Friday, 24 February 2017

Makalah Tarikh Tasyrik

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Periode kedua pada masa perkembangan fiqih atau hukum islam bermula sejak wafatnya Nabi Muhammad Saw pada tahun 11 H dan berakhir ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai khalifah pada tahun 41 H. Pada periode – periode ini hiduplah sahabat – sahabat Nabi terkemuka yang mengibarkan bendera dakwah islam setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw.
Hal ini sebagaimana di hadits Rasulullah SAW: (أنتم أعلم بأمور دنياكم), yang artinya “Kalian – kalian semua lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian”. Dalam berbagai hal, sahabat adalah orang yang paling dekat dengan Nabi, terutama empat sahabat yang terkenal dengan sebutan Khulafa’ur Rasyidin. Dalam hadits disebutkan juga (أصحابي كالنجم بأيهم اقتديتم اهتديتم), yang artinya “sahabat – sahabatku ibarat bintang – bintang, siapa saja yang kalian ikuti maka kalian akan mendapatkan petunjuk (hidayah)”. Berbeda dengan Nabi yang ma’shum tentu saja para sahabat sebagai manusia biasa juga pernah membuat kesalahan, dan dalam menetapkan hukumnya juga pasti akan sangat berhubungan dengan dasar pemikiran, sosio – kultural di samping ilmu – ilmu agama yang dimiliki mereka. Oleh karena itu sering terjadi perbedaan tasyri’ dalam suatu permasalahan terutama tanpa “qoth’iyud dilalah.” 
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana yang di maksud dengan tarik tasyri` ?
2.      Bagaimana faktor – faktor penyebab perkembangan tasyri' pada masa khalifaurrasyidin?
3.      Apasajakah sumber-sumber hukum Islam pada masa khalifaurrasyidin ?
C.    Tujuan Permasalahan
1.      Untuk mengetahui pengertian Tarikh tasyri`
2.      Untuk mengetahui faktor – faktor penyebab perkembangan tasyri' pada masa khalifaurrasyidin
3.      Untuk mengetahui sumber-sumber hukum Islam pada masa  khalifaurrasyidin
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tarikh Tasyri’
Tarikh artinya catatan tentang perhitungan tanggal, hari, bulan, dan tahun. Lebih popular dan sederhana diartikan sebagai sejarah, riwayat atau kitab.[1]
Sedangkan tasyri’ menurut bahasa ialah kata yang diambil dari kata syariat, yang antara lain maknanya ialah jalan yang lurus atau tempat yang didatangi oleh manusia-manusia dan binatang-binatang untuk meminum air. Kemudian menurut istilah ialah pembentukan dan penetapan perundang-undangan yang mengatur perbuatan orang mukalaf dan hal-hal yang terjadi tentang berbagai keputusan serta peristiwa yang terjadi dikalangan mereka.
Dengan demikian, dengan sederhana tarikh tasyri’ diartikan sebagai sejarah terbentuknya perundang-undangan dalam Islam, atau sejarah pembentukan hukum Islam.
Jika pembentukan undang-undang ini sumbernya dari Allah dengan perantaraan Rasul dan kitab-kitabnya, maka hal itu dinamakan perundang-undangan Allah (at-Tasyri’ul Ilahiyah). Sedangkan jika sumbernya datang dari manusia baik secara individual maupun kolektif, maka hal itu dinamakan perundang-undangan buatan manusia (at-Tasyri’ul Wad’iyah).
B.     Faktor Penyebab Perkembangan Tasyri' Pada Masa Khalifaurrasyidin
Al-Khulafa'u al-Rasyidun memainkan pesan yang sangat penting dalam membela dan mempertahankan agama. Mereka tidak cukup melaksanakan dan melestarikan syari'at yang dibawa Nabi Saw, tetapi juga membentangkan sayap dakwah Islam hingga kemancanegara. Ini untuk kali pertama syari'at Islam khususnya fiqh berhadapan dengan berbagai persoalan baru. Misalnya masalah seputar moral, etika, kultur, dan kemanusiaan dalam suatu masyarakat yang sangat majemuk.
Fase ini adalah adalah fase yang paling dominan, dalam mempengaruhi perkembangan syari'at. Wilayah-wilayah yang dibuka dan dibebaskan saat itu memiliki perbedaan masalah kultural, tradisi situasi dan kondisi yang menghadang para fuqaha’ dari kalangan sahabat, khususnya Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali untuk memberikan suatu fatwa.
