Makalah Hadist Dhaif

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam pembuatan hadits dha’if supaya kita mengerti bagaimana pengertian hadits dha’if. Disini diterangkan bahwa hadits dha’if adalah hadits yang lemah, disebabkan karna gugurnya rawi, cacat pada rawi dan matannya, dalam pembahasan ini kita dapat mengetahui bagaimana hadits yang dha’if, maudhu atau hadits yang shahih.
Hadits dha’if ini banyak macam ragamnya oleh karena itu kita harus lebih memahami tentang hadits dha’ifnya. Kemudian tentang kehujahan hadits dha’if ini dapat diamalkan secara mutlak yang berkaitan dengan masalah halal dan haram, kewajiban dengan syarat tidak ada hadits lain, kemudian dipandang baik mengamalkan hal-hal yang dianjurkan dan meninggalkan hal-hal yang dilarang.
lmu hadits adalah ilmu yang sangat rumit dan menyisakan banyak problematika ditengah-tengah umat, juga merupakan bagian dari ilmu yang harus diketahui dan dipelajari oleh segenap kaum muslim, karena dewasa ini banyak kita temukan sekelompok orang yang tidak bisa dikatakan kredibel dalam bidang ilmu ini dengan sangat yakin melontarkan hadits demi hadits untuk menjustifikasi apa yang dia lihat tanpa memperhatikan aspek apa saja yang harus dilalui. Seperti halnya bagian dari pembahasan yang ada di dalam ilmu hadits ini, yaitu hadits dha’if dan maudhu’, apapun bentuknya dan apapun kasusnya. Maka dari itu, sangat penting untuk mempelajari hadits dha’if dan maudhu’ agar tidak mudah terjebak dengan pemahaman-pemahaman yang penuh dengan pertentangan menurut disiplinnya




BAB II
PEMBAHASAN
HADITS DHA’IF
A.    Defenisi
Hadis dha’if ialah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat bisa diterima. Mayoritas ulama menyatakan: Hadits dha’if yaitu hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat shahih ataupun syarat-syarat.
Menurut bahasa dha’if berarti ‘Aziz: yang lemah sebagai lawan dari Qawiyyu yang artinya kuat.
Sedang menurut istilah, Ibnu Shalah memberikan definisi :
ما لم يجمع صفات الصحيح ولاصفات الحسن
Artinya:
“Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”.
Zinuddin Al-Traqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan kalimat yang seharusnnya dihindarkan, menurut dia cukup :
ما لم يجمع صفات الحسن
Artinya:
“yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan”
Karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan sudah barang tentu tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih.[1]
Para ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if :
 “hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.[2]
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian hadits dha’if adalah hadits yang lemah, yakni para ulama masih memiliki dugaan yang lemah, apakah hadits itu berasal dari Rasulullah atau bukan. Hadits dha’if itu juga bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih tetapi juga tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan.
B.     Jenis-jenis Hadits dha’if
Untuk memudahkan kajian membagi hadits dha’if dikaitkan dengan dua sebab pokok itu.
1.      Pertama, hadis-hadis dha’if karena ketidak muttasilah sanad, yaitu:
a.       Hadits Mursal
Hadits Mursal yaitu:
Hadits yang dimarfu’kan oleh seorang tabi’iy kepada rasul SAW, baik berupa sabda, perbuatan maupun taqrir, baik tabi’in itu kecil atau besar.
Hadits mursal menurut ulama’ fiqh dan ushul adala hadits yang perawinya melepaskannya tanpa menjelaskan sahabat yang ia ambil riwayatnya.
Hukum Mursal Tabi’iy
Pendapat di kalangan ulama tentang hadits mursal yang terpopuler ada tiga pendapat, yaitu:
a.       Boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak
b.      Tidak boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak.
c.       Bisa dijadikan sebagai hujjah bila ada yang menguatkannya.
Bila shahih kedatangan suatu hadits mursal dari jalur lain secara musnad dengan perawi-perawi yang tidak sama dengan perawi-perawi yang pertama, maka ia bisa dijadikan sebagai hujjah menurut mayoritas ulama dan ahli hadits. Karena yang musnad itu mampu menyingkap keshahihan yang mursal. Bahkan bila keduanya bertentangan dengan hadits lain yang shahih, maka keduanya tetap didahulukan bbila tidak dikompromikan. Ini dikarenakan keterbilangan jalurnya.[3]



b.      Hadits Munqathi’
Yaitu hadits yang dalam sanadnya gugur satu orang perawi dalam satu tempat atau lebih, atau didalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham.
