Friday, 24 February 2017

Makalah Periode Ke VII

BAB I
PENDAHULUAN
Pemikiran hukum Islam berkembang sejalan dengan perkembangan dan perluasan wilayah Islam melalui kontak dengan budaya masyarakat setempat. Hal ini terjadi karena sesungguhnya, al-Qur’an pada mulanya diwahyukan sebagai respon terhadap situasi masyarakat saat itu yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi lebih luas lagi. Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu pun, masih ada yang memerlukan penafsiran dan mempunyai potensi untuk berkembang. Jika pada masa Rasulullah SAW, dalam memahami ayat-ayat semacam itu, penjelasan diberikan langsung oleh beliau dengan Sunnahnya. Akan tetapi, setelah Rasulullah wafat dan wilayah kekuasaan Islam semakin luas, penjelasan itu dilakukan oleh para Sahabat. Tanggung jawab itu terus berlanjut dan beralih kepada para tokoh atau ulama mujtahid pada generasi berikutnya.
Semangat ijtihad senantiasa dihidupkan oleh para fuqaha, meskipun di antara mereka ada yang lebih memilih status quo. Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H/1505 M) memberikan kritikan tajam kepada mereka yang mengabadikan taqlid, dan Ibn Taimiyyah (661 H-728 H) juga tidak membenarkan pendapat yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Proses Keluar dari Taqlid
Dalam periode taqlid berkembanglah bid’ah dan kurafahdan bekulah pikiran ulama. Para ulama dalam periode taqlid mengikat dirinya dengan ijtihad seseorang imam, membelakangi ruh syari’at sendiri.[1]
Sebagai reaksi terhadap sikap taqlid, pada abad ke-14 telah timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dan segar dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Namanya Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-1356). Hanya saja barangkali pemikiran-pemikiran hukum Islam yang mereka ijtihadkan khususnya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, tidak menyebar luas kepada dunia Islam sebagai akibat dari kondisi dan situasi dunia Islam yang berada dalam kebekuan, kemunduran dan bahkan berada dalam cengkeraman orang lain, ditambah lagi dengan sarana dan prasarana penyebaran ide-ide seperti percetakan, media massa dan elektronik serta yang lain sebagainya tidak ada, padahal sesungguhnya ijtihad-ijtihad yang mereka hasilkan sangat berilian, menggelitik dan sangat berpengaruh bagi orang yang mendalaminya secara serius.
Dalam rangka usaha-usaha pembaharuan Islam, para ulama berusaha untuk menafsirkan kembali sumber-sumber tasyri’. Hal ini diambil karena para mufassir terdahulu sebagian besar terpengaruh dongeng-dongeng israiliyat dan Nasraniyat, karena banyak orang Yahudi dan Nasrani yang masuk Islam.
Sebagai upaya menghadapi tantangan zaman yang serba modern, para mujadid menafsirkan al-qur’an dengan disesuaikan perkembangan zaman, juga menghindarkan diri dari dongeng Israiliyaht dan Nasraniyat. Maka pada abad 14 H lahirlah aliran baru dalam menafsirkan al-qur’an seperti aliran al-Manar yang dipelopori oleh Jamaludin al-afghani (1315 H), Muhammad Abduh (1323 H) dan muridnya M. Rasyid Ridha.
Dalam penafsiran ini Muhammad Abduh senantiasa berusaha mencari persesuaian antar al-Qur’an tidak mungkin mengandung ajaran-ajaran yang berlawanan dengan hakikat ilmu. Bahkan, al-Qur’an mencakup ilmu pengetahuan modern di abad yang akhir ini. Pemikiran Abduh terutama dalam bidang hukum Islam, diinspirasi oleh pemikiran Ibnu Taimiyah. Ia membagi ruang lingkup agama ke dalam dua bidang besar, yaitu ibadah dan mu’amalah. Beliau juga menganjurkan agar tidak terikat kepada madzhab tertentu. Sikap semacam ini dilatarbelakangi oleh luasnya wawasan Abduh dalam hukum Islam. Ia berani mengambil berbagi keputusan hukum secara bebas dan penuh tanggungjawab. Hal ini nampak dari setiap keputusannya ketika ia menjadi mufti di Mesir.
Cita-cita pembaharuan Abduh kemudian ditindak lanjuti oleh muridnya, Sayyid Muhmmad Rasyid Ridha. Titik tolak pembaharuan Ridha berpangkal pada segi keagamaan, yaitu tuntutan adanya kemurnian ajaran Islam, baik dari segi akidah maupun amaliyahnya. Ajaran Islam yang murni inilah yang akan membawa kemajuan umat Islam. Itulah sebabnya bid’ah, khurafat dan segala ajaran yang menyimpang harus disingkirkan.[2]
Adapun tafsir yang menitikberatkan kepada ayat-ayat tasryri’ ialah tafsir al-Qurtubi, abu Bakar al-Arabi, Abu Bakar al-Janash dan tafsir Shidiq Hasan Khan yang dikenal dengan tafsir ulama tasyri’. Di samping itu, para mujadid juga berusaha menafsirkan sunah Rasul disesuaikan dengan laju peradaban modern, sehingga sumber-sumber tasyri’ yang pokok itu tetap menjadi pegangan pembuat undang-undang di zaman mutakhir.