Para Khulafa'ur Rasyiduun dengan tingkat pemahaman yang tinggi terhadap Al Qur'an dan Sunnah, menyikapi terhadap persoalan-persoalan yang datang dengan langsung merujuk kepada al-qur'an dan As-Sunnah. Adakalannya mereka menemukan nash dalam al-Qur'an dan hadits secara tersurat, tetapi juga tidak jarang mereka tidak menemukan dalam dua sumber pokok syari'at Islam tersebut. Kondisi yang demikian ini mendorong mereka secara paksa untuk berjuang menggali kaidah-kaidah dasar dan tujuan moral dari berbagai tema-tema dalam Al Qur'an untuk diaplikasikan terhadap persoalan-persoalan baru.Konsekuensi lain dari perluasan wilayah Islam adalah bercampurnya orang-orang Arab dengan yang lainnya. Sebagian dari mereka banyak yang memeluk Islam, tetapi sebagian tetap pada agama dan kepercayaan masing-masing. Dari sini muncul suatu tuntutan untuk menetapkan hukum baru yang mengatur hubungan orang-orang Islam dengan orang-orang non Muslim. Para fuqaha' untuk yang kesekian kalinnya berusalia merumuskan bagaimana Islam mengatur pluralitas hidup seperti ini. Termasuk disini adalah persoalan baru yang belum pernah terjadi pada era kenabian disamping belum ada sumber hukum yang secara jelas-jelas merinci hukum masalah ini.
C.    Sumber – sumber tasyri' pemakaian dan permasalahannya
Sumber Tasyri' pada masa ini adalah Al Qur'an, As-sunnah dan ljtihad (termasuk didalamnya ijma' dan qiyas). Sebab pada hakekatnya keduanya dihasilkan dari jerih payah mujtahiddin. Al qur'an pada masa ini sudah dibukukan, yaitu pada Utsman bin Afan, setelah dipertimbangkan akan kemaslahatannya yang lebih besar. Adapun sumber hukum Islam yang kedua adalah Hadits, yang ketika itu belum dibukukan, sebab dikhawatirkan akan bercampur dengan al-Qur' an. Meski demikian upaya untuk pemeliharaan tetap dilakukan.
Sehingga kebenaran riwayatnya dapat dijamin. Abu Bakar Misalnya, beliau tidak mau menerima hadits dari seseorang kecuali mendapat pengakuan dan pengetahuan dari orang lain yang terpercaya. Umar bin Khattab menuntut adanya bukti-bukti bahwa hadits tersebut datang dari Rasulullah. Demikian juga Ali bin Abi Thalib, beliau senantiasa menyumpah perawinya.
Kemudian sumber hukum yang ketiga, adalah ijtihad. Para shahabat dalam tidak selalu sama, artinya pendapat mereka kadang-kadang berbeda. Misalnya, Ali dan ibnu Abbas berbeda pendapat dengan Umar bin Khattab dalam masalah 'iddah. Dalam surat Al-Baqarah ayat 234 disebutkan, bahwa wanita yang ditinggal mati oleh suaminya 'iddah-nya 4 bulan 10 hari, Kemudian, dalam surat at-Thalaq: 4 dijelaskan bahwa wanita yang hamil, 'iddah-nya sampai dia melahirkan.
Lalu persoalannya, bagaimana kalau ada wanita hamil dan ditinggal mati oleh suaminya menurut Ali dan Ibn Abbas 'iddah-nya diambil yang lebih panjang diantara dua masalah tersebut. (4 bulan 10 hari dan sampai melahirkan) sementara menurut umar, iddahnya sampai melahirkan. Juga mengenai masalah perampok Yang betaubat. Menurut sebagian besar sahabat, bahwa perampok yang sudah bertaubat tidak lagi dikenai sanksi hukum, sementara menurut Urwah Bin Jubair, mereka tetap dikenai sanksi hukum dengan alasan untuk menjaga stabilitas sosial. Dan masih banyak lagi perbedaan pendapat sahabat lainnya dalam masalah hukum ini, Persoalan ini mudah dipahami sebab, sesuai dengan perluasan Islam. Mereka banyak terpencar di berbagai daerah, misalnya di Kufah, Bashrah, Syam, Mesir dan seterusnya.
Berkenaan dengan ini Ibnu Qoyyim pernah berkata bila seseorang sahabat mengemukakan pendapat atau mengemukakan suatu hukum atau memberikan fatwa, tentu ia telah mempunyai pengetahuan, baik yang dimiliki oleh para sahabat maupun pengetahuan yang kita miliki. Adapun pengetahuan yang hanya dimiliki oleh sahabat, mungkin didengar langsung dari Nabi melalui sahabat yang lain. Pengetahuan yang hanya diketahui oleh masing-masing sahabat banyak sekali, sehingga para sahabat tidak semua dapat meriwayatkan semua hadits-hadits yang didergar dari Khulafa' ar Rasyidin dan sahabat-sahabat lainnya.
Walaupun Abu bakar Assiddiq selalu mendampingi Nabi, hingga nabi tidak pernah lepas dari pantauan Abu Bakar dan ia digolongkan sebagai orang yang mengetahui tentang Rasulullah SAW, tetapi hadits-hadits yang ia riwayatkan tidak lebih dari seratus hadits. Anggapan orang bahwa seorang sahabat selalu meriwayatkan suatu Hadits atau menyatakan suatu kejadian yang ia ketahui, adalah anggapan yang keliru, bahwa orang tersebut tidak mengetahui sikap dan tingkah laku para sahabat pada khulafa' ar Rasyidun. Sebab mereka sangat takut untuk meriwayatkan suatu hadits, lantaran khawatir akan menambah atau mengurangi hadits tersebut. Karena itu mereka sedikit sekali meriwayatkan dan hanya menceritakan apa yang mereka dengar dari Rasulullah, atau sabda beliau. Dengan demikian fatwa-fatwa sahabat tersebut tidak keluar dari enam kemungkinan berikut ini: 

