Daulah Abbasiyah Periode Kedua

A.    DAWLAH ‘ABBASIYAH PERIODE KEDUA (232 - 334 H/ 847 - 946 M)
Sesuai dengan periodesasi yang dikemukakan terdahulu, Periode kedua ini adalah masa berkuasanya para pemimpin militer Turki, sedangkan khalifah hanya jadi boneka penyandang gelar saja, bahkan kadang-kadang jadi mainan di tangan mereka, sehingga mereka tidak ragu-ragu untuk mencopot khalifah, menyiksa, dan membunuhnya. Periode kedua ini berlansung pada tahun 232 - 334 H/ 847 - 946 M, yakni sejak dari khalifah yang kesepuluh Abu al Fadhl al Mutawakkil sampai khalifah yang kedua-puluh satu Abu Is-haq al Muttaqiy.
Masuknya tentara Turki ini ke dalam pemerintahan daulah ‘Abbasiyah terjadi pada masa khalifah yang kedelapan, al Mu’tashim. Khalifah ini karena ingin membentuk militer yang kuat, telah merekrut berbagai bangsa untuk menjadi tentaranya., diantaranya dari orang-orang Turki, yang jumlahnya mencapai sebanyak 4.000 orang. Pada masa al Mu’tashim, mereka sangat patuh dan sepenuhnya dikendalikan oleh khalifah. Namun setelah al Mu’tashim meninggal, mereka mulai turut campur dalam masalah politik dan mulai berani membangkang kepada khalifah. Namun karena khalifah al Watsiq yang menggantikan al Mu’tashim adalah seorang yang kuat, maka dia masih dapat mengendalikan tentara Turki ini.
1.      Perkembangan Politik Pemerintahan
a.      Keadaan Para Khalifah
Setelah al Watsiq wafat, tentara Turki ini semakin meraja-lela dalam dawlah ‘Abbasiyah. Mereka bukan lagi menjadi tentara yang mengabdi kepada dawlah, tetapi telah menjadi pengendali dawlah dan merekalah yang menentukan siapa yang akan menjadi khalifah. Untuk menentukan pengganti al Watsiq, para petinggi Dawlah ‘Abbasiyah melakukan musyawarah terbatas, yang juga dihadiri oleh dua orang panglima tentara Turki, Isach dan Washief.
Setelah bermusyawarah, mereka akhirnya sepakat memilih Abu al Fadhl Ja’far Ibn al Mu’tashim sebagai pengganti al Watsiq (Zainal Abidin Ahmad, III : 225). Ja’far ini lansung dibai’at sebagai khalifah pada hari itu juga, hari meninggalnya khalifah al Watsiq, hari Rabu tanggal 23 Dzul Hijjah 232 H (9 Agustus 847 M) dengan al Mutawakkil.
Khalifah al Mutawakkil (orang yang bertawakkal) ini pernah berusaha untuk melawan kekuasaan orang-orang Turki itu dan berniat untuk memindahkan ibu kota ke Damaskus, ibu kota Bani Umayyah dahulu. Namun usahanya itu gagal, bahkan akhirnya khalifah al Mutawakkil, khalifah ‘Abbasiyah yang kesepuluh ini terpaksa tawakkal saja sewaktu tentara Turki itu membunuhnya di Istananya, dihadapan putera kandungnya sendiri Muhammad (Hamka, II : 117). Al Mutawakkil ini dibunuh pada malam Rabu 4 Syawal 247 H (8 Desember 861 M), dalam usia sekitar 40 tahun (Ibnu Katsir, X : 366).
Setelah membunuh al Mutawakkil tentara Turki itu kemudian lansung mengangkat Abu Ja’far Muhammad, anak kandung al Mutawakkil yang menyaksikan pembunuhan ayahnya itu, menjadi khalifah dengan gelar al Muntashir (orang yang mencari kejayaan). Namun yang diperohnya setelahmenjadi khalifah  hanyalah kehinaan dan kesengsaraan, bukan kejayaan dan kemenangan, sehingaa enam bulan kemudian dia jatuh sakit. Pada saat itu, datang orang Turki memasukkan racu ke dalam obat yang akan diminumnya, sehingga khalifa ‘Abbasiyah yang kesebelas ini akhirnya mati keracunan (Hamka, II : 118). Al Muntashir ini wafat pada hari minggu sore 26 Rabi’ul Akhir 248 H (27 Juni 862 M), dalam usia sekitar 25 tahun. Masa kekhalifahannya pun sangat singkat, hanya sekitar enam bulan 20 hari, yakni dari tanggal 4 Syawal 247 H sa,pai 26 Rabi’ul Akhir 248 H (6 Desember 861-27 Juni 862 M).
Setelah al Muntasir wafat karena mereka racuni, orang-orang Turki itu lalu mengangkat Abu al ‘Abbas Ahmad Ibn Muhammad Ibn al Watsiq menjadi khalifah dengan gelar al Musta’in (orang yang meninta pertolongan). Al Musta’in, khalifah ‘Abbasiyah yang ke duabelas ini ternyata tidak mendapat pertolongan, karena pada tahun 251 H (865 M), penduduk sama membai’at Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn al Mutawakkil (saudara dari Abu Ja’far Muhammad al Muntashir) menjadi khalifah dengan gelar Mu’taz, sedang penduduk Baghdad mempertahankan al Musta’in. Karena itu, selama tahun 251 H ini terjadilah peperangan yang berkepanjangan antara pendukung Mu’taz dengan pendukung al Musta’in, yang menimbulkan kesulitan dan penderitaan kepada penduduk Baghdad. Akhirnya pada hari Sabtu tanggal 20 Dzul Hijjah 251 H (11 Januari 886 M), Abu al ‘Abbas al Musta’ini mengundurkan diri dari jabatan kekhalifahan yang dipegangnya sejak akhir Rabi’ul Akir 248 H itu. Setelah itu dia meniggalkan Baghdad dan menetap di Wasith. Namun, kemudian al Mu’taz yang telah menjadi khalifah, menyuruh membunuh al Musta’in ini. Dia dibunuh pada hari Jum’at tanggal 3 Syawal252 H (17 Oktober 866 M), sewaktu sedang sujuddalam shalat (Ibnu Katsit, XI : 3-13).
Setelah al Musta’in mengundurkan diri, tentara Turki ini membai’at Abu ‘abdillah Muhammad al Mu’taz menjadi khalfah, mengikuti tindakan orang samara sebelumnya. Namun hanya gelarnya saja orang yang diagungkan, karena dalam kenyataannya, khalifah ‘Abbasiyah yang ketiga-belas ini tidak lebih dari sebuah boneka mainan bagi tentara Turki. Sewaktu al Mu’taz  ini jatuh sakit, tentara Turki itu memaksanya untuk menandatangi pernyataan pengunduran diri pada Selasa tanggal 27 Rajab 255 H (11 Juli 869 M), karena tidak mampu untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan. Setelah al Mu’taz menanda-tangani surat pengunduran dirinya itu, merekapun menyiksanya dengan berbagai macam siksaan yang sangat mengerikan, kemudian membunuhnya pada hari Sabtu tanggal 2 Sya’ban 255 H/ 15 Juli 869 M (Ibn Katsir, XI : 13-18).
