BAB I
PENDAHULUAN
Kita sebagai umat Islam, tidak boleh hanya
mempelajari ilmu Alqur’an melalui ulumul Qur’an tetapi juga bisa mempelajari,
mendalami, serta mengamalkan ilmu hadis Rasulullah melalui ulumul hadis. Karena
hadis Rasulullah berfungsi sebagai penyempurna dan penjelas dari isi Alqur’an.
Sedangkan ulumul hadis itu sendiri memiliki
banyak cabang ilmu-ilmu yang tentu saja masih berkaitan dengan ilmu hadis.
Cabang-cabang ilmu tersebut di antaranya
adalah Ilmu Rijal al-Hadis, Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil, Ilmu ‘Ilal al-Hadis,
Ilmu Gharib al-Hadis, Ilmu Mukhtalif al-Hadis, Ilmu Nasikh wa Mansukh, Ilmu
Fann al-Mubhamat, Ilmu Asbab Wurud al-Hadis, Ilmu Tashrif wa Tahrif, dan Ilmu
Mushthalah al-Hadis.
Perlu diketahui bahwa hukum pada suatu hadis
tidak mutlak benar dan berlaku selamanya melainkan ada kalanya
perubahan-perubahan atau penyempurnaan-penyempurnaan. Dalam hal ini, cabang
ilmu hadis yang mempelajari permasalahan tersebut adalah ilmu nasikh mansukhhadis.
Dalam makalah kami ini, ilmu nasikh mansukh tersebut akan dibahas lebih lanjut dan
mendetail mengingat akan pentingnya kita mempelajari ilmu hadis. Semoga makalah
ini bisa bermanfaat bagi kita. Amin.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Nasakh
1.
Pengertian Naskh
Kata Naskh menurut
lughot bisa diartikan: النَّقْلُ(memindah
atau menyalin), bisa juga diartikan: اْلاِزَالَةُ (menghilangkan).
Sedangkan menurut istilah ushuliyin adalah: “Khitob yang menunjukan terhapusnya
hukum yang ditetapkan oleh khitob terdahulu, dengan gambaran seandainya tidak
ada khitob kedua niscaya hukum tersebut akan tetap berlaku sebagaimana semula,
dan diisyaratkan khitob kedua lebih akhir daripada khitob pertama”.[1]
Kata An-Nasikh berasal
dari kata kerja “nasakh” (نَسَخَ) artinya, menghapus, dalam ilmu Nahwu kedudukannya
adalah sebagai isim fa’il (pelaku), yang menghapus, yang
menghilangkan, yang mencatat atau berubah. Sedangkan Al-Mansukh (اَلْمَنْسُوْخُ) dalam ilmu Nahwu kedudukanya adalah
sebagai isim maf’ul (penderita atau tujuan), artinya adalah
yang dihapus, yang dihilangkan, yang dicatat atau yang dirubah.
Maksudnya adalah bila
ada satu ketentuan, peraturan, atau peraturan yang menghapus ketentuan yang
terdahulu itu disebut “mansukh” (اَلْمَنْسُوْخُ) artinya yang dihapus. Sedang yang datang
kemudian, disebut “Al-Nasikh” (اَلْناَسِخُ)artinya yang menghapus, peristiwa penghapusan disebut
Nasakh atau “Al-Naskhu” (اَلْنَسْخُ) menurut istilah ushul fiqih adalah :[2]
رَفْعُ حُكْمِ شَرْعِيٍّ
بِدَلِيْلٍ شَرْعِيٍّ مُتَاَخِرٍ
“Mengangkat suatu hukum syara’ dengan dalil syara’
yang datang kemudian”[3]
Maksudnya adalah,
dengan datangnya hukum syara’ yang demikian itu, maka terangkatlah atau batalah
atau tidak berlaku hukum syara’ yang terdahulu. Jadi berdasarkan ta’rif tersebut
di atas, maka baik yang menghapus ataupun yang dihapus adalah hukum syara’.
Dengan demikian berarti tidak termasuk hukum akal, hukum perasaan dan yang
lainnya.