Hadits munqati menurut bahasa artinya terputus. Menurut sebagian para ulama hadits, hadits munqati’ ialah hadits yang dimana didalam sanadnya terdapat seseorang yang tidak disebutkan namanya oleh rawi, misalnya perkataan seorang rawi, “dari seseorang laki-laki”. Sedang menurut para ulama lain bahwa hadits muntaqi’ ialah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang gugur (tidak disebutkan) dari rawi-rawi sebelum sahabat, baik dalam satu atau beberapa tempat, namun rawi yang gugur itu tetap satu dengan syarat bukan pada permulaan sanad.[4]
Contoh yang mengandung perawi yang mubham adalah yang wiriwayatkan oleh Abu al-Ala’ Ibn asy-Syakhir dari dua orang dan Syaddan ibn Aus.
Hadits munqhati;  jelas tertolak dan tidak bisa dijadikan hujjah, karena tidak diketahuinya perawi yang dihilangkan dan disamarkan.
c.       Hadits Mu’dhal
Yaitu hadis dari sanadnya gugur dua atau lebih perawinya secara berturut-turut.
d.      Hadits Mudallas
Kata “tadlis” secara etimologis berasal dari akar kata ad –Dalas yang berarti “adz-Dzulmah (kedzaliman).
Tadlis dalam jual-beli berarti menyembunyikan aib barang dari pembelinya.
Tadlis terdiri dari dua jenis:
1.      Tadlis al-Isnad yaitu seorang perawi (mengatakan) meriwayatkan sesuatu sesuatu dari orang semasanya yang tidak  pernah ia bertemu dengan orang itu, atau pernah bertemu tetapi yang diriwayatkannya itu tidak didengarnya dari orang tersebut, dengan cara yang menimbulakn dugaan mendengar langsung.
Mengenai hukum tadlis ada tiga pendapat di kalangan ulama’
a.       Sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang diketahui melakukan tadlis, maka ia menjadi majruh dan tertolak riwayatnya secara mutlak.
b.      Sebagian lagi mengatakan bahwa hadits mudallas bisa diterima karena tadlis sama degan irsal.
c.       Sebagian yang lain lagi mengatakan bahwa ditolak setiap hal yang mengandung tadlis, sedang hadits-haditsnya yang lain yang tidak mengandung tadlis bisa diterima.
2.      Tadlis asy-Syuyukh
Ini lebih ringan daripada tadlis al-isnad.
Hukum melakukan tadlis asy-syuyukh adalah makruh menurut ulama hadits, karena mengandung kerumitan bagi pendengar untuk mengecek sanadnya atau untuk mengecek guru-gurunya.
Kemakhruhan itu berbeda-beda, tergantung factor yang mendorong seseorang melakukannya.[5]
e.       Hadits Mu’allal
Yaitu hadits yang tersingkap didalamnya ‘illah qadihah, meskilahiriahnya tampak terbebas darinya.
2.      Kedua, hadits-hadits dha’if karena sebab lain ketidakmuttashilan sanad.
a.       Hadits Mudha’af
Yaitu hadits yang tidak disepakati kedhai’ifannya. Sebagian ahli hadits menilainya mengandung kedha’ifan, baik di dalam sanad atau dalam matannya, dan sebgaian lain menilainya kuat. Akan tetapi penilaiannya dha’if itu lebih kuat, bukannya lebih lemah. Atau tidak ada yang lebih kuat antara penilaian dha’if dan penilaian kuat.
b.      Hadits Mudhtharib
Yaitu hadits diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang saling berbeda, yang tidak mungkin mentarjihkan sbagiannya atas sebagian yang lain, baik perawinya satu atau lebih. Adapun bilsa salah satunya bisa ditarjihkan dengan salah satu alasan tarjih. Maka penilaian diberikan kepada yang rajah.[6]
c.       Hadits Maqlub
Yaitu suatu hadits yang mengalami pemutarbalikan dari diri perawi mengenai matannya, nama salah satu perawi dalam sanandnya atau suatu sanand untuk matan lainnya.