Untuk menggantikan al Mu’taz yang telah mengundurkan diri, orang-orang Turki itu mengangkat Abu Ishaq Muhammad Ibn al Watsiq menjadi khalifah, dengan gelar al Muhtady (orang-orang yang mendapat petunjuk), yang dibai’at pada hari Rabu tanggal 28 Rajab 255 H (12 Juli 869 M). Sesuai dengan gelarnya, khalifah ‘Abbasiyah yang keempat-belas ini memang telah mendapatkan petunjuk, sehingga dia berani melawan kekuasaan orang-orang Turki, yang berakhir dengan tewasnya al Muhtadiy pada hari kamis tanggal 17 Rajab 256 H (21 Juni 870 M) dalam usia sekitar 40 tahun (Ibn Katsir, XI : 19-26).
Setelah al Muhtady berani melawan, orang-orang Turki membai’at Abu ‘Abbas Ahmad ibn al Mutawakkil, saudara Abu Ja’far al Muntasir dan Abu ‘Abdillah Muhammad al Mu’taz di atas, menjadi khalifah dengan gelar al Mu’tamid (yang dapat memberikan pegangan). Pembai’atan ini dilakukan pada malam hari Selasa tanggal 15 Rajab 256 H (19 Juni 870 M). Kemudian, setelah al Muhtadiy tewas, dilakukanlah pembai’atan umum terhadap al Mu’tamid ini pada hari senin tanggal 21 Rajab 256 H (870 M). Walau bergelar al Mu’tamid, namun khalifah yang kelima-belas ini tidak dapat berbuat apapun juga. Tetapi salah seorang saudaranya,  Abu thal-hah ibn al Mutawakkil, yang kemudian lebih dikenal dengan gelar al Muwaffaq, engan kecerdikannya berhasil mengurangi kekuasaan orang-orang Turki, sehingga Thal-hah inilah oang yang berkuasa dan mengendalikan pemerintahan. Karena itu, al Mu’tamid ini dapat duduk dengan tenang di kursi kekhalifahan, bahkan dia dapat menetapkan Waliy al ‘Ahd (putera mahkota), sebagaimana yang dilakukan oleh para khalifah pada periode pertama dahulu.
Pada hari Kamis tanggal 12 Syawal 261H (20 Juli 875 M), al Mu’tamid mengangkat puteranya Ja’far sebagai putera mahkota pertama dengan gelar al Mufawwadh yang akan menjadi penggantinya dan saudaranya Abu Ahmad Thal-hah dengangelar al Muwaffaq sebagai putera mahkota kedua yang akan menggantikan Ja’far kelak. Al Mufawwadh yang dibantu Musa al Turkiy, bertugas mengkordinir Wilayah Barat, yang mencakup Afrika, Mesir, Syam, Jazirah, Mawshil, Armenia, Khurasan dan lainnya. Al Muwaffaq yang dibantu Masrur al Balakhiy bertugas mengkordinir Wilayah Timur yang mencakup, Baghdad, Suwad, Kufah, Makkah, Madinah, Yaman, Kaskar, Kur Dajlah, Ahwaz, Persia, Ashbahan, Karakh, Daynur, Ray, Zanjan dan India. Namun Thal-hah al Muwaffaq yang juga dikenal dengan gelar al Amir al Nashir ini wafat pada malam Kamis 20 Shafar 278 H (1 Juni 891 M), dalam usia sekitar 47 tahun.
Setelah thal-hah wafat, al Mu’tamid mengangkat putra Thal-hah yang bernama Abu al ‘Abbas Ahmad sebagai Putera Mahkota kedua dengan gelar al Mu’tadhid, yang akan menggantikan al Mufawwad kelak. Namun pada akhir Muharram 279 H (awal Mei 892 M), al Mu’tamid mencopot al Mufawwad dari posisinya sebagai Putera Mahkota pertama dan menetapkan al Mu’tahid sebagai Putera Mahkota yang menggantikannya. Al Mu’tahid ini kemudian meneruskan usaha ayahnya sebagai pengendali pemerintahan, sedangkan al Mu’tamid dapat tenang di kursi  kekhalifahan, akhirnya setelah menjadi khalifah selama 23 tahun, al Mu’tamid ini meninggal dunia pada malam Senin 19 Rajab 279 H (16 September 892 M) dalam usia sekitar 50 tahun (ibn katsir, XI: 27-69)
Setelah al-mu’tamid wafat. Putera mahkota abu al-‘abbas ahmad al-mu’tadhid di bai’at menjadi khalifah ‘abbasiyah dengan gelar al-mu’tadhid (orang yang merawat). Sama seperti ayahnya al-muwaffaq. Ahmad ini adalah seorang yang berkemauan keras, teguh pendirian dan bijaksana. Karena itu, sesuai dengan gelarnya, khalifah abbasiyah yang ke enam-belas ini dapat memperbaiki keadaan negara yang telah kacau balau, sehingga secara berangsur-angsur, negeri menjadi makmur dan masyarakat makmur kembali. Al Mu’tahid ini pada hari Jum’at 19 Rabi’ul Akhir 287 H (24 April 900 M) membai’at puteranya Abu Muhammad Ali, yang ketika itu telah berusia 25 tahun, menjadi Putera Mahkota dengan gelar al Muktafy. Namun pada tahun 288 H (901 M) terjadi musibah pada berbagai wilayah. Wilayah Azerbijan dilanda oleh penyakit menular yang mematikan, sehingga mayat-mayat berserakan tanpa dikuburkan. Wilayah Adarbil dihantam angin badai dahsyat sejak sore sampai tengah malam, lalu datang pula gempa besar yang meruntuhkan bangunan-bangunan dan menyebabkan tanah longsor, sehingga menewaskan sekitar 150.000 orang. Akhirnya, setelah bekerja keras selama 10 tahun, al Mu’tahid ini wafat pada malam Senin tanggal 22 Rabi’ul Awal 289 H (6 Maret 902 M) dalm usia kurang dari 50 tahun (Ibn Katsir, XI : 70-101).