Dalam mewujudkan pembaharuan dan pembentukan hukum ini, para mujadid tidak terikat pada salah satu madzhab. Mereka mengambil pendapat dari berbagai ulama ahli hukum yang lebih sesuai dengan kemaslahatan umat dan masyarakat di alam modern. Sikap seperti ini dikenal dengan istilah “talfiq” (meramu), yakni mengamalkan suatu hukum furu’ yang dzonni menurut ketentuan dua madzhab atau lebih.
Dalam masalah boleh tidaknya talfiq, terdapat beberapa pendapat. Al-Ghozali, al-syatibi, al-Jalal Mahalli mengharamkannya secara mutlak. Ulama lainnya, seperti Ibnu al-Athar, Ibnu Humma Abu Ishak al-Marwani membolehkannya. Pendirian tersebut berpegang kepada firman Allah: “Allah menghendaki kelonggaran bagimu” (Al-Baqarah: 185).
Usaha ulama yang lain adalah berkaitan dengan kemurnian tasyri’ islam dari bid’ah dan khurafat. Bid’ah dapat diartikan menjalani syariat yang tidak sesuai dengan ajaran Allah dan sunah Rasulullah, baik dengan cara mengurangi maupun menambah ketentuan yang telah ditetapkan oleh nash. Khurafat diartikan sebagai keyakinan atau i’tikad yang menyalahi kehendak al-Qur’an dan sunah Rasulullah.
Dalam memperbaharui tasyri’ Islam, para mujtahid berusaha untuk memurnikan tasyri’ Islam dari bid’ah dan khurafat, umatnya tidak akan mengalami kemajuan apalagi kejayaan sebagaimana yang dialami pada masa Rasulullah dan masa sahabat. Tokoh terkenal yang menentang bid’ah dan khurafat adalah Abu Al-Wahhab di Saudi Arabia dan Syekh Waliyullah al-Dahlawi dari India.
Kebangunan dan kemunduran hukum Islam sangat erat hubungannya dengan kebangunan kaum muslimin dan kemundurannya dalam lapangan politik. Usaha-usaha kebangunan tersebut sudah dimulai sejak abad-abad yang lalu , akan tetapi masih terbatas sifatnya dan terjadi dalam lingkungan yang terbatas pula. Baru setelah kesadaran nasional meliputi kaum muslimin dan mereka sedah menginsafi kedudukan dirinya sebagai golongan yang mundur, maka barulah mulai kebangunan universal yang meliputi  seluruh kaum muslimin dan negeri-negeri Islam.
B.     Pembaharuan pada setiap Negara Islam
Umat Islam merasa tergugah kembali untuk meraih kembali kesuksesan yang pernah diraihnya itu. Kebangkitan umat Islam muncul di Turki dan Mesir yang memulai usaha-usaha dalam bidang pendidikan. Di Mesir, pada awal abad ke-13 H, Muhammad Ali Pasya tampil untuk memajukan ilmu pengetahuan, kemudian dilanjutkan oleh al-Tahtawi, dengan usaha penerjemahan buku-buku baru serta penerbitan berbagai surat kabar dan majalah ilmu pengetahuan.
Mesir juga berusaha keras untuk menguasai ilmu-ilmu pengetahuan modern. Mahasiswa-mahasiswa mesir dibiayai untuk belajar di negeri barat, saat itu dikirim mahasiswa tidak kurang dari 300 mahasiswa di Itali, Perancis, Inggris dan Austria. Sekembali dari negeri Barat itu, mereka melihat situasi di negerinya jauh ketinggalan dengan negeri-negeri Barat. Maka para pemuda Islam yang terdidik itu berusaha membangkitkan dunia Islam ke arah peradaban modern. Mereka dilengkapi berbagai metode dan strategi untuk menyesuaikan syari’at Islam dengan pandangan dunia.
Gerakan Wahabiah dengan dibawah pimpinan Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H) yang terjadi di Saudi Arabia merupakan usaha permualaan ke arah kebangunan kaum muslimin. Gerakan tersebut menyerukan pemberantasan bid’ah-bid’ah dan khurafat-khurafat yang merugikan dan menyerukan menjauhi taqlid, membersihkan islam dari kekotoran-kekotoran yang memasukinya dan kembali kepada Quran dan Hadits serta apa yang diwariskan ulama salaf (ulama-ulama dahulu).[3]
Usaha yang sama timbul pula di Libya dengan pimpinan Muhammad bin As-Sanusi (1791-1859 M) pada awal-awal abad ketiga belas yang melancarkan da’wahnya di negeri-negeri Afrika utara untuk membersihkan agama Islam dari noda-noda yang dimasukkan oleh musuh-musuh Islam dan menyerukan kembali kepada Quran, Hadits dan apa yang ditinggalkan oleh ulama salaf.
