BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Apa yang dipahami dari sejarah peradaban ekonomi
Islam, hakikatnya adalah memahami sejarah perjalanan panjang Islam yang titik
puncaknya adalah sejarah hidup Rasulullah SAW. Hanya Muhammad SAW sebagai tolok
ukur yang nyata dari semua aspek perilaku kehidupan Islam. Adam Smith, tokoh
ekonomi Barat dalam bukunya The Wealth of Nation, menyatakan bahwa
ekonomi yang paling maju adalah ekonomi bangsa Arab yang dipimpin oleh Muhammad
bin Abdullah dan orang-orang sesudahnya meskipun tidak dipungkiri terdapat
sejarah panjang sebelum kedatangan Islam Nabi Muhammad SAW. Betul, pengaruh
Romawi dan Yunani menjadi bukti sejarah nyata terhadap sejarah ekonomi Islam,
meskipun porsinya kecil. Akan tetapi, perjalanan Islam tidak akan terlepaskan
dari figur Muhammad SAW dan para penerusnya, yakni Al-Khulafa Ar-Rasyidun,
tabi’in, dan para pemikir ekonomi, baik pada masa pemerintahan Umayyah,
Abbasiyah, dan Utsmaniyah. Dengan demikian, memahami peradaban ekonomi Islam,
pada dasarnya memahami sejarah. Yang paling pokok dari sejarah adalah
meluruskan sejarah secara tepat dan akurat.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah peradaban Islam pada masa Khalifah Abu Bakar
Ash-Shiddiq?
2.
Bagaimanakah peradaban Islam pada masa Khalifah Umar bin
Khatab?
3.
Bagaimanakah peradaban Islam pada masa Khalifah Utsman bin
Affan?
4.
Bagaimanakah peradaban Islam pada masa Khalifah Ali bin Abi
Thalib?
BAB
II
PEMBAHASAN
Khulafaur Rasyidin (bahasa Arab: الخلفاء الراشدون) atau Khalifah Ar-Rasyidin adalah empat orang khalifah
(pemimpin) pertama agama Islam, yang dipercaya oleh umat Islam sebagai penerus
kepemimpinan setelah Nabi Muhammad wafat. Empat orang tersebut adalah para
sahabat dekat Muhammad yang tercatat paling dekat dan paling dikenal dalam
membela ajaran yang dibawanya di saat masa kerasulan Muhammad. Dalam sejarah
Islam, empat orang pengganti Nabi yang pertama adalah para pemimpin yang adil
dan benar. Mereka menyelamatkan dan mengembangkan dasar-dasar tradisi dari sang
Guru Agung bagi kemajuan Islam bagi kemajuan Islam dan umatnya. Karena itu
gelar “yang mendapat bimbingan dijalan lurus” (al-khulafa ar-rasyidin)
diberikan pada mereka.
A.
Peradaban Islam pada
Masa Khalifah Abu Bakar As-Shidiq (11–13 H /632–634 M)
Abu
Bakar, nama lengkapnya ialah Abdullah bin Abi Quhafah bin Utsman bin Amr bin
Masud bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr At-Taimi
Al-Qurasyi. Di zaman pra-Islam bernama Abdul Ka’bah, kemudian diganti oleh Nabi
menjadi Abdullah. Ia termasuk salah seorang sahabat yang utama (orang yang
paling awal) masuk Islam. Gelar Ash-Shiddiq diperolehnya karena ia dengan
segera membenarkan Nabi dalam berbagai peristiwa, terutama Isra’ dan Mi’raj.
Abu Bakar memangku jabatan khalifah selama dua tahun lebih sedikit, yang
dihabiskannya terutama untuk mengatasi berbagai masalah dalam negeri yang muncul
akibat wafatnya Nabi.[1]
Dalam
pemerintahannya Abu Bakar memiliki tipologi kebijakan yang sangat baik
diantaranya:[2]
1. Kebijaksanaan
pengurusan terhadap agama
Pada
awal pemerintahannya, ia diuji dengan adanya ancaman yang datang dari umat
Islam yang menentang kepemimpinannya. Di antara perbuatan ingkar tersebut ialah
timbulnya orang-orang yang murtad, orang-orang yang tidak mau mengeluarkan
zakat, orang-orang yang mengaku menjadi Nabi, dan pemberontakan dari beberapa
kabilah.