1.      Fatwa tersebut mereka dengar langsung dari rasuluilah SAW
2.      Fatwa tersebut mereka dengar dari sahabat yang mendengarkan fatwa Rasulullah SAW.
3.      Fatwa tersebut mereka pahami dari ayat-ayat suci Al Quran yang tidak jelas
4.      Fatwa tersebut telah mereka sepakati, akan tetapi hanya disampaikan oleh seorang mufti
5.      Fatwa tersebut merupakan pendapat sahabat secara pribadi, lantaran mereka menguasai bahasa arab secara pribadi, sehingga mereka mengetahui dilalah lafadz terhadap sesuatu yang tidak kita ketahui. Atau mereka mengetahui latar belakang kitab al-Qur'an dan Hadits atau mereka lebih menguasai permasalahan-permasalahan yang berkembang pada diri Rasulullah dan menyaksikan turunnya wahyu serta takwilnya secara kongkrit. Dengan demikian, mereka mempunyai pemahaman terhadap al-Quran dan Hadits lebih mendalam dibanding yang kita pahami.
6.      Mungkin fatwa tersebut berasal dari pemahaman dari para sahabat yang tidak berasal dari hadits Nabi, dan ternyata pemahaman tersebut adalah salah. oleh karena itu fatwa sahabat memiliki kedudukan dzonni yang lebih mendekati kebenaran yang dituntut dalam fatwa sahabat pada periode ini, hanyalah pada tingkat dzonni yang kuat dan harus diamalkan.
D.    Ijtihad Sahabat Dalam Menghadapi Problematika Hukum Islam
1.      Kekhalifahan Abu Bakar As – Shiddiq
Setelah Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, banyak sekali terjadi pemberontakan serta penyelewengan akidah di beberapa daerah kekuasaan islam, termasuk diantaranya adalah seorang Musailamah al-Kadzab yang mengaku menjadi Nabi setelah Nabi Muhammad, kemudian Abu Bakar pun memerintahkan untuk memerangi kelompok penyeleweng tersebut hingga akhirnya setelah pertempuran yang sengit, kemenangan diraih pasukan Abu Bakar dengan meninggalkan banyak syuhada’, termasuk di antaranya jumlah besar para penghafal al-Quran.[2] Karena kekhawatiran akan hilangnya al-Quran bersamaan dengan semakin berkurangnya para penghafal al-Quran, maka Umar bin Khattab pun mengusulkan pengumpulan al-Quran dalam satu kumpulan (mushaf) kepada Abu Bakar, tentu saja Abu Bakar menolak usulan umar tersebut, karena sebagai sahabat yang selalu dekat dengan Nabi, yang selalu mematuhi dan membenarkan segala perkataan dan perbuatan Nabi SAW, pantang bagi Abu Bakar untuk melakukan hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW, apalagi hal-hal yang berkenaan dengan al-Quran selaku sumber hukum Primer Islam.
Atas kegigihan Umar dalam memberikan argument, bahwa hal itu untuk menghindari punahnya ayat-ayat al-Quran yang disebabkan oleh berkurangnya para penghafal al-Quran, dan hal itu akan menjadikan kemaslahatan umat islam, maka Abu Bakar pun menyetujui usulan Umar tersebut. Dia pun memerintahkan kepada sang penulis wahyu terbanyak, Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan al-Quran dalam satu kumpulan atau dalam satu mushaf. 
2.      Kekhalifahan Umar bin Khattab
Pada masa kekhalifahan Umar bin al-Khattab, Khalifah kedua setelah Abu Bakar, terjadi suatu peristiwa hukum berupa pembunuhan massal, atau pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa orang sekaligus terhadap satu orang, bagaimana hukumnya?. Ketika dihadapkan pada masalah tersebut, Umar merasa bimbang, kemudian dia pun mendiskusikannya dengan Ali bin Abi Thalib, maka Ali bertanya: “Apa pendapatmu jika ada sekelompok orang yang bersama-sama mencuri Unta, apakah engkau akan memotong tangan mereka semua?”, Umar menjawab: “Ya”. Ali pun berkata: ”Begitulah . . . . ,”. Kemudian atas dasar pola pikir atau analogi terebut, maka Umar menetapkan hukum bagi mereka, “Andaikata penduduk Shan’a itu semua bersama-sama membunuh pria itu, sungguh akan aku bunuh mereka semua”.[3]
3.      Kekhalifahan Utsman bin Affan
Pembukuan atau penulisan al-Quran dengan satu macam versi qiroah dan membuang mushaf versi lain merupakan salah satu bentuk ijtihad Usman dalam menghadapi keanekaragaman bacaan al-Quran yang mengarah kepada keragaman pemahaman terhadap islam, selanjutnya, pertentangan di kalangan umat islam. Dan ijtihad itu pun disetujui oleh para sahabatnya. Seperti diketahui bahwa al-Quran diturunkan atas 7 macam huruf (qiroah), artinya dengan dialek dan redaksi yang bermacam-macam, sehingga terbuka peluang berbedanya hafalan seorang sahabat dengan sahabat yang lain. Misalnya, dalam surah al-Jumu’ah disebut (فاسعوا إلى ذكرالله), ada sahabat lain yang membacanya (فامضوا إلى ذكر الله). Perbedaan redaksi di sini tidak mengubah makna, namun demi keutuhan, keseragaman al-Quran dilaksanakan oleh Khalifah Utsman bin Affan. 