Di Sudan juga kita dapati Al-Mahdi (1843 – 1885 M. ) yang berjuang untuk mengemnalikan Islam kepada kesederhanaan dan toleransinya yang semula dan dalam pengambilan dasar hukum hanya berpedoman kepada Al-Quran dan Hadits.[4]
C.    Para Tokoh Pembaharuan
Sebagai reaksi terhadap sikap taqlid, pada abad ke-14 telah timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dan segar dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Namanya Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-1356). Hanya saja barangkali pemikiran-pemikiran hukum Islam yang mereka ijtihadkan khususnya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, tidak menyebar luas kepada dunia Islam sebagai akibat dari kondisi dan situasi dunia Islam yang berada dalam kebekuan, kemunduran dan bahkan berada dalam cengkeraman orang lain, ditambah lagi dengan sarana dan prasarana penyebaran ide-ide seperti percetakan, media massa dan elektronik serta yang lain sebagainya tidak ada, padahal sesungguhnya ijtihad-ijtihad yang mereka hasilkan sangat berilian, menggelitik dan sangat berpengaruh bagi orang yang mendalaminya secara serius. Kemudian banyak tokoh-tokoh yang mengikuti jejak para pendahulunya untuk membangkitkan kembali semangat ijtihad dan menolak taqlid, diantaranya :
  1. Jamaluddin Al Afghani
Nama panjang beliau adalah Muhammad Jamaluddin Al Afghani, dilahirkan di Asadabad, Afghanistan pada tahun 1254 H/1838 M. Ayahanda beliau bernama Sayyid Safdar al-Husainiyyah, yang nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali al-Turmudzi (seorang perawi hadits yang masyhur yang telah lama bermigrasi ke Kabul) juga dengan nasab Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Tidak ada perbedaan diantara Al-Afghani dengan Ibnu Taymiyyah (seperti kebanyakan ulama dari generasi awal) lebih banyak berhujjah dengan menggunakan dalil-dalil agama dan pendekatan logika (mantiqy) dalam menegakkan panji/bendera yang dibawanya, seperti yang kita bisa lihat dari karya-karya beliau. Sedangkan Al Afghani lebih kepada pendekatan provokasi (dalam term positif) atau membakar semangat, menyadarkan ummat atas realitas keterpurukan mereka, serta menjalin komunikasi dengan para ulama dan pemimpin kaum Muslimin.
Kontribusi Al-Afghani
Pertama; Perlawanan terhadap kolonial barat yang menjajah negri-negri Islam (terutama terhadap penjajah Inggris). Beliau turut ambil bagian dalam peperangan kemerdekaan India pada bulan Mei 1857, juga mengadakan ziarah ke negri-negri Islam yang berada di bawah tekanan imperialis dan kolonialis barat seperti tersebut di atas.
Kedua; upaya melawan pemikiran naturalisme di India, yang mengingkari adanya hakikat ketuhanan. Menurutnya, dasar aliran ini merupakan hawa nafsu yang menggelora dan hanya sebatas egoisme sesaat yang berlebihan tanpa mempertimbangkan kepentingan umat manusia secara keseluruhan.
Hal ini dikarenakan adanya pengingkaran terhadap hakikat Tuhan dan anggapan bahwa materi mampu membuka pintu lebar-lebar bagi terhapusnya kewajiban manusia sebagai hamba Tuhan. Dari situlah Al-Afghani berusaha menghancurkan pemikiran ini dengan menunjukkan bahwa agama mampu memperbaiki kehidupan masyarakat dengan syariat dan ajaran-ajarannya.
  1. Muhammad Abduh
Taklid kepada ulama lama tidak perlu dipertahankan bahkan mesti diperangai, karena taklid inilah yang membuat umat Islam berada dalam kemunduran dan tidak dapat maju.Muhammad Abduh dengan keras mengkritik ulama-ulama yang menimbulkan faham taklid. Sikap ulama ini, membuat umat Islam berhenti berpikir dan akal mereka berkarat. Sikap umat Islam yang berpegang teguh pada pendapat ulama klasik, dipandang berlainan betul dengan sikap umat Islam dahulu.al-Qur’an dan Hadis, melarang umat Islam bersifat taklid.
Pendapat tentang pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan taklid, berdasarkan kepercaan Muhammad Abduh pada kekuatan akal. Menurut pendapatnya al-Qur’an berbicara, bukan hanya kepada hati manusia, tetapi juga kepada akalnya.
Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban suatu bangsa. Akal terlepas dari ikatan tradisi akan dapat memikirkan dan memperoleh jalan-jalan yang membawa pada kemajuan. Pemikiran akallah yang menimbulkan ilmu pengetahuan.[5]
  1. Syeikh Muhammad As-Sirhindi
Syeikh Ahmad mempunyai beberapa manhaj untuk mencapai fase kebangkitan :
a)      Dia banyak memberikan pengajaran dan pendidikan kepada umat untuk mempersiapkan mereka berdakwah dalam level yang tinggi.
b)      Dia mengkritik pada pemikiran filsafat yang menyimpang dan pemikiran tasawuf yang batil, dari para penganut wihdatul wujud dan ittihad (yakni orang bisa bersatu dengan Tuhan).
c)      Dia memerangi semua bentuk syirik.
d)     Dia mengajak manusia pada tauhid yang murni dan keabadian risalah Muhammad Rasulullah, dan mengajak umat muslim untuk bersatu dalam pangkuan Islam.