Setelah al Mu’tahid wafat, puteranya Abu Muhammad ‘Ali yang telah menjadi Wali al ‘Ahd dengan gelar al Muktafy dibai’at menjadi khalifah. Sesuai dengan gelarnya al Muktafy (orang yang merasa cukup), khalifah ‘Abbasiyah yang ketujuh-belas ini memang merasa cukup dengan apa yang terjadi pada masanya. Baru saja dia menjadi khalifah, terjadilah berbagai musibah dan kekacauan dalam negeri. Pada bulan Rajab 289 H (Juni-Juli 902 M), terjadi gempa dahsyat yang banyak memakan korban. Kemudian, pada akhir tahun 289 H (Desember 902 M) datang pula musim dingin dan angin badai yang mematikan, yang menewaskan ribuan orang di berbagai wilayah.
Pada masa al Mukhtafy ini, usaha perbaikan yang dilakukan oleh kakeknya al Muwaffaq dan ayahnya al Mu’tahid dahulu, menjadi kocar-kacir kembali. Para kepala wilayah dan kepala pasukan saling berebut pengaruh dan jatuh-menjatuhkan. Orang ketika itu tidak lagi memandang kepentigan umat, tetapi mengutamakan kepentingan masing-masing. Bahkan wilayah Khurasan, yang merupakan pendukung utama berdirinya dawlah ‘Abbasiyah ini, direbut oleh dinasti Sammaniyah (Hamka, II : 124). Al Muktafiy ini wafat  pada hari Sabtu sor 12 Dzul Qa’idah 295 H (12 Agustus 908 M) dalam usia sekitar 33 tahun, namun sebelumnya dia telah merujuk saudaranya Abu al Fadhl Ja’far yang masih berusia 13 tahun sebagai penggantinya (ibn Katsir, XI : 111).
Setelah al Muktafiy wafat, maka saudaranya Abu al Fadhl Ja’far yang masih berusia 13 tahun dibai’at sebagai khalifah dengan gelar al Muqtadir (orang yang menentukan). Walau masih sangat muda, namun khalifah’Abbasiyah yang kedelapan-belas ini dapat menentukan sikapnya dalam menjalankan tugas-tugas kekhalifahan. Pada bulan Rabi’ul ‘Awal 296 H (Desember 904 M), sekelompok pembersar dan kepala tentara mencoba menggulingkan al Muqtadir, bahkan mereka telah membai’at Abu al ‘Abbas ‘Abdullah ibn al Mu’taz dengan gelar al Murtada. Al Muqtadir bersikap tegas, pembangkangan itu dapat diatasinya, sehingga al Murtada hanya menjadi khalifah dalam satu hari saja, bahkan kemudian dia dibunuh oleh Mukhnis al Khadim kepala pelayanan istana. Tahun 299 H (911 M), al Muqtadir mencopot wazirnya ‘Ali ibn Muhammad ibn ‘Abdillah ibn Yahya ibn Khakhan. Pada tahun 317 H (929 M), kepala pelayan istana Muknis al Khadim mencoba pula melakukan kudeta terhadap Muqtadir dan membai’at saudara Muqtadir, abu Manshur Muhammad menjadi khalifah dengan gelar al Qahir. Namun usaha ini gagal, sehingga al Qahir. Namun usaha ini gagal, sehingga al Qahir hanya sehari saja menjadi khalifah, yakni pada hari Minggu tanggal 16 Muharram 317 H (28 Februari 929 M), dan al Muqtadir memanfaatkan saudaranya itu.
Walaupun demikian, perselisihan antara al Muqtadir dengan al Khadim tetap berlanjut, bahkan menjadi lebih sengit, lebih-lebih lagi setelah khalifah al Muqtadir tidak menghiraukan pendapat al Khadim tentang penggantian pejabat. Karena itu, pada awal Muharram 320 H (Januari 932 M), Mukhnis al Khadim keluar dari baghdad, lalu menghimpun kekuatan di Mashwil. Pada bulan Syawal 320 H (November 932 M), al Khadim kembali ke Baghdad dengan pasukan yang besar. Al Muqtadir berusaha kabur ke Wasith, namun di tengah jalan dia bertemu dengan pasukan al Khadim, yang kemudian membunuhnya. Peristiwa ini terjadi pada malam Kamis 26 Syawal 320 H (31 Oktober 932 M). Al Muqtadir tewas dalam usia 38 tahun, setelah hampir 25 tahun menjadi khalifah yang berkuasa (Ibn Katsir XI : 112-182).
Setelah al Muqtadir terbunuh, maka al Khadim dan para pembesar istana membai’at Abu Manshur Muhammad, saudara al Muqtadir, menjadi khalifah dengan gelar Qahir (yang gagah perkasa). Ini untuk kedua kalinya dia diangkat menjadi khalifah, setelah pernah menjadi khalifah selama sehari pada hari minggu 16 Muharram 317 H dahulu. Sesua dengar gelarnya, khalifah abbasiyah yang kesembilan-belas memang gagah perkas, namun sengat kejam dalam menghukum musuh-musuhnya. Ibu al-Muqtadir, yang juga menjadi ibu tirinya, dihukum bunuh setelah disiksa terlebih dahulu. Bayak orang istana yang dihukum mati. Bahkan muknis al Khadim sendiri tidak terlepas dari hukuman mati. Karena itu, ‘Ali ibn Muqlah, wazir yang dicopot al Qahir, mengasut tentara untuk menjungkalkan al Qahir. Akhirnya, pada hari sabtu pada tanggal 1 jumad al Awwal 322 H (18 april 934M), para tentara itu menyerbu tempat kediaman dia dikeluarkan dari penjara, sehingga hidup terlunta-lunta di jalanan. Sampai akhirnya dia wafat pada tahun 339 H (950 M) dalam usia sekitar 52 tahun (Ibn Katsir, XI : 192 – 190).
Setelah memakzulkan al Qahir, maka para pembesar istana membaia’at Abu al ‘Abbas Ahmad ibn al Muqtadir menjadi khalifah dengan gelar al Radhiy (orang yang rela). Sesuai dengan gelarnya, khalifah ‘Abbasiyah yang kedua-puluh ini memang terpaksa menerima keadaan dengan kerelaan. Dawlah ‘Abbasiyah ketika itu bertambah mundur dan hilang pengaruhnya, sedangkan musibah pun datang silih berganti (Hamka, II : 127). Akhirnya, al Radhiy inipun wafat pada hari minggu tanggal 14 Rabi’ul Awal 329 H (19 Desember 940 M) dalam usia sekitar 31 tahun (Ibn Katsir, XI : 189-210).
Setelah al Radhiy wafat, para pembesar istana sepakat membai’at Abu Ishaq Ibrahim ibn al Muqtadir, saudara al radhiy, menjadi khalifah dengan gelar al Muttaqiy (orang yang bertaqwa0. Khalifah dawlah ‘Abbasiyah yang keduapuluh-satu ini memang berusaha untuk menjadi orang yang bertaqwa, sesuai dengan gelar yang disandangnya. Dia sangat rajin beribadah, banyak puasa sunnat dan tekun shalat nafilah. Bahkan pada pidato pembai’atannya tanggal 20 Rabi’ul Awal 329 H, dia mengatakan tidak memerlukan kemegahan dunia dan teman pendamping, cukuplah Al-Qur’an menjadi teman pendampingnya.