Ketika
Rasulullah SAW wafat, maka banyak orang Arab yang kembali murtad. Seiring
dengan itu, banyak pula utusan orang-orang Arab berdatangan ke Madinah mengakui
kewajiban sholat namun mengingkari kewajiban zakat. Abu Bakar bersikap tegas
kepada mereka, dan merekapun ditumpasnya. Melihat hal ini, Umar pun berkata:
“Akhirnya aku sadari bahwa Allah telah melapangkan hati Abu Bakar untuk
memerangi mereka dan aku yakin itulah yang benar”.
Di
samping itu, Jasa Abu Bakar yang abadi ialah atas usulan Umar, ia berhasil
membukukan al-Qur’an dalam satuan mushaf, sebab setelah banyak penghafal
al-Qur’an gugur dalam perang Riddah di Yamamah. Oleh karena itu,
khalifah menugaskan Zaid ibn Tsabit untuk membukukan al-Qur’an dibantu oleh Ali
ibn Abi Thalib. Naskah tersebut terkenal dengan naskah Hafsah yang selanjutnya
pada masa khalifah Usman membukukan al-Qur’an berdasarkan mushaf itu, kemudian
terkenal dengan Mushaf Utsmani yang sampai sekarang masih murni menjadi
pegangan kaum muslim tanpa ada perubahan atau pemalsuan.
2. Kebijaksanaan
politik kenegaraan
Di
antara kebijakan politik Abu Bakar yang cukup menonjol adalah melanjutkan
ekspedisi pasukan Usamah. Sebelum Rasulullah SAW. wafat, beliau telah
memerintahkan sepasukan perang yang dipimpin oleh seorang anak muda, Usamah,
untuk berjalan menuju tanah Al-Balqa yang berada di Syam, persisnya di tempat
terbunuhnya Zaid bin Haritsah, Ja’far dan Ibnu Rawahah. Namun di tengah
perjalanan terdengar berita wafatnya Rosulullah SAW, sehingga pasukan tersebut
kembali ke kota Madinah.
Sedang
diantara kebijaksanaan Abu Bakar dalam pemerintahan atau kenegaraan, diuraikan
oleh Suyuthi Pulungan, sebagai berikut:[3]
a. Bidang
eksekutif
Pendelegasian terhadap tugas-tugas pemerintahan di Madinah
ataupun daerah. Misalnya untuk pemerintahan pusat menunjuk Ali bin Abi Thalib,
Utsman bin Affan, dan Zaid bin Tsabit sebagai sekretaris dan Abu Ubaidah
sebagai bendaharawan.
b. Bidang
pertahanan dan keamanan
Dengan mengorganisasi pasukan-pasukan yang ada guna
mempertahankan eksistensi keagamaan dan pemerintahan. Dari pasukan itu
disebarkan untuk memelihara stabilisasi di dalam atau di luar negeri. Di antara
panglima yang ada ialah Khalid bin Walid, Musanna bin Harisah, Amr bin ‘Ash,
Zaid bin Sufyan, dan lain-lain.
c. Bidang
yudikatif
Fungsi kehakiman dilaksanakan oleh Umar bin Khattab dan selama
masa pemerintahan Abu Bakar tidak ditemukan suatu permasalahan yang berarti
untuk dipecahkan. Hal ini didorong atas kemampuan dan sifat Umar, dan
masyarakat pada waktu itu dikenal ‘alim.