Kadang-kadang keterbalikan itu terjadi pada sanad, yaitu terbaliknya nama seorang perawi atau suatu hadis diriwayatkan melalui jalur perawi yang telah dikenal atau dengan sanad yang telah popular. Lalu tertukar dengan perawi (lain) pada tingkatannya atau dengan sanad yang bukan sanadnya, karena tidak sengaja atau seorang perawi sengaja membalikkan dengan itu tujuan menunjukkan yang aneh dengan harapan orang-orang akan ebih tertarik meriwayatkan darinya.
Keterbalikan yang terjadi pada diri seorang perawi karena lupa, bukan karena tujuan mengetes (orang lain) menjadikannya dha’if karena kedha’ifan hafalannya, bila hal itu diketahui padanya atau karena seringnya hal itu terjadi pada dirinya.[7]
d.      Hadits Syadz
Imam asy-Syafi’iy, beliau mengatakan bahwa hadits syadz bukanlah hadits dimana perawi tsiqat meriwayatkan hadits yang sama sekali tidak diriwayatkan oleh yang lain. Yang dimaksud hadits syadz adalah bila diantara sekian perawi tsiqat ada diantara mereka yang menyimpang dari lainnya.

e.       Hadits Munkar
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi dha’if yang berbeda dengan perawi-perawi (lain) yang tsiqat. Oleh karena itu, criteria hadits munkar adalah penyendirian perawi dha’if dan mukhalafah.
Bila haditsnya ditentang dengan adanya hadits dari perawi tsiqat atau shaduq, sementara pada hadits munkar, perawinya dha’if.[8]
f.       Hadits matruk dan Mathruf
1)      Hadist matruk yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang “muttaham bi al-kidzbi” (yang tertuduh melakukan dusta) dalam hadits nabawiy, atau sering berdusta dalam pembicaraannya, atau yang terlihat kefasikannya melalui perbuatan maupun kata-katanya ataupun yang sering sekali salah dan lupa, bahwa hadits matruk merupakan tingkat hadits terendah.
2)      Hadits Mathruh
Al-Hafidz adz-Dzahabiy menjadikannya sebagai jenis terse belaiu mengambil istilah itu dari terma ulama “Fulan Ma al-Hadits” (seseorang dalam daftar hadits-hadits perawi dha’if tertinggal haditsnya.
C.    Peningkatan Kualitas Hadits Dha’if Karena Jumlah Sanadnya
Sebab-sebab kedha’ifan perawi kembali kepada dua sebab pokok. Pertama, kedha’ifan karena cacatnya kualitas pribadi (adalah) perawi.
Kedua, kedha’ifannya karena cacatnya kapasitas intelektual, yaitu kelupaan sering salah, buruk hafalan, kerancuan hafalan dan kekeliruan.
An-Nawawiy mengatakan bahwa hadits dha’if, tatkala jalurnya berbilang bisa meningkat kepada derajat hasan, sehingga bisa diterima dan diamalkan. Sementara as-Sakhawiy mengatakan bahwa hal itu tidak membawa konsekuensi mengamalkan hadits dha’if. Penggunaan hujjah adalah dengan gabungan dari jalur-jalurnya.
D.    Hukum mengamalkan Hadits Dha’if
Ada tiga pendapat di kalangan ulama mengenai penggunaan hadits dha’if:
1.      Hadits dha’if tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadha’il maupun ahkam.
2.      Hadits dha’if bisa diamalkan secara mutlak.
3.      Hadits dha’if bisa digunakan dalam masalah fadha’il, mawa’idz atau yang sejenis bila memenuhi beberapa syarat.
E.     Bagaimana Meriwayatkan Hadits Dha’if
Ulama Hadits mengingatkan agar orang yang meriwayatkan hadits dha’if tanpa sanad tidak meriwayatkannya dengan redaksi yang menunjukkan kemantapan penuh bahwa ia merupakan hadits. Sehingga ia tidak diperkenankan mengatakan: “Rasulullah SAW. Menyabdakan begini-begini”. Dan sejenisnya. Bahkan ia harus meriwayatkannya dengan redaksi yang menunjukkan keraguan akan keshahihannya. Misalnya “ruwiya”, “ja’a”, “nuqila”, “fi ma yurwa” dan sejenisnya. Dan kata-kata itu justru makruh digunakan dalam meriwayatkan hadits-hadits shahih. Sehingga dalam meriwayatkan hadits-hadits shahih, seorang harus menggunakan redaksi yang menunjukkan kemantapan penuh akan kualitasnya.[9]
Al-Hadits Al-Maudhu’
A.    Defenisi
1.      Hadits maudhu’ secara etimologis merupakan bentuk isim maf’ul dari وضع,يضع. Kata وضع memiliki beberapa makna, antara lain (menggugurkan). Juga bermakna الترك (meninggalkan).[10]
2.      Sedang pengertian maudhu’ menurut terminology ulama hadits adalah:
Sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasul saw, secara mengada-ada dan dusta, yang tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan ataupun beliau taqrirkan.