Namun suasana pada saat itu benar-benar sangat menyedihkan. Musibah datang silih berganti, harga-harga melambung tinggi. Pada bulan Rabi’ul Awal 330 H (Desember 941 M), terjadilah musibah kelaparan yang sangat parah di Baghdad, shingga orang miskin terpaksa makan bangkai dan banyak mayat yang tidak terkuburkan. Ketika itu, Abu al Husayn, saudara al Buraydy penguasa Ahwaz, datang pula menyerbu Baghdad dengan pasukannya. Tentara khalifah mereka kalahkan, sehingga khalifah al Muttaqiy melarikan diri dari Baghdad pada pertengahan bulan Rajab 330 H (April 942 M), meminta perlindungan kepada Nashir al Dawlah ibn Hamdan penguasa Mawshil.
Pada bulan syawal 330 H (Juni-Juli 942 M), al Muttaqiy dan Nashir al Dawlah kembali ke Baghdad dengan tentara yang besar, sehingga Abu al Husayn melarikan diri. Tetapi pada awal tahun 332 H (September 943 M), al Muttaqiy kembali lari dari baghdad ke Mawshil, karena berselisih dengan Toron, orang Turki yang menjadi kepala jawatan Kepolisian Baghdad. Pada bulan shafar 333 H (Agustus-September 944 M), al Muttaqiy kembali ke Baghdad setelah mendapatkan jaminan keselamatan dari Toron. Namun setelah sampainya di Baghdad, Toron malah menangkap al Muttaqiy, lalu mencongkel kedua matanya dan memasukkannya ke dalam penjara, sampai akhirnya dia wafat pada tahun 356 H/ 966 M (Ibn Katsir, XI : 211-223).
Setelah mencopot al Muttaqiy, maka pada hari Senin tanggal 20 Shafar 333 H (22 September 944 M), Toron membai’at Abu al Qasim ‘Abdullah ibn Muktafiy menjadi khalifah dengan gelar al Mustakfiy (yang meminta agar dicukupkan), tetapi baru sekitar setahun tiga bulan al Mustakfy menjadi khalifah, pada Jumadil ‘Awal 334 H (Desember 945 M), penguasa Bani Buwayhi Abu al Husayn Ahmad ibn Buwayh sudah bergerak menuju Baghdad dengan pasukannya. Ketika mereka telah mendekati bahgdad, al Mustakfiy mengirim utusan untuk menyambut kedatangannya sambil memberikan berbagai macam hadiah. Setelah memasuki Baghdad, Abu al Husayn Ahmad ibn Buwayh datang menghadap khalifah. Khalifah memberikan gelar Mu’izal Dawlah kepadanya, sedangkan saudaranya Abu al hasan digelari ‘Imad al Dawlah dan Abu ‘Ali digelari Rukn al Dawlah (Ibn Katsir, XI : 225)
Dengan masuknya Bani Buwayh ini berakhirlah kekuasaan Turki terhadap kekhalifahan ‘Abbasiyah yang telah berlansung sejak tahun 232 H dahulu, yakni semenjak masa khalifah kesepuluh al Mutawakkil sampai khalifah yang keduapuluh-satu al Muttaqiy. Dari 12 orang khalifah tersebut, sebanyak enam orang khalifah mati mereka bunuh, yakni al Mutawakkil, al Muntashir, al Musta’in, al Mu’taz, al Muhtady, dan al Muqtadir, dua orang khalifah mereka copot dan mereka congkel kedua matanya, yakni al Qahir dan al Muttaqiy, dan hanya empat orang yang tewas secara wajar, yakni khalifah al Mu’tamid, al Mu’tadhid, al Mukhtafiy, dan al Radhiy. Dengan berakhirnya kekuasaan tentara Turki ini, maka berakhir pula lah periode kedua dari pemerintahan Dawlah ‘Abbasiyah, untuk selanjutnya memasuki periode ketiga.

b.      Gerakan Pemberontakan dan Teror Pengacauan
1.      Pemberontakan Kaum ‘Alawiyin
       Kaum alawiyin telah melakukan beberapa kali pemberontakan terhadap dawlah ‘Abbasiyah pada periode pertama dahulu dan semua pemberontakan itu berakhir dengan kegagalan.
Namun hal itu tidak membuat mereka jera. Mereka kembali melakukan beberapa pemberontakan pada Periode Kedua ini.
Dalam masa al Musta’in terjadilah beberapa pemberontakan yang dilakukan oleh keturunan ‘Ali bin Abi Thalib. Pada awal tahun 250 H (Februari 864 M). Yahya ibn Umar keturunan Husayn memberontak di Kuffah, namun akhirnya dapat dipadamkan pada bulan Rjab 250 H (Agustus 864 M) oleh tentara ‘Abbasiyah. Kemudian pada bulan Ramadhan 250 H (Oktober 864 M), al hasan ibn Zayd keturunan al Hasan memberontak pula, bahkansampai mendirikan dinasti ‘Alawiyah di Tabristan. Pada bulan Dzul Hijjah 250 H (Dfesember 864-Januari 865 M), Ahmad ibn ‘Isa keturunan al Husayn memberontak pula di Ray. Pada tahun 251 H(865 M) juga terjadi beberapa pemberontakan yang dilakukan oleh keturunan al Husayn ibn ‘Ali. Al husayn ibn Ahmad yang dikenal dengan gela al Kawkabiy, memberontak di Qazwayn, al; husayn ibn Muhammad memberontak di Kufah, sedangkan Ismail ibn Yusuf memberontak dan membuat keonaran di Makkah.
Pada tahun 271 H (894 M), dua orang keturunan al Husayn ibn ‘Ali, yakni Muhammad dan ‘Ali ibn Husayn, mengacau di Madinah. Mereka membunuh dan merampas harta milik penduduk, sehingga selama empat kali Jum’at, Masjid Nabawi kosong dari pelaksanaan Shalat berjama’ah.
Demkianlah beberapa pemberotaka yang dilakukan oleh kaum ‘Alawiyin tehadap Dawlah ‘Abbasiyah pada periode kedua ini.
2.      Teror Kaum Zanji
Pada pertengahan Syawal 255 H (September 869 M), muncul seseorang yang bernama ‘Ali ibn Muhammad di Bashrah dan mengaku sebagai keturunan ‘Ali ibn Abi Thalib. Dia segera mendapat pengikut yang banyak, terutama dari kalangan kaum Zanji. Kaum Zanji adalah budak-buak yang berasal Zanzibar dan Somalia Afrika yang dipekerjakan untuk menggarap tanah-tanah yang luas yang terdapat di antar Bashrah dan Wasith. Mereka ini mempunyai fisik yang kuat, namun buta huruf dan tidak mempunyai ilmu pengetahuan sedikitpun juga. Kehidupan mereka sangat menyedihkan, dipekerjakan tanpa upah, hanya diberi sekedar makan saja.