  1. Sayyid Ahmad Syahid
Sayyid Ahmad Syahid juga menentang taqlid pada pendapat ulama, termasuk di dalamnya pendapat keempat Imam Besar. Oleh karena itu berpegang pada mazhab tidak menjadi soal yang penting, sungguh pun ia sendiri adalah pengikut mazhab Abu Hanifah. Karena taqlid ditentang pintu ijtihad baginya terbuka dan tidak tertutup.[6]


  1. Muhammad Abdul Wahab
Salah satu pelopor pembaruan dalam dunia Islam Arab adalah suatu aliran yang bernama Wahabiyah yang sangat berpengaruh di abad ke-19. Pelopornya adalah Muhammad Abdul Wahab (1703-1787 M) yang berasal dari nejed, Saudi Arabia. Pemikiran yang dikemukakan oleh Muhammad Abdul Wahab adalah upaya memperbaiki kedudukan umat Islam dan merupakan reaksi terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam saat itu. Paham tauhid mereka telah bercampur aduk oleh ajaran-ajaran tarikat yang sejak abad ke-13 tersebar luas di dunia Islam
Disetiap negara Islam yang dikunjunginya Muhammad Abdul Wahab melihat makam-makam syekh tarikat yang bertebaran. Setiap kota bahkan desa-desa mempunyai makam Syekh atau walinya masing-masing. Kemakam-makam itulah umat Islam pergi dan meminta pertolongan dari syekh atau wali yang dimakamkan disana untuk menyelesaikan masalah kehidupan mereka sehari-hari. Ada yang meminta diberi anak, jodoh disembuhkan dari penyakit, dan ada pula yang minta diberi kekayaan. Syekh atau wali yang telah meninggal. Syekh atau wali yang telah meninggal dunia itu dipandang sebagai orang yang berkuasa untuk meyelesaikan segala macam persoalan yang dihadapi manusia di dunia ini. Perbuatan ini menurut paham Wahabiah termasuk syirik karena permohonan dan doa tidak lagi dipanjatkan kepada Allah SWT.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Umat Islam merasa tergugah kembali untuk meraih kembali kesuksesan yang pernah diraihnya itu. Kebangkitan umat Islam muncul di Turki dan Mesir yang memulai usaha-usaha dalam bidang pendidikan. Di Mesir, pada awal abad ke-13 H, Muhammad Ali Pasya tampil untuk memajukan ilmu pengetahuan, kemudian dilanjutkan oleh al-Tahtawi, dengan usaha penerjemahan buku-buku baru serta penerbitan berbagai surat kabar dan majalah ilmu pengetahuan.
Mesir juga berusaha keras untuk menguasai ilmu-ilmu pengetahuan modern. Mahasiswa-mahasiswa mesir dibiayai untuk belajar di negeri barat, saat itu dikirim mahasiswa tidak kurang dari 300 mahasiswa di Itali, Perancis, Inggris dan Austria. Sekembali dari negeri Barat itu, mereka melihat situasi di negerinya jauh ketinggalan dengan negeri-negeri Barat. Maka para pemuda Islam yang terdidik itu berusaha membangkitkan dunia Islam ke arah peradaban modern. Mereka dilengkapi berbagai metode dan strategi untuk menyesuaikan syari’at Islam dengan pandangan dunia.
Dalam rangka usaha-usaha pembaharuan Islam, para ulama berusaha untuk menafsirkan kembali sumber-sumber tasyri’. Hal ini diambil karena para mufassir terdahulu sebagian besar terpengaruh dongeng-dongeng israiliyat dan Nasraniyat, karena banyak orang Yahudi dan Nasrani yang masuk Islam.
B.     Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan, masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam bahasanya, materi dan penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran dan masukan yang dapat membangun penulisan makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA
Djatnika, Rahmat, Dkk. 1986. Perkembangan Ilmu Fiqih Di Dunia Islam. Jakarta: Dept. Agama RI.
Nasution, Harun, 1996. Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang.
Hanafi, Ahmad, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam . Jakarta ; Bulan Bintang, Cet VII, 1995.
Ash-Shiddiegy, T.M. Hasbi. 1970.  Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.






