BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Periode kedua pada masa perkembangan fiqih atau hukum islam bermula sejak
wafatnya Nabi Muhammad Saw pada tahun 11 H dan berakhir ketika Mu’awiyah bin
Abi Sufyan menjabat sebagai khalifah pada tahun 41 H. Pada periode – periode
ini hiduplah sahabat – sahabat Nabi terkemuka yang mengibarkan bendera dakwah
islam setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw.
Hal ini sebagaimana di hadits Rasulullah SAW: (أنتم أعلم بأمور
دنياكم), yang artinya “Kalian – kalian semua lebih
mengetahui tentang urusan dunia kalian”. Dalam berbagai hal, sahabat adalah
orang yang paling dekat dengan Nabi, terutama empat sahabat yang terkenal
dengan sebutan Khulafa’ur Rasyidin. Dalam hadits disebutkan juga (أصحابي كالنجم بأيهم اقتديتم اهتديتم),
yang artinya “sahabat – sahabatku ibarat bintang – bintang, siapa saja yang
kalian ikuti maka kalian akan mendapatkan petunjuk (hidayah)”. Berbeda dengan
Nabi yang ma’shum tentu saja para sahabat sebagai manusia biasa juga pernah membuat
kesalahan, dan dalam menetapkan hukumnya juga pasti akan sangat berhubungan
dengan dasar pemikiran, sosio – kultural di samping ilmu – ilmu agama yang
dimiliki mereka. Oleh karena itu sering terjadi perbedaan tasyri’ dalam suatu
permasalahan terutama tanpa “qoth’iyud dilalah.”
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana yang di maksud dengan tarik tasyri` ?
2.
Bagaimana faktor – faktor penyebab perkembangan
tasyri' pada masa khalifaurrasyidin?
3.
Apasajakah sumber-sumber hukum Islam pada
masa khalifaurrasyidin ?
C.
Tujuan Permasalahan
1.
Untuk mengetahui pengertian Tarikh tasyri`
2.
Untuk mengetahui faktor – faktor penyebab
perkembangan tasyri' pada masa khalifaurrasyidin
3.
Untuk mengetahui sumber-sumber hukum Islam pada
masa khalifaurrasyidin
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tarikh Tasyri’
Tarikh artinya catatan tentang perhitungan tanggal, hari, bulan, dan tahun.
Lebih popular dan sederhana diartikan sebagai sejarah, riwayat atau kitab.[1]
Sedangkan tasyri’ menurut bahasa ialah kata yang diambil dari kata syariat,
yang antara lain maknanya ialah jalan yang lurus atau tempat yang didatangi
oleh manusia-manusia dan binatang-binatang untuk meminum air. Kemudian menurut
istilah ialah pembentukan dan penetapan perundang-undangan yang mengatur
perbuatan orang mukalaf dan hal-hal yang terjadi tentang berbagai keputusan
serta peristiwa yang terjadi dikalangan mereka.
Dengan demikian, dengan sederhana tarikh tasyri’ diartikan sebagai sejarah terbentuknya perundang-undangan dalam Islam, atau sejarah pembentukan hukum Islam.
Dengan demikian, dengan sederhana tarikh tasyri’ diartikan sebagai sejarah terbentuknya perundang-undangan dalam Islam, atau sejarah pembentukan hukum Islam.
Jika pembentukan undang-undang ini sumbernya dari Allah dengan perantaraan
Rasul dan kitab-kitabnya, maka hal itu dinamakan perundang-undangan Allah
(at-Tasyri’ul Ilahiyah). Sedangkan jika sumbernya datang dari manusia baik
secara individual maupun kolektif, maka hal itu dinamakan perundang-undangan
buatan manusia (at-Tasyri’ul Wad’iyah).
B.