Dari definisi
tersebut, para ahli ushul fiqih mengemukakan bahwa naskh itu
baru dianggap benar apabila :
a.
Pembatalan itu dilakukan melalui tuntunan syara’ yang
mengandung hokum dari syara’ (Allah dan Rasul-Nya). Yang membatalkan ini
disebut nasikh.
b.
Yang dibatalkan itu adalah hukum syara’, yang
disebut mansukh.
2.
Adanya Naskh
Adanya naskh dapat
dibagi pada dua jenis, pertama, adanya naskh menurut
akal, dan kedua adanya naskh menurut naqal atau
riwayat.
a.
Adanya Nasakh menurut akal telah
disepakati oleh Ulama. Dengan alasan bahwa, kepentingan manusia tidaklah selalu
sama terus-menerus, mungkin satu kepentingan hanya bermanfaat pada satu masa,
sedang pada masa sesudahnya membawa bahaya.
b.
Adanya Nasakh menurut riwayat adalah
sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Bukhari dan Muslim yang artinya
sebagai berikut :
“Sesungguhnya Nabi SAW., berdiri menghadap ke Baitul
Makdis dalam shalat selama 16 bulan, kemudian di-nasakh (dihapuskan)
yang demikian dengan satu perintah untuk menghadap ke Ka’bah”. (HR. Bukhari
dan Muslim).
B. Pendapat
Ulama Tentang Nasakh
Dalam
hubungan ini, para ulama memang berbeda pendapat.
1.
Kelompok pertama mengatakan bahwa nasakh
hukum syara’ itu memang terjadi, dan dalam kenyataannya memang ditunjukkan oleh
ayat Al-Quran. Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan jumhur ulama. Adapun yang
menjadi alasan kelompok ini, bahwa nasakh hukum itu memang terjadi, adalah
tigas urat yang dikemukakan pada dasar hukum nasakh, yaitu surat al-Baqarah
ayat 106, surat an-Nahl ayat 101 dan surat al-Ra’du ayat 39.
2.
Golongan yang mengingkari Nasakh,
golongan ini berpendapat bahwa tidak ada nasakh terhadap nash al-Qur’an.
Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Muslim al-Isfahani (256-322 H). Menurut Abu
muslim, bahwa ini Al-Qur’an seluruhnya mengandung nilai-nilai hukum dan tidak
ada sedikit pun terjadi perubahan atau penggantian terhadap perkataan Allah.[5]
Jumhur ulama
berpendapat bahwa nasakh menurut logika boleh saja dan secara syara’
telah terjadi. Alasan mereka adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah : 106:
Artinya:
ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu. (Q.S al-Baqarah: 106)
Kemudian
jumhur ulama Ushul Fiqh menyatakan bahwa seluruh umat Islam mengetahui dan
meyakini bahwa Allah itu berbuat sesuai dengan kehendak-Nya tanpa harus melihat
kepada sebab dan tujuan. Oleh sebab itu, adalah wajar apabila Allah mengganti
hukum yang telah ia tetapkan dengan hukum lain, yang menurut-Nya lebih baik dan
sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.[6]
Selanjutnya
jumhur ulama ushul fiqh menyatakan bahwa dalam ayat lain Allah berfirman:
#sÎ)ur !$oYø9£t/ Zpt#uä c%x6¨B 7pt#uä ª!$#ur ÞOn=ôãr& $yJÎ/ ãAÍit\ã (#þqä9$s% !$yJ¯RÎ) |MRr& ¤tIøÿãB 4
ö@t/ óOèdçsYø.r& w tbqßJn=ôèt ÇÊÉÊÈ
Artinya:
“dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata:
"Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan
kebanyakan mereka tiada mengetahui.” (Q.S an-Nahl: 101)
Dalam
Ayat lain Allah juga berfirman:
(#qßsôJt ª!$#
$tB âä!$t±o àMÎ6÷Vãur
( ÿ¼çnyYÏãur
Pé& É=»tGÅ6ø9$#
ÇÌÒÈ
Artinya: Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki
dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat
Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).” (Q.S al-Ra’d : 39)
Jumhur
ulama juga beralasan dengan kesepakatan para ulama dalam menyatakan bahwa syari’at
sebelum Islam telah di nasakh khan oleh syari’at Islam, sebagaimana juga
nasakh itu sendiri telah terjadi dalam beberapa hukum Islam. Misalnya,
pemalingan kiblat shalat dari Baitul Maqdis ke Masjidil haram, menasakhkan
kewajiban memberi sedekah bagi yang bermunajat kepada Nabi saw, pembatalan
puasa ‘Asyura dan menggantinya dengan puasa Ramadhan, dan pembatalan wasiat
bagi kedua ibu bapak serta kaum kerabat dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan
warisan.