[1] M. Hasbi Ash-Shiddiegy. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam. (Jakarta: Bulan Bintang,) h. 188
[2] Ibid,
[3] T.M. Hasbi Ash-Shiddiegy. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam. (Jakarta: Bulan Bintang,) h. 188
[4]Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam . (Jakarta ; Bulan Bintang, Cet VII, 1995) hlm 211
[5] Rahmat Djatnika, Dkk. 1986. Perkembangan Ilmu Fiqih Di Dunia Islam. (Jakarta: Dept. Agama RI.) h, 46
[6] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996), h. 58BAB I
PENDAHULUAN
Pemikiran hukum Islam berkembang sejalan dengan perkembangan dan perluasan wilayah Islam melalui kontak dengan budaya masyarakat setempat. Hal ini terjadi karena sesungguhnya, al-Qur’an pada mulanya diwahyukan sebagai respon terhadap situasi masyarakat saat itu yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi lebih luas lagi. Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu pun, masih ada yang memerlukan penafsiran dan mempunyai potensi untuk berkembang. Jika pada masa Rasulullah SAW, dalam memahami ayat-ayat semacam itu, penjelasan diberikan langsung oleh beliau dengan Sunnahnya. Akan tetapi, setelah Rasulullah wafat dan wilayah kekuasaan Islam semakin luas, penjelasan itu dilakukan oleh para Sahabat. Tanggung jawab itu terus berlanjut dan beralih kepada para tokoh atau ulama mujtahid pada generasi berikutnya.
Semangat ijtihad senantiasa dihidupkan oleh para fuqaha, meskipun di antara mereka ada yang lebih memilih status quo. Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H/1505 M) memberikan kritikan tajam kepada mereka yang mengabadikan taqlid, dan Ibn Taimiyyah (661 H-728 H) juga tidak membenarkan pendapat yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Proses Keluar dari Taqlid
Dalam periode taqlid berkembanglah bid’ah dan kurafahdan bekulah pikiran ulama. Para ulama dalam periode taqlid mengikat dirinya dengan ijtihad seseorang imam, membelakangi ruh syari’at sendiri.[1]
Sebagai reaksi terhadap sikap taqlid, pada abad ke-14 telah timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dan segar dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Namanya Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-1356). Hanya saja barangkali pemikiran-pemikiran hukum Islam yang mereka ijtihadkan khususnya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, tidak menyebar luas kepada dunia Islam sebagai akibat dari kondisi dan situasi dunia Islam yang berada dalam kebekuan, kemunduran dan bahkan berada dalam cengkeraman orang lain, ditambah lagi dengan sarana dan prasarana penyebaran ide-ide seperti percetakan, media massa dan elektronik serta yang lain sebagainya tidak ada, padahal sesungguhnya ijtihad-ijtihad yang mereka hasilkan sangat berilian, menggelitik dan sangat berpengaruh bagi orang yang mendalaminya secara serius.
Dalam rangka usaha-usaha pembaharuan Islam, para ulama berusaha untuk menafsirkan kembali sumber-sumber tasyri’. Hal ini diambil karena para mufassir terdahulu sebagian besar terpengaruh dongeng-dongeng israiliyat dan Nasraniyat, karena banyak orang Yahudi dan Nasrani yang masuk Islam.
Sebagai upaya menghadapi tantangan zaman yang serba modern, para mujadid menafsirkan al-qur’an dengan disesuaikan perkembangan zaman, juga menghindarkan diri dari dongeng Israiliyaht dan Nasraniyat. Maka pada abad 14 H lahirlah aliran baru dalam menafsirkan al-qur’an seperti aliran al-Manar yang dipelopori oleh Jamaludin al-afghani (1315 H), Muhammad Abduh (1323 H) dan muridnya M. Rasyid Ridha.
Dalam penafsiran ini Muhammad Abduh senantiasa berusaha mencari persesuaian antar al-Qur’an tidak mungkin mengandung ajaran-ajaran yang berlawanan dengan hakikat ilmu. Bahkan, al-Qur’an mencakup ilmu pengetahuan modern di abad yang akhir ini. Pemikiran Abduh terutama dalam bidang hukum Islam, diinspirasi oleh pemikiran Ibnu Taimiyah. Ia membagi ruang lingkup agama ke dalam dua bidang besar, yaitu ibadah dan mu’amalah. Beliau juga menganjurkan agar tidak terikat kepada madzhab tertentu. Sikap semacam ini dilatarbelakangi oleh luasnya wawasan Abduh dalam hukum Islam. Ia berani mengambil berbagi keputusan hukum secara bebas dan penuh tanggungjawab. Hal ini nampak dari setiap keputusannya ketika ia menjadi mufti di Mesir.
Cita-cita pembaharuan Abduh kemudian ditindak lanjuti oleh muridnya, Sayyid Muhmmad Rasyid Ridha. Titik tolak pembaharuan Ridha berpangkal pada segi keagamaan, yaitu tuntutan adanya kemurnian ajaran Islam, baik dari segi akidah maupun amaliyahnya. Ajaran Islam yang murni inilah yang akan membawa kemajuan umat Islam. Itulah sebabnya bid’ah, khurafat dan segala ajaran yang menyimpang harus disingkirkan.[2]
Adapun tafsir yang menitikberatkan kepada ayat-ayat tasryri’ ialah tafsir al-Qurtubi, abu Bakar al-Arabi, Abu Bakar al-Janash dan tafsir Shidiq Hasan Khan yang dikenal dengan tafsir ulama tasyri’. Di samping itu, para mujadid juga berusaha menafsirkan sunah Rasul disesuaikan dengan laju peradaban modern, sehingga sumber-sumber tasyri’ yang pokok itu tetap menjadi pegangan pembuat undang-undang di zaman mutakhir.