Faktor Penyebab Perkembangan Tasyri' Pada Masa
Khalifaurrasyidin
Al-Khulafa'u al-Rasyidun memainkan pesan yang sangat penting dalam membela
dan mempertahankan agama. Mereka tidak cukup melaksanakan dan melestarikan
syari'at yang dibawa Nabi Saw, tetapi juga membentangkan sayap dakwah Islam
hingga kemancanegara. Ini untuk kali pertama syari'at Islam khususnya fiqh
berhadapan dengan berbagai persoalan baru. Misalnya masalah seputar moral,
etika, kultur, dan kemanusiaan dalam suatu masyarakat yang sangat majemuk.
Fase ini adalah adalah fase yang paling dominan, dalam mempengaruhi
perkembangan syari'at. Wilayah-wilayah yang dibuka dan dibebaskan saat itu
memiliki perbedaan masalah kultural, tradisi situasi dan kondisi yang
menghadang para fuqaha’ dari kalangan sahabat, khususnya Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali untuk memberikan suatu fatwa.
Para Khulafa'ur Rasyiduun dengan tingkat pemahaman yang tinggi terhadap Al
Qur'an dan Sunnah, menyikapi terhadap persoalan-persoalan yang datang dengan
langsung merujuk kepada al-qur'an dan As-Sunnah. Adakalannya mereka menemukan
nash dalam al-Qur'an dan hadits secara tersurat, tetapi juga tidak jarang
mereka tidak menemukan dalam dua sumber pokok syari'at Islam tersebut. Kondisi
yang demikian ini mendorong mereka secara paksa untuk berjuang menggali
kaidah-kaidah dasar dan tujuan moral dari berbagai tema-tema dalam Al Qur'an
untuk diaplikasikan terhadap persoalan-persoalan baru.Konsekuensi lain dari
perluasan wilayah Islam adalah bercampurnya orang-orang Arab dengan yang
lainnya. Sebagian dari mereka banyak yang memeluk Islam, tetapi sebagian tetap
pada agama dan kepercayaan masing-masing. Dari sini muncul suatu tuntutan untuk
menetapkan hukum baru yang mengatur hubungan orang-orang Islam dengan orang-orang
non Muslim. Para fuqaha' untuk yang kesekian kalinnya berusalia merumuskan
bagaimana Islam mengatur pluralitas hidup seperti ini. Termasuk disini adalah
persoalan baru yang belum pernah terjadi pada era kenabian disamping belum ada
sumber hukum yang secara jelas-jelas merinci hukum masalah ini.
C.
Sumber – sumber tasyri' pemakaian dan permasalahannya
Sumber Tasyri' pada masa ini adalah Al Qur'an, As-sunnah dan ljtihad
(termasuk didalamnya ijma' dan qiyas). Sebab pada hakekatnya keduanya
dihasilkan dari jerih payah mujtahiddin. Al qur'an pada masa ini sudah
dibukukan, yaitu pada Utsman bin Afan, setelah dipertimbangkan akan
kemaslahatannya yang lebih besar. Adapun sumber hukum Islam yang kedua adalah
Hadits, yang ketika itu belum dibukukan, sebab dikhawatirkan akan bercampur
dengan al-Qur' an. Meski demikian upaya untuk pemeliharaan tetap dilakukan.
Sehingga kebenaran riwayatnya dapat dijamin. Abu Bakar Misalnya, beliau
tidak mau menerima hadits dari seseorang kecuali mendapat pengakuan dan
pengetahuan dari orang lain yang terpercaya. Umar bin Khattab menuntut adanya
bukti-bukti bahwa hadits tersebut datang dari Rasulullah. Demikian juga Ali bin
Abi Thalib, beliau senantiasa menyumpah perawinya.
Kemudian sumber hukum yang ketiga, adalah ijtihad. Para shahabat dalam tidak selalu sama, artinya pendapat mereka kadang-kadang berbeda. Misalnya, Ali dan ibnu Abbas berbeda pendapat dengan Umar bin Khattab dalam masalah 'iddah. Dalam surat Al-Baqarah ayat 234 disebutkan, bahwa wanita yang ditinggal mati oleh suaminya 'iddah-nya 4 bulan 10 hari, Kemudian, dalam surat at-Thalaq: 4 dijelaskan bahwa wanita yang hamil, 'iddah-nya sampai dia melahirkan.