Akan
tetapi, Abu Muslim al-Isfahani (256-232H/mufassir), berpendapat bahwa nasakh
tidak berlaku dalam syari’at Islam dan tidak ada bukti yang menunjukkan adanya nasakh
itu. Menurutnya, apabila hukum-hukum syara’ boleh dinasakhkan, maka ini berarti
terdapat perbedaan kemasalahatan sesuai dengan pergantian zaman.
Hal ini,
menurutnya, sama sekali tidak mungkin dan tidak diterima akal. Kemudian,
apabila nasakh diterima, maka hal ini menunjukkan ketidaktahuan Allah
terhadap kemaslahatan umat di suatu zaman, sehingga ia harus mengganti
(membatalkan) suatu hukum dengan hukum lain. Perbuatan ii mustahil bagi Allah
dan sia-sia. Selanjutnya Abu Muslim menyatakan bahwa Allah sendiri berfirman
dalam surat Fushsilat : 42
w
ÏmÏ?ù't ã@ÏÜ»t7ø9$# .`ÏB
Èû÷üt/ Ïm÷yt wur
ô`ÏB ¾ÏmÏÿù=yz (
×@Í\s?
ô`ÏiB
AOÅ3ym 7ÏHxq ÇÍËÈ
Artinya:
“ yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun
dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha
Terpuji.” (Q.S Fushsilat: 42)
Ayat ini
menurutnya, menegaskan bahwa Al-Qur’an tidak disentuh oleh “pembatalan”. Dengan
demikian jika nasakh diartikan sebagai pembatalan maka tidak akan terdapat
dalam al-Qur’an.[7]
C. Penyebab
Terjadinya Perbedaan Pendapat
Timbulnya perbedaan pendapat
di kalangan ulama tentang adanya nasakh ialah karena mengingat Al-Qur’an adalah
kalam Allah Yang Maha Tahu segala sesuatu secara mutlak, baik yang telah lalu
maupun yang akan datang. Jadi rasanya mustahil akan terjadi nasakh. Namun
secara faktual memang telah terjadi perubahan yang sangat mencolok, misalnya,
dulu ziarah kubur dilarang, sekarang dibolehkan, dan lain-lain.
Mereka yang tak mau berpikir
lama-lama cepat saja menyimpulkan, bahwa itu namanya nasakh. Sebab selama yang
melakukan perubahan atau revisi itu hanya Tuhan sendiri, tidak ada persoalan,
Dia berbuat sesuai kehendak-Nya, tidak akan mengurangi derajat ke Tuhanan-Nya.