Dalam mewujudkan pembaharuan dan pembentukan hukum ini, para mujadid tidak terikat pada salah satu madzhab. Mereka mengambil pendapat dari berbagai ulama ahli hukum yang lebih sesuai dengan kemaslahatan umat dan masyarakat di alam modern. Sikap seperti ini dikenal dengan istilah “talfiq” (meramu), yakni mengamalkan suatu hukum furu’ yang dzonni menurut ketentuan dua madzhab atau lebih.
Dalam masalah boleh tidaknya talfiq, terdapat beberapa pendapat. Al-Ghozali, al-syatibi, al-Jalal Mahalli mengharamkannya secara mutlak. Ulama lainnya, seperti Ibnu al-Athar, Ibnu Humma Abu Ishak al-Marwani membolehkannya. Pendirian tersebut berpegang kepada firman Allah: “Allah menghendaki kelonggaran bagimu” (Al-Baqarah: 185).
Usaha ulama yang lain adalah berkaitan dengan kemurnian tasyri’ islam dari bid’ah dan khurafat. Bid’ah dapat diartikan menjalani syariat yang tidak sesuai dengan ajaran Allah dan sunah Rasulullah, baik dengan cara mengurangi maupun menambah ketentuan yang telah ditetapkan oleh nash. Khurafat diartikan sebagai keyakinan atau i’tikad yang menyalahi kehendak al-Qur’an dan sunah Rasulullah.
Dalam memperbaharui tasyri’ Islam, para mujtahid berusaha untuk memurnikan tasyri’ Islam dari bid’ah dan khurafat, umatnya tidak akan mengalami kemajuan apalagi kejayaan sebagaimana yang dialami pada masa Rasulullah dan masa sahabat. Tokoh terkenal yang menentang bid’ah dan khurafat adalah Abu Al-Wahhab di Saudi Arabia dan Syekh Waliyullah al-Dahlawi dari India.
Kebangunan dan kemunduran hukum Islam sangat erat hubungannya dengan kebangunan kaum muslimin dan kemundurannya dalam lapangan politik. Usaha-usaha kebangunan tersebut sudah dimulai sejak abad-abad yang lalu , akan tetapi masih terbatas sifatnya dan terjadi dalam lingkungan yang terbatas pula. Baru setelah kesadaran nasional meliputi kaum muslimin dan mereka sedah menginsafi kedudukan dirinya sebagai golongan yang mundur, maka barulah mulai kebangunan universal yang meliputi  seluruh kaum muslimin dan negeri-negeri Islam.
B.     Pembaharuan pada setiap Negara Islam
Umat Islam merasa tergugah kembali untuk meraih kembali kesuksesan yang pernah diraihnya itu. Kebangkitan umat Islam muncul di Turki dan Mesir yang memulai usaha-usaha dalam bidang pendidikan. Di Mesir, pada awal abad ke-13 H, Muhammad Ali Pasya tampil untuk memajukan ilmu pengetahuan, kemudian dilanjutkan oleh al-Tahtawi, dengan usaha penerjemahan buku-buku baru serta penerbitan berbagai surat kabar dan majalah ilmu pengetahuan.
Mesir juga berusaha keras untuk menguasai ilmu-ilmu pengetahuan modern. Mahasiswa-mahasiswa mesir dibiayai untuk belajar di negeri barat, saat itu dikirim mahasiswa tidak kurang dari 300 mahasiswa di Itali, Perancis, Inggris dan Austria. Sekembali dari negeri Barat itu, mereka melihat situasi di negerinya jauh ketinggalan dengan negeri-negeri Barat. Maka para pemuda Islam yang terdidik itu berusaha membangkitkan dunia Islam ke arah peradaban modern. Mereka dilengkapi berbagai metode dan strategi untuk menyesuaikan syari’at Islam dengan pandangan dunia.
Gerakan Wahabiah dengan dibawah pimpinan Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H) yang terjadi di Saudi Arabia merupakan usaha permualaan ke arah kebangunan kaum muslimin. Gerakan tersebut menyerukan pemberantasan bid’ah-bid’ah dan khurafat-khurafat yang merugikan dan menyerukan menjauhi taqlid, membersihkan islam dari kekotoran-kekotoran yang memasukinya dan kembali kepada Quran dan Hadits serta apa yang diwariskan ulama salaf (ulama-ulama dahulu).[3]
Usaha yang sama timbul pula di Libya dengan pimpinan Muhammad bin As-Sanusi (1791-1859 M) pada awal-awal abad ketiga belas yang melancarkan da’wahnya di negeri-negeri Afrika utara untuk membersihkan agama Islam dari noda-noda yang dimasukkan oleh musuh-musuh Islam dan menyerukan kembali kepada Quran, Hadits dan apa yang ditinggalkan oleh ulama salaf.