Ketika ‘Ali ibn Muhammad muncul di Bashrah, mereka segera menggabungkan diri kepadanya, sehingga gerakan ‘Ali menjadi kuat. Gubernur Bashrah yang mengetahui munculnya kelompok ini segera mengirim pasukan, namun dapat dikalahkannya. Mereka kemudian merampoki penduduk Bashrah; membunuh banyak penduduk dan menawan sebagian besar lainnya, namun kemudian seluruh tawanan itu dibunuhnya. Karena itu, pada awal 257 H (Desember 870 M) khalifah al Mu’tamid mengirim pasukan di bawah pimpinan Sa’id al Hajib untuk melawan mereka, namun mereka berhasil menghancurkan pasukan tersebut, bahkan Sa’id sendiri tewas. Setelah itu,  al Mu’tamid mengirim pasukan besar yang dipimpin oleh Manshur al Khayyath, namun pasukan ini dihancurkan juga oleh kaum Zanji.
       Pada hari Jum’at pagi 16 Syawal 257 H (6 September 871 M), kaum Zanji ini kembali memasuki Bashrah. Mereka segera membakar Masjid Jami’ dan membumi-hanguskan Kota Bashrah, lalu membantai penduduknya. Tidak sedikit penduduk Bashrah yang mereka bantai, termasuk fuqaha; dan muhadditsin, sedangkan sisanya yang masih hidup melarikan diri. Karena itu, pada awal Dzul Qaidah 257 H, khalifah al Mu’tamid mengirim pasukan di bawah pimpinan Muhammad al Mawlid untuk menggempar mereka, namun pasukan ini dihadang di tengah jalan oleh Sa’id ibn Ahmad al Bahily yang juga memberontak di Batha-ikh.
       Pada awal Rabi’ul Akhir 258 H (pertengahan Februari 872 M), al Mu’tamid mengirim pasukan besar yang dipimpin Muflih al turkiy untuk menggempur kaum Zanji. Terjadi pertempuran hebat, Muflih tewas pada pertengahan Jumadil Awal (Akhir Maret 872 M). Khalifah al Mu’tamid kemudian menugaskan saudaranya Abu Ahmah Thal-hah yang menjadi Gubernur Mesir untuk memerangi kaum Zanji, sehingga terjadilah peperangan dahsyat pada akhir bulan Rajab (Akhir Mei 872). Banyak anggota kedua pasukan yang tewas, namun Abu Ahmad berhasil menangkap belasan orang tokoh kaum Zanji, diantara Yahya ibn Muhammad al Bahraniy, yang kemudian di hukum mati di Samara.
Pada pertengahan dzul Qaidah tahun 259 H (September 873 M), al Mu’tamid menugaskan Musa ibn Mugha al Turkiy untuk memerangi kaum Zanji, dibantu oleh Abd rahman ibn Muflih, Gubernur Ahwaz. Kembali terjadi pertempuran hebat, ‘Abd al rahman dapat mengalahkan mereka, banyak kaum Zanji yang terbunuh dan banyak pula yang tertawan, namun pimpinannya ‘Ali ibn Aban al Muhallabiy dapat melarikan diri. Kaum Zanji ini bangkit kembali, lalu membunuh Gubernur Kufah ‘Ali ibn Zayd pada tahun 260 H (873 M).
       Pada tahun261 H (874 M), Gubernur Ahwaz ‘Abd al Rahman ini tewas dalam pertempuran melawan ibn Washil, ysang memberontak di Persia. Kaum zanji segera masuk ke Ahwaz, membunuhi penduduknya dan membumi hanguskan kotanya. Khalifah al Mu’tamid menugaskan Masrur al Balakhiy memimpin pasukan yang besar untuk menggempur kaum Zanji, sehingga terjadilah pertempuran hebat di berbagai wilayah pada tahun 262 dan 263 H (875-876 M). Pada tahun 264 H (877M), Muhammad al Mawlid dapat mengalahkan Sulaiman ibn Jami’, pimpinan kaum Zanji yang menguasai wasith, sehingga ibn Jami’ melarikan diri. Namun pada tahun berikutnya, yakni tahun 265 H (878 M), kaum Zanji masuk ke Nu’maniyah, dan setelah meporak-porandakan kota, mereka terus bergerak ke Georgia. Tetapi mereka dihadang oleh Takin al Bukhariy di Tustur. Terjadi pertempuran sengit, kaum Zanji dapat dikalahkan, namun pimpinannya ‘Ali al Muhallabiy dapat melarikan diri.
Pada tahun 266 H (879 M), Gubernur Georgia Aghertoms mencoba menyerbu kaum Zanji di Tustur. Setelah membunuh semua orang Zanji yang ditawan dalam penjara Tustur, dia bertempur melawan al Muhallabiy, al Muhallaby menang, dia dapat menghancurkan pasukan Aghertoms. Kemudian kaum Zanji ini menyerbu pula ke Ramaharmuz dan dapat mendudukinya setelah memenangkan pertempuran sengit.
Pada tahun 267 (880 M), Abu Ahmad Thal-hah yang telah menjadi Putera Mahkota dengan gelar al Muwaffaq, menugaskan puternya Abu al ‘Abbas Ahmad memimpin pasukan besar bersenjata lengkap utuk menggempur kaum Zanji. Terjadilah berbagai pertempuran sengit, yang berakhir dengan direbutnya Wasith dan daerah-daerah sekitar sungai Dajlah dari kaum Zanji. Kemudian al Muwaffaq datang pula ke Wasith dengan pasukan yang besar. Dari Wasith, mereka bergerak menuju ke Muni’ah, kota yang didirikan kaum Zanji. Kembali terjadi pertempuran hebat, kaum Zanji dapat dikalahkan. Al Muwaffaq kemudian membebaskan sekitar 5.000 orang wanita muslimat yang selama ini ditawan kaum Zanji, lalu memulangkan mereka ke Wasith.
Dari muni’ah, al Muwaffaq bergerak ke Manshurah, kota yang didiami oleh Sulaiman ibn Jami’ pimpinan kaum Zanji. Pertahanan kota ini sangat kuat, di luarnya terdapat lima buah parit besar dan lima pagar kokoh yang mengelilingi kota. Setelah melalui beberapa pertermpuran hebat yang banyak memakan korban di kedua belah pihak, al Muwaffaq dapat merebut kota ini. Tidak sedikit kaum Zanji yang terbunuh, sisanya melarikan diri. Al Muwaffaq membebaskan sekitar 10.000 orang wanita muslimat yang selama ini ditawan kaum Zanji. Kemudian dia memerintahkan untuk mengejar sisa-sisa kaum Zanji yang melarikan diri itu.