Sebaliknya mereka yang
menolak nasakh ingin mensucikan Tuhan dari sifat-sifat kemanusiaan yang selalu
berubah-ubah. Jika nasakh diakui ada, berarti secara tidak langsung, telah
diakui Allah sama dengan manusia, padahal telah menjadi keyakinan tak ada yang
serupa dengan-Nya suatu jua pun (Laisa kamitslihi syai’un). Meskipun demikian
mereka yang menolak nasakh ini juga meyakini bahwa memang telah terjadi
perubahan terutama dalam masalah istinbath (ketetapan) hukum. Oleh karena itu,
mereka menyatakan bahwa perubahan hukum itu bukan berarti membatalkan hukum
sebelumnya, melainkan hukum itu disyari’atkan Allah secara dinamis, sesuai
dengan kondisi masyarakat. Dengan pengertian bila kondisi semula kembali, maka
hukum yang diterapkan kembali pula pada apa yang telah diterapkan tempo dulu
itu. Jadi tidak ada pembatalan; yang ada ialah pensyari’atan hukum oleh Tuhan
secara fleksibel sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Jadi pada hakikatnya antara mereka yang menerima nasakh dan yang menolaknya tidak terdapat perbedaan yang prinsipil karena mereka hanya berbeda dalam redaksi saja, sebab masing-masing mengakui memang telah terjadi perubahan hukum dalam kasus-kasus tertentu sebagaimana telah dijelaskan.
Jadi pada hakikatnya antara mereka yang menerima nasakh dan yang menolaknya tidak terdapat perbedaan yang prinsipil karena mereka hanya berbeda dalam redaksi saja, sebab masing-masing mengakui memang telah terjadi perubahan hukum dalam kasus-kasus tertentu sebagaimana telah dijelaskan.
Nasakh hanya terjadi di masa
tasyr’i yakni selama hidup Nabi SAW mulai menjadi Rasul sampai beliau wafat,
yakni lebih kurang selama kurun waktu 23 tahun.
Para ulama berbeda pendapat perihal adanya
nasikh dan mansukh dalam Al-Quran . Ada dua golongan yang berbeda pendapat:[8]
1.
Golongan
ke I menyatakan bahwa ada nasikh mansuk dalam Al-Quran . Yang termasuk golongan
ini adalah:
a. As Syafi’i (254 H)
b. An Nahas (388 H)
c. As Sayuti (911 H)
d. Asz Syaukani (1280 H)
Alasan-alasan
mereka:
a. Berdasar dalil Al-Quran sendiri dalam
surat Al Baqarah 106 yang mengindikasikan pemberitahuan Allah SWT bahwa ada
ayat yang diganti oleh ayat lain.
b. Karena adanya kenyataan, beberapa ayat
memperlihatkan perlawanan antara lahiriyah ayat yang satu dengan yang lain.
2.
Golonga
ke II menyatakan bahwa tidak ada nasikh dan mansukh dalam Al-Quran . Yang
termsuk golongan ini adlah:
a. Abu Muslim Isfahan (322 H)
b. Al Fakhur Razy (504-606)
c. Muhammad Abduh (1325 H)
d. Rasyid Ridha (1354 H)
e. Dr. taufik Sidqi (1298 H)
f. Ubay bib Ka’ab
Alasan-alasan
mereka:
a. Tidak ada keterangan spesifik dan tegas
dari Al-Quran .
b. Tdak ada keterangan hadis yang
shorih/jelas yang meyakinkan perihal adanya ayat yang dimansukh itu dan ayat
apa yang memansukh.
c. Melihat pendapat para ulama yangmenyatakan
adanya nasikh dan mansukh tidak kompak.
d. Setelah direnungkan ternyata ayat yang
nampaknya berlawanan itu masih bisa di kompromikan.
D. Pendapat
yang Terkuat
Ulama yang mempelopori konsep nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an adalah Al-Syafi’i,
Al-Nahhas, Al-Suyuthi dan Al-Syaukani. Persoalan naskh bagi kelompok pendukungnya merupakan
salah satu cara menyelesaian beberapa dalil yang dianggap bertentangan secara zhahir, maka diupayakan
pengkompromian kedua dalil tersebut. Apabila tidak bisa dikompromikan maka
salah satunya di naskh (dibatalkan). Ada beberapa definisi nasakh yang dikemukakan kelompok ini, antara
lain oleh Al-Ghazali:
أنه الخطاب الدال على ارتفاع الحكم الثابت با
الخطاب المتقدم على وجه لو لاه لكان ثابتابه مع تراخيه عنه.
Nasakh adalah titah yang menunjukkan terangkatnya
hukum yang ditetapkan dengan titah terdahulu dalam bentuk seandainya ia tidak
terangkat tentu masih berlaku disamping hukum yang datang kemudian.