3. Kebijaksanaan
Bidang Sosial Ekonomi
Abu Bakar pernah berkata kepada Anas, “Jika seseorang
mempunyai kewajiban untuk membayar zakat berupa seekor unta betina berumur 1
tahun, tetapi dia tidak mempunyainya lalu menawarkan seekor unta betina berumur
2 tahun, hal seperti itu dapat diterima dan petugas zakat akan mengembalikan
kepada orang tersebut sebanyak 20 dirham atau 2 ekor domba sebagai kelebihan
dari pembayaran zakatnya. Hasil pengumpulan zakat tersebut dijadikan sebagai
pendapatan negara dan disimpan dalam Baitul Mal untuk langsung didistribusikan
seluruhnya kepada kaum muslim hingga tidak ada yang tersisa. Selain
dari dana zakat, di dalam Baitul Mal dikelola harta benda yang didapat
dari infak, sedekah, ghanimah dan lain-lain. Penggunaan harta tersebut
digunakan untuk gaji pegawai negara dan untuk kesejahteraan umat sesuai dengan
aturan yang ada.[4]
B.
Peradaban Islam pada
Masa Khalifah Umar bin Khatab (13-23 H/634 - 644 M)
Umar bin Khattab adalah khalifah
ke-2 dalam sejarah Islam. pengangkatan umar bukan berdasarkan konsensus
tetapi berdasarkan surat wasiat yang ditinggalkan oleh Abu Bakar. Hal
ini tidak menimbulkan pertentangan berarti di kalangan umat islam saat
itu karena umat Muslim sangat mengenal Umar sebagai orang yang paling
dekat dan paling setia membela ajaran Islam. Hanya segelintir kaum, yang
kelak menjadi golongan Syi'ah, yang tetap berpendapat bahwa seharusnya
Ali yang menjadi khalifah. Umar memerintah selama sepuluh tahun dari
tahun 634 hingga 644.[5]
1.
Penyebaran Agama
Di zaman Umar gelombang ekspansi
(perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi di ibu kota Syria, Damaskus, jatuh
tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di
pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan
memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan
'Amr bin 'Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad bin Abi Waqqash. Iskandariah
(Alexandria), ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir
jatuh ke bawah kekuasaan Islam.
2.
Segi Politik[7]
Karena perluasan daerah terjadi dengan
cepat, Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi
yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur
menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah,
Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu
didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan
pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif
dengan lembaga eksekutif.
3.
Segi Ekonomi
Dalam pemerintahannya, khalifah Umar
bin Khattab memiliki gebrakan yang yang sangat besar diantaranya yaitu:[8]
a. Pembaruan
Baitul Mal
b. Status
Kepemilikan Tanah
c. Manajemen
Zakat
Ushr dibebankan pada suatu barang hanya sekali dalam setahun.
Seorang Taghlibi datang ke wilayah Islam untuk menjual kudanya. Setelah
dilakukan penaksiran oleh Zaid, seorang asyir, kuda tersebut bernilai
20.000 dirham. Oleh karena itu, Zaid memintanya untuk membayar 1000 dirham (5%)
sebagai ushr.
“Tidak ada Ahli Kitab yang membayar shadaqah atas
ternaknya kecuali orang kristen Banu Taghlibi yang keseluruhan
kekayaannya terdiri dari ternak. Mereka membayar dua kali lipat dari yang
dibayar orang Muslim.”
Pada masa pemerintahannya, Khalifah Umar ibn Al-Khaththab
mengklasifikasi pendapatan negara menjadi empat bagian. Pendapatan zakat dan ushr.
Pendapatan ini didistribusikan di tingkat lokal dan jika terdapat surplus, sisa
pendapatan tersebut disimpan di Baitul mal pusat dan dibagikan kepada
delapan ashnaf, seperti yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an. Pendapatan
khums dan sedekah. Pendapatan ini didistribusikan kepada para fakir
miskin atau untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah ia
seorang muslim atau bukan.
4.
Segi Reformasi dalam Budaya
Umar bin Khattab adalah khalifah yang
pertama kali digelari Amirul Mukminin, yang menetapkan penanggalan hijriyah
mengumpulkan manusia untuk sholat taraweh berjamaah, mendera peminum khomer 80x
cambukan, dan berkeliling di malam hari menghontrol rakyatnya di Madinah.