       Dari Manshurah, al Muwaffaq terus ke Ahwaz. Setelah melalui pertempuran sengit, kota inipun dapat direbut oleh al Muwaffaq. Tidak sedikit pula kaum Zanji dan pemimpin mereka yang terbunuh, diantaranya adalah Abu ‘Isa Muhammad ibn Ibrahim al Bashriy. Dari Ahwaz, al Muwaffaq dengan 50.000 pasukannya bergerak ke Mukhtarah, kota yang menjadi pusat pertahanan kaum Zanji. Kota ini selain dilindungi oleh pagar-pagar yang kuat, juga dilengkapi denganberbagai persenjataan dan dijaga oleh 300.000 orang pasukan. Karena al Muwaffaq tidak lansung melakukan penyerangan, tetapi hanya mengepung saja, namun sekali terjadi juga pertarungan seporadis anatara kedua pasukan ini.
Al Muawaffaq kemudian mendirikan kota pula di seberang kota kaum Zanji, dan dinamakannya al Muwaffaqiyah. Kota ini segera menjadi ramai dengan  kegiatan perdagangan, pertukangan dan lainnya. Al Muwaffaq sengaja melakukan semua itu untuk memancing kaum Zanji membelot ke pihaknya, sehingga akan memudahkannya dalam memerangi kaum Zanji. Usahanya ini berhasil, karena tidak beberapa lama, sudah hampir 50.000 orang yang membelot ke pihaknya. Sampai berakhirnya tahun 267 H ini, al Muwaffaq tetapmengepung kota kaum zanji Mukhtarah, dan sesekali terjadi pertempuran di antara mereka.
       Pada bulan Muharram  268 H (Agustus 881 M), salah seorang tokoh kaum zanji, ja’far ibn ibrahim al sujjan membelok pula ke pihak al Muwaffaq, yang kemudian diikuti oleh ratusan kaum zanji lainnya, pada bulan Rabi’ al akhir 268 H (November 881 M), al Muwaffaq memerintakan pasukannya untuk mulai pagar-pagar kota Mukhtarah, namu tidak boleh masuk kedalam kota. Tetapi sebagaiannya malah masuk sampai ketengah-tengsh kota, sehingga mereka itu menjadi sasaran empuk kaum zanji, pengepungan ini tetap berlanut sampai berakhirnya tahun 268 H, dan selama ini pula  berbagai bantuan mulai mengalir ke al Muwaffaquyah, sejak dari bantuan logistik sampau bantuan pasukan.
       Awal tahun 269 H (pertengan juli 882 M), al Muwaffaq mulai memasuki kota mukhtarah. Setelah melalui berbagai pertempuran sengit, kota itu dapat direbut al Muwaffaq menjelang akhir tahun. Al Muwaffaq segera membabaskan anak-anak dan wanita muslim yang ditawarkan kaum zanji, yang jumlahnya ribuan orang banyaknya. Pipinan kaum zanji melarikan diri, meninggalkan harta benda, isteri dan anak-anak mereka, yang kesemuanya itu ditawan oleh al Muwaffaq.
       Setelah itu, al Muwaffaq segara melakukan pengejaran, Akhirnya, setelah melalui berbagai pertempuran sengit di berbagai kota, pimpinan tertinggi kaum zanji, ‘Ali ibn muhammad yang mengaku sebagai keturunan ‘Ali ibn abi thalib itu terbunuh paada hari sabtu tanggal 2 Shafar 270 H (9 Agustus 883 M). Kepalanya di  penggal oleh lukluk, bawhan penguasa mesir ibn Thulun yang datang menggabungkan diri ke al Muwaffaq. Tokoh –tokoh kaum zanji lainnya, seperti Sulyman  ibn Zanji, serta ribuan kaun Zanji ditawan.
       Dengan demikian, derakhir;ah teror kaum Zanji, yang telah bayak memakan korban itu. Teror itu berlangsung selama 15 tahun, sejak dari akhir Ramadhan 255 H sampai berkhir pada awal  Shafar 270 H.
3.      Teror Kaum al-Qaramithah
Setelah teror kaum Zanji dapan dolenyapkan, maka muncul pula kaum terornya yang baru, yang bahayanya bahkan jauh lebih dahsyat dan terornya lebih lama dari kamu Zanji terdahulu. Mereka ini adalah kaum al Qaramithah, yang mulai melakukan aksi terornya bulan jumad al Akhir 286 II (juni 899 M)dibawah pimpinan Abu Sa’id al Hasan ibn Bahram al Janabiy.
       Cikal bakal kaum ini sbenarnya sudah ada sejak tahu 278 H (891 M). Ketika itu, munculnya orang-orang zindik mulhid pengikut filsafat persia yang mengakui kenabian Zoroaster dan Mazdak. Mereka ini bergerak secara rahasia dan mewajibkan pengikutnya untuk shalat 50 kali sehari. Setelah itu, mereka memilikin 12 orang Naqib yang akan menjadi tulang punggung bagi dakwah mereka. Pada tahun 281 H (894 M), muncul pula yahya ibn al Mandiy. Yang berasil mengajak kaum  Syi’ah di Qathif dekat Bashrah untuk berbai’at kepada al mahdiy. Termaksuk diantarnya  Abu SA’id al Janabiy. Kemudian, al Janabiy ini tampil sebagai pemimpin kaum tersebu. Mereka menyatakn diri sebagai kaum al Qaamithah dan segera mendapatkan pengiktunya yang bayak dari kalang badui.
       Pada bulan Rabi’al  Awwal 287 H (Maret 900 M), al janabiy dan pengikutnya mulai menebar teror yang mematikan. Mereka pada mulanya mencoba untuk masuk ke Bashar, namun terhalang oleh benteng-benteng yang memagari kota. Karena itu, mereka memperorak- porandakan wilayah Hijr, membunuhi penduduknya dan merabas harta benda mereka. Khalifah al Mu’tadhid menugaskan gubernur  Bahrayn al ‘Abbas ibn ‘Amr al ‘anawiy untuk menggempur al Janabiy. Dengan membawa 10.000 orang pasukan, al ‘Anawiy mencoba menggempur al Jinabiy, namun dia dikalahkan, bayak pasukan yang terbunuh, sedangkan sisanya ditawan seluruhnya, termasuk al’ Anawiy sendiri. Para tawanan itu lalu di bantai satu-perstu di hadapan  khalifah. Kaum Qaramithah ini kembali mendekati kota Bashrah pada tahun 288 H (901 M), namun mereka tetap gagal memasuki.