Kemudian sumber hukum yang ketiga, adalah ijtihad. Para shahabat dalam tidak selalu sama, artinya pendapat mereka kadang-kadang berbeda. Misalnya, Ali dan ibnu Abbas berbeda pendapat dengan Umar bin Khattab dalam masalah 'iddah. Dalam surat Al-Baqarah ayat 234 disebutkan, bahwa wanita yang ditinggal mati oleh suaminya 'iddah-nya 4 bulan 10 hari, Kemudian, dalam surat at-Thalaq: 4 dijelaskan bahwa wanita yang hamil, 'iddah-nya sampai dia melahirkan.
Lalu persoalannya, bagaimana kalau ada wanita hamil dan ditinggal mati oleh
suaminya menurut Ali dan Ibn Abbas 'iddah-nya diambil yang lebih panjang
diantara dua masalah tersebut. (4 bulan 10 hari dan sampai melahirkan) sementara
menurut umar, iddahnya sampai melahirkan. Juga mengenai masalah perampok Yang
betaubat. Menurut sebagian besar sahabat, bahwa perampok yang sudah bertaubat
tidak lagi dikenai sanksi hukum, sementara menurut Urwah Bin Jubair, mereka
tetap dikenai sanksi hukum dengan alasan untuk menjaga stabilitas sosial. Dan
masih banyak lagi perbedaan pendapat sahabat lainnya dalam masalah hukum ini,
Persoalan ini mudah dipahami sebab, sesuai dengan perluasan Islam. Mereka
banyak terpencar di berbagai daerah, misalnya di Kufah, Bashrah, Syam, Mesir
dan seterusnya.
Berkenaan dengan ini Ibnu Qoyyim pernah berkata bila seseorang sahabat
mengemukakan pendapat atau mengemukakan suatu hukum atau memberikan fatwa,
tentu ia telah mempunyai pengetahuan, baik yang dimiliki oleh para sahabat
maupun pengetahuan yang kita miliki. Adapun pengetahuan yang hanya dimiliki oleh
sahabat, mungkin didengar langsung dari Nabi melalui sahabat yang lain.
Pengetahuan yang hanya diketahui oleh masing-masing sahabat banyak sekali,
sehingga para sahabat tidak semua dapat meriwayatkan semua hadits-hadits yang didergar dari Khulafa' ar Rasyidin dan sahabat-sahabat lainnya.
Walaupun Abu bakar Assiddiq selalu mendampingi Nabi, hingga nabi tidak
pernah lepas dari pantauan Abu Bakar dan ia digolongkan sebagai orang yang
mengetahui tentang Rasulullah SAW, tetapi hadits-hadits yang ia riwayatkan
tidak lebih dari seratus hadits. Anggapan orang bahwa seorang sahabat selalu
meriwayatkan suatu Hadits atau menyatakan suatu kejadian yang ia ketahui,
adalah anggapan yang keliru, bahwa orang tersebut tidak mengetahui sikap dan
tingkah laku para sahabat pada khulafa' ar Rasyidun. Sebab mereka sangat takut
untuk meriwayatkan suatu hadits, lantaran khawatir akan menambah atau
mengurangi hadits tersebut. Karena itu mereka sedikit sekali meriwayatkan dan
hanya menceritakan apa yang mereka dengar dari Rasulullah, atau sabda beliau.
Dengan demikian fatwa-fatwa sahabat tersebut tidak keluar dari enam kemungkinan
berikut ini:
1.
Fatwa tersebut mereka dengar langsung dari rasuluilah
SAW
2.
Fatwa tersebut mereka dengar dari sahabat yang
mendengarkan fatwa Rasulullah SAW.
3.
Fatwa tersebut mereka
pahami dari ayat-ayat suci Al Quran yang tidak jelas
4.
Fatwa tersebut telah
mereka sepakati, akan tetapi hanya disampaikan oleh seorang mufti
5.