Khalifah bin Umar bin Khattab menetapkan perhitungan tahun baru, yaitu tahun
hijriayah yang dimulai dari hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah (16
Juli 622 M).
C.
Peradaban Islam pada
Masa Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Utsman bin Affan dilahirkan pada tahun
573 M pada sebuah keluarga dari suku Quraisy bani Umayah. Nenek moyangnya
bersatu dengan nasab Nabi Muhammad pada generasi ke-5. Sebelum masuk islam ia
dipanggil degan sebutan Abu Amr. Ia begelar Dzunnurain, karena menikahi dua
putri nabi (menjadi khalifah 644-655 M) adalah khalifah ke-3 dalam sejarah
Islam.[12]
Dalam pemerintahannya, ada beberapa hal
menarik dari kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan, diantaranya yaitu:[13]
1.
Segi Agama, Pengetahuan dan Budaya
Di masa pemerintahan Utsman, Armenia,
Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan
Tabaristan berhasil direbut. Utsman ibn Affan adalah khalifah pertama yang
memperluas masjid nabi di Madinah dan masjid Al-Haram di Mekkah. Utsman juga khalifah
pertama yang menentukan adzan awal menjelang salat jumat.[14]
Pekerjaan berat yang dilakukan oleh
Utsman adalah kodifikasi Al-Qur’an, lanjutan kerja yang telah diawali oleh Abu
Bakar atas inisiatif Umar. Pengumpulan Al-Qur’an yang dilakukan pada zaman Abu
Bakar di latar belakangi oleh peristiwa meninggalnya 70 sahabat yang hafal
Al-Qur’an dalam perang Yamamah. Sedangkan latar belakang pembukuan
Al-Qur’an pada zaman Utsman adalah perbedaan qira’at (bacaan) Al-Qur’an
yang menimbulkan percekcokan antara murid dan gurunya.
Pada saat penyalinan Al-Qur’an yang
kedua kalinya, panitia (lajnah) penyusunan Mushaf yang di bentuk oleh
Utsman melakukan pengecekan ulang dengan meneliti kembali mushaf yang sudah di
simpan di rumah Hafsash, dengan membandingkan dengan mushaf-mushaf yang lain.
2.
Segi Politik
Ada beberapa kebijakan politik Utsman
yang cukup menonjol, antara lain:[15]
a.
Melanjutkan Ekspansi Wilayah Islam
Pada masa pemerintahannya, berkat jasa
para panglima yang ahli dan berkualitas, di mana peta Islam sangat luas dan
bendera Islam berkibar dari perbatasan Aljazair (Barqah dan Tripoli, Syprus di
front al-Maghrib bahkan ada sumber menyatakan sampai ke Tunisia) di al-Maghrib,
di Utara sampai ke Aleppo dan sebagian Asia Kecil, di Timur Laut sampai ke Ma
Wara al-Nahar – Transoxiana – dan di Timur seluruh Persia, bahkan sampai di
perbatasan Balucistan (wilayah Pakistan sekarang), serta Kabul dan Ghazni.
b.
Membentuk Armada Laut yang Kuat
Pada masa pemerintahannya, Utsman
berhasil membentuk armada laut dengan kapalnya yang kokoh sehingga berhasil
menghalau serangan-serangan di Laut Tengah yang dilancarkan oleh tentara
Bizantium dengan kemenangan pertama kali di laut dalam sejarah Islam.
c.
Menggiatkan Pembangunan
Utsman berjasa membangun banyak
bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke
kota-kota. Beliau juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid
dan memperluas masjid Nabi di Madinah.
Salah satu faktor yang menyebabkan
banyak rakyat berburuk sangka terhadap kepemimpinan Utsman adalah
kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting di
antaranya adalah Marwan ibn Hakam rahimahullah. Dialah pada dasarnya yang
dianggap oleh orang-orang tersebut yang menjalankan pemerintahan, sedangkan
Utsman hanya menyandang gelar khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang
duduk dalam jabatan-jabatan penting, Utsman laksana boneka di hadapan
kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap
keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan.
D.