       Pada tahun 289 H (902 M), sekelompok kaum qaramithah di bawah pimpinan Abu al Fawaris dapat di tangkap di luar kota kufah. Tetapi kelompok utama mereka yang di pimpin oleh Yahya ibn Zakarawayh dapat memasuki damaskus lalu memporak-porandakan kota, membunuhi penduduk dan merampas harta benda mereka. Pada tahun 290 H (903 M) mereka terus ke riqqah, lalu kembali ke damaskus. Namum Yahya terbunuh di luar kota damaskus, sehingga pimpinanya di pegang oleh saudaranyaal husayn. Mereka mengepung dimasyq, dan setelah mendapatkan rampasan, mereka pergi ke hammah. Kembali mereka menebar teror, membunuh, merampas dan memperkosa wanita. Kemudian mereka terus ke salamiyah, menyapu habis seluruh bani hasyim yang ada di kota itu dan memperkosa wanitanya.
Pada tahun 291 H,  terjadi pertempuran hebatantara pasukan khalifah al Muktafiy dengan sekelompok kaum qaramithah. Mereka dapat dikalahkan, banyak yang tewas, sedangkan pemimpin mereka, al husayn ibn zakarawayh dan puluhan pengikutnya di tawan, lalu di bawa ke baghdad dan di hukum mati pada bulan rabi’ al Awwal 291 H (februari 904 M). Pada tahun 293 H (905 M), kaum Qamarithah ini menjarah kota Thabariyah, lalu melarikan diri ke tempat persembunyian mereka. Sekelompok dari mereka juga masuk Hayt, membunuh dan memperkosa, lalu pulang dengan membawa jarahannya. Pasukan khalifah al Mukhtafy mengejar dan akhirnya dapat membinasakan mereka. Pada bulan Muharram 294 H (Oktober-November 906 M), kaum Qaramithah di bawah pimpinan tokoh mereka Zakarawayh ibn Mahrawayh menjarah jama’ah haji Khurasan yang pulang dari Makkah. Seluruh jama’ah laki-laki yang berjumlah sekitar 20.000 orang mereka bantai, sedangkan wanita dan anak-anak mereka tawan, dan mereka juga merampas jarahan senilai dua juta Dinar. Khalifah al Mukhtafi kembali mengirim pasukan besar untuk mengejar mereka. Terjadi pertarungan sengit pada bulan Rabi’ul awal 294 H, kaum Qaramithah dikalahkan, bahkan Zakarawayh tewas dan tokoh-tokoh lainnya ditawan, lalu dihukum mati di Baghdad.
       Pada tahun 301 H (913 M), orang-orang Qaramithah itu membunuh pemimpin mereka sendiri, Abu Sa’id al Hasan al Janaby dana mengangkat anaknya Abu Thahir Sulaiman ibn al Hasan sebagai pemimpin. Tahun 302 H (914 M), mereka kembali menjarah jama’ah haji yang pulang dari Makkah; membunuh seluruh jama’ah laki-laki, melawan 200 orang wanita dan merampas harta benda yang sangat banyak. Pada tahun 307 H (919 M) mereka berhasil menerobos Bashrah, lalu memporak-porandakan kota tiu. Mereka kembali ke sini pada tahun 311 H (923 M), menjarah selama 17 hari; membunuh, memperkosa dan merampas harta benda, lalu kabur dengan membawa anak-anak dan wanita tawanan. Pada bulan Muharram 312 H (April 924 M), Abu Thahir kembali menjarah jama’ah haji yang pulang dari Makkah. Sangat banyak yang terbunuh, hanya Allah Yang Tahu jumlahnya, sedangkan wanita dan anak-anak mereka tawan. Gubernur Kufah Abu al Hayjak ‘Abdullah ibn Hamdan yang berusaha menolong, juga mreka tawan. Pada tahun 313 H (925 M) mereka memasuki Kufah, lalu menjarah kota itu selama sebulan. Karena khawatir terhadap ancaman mereka itu, maka pada musim haji tahun 314 H (Januari-Februari 927 M), tidak seorangpun juga dari Irak yang pergi menunaikan Ibadah Haji ke Baytullah.
       Pada tahun 315 H (927 M), khalifah al Muqtadir mengirim pasukan besar yang berkekuatan 20.000 orang dibawah pimpinan Yusuf ibn Abi al Saj, namun mereka dihancurkan oleh tentara Qaramithah yang hanya berjumlah 1.500 orang, bahkan Yusuf tertawan lalau mereka bunuh. Lalu al Muqtadir kembali dengan mengirim pasukan besar berkekuatan 40.000 orang dibawah pimpinan Balbak al Turkiy, namun dihancurkan pula oleh kaum Qaramithah. Mereka semakin merajalela pada tahun 316 H(926 M), berbagai kota mereka masuki dan jarah habis-habisan. Karena itu, al Muqtadir mengirim pasukan besar di bawah komandoMuknis al Khadim untuk menggempur mereka. Terjadi pertempuran sengit, al Khadim dapat menghancurkan sekelompok kaum Qaramithah dan tokoh-tokoh utamanya terbunuh.
       Pada tahun 317 H, kelompok utama kaum Qaramithah di bawah pimpinan Abu Thahir membuat kedurjanaan yang tiada bandingnya. Mereka memasuki kota Makkah pada musim haji 317 H, lalu membantai ribuan jama’ah haji yang sedang berada di Masjid Al-Haram pada yawn al Tarwiyah (hari Selasa 8 Dzul hijjah 317 H/ 11 Januari 930 M), kemudian mereka merobek Kiswah Ka’bah, lalu mengambil Hijr al Aswad dan mereka bawa ke Negerinya.
Inilah tragedi yang paling mengerikan dalam sejarah Islam, yang belum pernah terjadi sebelumnya dan mudah-mudahan tidak akan berulang sesudahnya. Pada Yawm al Tarwiyah, hari Selasa tanggal 8 Dzul hijjah 317 H (11 januari 930 M), kaum Qamarithah membantai ribuan jama’ah haji yang di dalam Masjid sl Haram. Sumur Zamzam dikotori, Ka’bah dirusak, bahkan Hijr al Aswad dicopot dari tempatnya dan mereka bawa pergi. Karena itu, Amir Makkah mencoba bernegosiasi dengan mereka an bersedia menebus Hijr denganharga berapa saja. Namun kaum Qaramithah tidak mau, sehingga terjadilah pertempuran antara Amir Makkah dan kaum Qaramithah, yang berakhir dengan tewasnya Amir Makkah beserta seluruh pasukannya. Setelah merampas Hijr al aswad ini, kaum Qaramithah kembali ke markas mereka di Hijr Bahrayn dan menetap di sana.