Fatwa tersebut
merupakan pendapat sahabat secara pribadi, lantaran mereka menguasai bahasa
arab secara pribadi, sehingga mereka mengetahui dilalah lafadz terhadap sesuatu
yang tidak kita ketahui. Atau mereka mengetahui latar belakang kitab
al-Qur'an dan Hadits atau mereka lebih menguasai permasalahan-permasalahan yang
berkembang pada diri Rasulullah dan menyaksikan turunnya wahyu serta takwilnya
secara kongkrit. Dengan demikian, mereka mempunyai pemahaman terhadap al-Quran
dan Hadits lebih mendalam dibanding yang kita pahami.
6.
Mungkin fatwa
tersebut berasal dari pemahaman dari para sahabat yang tidak berasal dari
hadits Nabi, dan ternyata pemahaman tersebut adalah salah. oleh karena itu
fatwa sahabat memiliki kedudukan dzonni yang lebih mendekati kebenaran yang
dituntut dalam fatwa sahabat pada periode ini, hanyalah pada tingkat dzonni
yang kuat dan harus diamalkan.
D.
Ijtihad Sahabat Dalam
Menghadapi Problematika Hukum Islam
1.
Kekhalifahan Abu
Bakar As – Shiddiq
Setelah Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, banyak sekali terjadi
pemberontakan serta penyelewengan akidah di beberapa daerah kekuasaan islam,
termasuk diantaranya adalah seorang Musailamah al-Kadzab yang mengaku menjadi
Nabi setelah Nabi Muhammad, kemudian Abu Bakar pun memerintahkan untuk memerangi
kelompok penyeleweng tersebut hingga akhirnya setelah pertempuran yang sengit,
kemenangan diraih pasukan Abu Bakar dengan meninggalkan banyak syuhada’,
termasuk di antaranya jumlah besar para penghafal al-Quran.[2] Karena
kekhawatiran akan hilangnya al-Quran bersamaan dengan semakin berkurangnya para
penghafal al-Quran, maka Umar bin Khattab pun mengusulkan pengumpulan al-Quran
dalam satu kumpulan (mushaf) kepada Abu Bakar, tentu saja Abu Bakar menolak
usulan umar tersebut, karena sebagai sahabat yang selalu dekat dengan Nabi,
yang selalu mematuhi dan membenarkan segala perkataan dan perbuatan Nabi SAW,
pantang bagi Abu Bakar untuk melakukan hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh
Nabi SAW, apalagi hal-hal yang berkenaan dengan al-Quran selaku sumber hukum Primer
Islam.
Atas kegigihan Umar dalam memberikan argument, bahwa hal itu untuk
menghindari punahnya ayat-ayat al-Quran yang disebabkan oleh berkurangnya para
penghafal al-Quran, dan hal itu akan menjadikan kemaslahatan umat islam, maka
Abu Bakar pun menyetujui usulan Umar tersebut. Dia pun memerintahkan kepada
sang penulis wahyu terbanyak, Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan al-Quran dalam
satu kumpulan atau dalam satu mushaf.
2.
Kekhalifahan Umar bin
Khattab
Pada masa kekhalifahan Umar bin al-Khattab, Khalifah kedua setelah Abu
Bakar, terjadi suatu peristiwa hukum berupa pembunuhan massal, atau pembunuhan
yang dilakukan oleh beberapa orang sekaligus terhadap satu orang, bagaimana
hukumnya?. Ketika dihadapkan pada masalah tersebut, Umar merasa bimbang, kemudian
dia pun mendiskusikannya dengan Ali bin Abi Thalib, maka Ali bertanya: “Apa
pendapatmu jika ada sekelompok orang yang bersama-sama mencuri Unta, apakah
engkau akan memotong tangan mereka semua?”, Umar menjawab: “Ya”. Ali pun
berkata: ”Begitulah . . . . ,”. Kemudian atas dasar pola pikir atau analogi
terebut, maka Umar menetapkan hukum bagi mereka, “Andaikata penduduk Shan’a itu
semua bersama-sama membunuh pria itu, sungguh akan aku bunuh mereka semua”.[3]
3.