Peradaban Islam pada
Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
Para pemberontak terus mengepung rumah
Utsman. Ali memerintahkan ketiga puteranya, Hasan, Husain dan Muhammad bin Ali
al-Hanafiyah mengawal Utsman dan mencegah para pemberontak memasuki rumah.
Namun kekuatan yang sangat besar dari pemberontak akhirnya berhasil menerobos
masuk dan membunuh Khalifah Utsman.
Setelah Utsman wafat, masyarakat
beramai-ramai membai’at Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ali bin Abi thalib
lahir pada tahun 603 M disamping Ka’bah kota Makkah, lebih muda 32 tahun dari
Nabi Muhammad SAW.
Banyak hal yang terjadi selama
pemerintahan yang dipimpin khalifah Ali bin Abi Thalib, diantaranya yaitu:[16]
1.
Segi Politik
Dalam periode khalifah Abu Bakar dan
Umar, kehidupan masyarakat masih dalam taraf kesederhanaan seperti periode Nabi
Muhammad SAW. Rakyat masih bersatu padu dan kokoh dibawah ikatan tali
persaudaraan Islam. Kebijakan-kebijakan
Khalifah Ali dalam menanggulangi hal-hal tersebut adalah:
a. Tanah-tanah
atu pemberian-pemberian yang dilakukan Khalifah Usman bin Affan kepada famili,
sanak kerabatnya dan kepada siapa saja yang tanpa alasan yang benar atu tidak
syah, ditarik kembali dan menjadi milik Baitul Mal sebagai kekayaan negara. Hal
ini dilakukan Khalifah untuk membersihkan pemerintahan.
b. Wali/Amir
atau gubernur-gubernur penguasa wilayah yang diangkat Khalifah Utsman diganti
dengan orang-orang baru.
Hal ini dilakukan Khalifah Ali, karena
mereka banyak yang tidak disenangi oleh kaum muslimin, bahkan banyak yang
menganggap bahwa mereka itulah yang menyebabkan timbulnya
pemberontakan-pemberontakan pada masa Khalifah Utsman.
2.
Segi Pengetahuan
Sebagai upaya untuk mencerdaskan umat,
Khalifah Ali meningkatkan dalm Ilmu pengetahuan, khususnya ilmu yang berkaitan
dengan Bahasa Arab agar umat Islam mudah dalam mempelajari Al-Qur’an dan
Hadits.
3.
Segi Agama
Dari segi agama, khalifah Ali bin Abi
Thalib berusaha untuk mengembalikan persatuan dan kesatuan umat Islam. Akan
tetapi usahanya ini kurang berhasil, karena api fitnah dikobarkan kaum munafik
Yahudi yang tidak menyukai Islam. Mengatur tata pemerintahan untuk
mengembalikan kepentingan umat, seperti memberikan kepada kaum muslimin
tunjangan yang diambil dari Baitul Mal sebagaimana yang telah dilakukan Abu
Bakar dan Umar.
Di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi
Thalib umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu’awiyah,
Syi’ah (golongan yang tetap setia mendukung Ali sebagai Khalifah) yang menyusup
pada barisan tentara Ali, dan al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan
Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij
menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu’awiyah semakin kuat.
Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota
Khawarij yaitu Abdullah bin Muljam.[18]
5.
Segi Bahasa dan Ilmu Pengetahuan
Di antara perkembangan yang ada pada
masa Khalifah Ali adalah pertama, terciptanya ilmu bahasa / nahwu (Aqidah
nahwiyah), berkembangnya ilmu Khatt al-Qur’an serta berkembangnya
Sastra.
