam bahasanya, materi dan penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran dan masukan yang dapat membangun penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Boedi. 2010. Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Amin, Samsul Munir. 2014. Sejarah Peradaban Islam. .Jakarta: Amzah.
Chamid, Nur. 2010. Jejak Langkah dan Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Harun, Maidir. 2001. Sejarah Peradaban Islam. Padang: IAIN-IB Press.
Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
[1]Ali Mufrodi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997). Hal. 47
[2] Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2010). Hal. 77-78.
[3] Ibid.,Hal. 78-79.
[4] Ibid., Hal. 72
[5] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003). Hal. 152
[6] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008). Hal. 80.
[7] Ibid., Hal. 82
[8] Boedi Abdullah,Op.Cit, Hal. 92-93.
[9] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). Hal. 85.
[10] Ibid., Hal. 87.
[11] Boedi Abdullah, Op.Cit., Hal. 97-98.
[12] Dedi Supriyadi, Op.Cit., Hal. 86.
[13] Boedi Abdullah, Op.Cit, Hal. 104.
[14] Maidir Harun. Sejarah Peradaban Islam. (Padang: IAIN-IB Press, 2001), h. 61
[15] Ibid., Hal. 106.
[16] Ibid., Hal. 119.
[17] Samsul Munir Amin. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Amzah, 2014), h. 111
[18] Ibid, h. 112
No comments:
Post a Comment