Di Sudan juga kita dapati Al-Mahdi (1843 – 1885 M. ) yang berjuang untuk mengemnalikan Islam kepada kesederhanaan dan toleransinya yang semula dan dalam pengambilan dasar hukum hanya berpedoman kepada Al-Quran dan Hadits.[4]
C.    Para Tokoh Pembaharuan
Sebagai reaksi terhadap sikap taqlid, pada abad ke-14 telah timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dan segar dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Namanya Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-1356). Hanya saja barangkali pemikiran-pemikiran hukum Islam yang mereka ijtihadkan khususnya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, tidak menyebar luas kepada dunia Islam sebagai akibat dari kondisi dan situasi dunia Islam yang berada dalam kebekuan, kemunduran dan bahkan berada dalam cengkeraman orang lain, ditambah lagi dengan sarana dan prasarana penyebaran ide-ide seperti percetakan, media massa dan elektronik serta yang lain sebagainya tidak ada, padahal sesungguhnya ijtihad-ijtihad yang mereka hasilkan sangat berilian, menggelitik dan sangat berpengaruh bagi orang yang mendalaminya secara serius. Kemudian banyak tokoh-tokoh yang mengikuti jejak para pendahulunya untuk membangkitkan kembali semangat ijtihad dan menolak taqlid, diantaranya :
  1. Jamaluddin Al Afghani
Nama panjang beliau adalah Muhammad Jamaluddin Al Afghani, dilahirkan di Asadabad, Afghanistan pada tahun 1254 H/1838 M. Ayahanda beliau bernama Sayyid Safdar al-Husainiyyah, yang nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali al-Turmudzi (seorang perawi hadits yang masyhur yang telah lama bermigrasi ke Kabul) juga dengan nasab Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Tidak ada perbedaan diantara Al-Afghani dengan Ibnu Taymiyyah (seperti kebanyakan ulama dari generasi awal) lebih banyak berhujjah dengan menggunakan dalil-dalil agama dan pendekatan logika (mantiqy) dalam menegakkan panji/bendera yang dibawanya, seperti yang kita bisa lihat dari karya-karya beliau. Sedangkan Al Afghani lebih kepada pendekatan provokasi (dalam term positif) atau membakar semangat, menyadarkan ummat atas realitas keterpurukan mereka, serta menjalin komunikasi dengan para ulama dan pemimpin kaum Muslimin.
Kontribusi Al-Afghani
Pertama; Perlawanan terhadap kolonial barat yang menjajah negri-negri Islam (terutama terhadap penjajah Inggris). Beliau turut ambil bagian dalam peperangan kemerdekaan India pada bulan Mei 1857, juga mengadakan ziarah ke negri-negri Islam yang berada di bawah tekanan imperialis dan kolonialis barat seperti tersebut di atas.
Kedua; upaya melawan pemikiran naturalisme di India, yang mengingkari adanya hakikat ketuhanan. Menurutnya, dasar aliran ini merupakan hawa nafsu yang menggelora dan hanya sebatas egoisme sesaat yang berlebihan tanpa mempertimbangkan kepentingan umat manusia secara keseluruhan.
Hal ini dikarenakan adanya pengingkaran terhadap hakikat Tuhan dan anggapan bahwa materi mampu membuka pintu lebar-lebar bagi terhapusnya kewajiban manusia sebagai hamba Tuhan. Dari situlah Al-Afghani berusaha menghancurkan pemikiran ini dengan menunjukkan bahwa agama mampu memperbaiki kehidupan masyarakat dengan syariat dan ajaran-ajarannya.
  1. Muhammad Abduh
Taklid kepada ulama lama tidak perlu dipertahankan bahkan mesti diperangai, karena taklid inilah yang membuat umat Islam berada dalam kemunduran dan tidak dapat maju.Muhammad Abduh dengan keras mengkritik ulama-ulama yang menimbulkan faham taklid. Sikap ulama ini, membuat umat Islam berhenti berpikir dan akal mereka berkarat. Sikap umat Islam yang berpegang teguh pada pendapat ulama klasik, dipandang berlainan betul dengan sikap umat Islam dahulu.al-Qur’an dan Hadis, melarang umat Islam bersifat taklid.
Pendapat tentang pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan taklid, berdasarkan kepercaan Muhammad Abduh pada kekuatan akal. Menurut pendapatnya al-Qur’an berbicara, bukan hanya kepada hati manusia, tetapi juga kepada akalnya.
Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban suatu bangsa. Akal terlepas dari ikatan tradisi akan dapat memikirkan dan memperoleh jalan-jalan yang membawa pada kemajuan. Pemikiran akallah yang menimbulkan ilmu pengetahuan.[5]
  1. Syeikh Muhammad As-Sirhindi
Syeikh Ahmad mempunyai beberapa manhaj untuk mencapai fase kebangkitan :
a)      Dia banyak memberikan pengajaran dan pendidikan kepada umat untuk mempersiapkan mereka berdakwah dalam level yang tinggi.
b)      Dia mengkritik pada pemikiran filsafat yang menyimpang dan pemikiran tasawuf yang batil, dari para penganut wihdatul wujud dan ittihad (yakni orang bisa bersatu dengan Tuhan).
c)      Dia memerangi semua bentuk syirik.
d)     Dia mengajak manusia pada tauhid yang murni dan keabadian risalah Muhammad Rasulullah, dan mengajak umat muslim untuk bersatu dalam pangkuan Islam.