Sejarah sastra Arab,
mencatat banyak penyair-penyair Mu’allaqat, diantaranya adalah
tujuh orang yaitu yang terkenal dengan sebutan
(seven suspendeds poems) mereka adalah Ibnu
al-Qais bin Haris al-Kindi (500-540), Zuhair
bin Abu Sulma Al-Muzani (530-627), Al Nabiqah al Zubiani (sekitar 604), Labid bin Rabiah al-Amiri (560-661), Tarafah bin Abdul Bakri (543-569), Antarah
bin Syaddad Al-Bakri ( sekitar 580). Banyaknya sastrawan-sastrawan Arab ini menunjukkan bahwa sastra pada saat itu sudah sangat
terkenal dan menjadi budaya orang Arab, orang Arab sangat menghormati sastrawan. Sehingga Allah menurunkan Al-Qur’an dengan segala keindahan syair yang terkandung dan tak ada yang dapat
menandingi syair Al-Qur’an dan kepadatan makna yang
terkandung di dalamnya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Khulafaur Rasyidin (bahasa Arab: الخلفاء الراشدون)
atau Khalifah Ar-Rasyidin adalah empat orang khalifah (pemimpin) pertama
agama Islam, yang dipercaya oleh umat Islam sebagai penerus kepemimpinan
setelah Nabi Muhammad wafat. Keempat khalifah tersebut dipilih bukan
berdasarkan keturunannya, melainkan berdasarkan konsensus bersama umat Islam.
Sistem pemilihan terhadap masing-masing khalifah tersebut berbeda-beda, hal tersebut
terjadi karena para sahabat menganggap tidak ada rujukan yang jelas yang
ditinggalkan oleh Nabi Muhammad tentang bagaimana suksesi kepemimpinan Islam
akan berlangsung.
Sistem
perekonomian pada masa pemerintahan Khulafaur
Rasyidin adalah bertani dan berdagang setiap hari
mereka disibukkan dengan pesoalan air dan rumput. Hasil pertanian yang mereka
ekspor antara lain, kurma, kayu gaharu, buah
kismis anggur dan lainnya selain bertani,
unsur terpenting dalam perekonomian mereka
adalah berdagang. Masyarakat Arab waktu itu
sudah mengenal ekspor impor.
Orang Arab memiliki
solidaritas internal yang sangat kuat dan sebaliknya ganas terhadap suku dan
kabilah lain. Pada masa Nabi, sifat kesukuan ini berhasil dirubah menjadi sifat
nasionalisme kenegaraan, yang awalnya mereka bangga menyebut-nyebut semboyan
kesukuannya menjadi berubah menjadi semboyan Islam.
B.
Saran
Dalam penulisan
makalah ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan, masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan,
baik dalam bahasanya, materi dan penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritik, saran dan masukan yang dapat membangun penulisan makalah
ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Boedi. 2010. Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam.
Bandung: Pustaka Setia.
Amin, Samsul
Munir. 2014. Sejarah Peradaban Islam. .Jakarta: Amzah.
Chamid, Nur. 2010. Jejak Langkah dan Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Harun, Maidir. 2001. Sejarah Peradaban Islam. Padang: IAIN-IB
Press.
Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan
Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah
Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
[1]Ali
Mufrodi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab (Ciputat: Logos Wacana Ilmu,
1997). Hal. 47
[2] Boedi
Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam (Bandung: Pustaka Setia,
2010). Hal. 77-78.
[3] Ibid.,Hal.
78-79.
[4] Ibid.,
Hal. 72
[5] Ahmad
al-Usairy, Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX (Jakarta:
Akbar Media Eka Sarana, 2003). Hal. 152
[6] Dedi
Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008). Hal.
80.
[7] Ibid.,
Hal. 82
[8] Boedi
Abdullah,Op.Cit, Hal. 92-93.
[9] Nur
Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010). Hal. 85.
[10] Ibid.,
Hal. 87.
[11] Boedi
Abdullah, Op.Cit., Hal. 97-98.
[12] Dedi
Supriyadi, Op.Cit., Hal. 86.
[13] Boedi
Abdullah, Op.Cit, Hal. 104.
[14] Maidir
Harun. Sejarah Peradaban Islam. (Padang: IAIN-IB Press, 2001), h. 61
[15] Ibid.,
Hal. 106.
[16] Ibid.,
Hal. 119.
[17] Samsul
Munir Amin. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Amzah, 2014), h. 111
[18] Ibid,
h. 112
No comments:
Post a Comment