Sebagian mengatakan hadits yang dibuat-buat
B.     Permulaan terjadinya pemalsuan
Ketegangan terjadi antara Amirul MukmininAli Ibn abi Thalib ra. dan Gubernur Syam Mu’awiyah ibn Abu Sufyan ra. memiliki dampak besar terhadap pecahnya umat dan kemunculan berbagai aliran keagamaan dan politik. Masing-masing ingin melegitimasi pendapatnya dengan AL-Qur’an dan as-Sunnah.
Oleh karena itu, sebagian mereka mencoba menta’wilkan Al-Qur’an danmenafsirkan hadis-hadis dengan pengertian yang sebenarnya tidak dikandungnya. Dan ketika mereka tidak menemukan apa yang mereka cari.
Maka mereka mencoba beralih kepada pola pemalsuan dan pendustaan atas diri rasul SAW. Sejak itu, muncullah hadits-hadits tentang keutamaan Khlaifah Rasyidah yang empat dan yang lain dari para pemimpin dan pemuka aliran, di samping muncul haidts-hadits yang secara tegas menyatakan pengukuhan atas kelompok-kelompok politik dan aliran-aliran keagamaan serta yang lainnya.
Hadits-hadits maudhu’ tidaklah bertambah banyak kecuali karena bertambah banyaknya bid’ah dan pertikaian.
Dalam hal-hal hadits palsu, semua kedustaan atas para sahabat harus dinafikan. Karena sungguh tidak mungkin mereka menyelami pekerjaan berdusta dan memalsu, setelah kita mengetahui pengorbanan mereka dan kecintaan mereka kepada rasul SAW, setelah kita mengetahui keadilan mereka berdasarkan dalil naqli. Al-Qur’an dan al-Hadits dan ‘Aqli, dan setelah kita mengetahui semangat mereka terhadap syari’ah dan kegigihan mereka memegannya dan menjaganya.[11]
Pemalsuan hadits pada masa tabi’in relative lebih sedikit disbanding dengan yang terjadi pada masa-masa selanjutnya.
C.    Sebab-sebab Pemalsuan
1.      Golongan-golongan Politik
a.       Pengaruh Syi’ah dan Musuh-musuhnya dalam pemalsuan hadits Ibn Abi al-Hadid di dalam Syarh Nahj al-Balaghah mengatakan: Asal mula munculnya hadits-hadits dusta dalam hal keutamaan-keutamaan adalah dari syi’ah.
Yang menjadi sasaran Syi’ah adalah pengukuhan wasiat rasul SAW. Kepada Ali ra. untuk memegang khilafah setelah beliau wafat. Sehingga mereka membuat hadits palsu yang sangat banyak.
Mereka juga membuat hadits-hadits palsu tentang Ali, keturunan dan pendukungnya.
Disamping itu, kaum Syi’ah juga membuat hadits-hadits palsu yang mendorong Abu Bakar, Umar dan yang lain.[12]
b.      Khawarij dan pemalsuan hadits
Tidak ada riwayat yang tegas bahwa kaum Khawarij membuat hadits palsu. Bahkan menurut pendapat yang kuat, bahwa latar belakang ketiadaan mereka membuat hadits palsu adalah keyakinan mereka bahwa pelaku dosa besar adalah kafir, dan berdusta termasuk dosa besar. Bahkan banyak kabar yang mengukuhkan bahwa mereka merupakan kelompok yang paling jujur dalam meriwayatkan hadits.
2.      Negara Islam Telah Mampu Meruntukkan Dua Negara Adikuasa
Pada masa itu Negara Islam telah mampu meruntuhkan dua Negara adikuasa, yakni Kisra dan Qaishar dan mampu meredam raja-raja dan amir-amir yang bertindak sewenang-wenang terhadap wilayah-wilayah kekuasaan mereka dengan cara menyiksa, menjarah harta benda dan menjadikan budak warganya. Di antara para penguasa itu ada kelompok-kelompok khusus, pihak-pihak yang mengambil keuntungan dan mereka yang bersikap ekstrim.