Kekhalifahan Utsman
bin Affan
Pembukuan atau penulisan al-Quran dengan satu macam versi qiroah dan
membuang mushaf versi lain merupakan salah satu bentuk ijtihad Usman dalam
menghadapi keanekaragaman bacaan al-Quran yang mengarah kepada keragaman
pemahaman terhadap islam, selanjutnya, pertentangan di kalangan umat islam. Dan
ijtihad itu pun disetujui oleh para sahabatnya. Seperti diketahui bahwa
al-Quran diturunkan atas 7 macam huruf (qiroah), artinya dengan dialek dan
redaksi yang bermacam-macam, sehingga terbuka peluang berbedanya hafalan
seorang sahabat dengan sahabat yang lain. Misalnya, dalam surah al-Jumu’ah
disebut (فاسعوا إلى ذكرالله),
ada sahabat lain yang membacanya (فامضوا إلى ذكر الله). Perbedaan redaksi di sini tidak mengubah makna,
namun demi keutuhan, keseragaman al-Quran dilaksanakan oleh Khalifah Utsman bin
Affan.
4.
Kekhalifahan Ali bin
Abi Thalib
Para fuqoha sahabat berbeda pendapat tentang bagaimana hukum seorang wanita
yang ditinggal mati suaminya sebelum melakukan hubungan suami-istri, padahal
belum juga ditentukan kadar mas kawin atau maharnya. Menurut ibnu Mas’ud,
wanita itu berhak mengambil maskawin seperti biasa dari harta peninggalan
suaminya seperti terjadi pada Barwa’ binti Wasyik al-Aslamiyah di zaman
Rasulullah.
Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa, ketentuan seperti itu merugikan satu
pihak. Karenanya, menurut Ali, wanita itu tidak berhak mengambil maskawin dari
harta peninggalan suaminya sebelum terjadi hubungan suami-istri. “Kami tidak
akan meninggalkan al-Quran hanya karena pernyataan seorang saja”, kata Ali.
Dari sini nampak bahwa Ali telah sampai pada penggunaan qiyas, sebab dalam
al-Quran tidak ada ketentuan tentang masalah ini, yang ada hanyalah wanita yang
ditalak oleh suaminya sebelum melakukan hubungan suami-istri. Dan rupanya Ali
mengqiyaskan wanita yang ditinggal mati oleh suaminya sebelum melakukan
hubungan tadi dengan wanita yang ditalak dalam keadaan yang sama.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Permasalahan hukum itu telah ada hukumnya dalam nash al-Quran, maka
digunakanlah hukum yang didapat dari nash tersebut. Dan bila hukum permasalahan
itu tidak ditemukan dalam al-Quran maka mereka mencari hukumnya di dalam
Hadits, namun karena hadits masih belum dibukukan, maka sering terjadi
perbedaan pendapat mengenai satu persoalan yang sama tetapi menghasilkan produk
hukum yang berbeda, tergantung kapasitas hadits yang dimiliki masing-masing
sahabat. Untuk menghadapai masalah ini, para sahabat seringkali berdiskusi
untuk saling bertukar wawasan tentang hadits yang mereka hafal. Dan bila mereka
tidak dapat menemukan hukumnya di dalam al-Quran dan Hadits maka mereka
berijtiad dengan menggunakan Ro’yu mereka sendir-sendiri, maka kemudian
terciptalah metode Qiyas, penggalihan illat hukum, ijma’, hingga akhirnya pada
tahap penelusuran substansi syari’at dengan menggunakan metode maslahah, yaitu
mencari hal yang maslahat bagi manusia secara umum.
Adapun sebab ikhtilaf pendapat para sahabat saat itu adalah perbedaan
persepsi tentang suatu nash al-Quran atau Hadits secara tekstual, yang biasanya
memerlukan kajian kebahasaan yang tinggi. Di samping itu kadar jumlah hadits
yang berbeda yang diterima kesemuanya tergantung pada seberapa dekat dan sering
seorang sahabat berinteraksi dengan Nabi SAW.
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ahmad Al-Usairy. 2008. SEJARAH ISLAM (Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX). Cet. Keenam.. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Muhammad Zuhri. 1996. Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah.. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
No comments:
Post a Comment