4.      Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
Para fuqoha sahabat berbeda pendapat tentang bagaimana hukum seorang wanita yang ditinggal mati suaminya sebelum melakukan hubungan suami-istri, padahal belum juga ditentukan kadar mas kawin atau maharnya. Menurut ibnu Mas’ud, wanita itu berhak mengambil maskawin seperti biasa dari harta peninggalan suaminya seperti terjadi pada Barwa’ binti Wasyik al-Aslamiyah di zaman Rasulullah.
Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa, ketentuan seperti itu merugikan satu pihak. Karenanya, menurut Ali, wanita itu tidak berhak mengambil maskawin dari harta peninggalan suaminya sebelum terjadi hubungan suami-istri. “Kami tidak akan meninggalkan al-Quran hanya karena pernyataan seorang saja”, kata Ali. Dari sini nampak bahwa Ali telah sampai pada penggunaan qiyas, sebab dalam al-Quran tidak ada ketentuan tentang masalah ini, yang ada hanyalah wanita yang ditalak oleh suaminya sebelum melakukan hubungan suami-istri. Dan rupanya Ali mengqiyaskan wanita yang ditinggal mati oleh suaminya sebelum melakukan hubungan tadi dengan wanita yang ditalak dalam keadaan yang sama.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Permasalahan hukum itu telah ada hukumnya dalam nash al-Quran, maka digunakanlah hukum yang didapat dari nash tersebut. Dan bila hukum permasalahan itu tidak ditemukan dalam al-Quran maka mereka mencari hukumnya di dalam Hadits, namun karena hadits masih belum dibukukan, maka sering terjadi perbedaan pendapat mengenai satu persoalan yang sama tetapi menghasilkan produk hukum yang berbeda, tergantung kapasitas hadits yang dimiliki masing-masing sahabat. Untuk menghadapai masalah ini, para sahabat seringkali berdiskusi untuk saling bertukar wawasan tentang hadits yang mereka hafal. Dan bila mereka tidak dapat menemukan hukumnya di dalam al-Quran dan Hadits maka mereka berijtiad dengan menggunakan Ro’yu mereka sendir-sendiri, maka kemudian terciptalah metode Qiyas, penggalihan illat hukum, ijma’, hingga akhirnya pada tahap penelusuran substansi syari’at dengan menggunakan metode maslahah, yaitu mencari hal yang maslahat bagi manusia secara umum.
Adapun sebab ikhtilaf pendapat para sahabat saat itu adalah perbedaan persepsi tentang suatu nash al-Quran atau Hadits secara tekstual, yang biasanya memerlukan kajian kebahasaan yang tinggi. Di samping itu kadar jumlah hadits yang berbeda yang diterima kesemuanya tergantung pada seberapa dekat dan sering seorang sahabat berinteraksi dengan Nabi SAW. 
B.     Saran


DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ahmad Al-Usairy. 2008SEJARAH ISLAM (Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX). Cet. Keenam.. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Muhammad Zuhri. 1996Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah.. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 





                [1]Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2002, hal 1
                [2]Ahmad Al-Usairy. SEJARAH ISLAM (Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX). Cet. Keenam. (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. 2008Hal. 188.
                [3]Muhammad Zuhri. Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 1996Hal. 40.

No comments:

Post a Comment