Pada saat yang sama, para penguasa merasakan kehilangan kekuasaan dan status serta kehilangan kesempatan memanipulasi rakyat. Para penguasa itu tidak kunjung mendapatkan posisi yang baru.
Mereka jelas tidak mampu merealisasikan keinginan mereka dengan kekuatan senjata, karena kuatnya pemerintah Islam. Karena itu mereka mencoba menjauhkan masyarakat dari akidah yang baru dan menggambarkan Islam dan ajaran-ajarannya dengan gambaran yang sangat buruk, baik dalam hal akidah maupun ibadahnya serta pemikiran-pemikirannya.
3.      Perbedaan Ras dan Fanatisme Suku, Negara dan Imam.
4.      Para Tukang Cerita
5.      Senang Kebaikan Tanpa Pengeahuan Agama yang cukup
6.      Perbedaan Madzhab dan Teologi
7.      Lobby dengan Para Penguasa dan Sebab-sebab lain
D.    Hukum Memalsukan dan Meriwayatkan Hadits Palsu
Kaum muslim sepakat bahwa memalsukan hadits hukumnya haram secara mutlak. Rasul SAW, sendiri telah memberikan ancaman keras terhadap siapa saja yang memalsukan hadits. Jumhur ahli hadits juga sependapat, bahwa berdusta termasuk dosa besar.
Semua hadits maudhu’ bathil lagi tertolak dan tidak bisa dijadikan pegangan, karena merupakan kedustaan dan bualan atas diri Rasul SAW.
E.     Upaya-upaya Ulama Melawan Hadits Palsu
Beberapa Upaya yang ditempuh ulama dalam rangka menjaga hadits Nabi SAW:[13]
1.      Berpegang Pada Sanad
2.      Meningkatkan Semangat Ilmiah dan Ketelitian dalam Meriwayatkan Hadits.
3.      Para Ulama Memerangi Para pendusta dan Tukang Cerita.
4.      Menjelaskan Hal-Ihwal Para Perawi.
5.      Meletakkan Kaidah-kaidah untuk Mengetahui Hadits Maudhu’
F.     Bagaimana mengetahui Hadits Maudhu’
Hadits maudhu’ bisa diketahui dari sanad atau matannya.
Ciri-ciri Hadits Palsu:[14]
1.      Tanda-tanda hadits palsu dalam sanad
a)      Tanda-tanda hadits palsu dalam sanad.
b)      Adanya indikasi yang hamper sama dengan pengakuan.
c)      Perawi yang dikenal sebagai pendusta meriwayatkan suatu hanya seorang diri.
d)     Di antara tanda kepalsuan suatu hadits adalah hal-ihwal perawi.
2.      Ciri-ciri Hadits Palsu dalam Matan[15]
a)      Kejanggalan redaksi yang diriwayatkan, yang apabila dirasakan oleh pakar bahasa akan terasa sekali tidak mencerminkan sabda Nabi saw.
b)      Kekecauan maknanya.
c)      Bertentangan dengan teks-teks Al-Qur’an, As-sunnah ataupun ijma’
d)     Setiap hadits yang mendakwakan kesepakatan sahabat untuk menyembunyikan sesautu dan tidak menyebarkannya.
e)      Setiap hadits yang tidak sejalan dengan realitas sejarah yang terjadi pada masa Nabi SAW
f)       Kesejalanan suatu hadits terhadap aliran yang dianut oleh perawinya, di mana perawi itu tergolong sangat ekstrim fanatiknya.
g)      Hadits itu mengkhabarkan suatu hal besar yang memenuhi criteria untuk diriwayatkan.
h)      Hadits itu memuat beralasan yang berlipat ganda atas suatu amal kecil, atau ancaman yang sangat berat atas suatu tindakan tak seberapa.
G.    Karya-karya paling Populer dalam Bidang Hadits Maudhu’
1.      Tadzkirah al-Muadhu’at  Karya Abu al-Fadhl Muhammad ibn al-Maqdisiy (448-507 h).
2.      Al-Maudhu’at al-kubra karya Abu al-Faraj Abdurrrahman ibn al-Jalal (508-598 H), terdiri dari empat jilid.
3.      Al-Ba’its Ala al-Khalash min hawadits al-Khalash Min Hawadits al-Qashshash karya al-Zainuddin Abdurrahman al-Iraqiy (725-806H).