  1. Sayyid Ahmad Syahid
Sayyid Ahmad Syahid juga menentang taqlid pada pendapat ulama, termasuk di dalamnya pendapat keempat Imam Besar. Oleh karena itu berpegang pada mazhab tidak menjadi soal yang penting, sungguh pun ia sendiri adalah pengikut mazhab Abu Hanifah. Karena taqlid ditentang pintu ijtihad baginya terbuka dan tidak tertutup.[6]


  1. Muhammad Abdul Wahab
Salah satu pelopor pembaruan dalam dunia Islam Arab adalah suatu aliran yang bernama Wahabiyah yang sangat berpengaruh di abad ke-19. Pelopornya adalah Muhammad Abdul Wahab (1703-1787 M) yang berasal dari nejed, Saudi Arabia. Pemikiran yang dikemukakan oleh Muhammad Abdul Wahab adalah upaya memperbaiki kedudukan umat Islam dan merupakan reaksi terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam saat itu. Paham tauhid mereka telah bercampur aduk oleh ajaran-ajaran tarikat yang sejak abad ke-13 tersebar luas di dunia Islam


Disetiap negara Islam yang dikunjunginya Muhammad Abdul Wahab melihat makam-makam syekh tarikat yang bertebaran. Setiap kota bahkan desa-desa mempunyai makam Syekh atau walinya masing-masing. Kemakam-makam itulah umat Islam pergi dan meminta pertolongan dari syekh atau wali yang dimakamkan disana untuk menyelesaikan masalah kehidupan mereka sehari-hari. Ada yang meminta diberi anak, jodoh disembuhkan dari penyakit, dan ada pula yang minta diberi kekayaan. Syekh atau wali yang telah meninggal. Syekh atau wali yang telah meninggal dunia itu dipandang sebagai orang yang berkuasa untuk meyelesaikan segala macam persoalan yang dihadapi manusia di dunia ini. Perbuatan ini menurut paham Wahabiah termasuk syirik karena permohonan dan doa tidak lagi dipanjatkan kepada Allah SWT.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Umat Islam merasa tergugah kembali untuk meraih kembali kesuksesan yang pernah diraihnya itu. Kebangkitan umat Islam muncul di Turki dan Mesir yang memulai usaha-usaha dalam bidang pendidikan. Di Mesir, pada awal abad ke-13 H, Muhammad Ali Pasya tampil untuk memajukan ilmu pengetahuan, kemudian dilanjutkan oleh al-Tahtawi, dengan usaha penerjemahan buku-buku baru serta penerbitan berbagai surat kabar dan majalah ilmu pengetahuan.
Mesir juga berusaha keras untuk menguasai ilmu-ilmu pengetahuan modern. Mahasiswa-mahasiswa mesir dibiayai untuk belajar di negeri barat, saat itu dikirim mahasiswa tidak kurang dari 300 mahasiswa di Itali, Perancis, Inggris dan Austria. Sekembali dari negeri Barat itu, mereka melihat situasi di negerinya jauh ketinggalan dengan negeri-negeri Barat. Maka para pemuda Islam yang terdidik itu berusaha membangkitkan dunia Islam ke arah peradaban modern. Mereka dilengkapi berbagai metode dan strategi untuk menyesuaikan syari’at Islam dengan pandangan dunia.
Dalam rangka usaha-usaha pembaharuan Islam, para ulama berusaha untuk menafsirkan kembali sumber-sumber tasyri’. Hal ini diambil karena para mufassir terdahulu sebagian besar terpengaruh dongeng-dongeng israiliyat dan Nasraniyat, karena banyak orang Yahudi dan Nasrani yang masuk Islam.
B.     Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan, masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam bahasanya, materi dan penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran dan masukan yang dapat membangun penulisan makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA
Djatnika, Rahmat, Dkk. 1986. Perkembangan Ilmu Fiqih Di Dunia Islam. Jakarta: Dept. Agama RI.
Nasution, Harun, 1996. Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang.
Hanafi, Ahmad, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam . Jakarta ; Bulan Bintang, Cet VII, 1995.
Ash-Shiddiegy, T.M. Hasbi. 1970.  Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.






[1] M. Hasbi Ash-Shiddiegy. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam. (Jakarta: Bulan Bintang,) h. 188
[2] Ibid,
[3] T.M. Hasbi Ash-Shiddiegy. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam. (Jakarta: Bulan Bintang,) h. 188
[4]Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam . (Jakarta ; Bulan Bintang, Cet VII, 1995) hlm 211
[5] Rahmat Djatnika, Dkk. 1986. Perkembangan Ilmu Fiqih Di Dunia Islam. (Jakarta: Dept. Agama RI.) h, 46
[6] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996), h. 58

No comments:

Post a Comment