Definisi lain dikemukakan oleh Al-Amidi:
عبارة عن خطاب الشرع المانع من استمرار ماثبت
من خطاب الشرعي سابق.
Ibarat dari titah pembuat hukum (syar’i) yang menolak kelanjutan berlakunya
hukum yang ditetapkan dengan titah terdahulu.
Dalam kedua definisi di atas terlihat
perbedaan fungsi naskh.
Definisi pertama mengartikan nasakh sebagai رفع )pencabutan(
perberlakuan hukum terdahulu, maka dalam definisi kedua naskh diartikan sebagai المانع (mencegah), yaitu
mencegah kelangsungan berlakunya hukum yang terdahulu. Kedua definisi itu
diterima oleh kalangan jumhur.
Al-Syatibi dari kalangan ulama Maliki juga
menetapkan naskh dengan arti mencabut yang dirumuskan
dalam definisinya:
رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر.
Dari beberapa definisi yang berbeda tersebut
dapat dapat dipahami bahwa nasakh itu adalah memiliki beberapa
terminologi yang tidak sama antara satu dan lainnya bahkan di kalangan para
pendukungnya. Namun jika di rangkum beberapa pandangan ulama tersebut dapat
disimpulkan bahwa nasakh tiada lain adalah dengan melihat bahwa
ada suatu hukum, setelah itu ada perubahan, penggantian, dan penambahan. Inilah
yang menyebabkan adanya kesimpulan tentang keberadaan nasakh.
Argumentasi rasional, pertama, bahwa naskh tidak merupakan hal yang terlarang
menurut akal pikiran dan setiap yang tidak terlarang berarti boleh. Kedua, seandainya naskh tidak dibolehkan akal dan tidak
terjadi dalam naskh, maka syari akan tidak boleh memerintahkan sesuatu
kepada hamba-Nya dengan perintah sementara dan melarangnya dengan larangan
sementara. Ketiga,
seandainya naskh itu tidak boleh menurut akal dan
terjadi menurut sam’iyat,
maka tidak akan ditetapkan risalah Muhammad sebab syari’at yang terdahulu dengan sendirinya akan
kekal. Padahal risalah Muhammad merupakan risalah pengganti dan penyempurna.
Oleh karena itu naskh boleh dan dapat terjadi. Keempat, bahwa terdapat dalil yang
menunjukkan naskh terjadi menurut nash.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Terdapat beberapa jenis nasakh pada ayat-ayat
al-Qur’an yang dapat digambarkan. Sebagian dari jenis nasakh tersebut diterima
dan sebagian lainnya ditolak. Salah satu jenis nasakh yang kebetulan juga
menjadi obyek pertanyaan adalah nasakh al-Qur’an oleh sunnah yang merupakan
bagian dari nasakh hukum dan bukan pada ayat. Terkait dengan jenis nasakh ini
juga telah dibahas oleh ulama; hal ini bermakna bahwa dalam al-Qur’an terdapat
sebuah ayat dan kandungannya yang merupakan satu hukum syariat telah dinasakh
oleh sunnah.
B. Saran
Dalam
penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan, masih
banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam bahasanya, materi dan
penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran dan masukan
yang dapat membangun penulisan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Amir Syarifuddin. 1997.Ushul
Fiqh Jilid I. Jakarta: PT. Logos
Wacana Ilmu.
M. Ridwan Qoyyum
sai’id, Terjemah Tashil
Ath-Thuruqot Ushul Fiqih, (Kediri: Mitra Gayatri
A. Basiq Djalil, 2010. Ilmu Ushul Fiqih satu dan dua .Jakarta: Prenada Media Group,.
Romli. 1999. Muqaranah Mazahib Fil Ushul.
Jakarta: Gaya Media Pratama,.
Nasrun Haroen, 1997. Ushul Fiqih I Cet. II Jakarta: PT. LOGOS Wacana
Ilmu,.
No comments:
Post a Comment