4.      Al-La’aliy al-Mashnu’ah Fi al-Ahadits al-Maudhu’ah karya al-Hafi Jalaluddin as-Suyuthiy (849-911H)
5.      Tanzih asy-Syari’ah al-Marfu’ah ‘An al-Akhbar asy-Syani’ah maudhu’ah karya Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad (Ibn Iraqiy) al-Kautsar.
6.      Al-Fawa’id al-Majmu’ Fi al-Ahadits al-Maudhu’ah karya al-Qadhi Abu Abdillah Muhammad ibn Ali asy-Syaukaniy (1173-1255H)
7.      Disamping karya-karya itu, ulama juga menyusun berbagai karya tentang hadits yang popular di kalangan masyarakat dengan memberikan penjelasan mana yang kuat dan mana yang lemah, dan mana pula yang maudhu’.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Menurut bahasa dha’if berarti aziz yang artinya yang lemah, dan menurut istilah adalah yang yidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan dan yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan.
Pembagian hadits dha’if ada dua bagian yaitu: hadits dha’if karena gugurnya rawi dan cacat pada rawi dan matan. Status kehujjahan sebuah hadits dha’if dipandang hujjah apabila dapat diamalkan secara mutlak, dipandang baik mengamalkanya dan hadits dha’if yang sama sekali tidak dapat di amalkan.
Pengertian maudhu’ menurut terminology ulama hadits adalah: Sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasul saw, secara mengada-ada dan dusta, yang tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan ataupun beliau taqrirkan.
Dalam hal-hal hadits palsu, semua kedustaan atas para sahabat harus dinafikan. Karena sungguh tidak mungkin mereka menyelami pekerjaan berdusta dan memalsu, setelah kita mengetahui pengorbanan mereka dan kecintaan mereka kepada rasul SAW, setelah kita mengetahui keadilan mereka berdasarkan dalil naqli.
B.     Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan, masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam bahasanya, materi dan penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran dan masukan yang dapat membangun penulisan makalah ini.




DAFTAR PUSTAKA
Moh. Anwar Br, Ilmu Mustalahul Hadits, Surabaya: Al-Iklas, 1981.
Muhammad Ahmad. M. Mudzakir, Ulumul Hadits. Bandung, CV. Pustaka Setia. 2000.
Muhammad ‘Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, Daar al-Rahmah al-Islamiyah.
Hasan al-Mas’udi, Minhat al-Mughits, Surabaya: Andalas, 2000.
Mahmud ath-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, Cet. VII, Surabaya: al-Hidayah.
Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Cet. I, Jombang: Darul Hikmah, 2008.
Nur Hidayat Muhammad, Hujjah Nahdliyah, Cet.I Surabaya: Khalista, 2012.
Mudasir, Ilmu Hadis, Cet. V, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010.
Saeful Hadi, Ulumul Hadits, Cet. XII, Kulon Progo: Sabda Media.
H.M. Ahmad, dkk, Ulumul Hadits, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000.









[1]Moh. Anwar Br, Ilmu Mustalahul Hadits, (Surabaya: Al-Iklas, 1981), h. 93.
[2]Muhammad Ahmad. M. Mudzakir, Ulumul Hadits (Bandung, CV. Pustaka Setia. 2000),h. 112.
[3]Muhammad ‘Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, (Daar al-Rahmah al-Islamiyah), Hlm. 82
[4] Muhammad Alwi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadits, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 92,100.
[5]Hasan al-Mas’udi, Minhat al-Mughits, (Surabaya: Andalas, 2000), Hlm. 43
[6] Muhammad ‘Alawi al-Maliki, al-Minhal al-Lathif, (Dar ar-Rahmah), Hlm. 102
[7]Mahmud ath-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, Cet. VII, (Surabaya: al-Hidayah), Hlm. 107-108
[8] Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Cet. I, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), Hlm. 154-155.
[9]Nur Hidayat Muhammad, Hujjah Nahdliyah, Cet.I (Surabaya: Khalista, 2012), Hal. 11-12
[11] Mudasir, Ilmu Hadis, Cet. V, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), Hal. 160
[12] Saeful Hadi, Ulumul Hadits, Cet. XII, (Kulon Progo: Sabda Media), Hlm. 176
[13] Ibid, h. 177
[14] Mudasir, Op.Cit. h. 162
[15] H.M. Ahmad, dkk, Ulumul Hadits, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000),h. 211

No comments:

Post a Comment