       Tidak lama kemudian, timbul perpecahan antara mereka, sehingga mereka saling bunuh. Hal ini melemahkan kekuatan mereka, sehingga mereka tidak lagi melakukan penjarahan seperti sebelumnya. Apalagi pimpinan mereka Abu Thahir Sulaiman ibn al Hasan al Jinaby maninggal dunia pula pada bulan Ramadhan 332 H (Mei 943). Kedudukannya digantikan oleh tiga orang saudaranya, yakni Abu al ‘Abbas al fadhl, Abu al Qasim,Sa’id, dan Abu Ya’qub Yusuf. Mereka bertiga ini sangat kompak dan dibantu oleh tujug orang wazir yang setia.
Demikianlah teror kaum Qamarithah pada periode kedua dari Dawlah ‘Abbasiyah ini. Sampai berakhirnya periode kedua ini, mereka tetap berada di tempat markas mereka dan hijr al Aswad yang mereka rampas pada tahun 317 H masih berada di tangan mereka.
­­­­­­
4.      ­­­­­­­­­­­­­­­Peperangan Dengan Kerajaan Romawi
Benturan dengan kerajaan Romawi yang telah terjadi sejak periode pertama dulu, tetap berlanjut pada periode kedua ini. Pada tahun 241 H (855 M), di masa khalifah al Mutawakkil, kembali dilakukan tukar-menukar tawanan di Tharsus. Tawanan muslim yang dibebaskan Rum berjumlah 910 orang; terdiri dari 785 laki-laki dan 125 orang wanita. Pada mulanya jumlah tawanan muslim yang berada di tangan orang Rum sekitar 20.000 orang, namun 12.000 orang telah mereka bantai karena menolak masuk agama Nashrani, sekitar 7000 orang murtad menjadi Nashrani sehingga bertahan hanya sekitar 900 orang lebih, dan mereka inilah yang dibebaskan dengan penukaran tawanan. Pada tahun 242 H (856 M), tentara Rum menyerang ke Jazirah; membunuh merampas dan menawan belasan ribu tawanan, namun pada bulan Shafar 246 H (Mei 860 M) kembali dilakukan kembal penukaran tawanan, sehingga kerajaaan Rum membebaskan 4.000 orang muslim yang mereka tawan.
Pada awal tahun 248 H (Maret 862 M), al Muntashir mengirim pasukan besar di bawah pimpinan Washif al turkiy untuk menggempur kerajaan Rum, dan meminta mereka untuk tetap berada di sana selama empat tahun. Pada hari Jum’at tanggal 17 Rajab 248 H (17 September 862 M), terjadi pertempuran sengit antara kaum muslimin dengan orang-oang Rum di Multhiyah. Lebih dari 2.000 orang kaum muslimin yang tewas, termasuk dua orang Amir mereka: ‘Umar ibn ‘Abdillah ibn al Aqtha’ dan ‘Ali ibn  Yahya al Arminiy.
Pada tahun 259 H (872 M), di masa al Mu’tamid, Kaisar Rum mencoba memasuki Multhiyah lagi, namun diperangi oleh penduduknya, sehingga dia kembali ke negerinya. Tetapi pada tahun  berikutnya, yakni pada taun 260 H (873 M), tentara Rum dapat merembut benteng Luklu-ah dari tangan kaum muslimin. Pada tahun 266 H (879 M), satu regu pasukan rum melakukan penyerangan mendadak ke Diyar rabi’ah, membunuh sejumlah penduduk, merampas dan menawan 250 orang, namun mereka segera melarikan diri, ketika pasukan mawshil datang ke sana. Pada tahun ini pula angkatan laut muslimin bertempur dengan angkatan laut Rum di Shaqaliyah, yang berakhir dengan kekalahan angkatan laut tentara Islam. Masih pada tahun yang sama, Lukluk bawahan ibnu thulun gubernur mesir, menyerang ke wilayah Rum dan dapat membunuh sejumlah besar tentara Rum.
5.      Pada tahun 269 H (882 M), Kaisar Rum kembali mengepung Multhiyah, namun kaun Mar’asy datang membantu, sehingga kaisar Rum itu melarikan diri. Kemudian, Lukluk bawahan Ibn Thulun melakukan serangan ke Rum, dapat menewaskan sekitar 17.000 orang tentara musuh. Pada tahun 270 (883 M), tentara Rum yang berkekuatan sekitar 10.000 orang datang menyerbu Tharsus. Namun ditengah kegelapan malam, kaum muslimin melakukan serangan mendadak dan menewaskan hampir 70.000 orang dari mereka. Kaum muslimin  juga mendapatkan harta rampasan yang sangat banyak dan benda-benda bersejarah yang dibawa mereka, di antaranya sebuah salib emas yang berhiaskan mutiara, beberapa buah salib perak, dan lain-lainnya.
Pada tahun 283 H (896 M), di masa al mu’tadhid, dilakukan penukaran tawanan dengan Rum, lebih dari 25.000 orang kaum muslimin yang dibebaskan. Pada tahun 285 H (998M), Raghib al Khadim melakukan penyerangan ke wilayah Rum, menaklukan beberapa benteng dan kembali dengan membawa tawanan dan rampasan yang banyak. Pada tahun 287 H (900 M), giliran tentara Rum yang menyerang Tharsus. Pemimpin wilayah Tharsus Abu Tsabit mencoba melawan, namun dia dikalahkan banyak pasukan yang tewas, sedangkan dia sendiri ditawan oleh tentara Rum. Pada tahun 291 H (903 M), kembali tentara Rum menyerang berbagai wilayah Islam, lalu pulang dengan membawa rampasan dan tawanan. Pemimpin wilayah Tharsus melakukan serangan balasan ke Rum, dapat menaklukan Anthakiyah, lalu membebaskan sekitar 5.000 orang kaum muslimin yang ditawan, dan kembali dengan membawa rampasan yang sangat banyak. Pada tahun 293 H (905 M), tentara Rum melakukan serangan mendadak ke Halab, dan setelah membunuh banyak penduduk, mereka pulang dengan membawa jarahannya. Pada tahun 294 H (906 M), pasukan Islam yang dipimpin Ahmad al Turkiy Gubernur Damaskus, melakukan serangan balasan ke negeri Rum. Mereka dapat menewaskan sekitar 4.000 orang tentara Rum dan menawan sekitar 50.000 orang. Kemudian pada tahun 295 H dilakukan saling pertukaran tawanan pada tahun 295 H (907 M), sekitar 3.000 orang tawanan muslimin dibebaskan oleh pihak Rumawi.
Pembebasan tawanan ini dilakukan kembali pada tahun 297 H (309 M), di masa Khalifah al Muqtadir. Pada tahun 297 H (910 M) dengan membawa harta rampasan dan tawanan. Pada tahun 301 H (913 M), al Husayn ibn Hamdan menyerang tentara Rum yang berada di pulau shaqaly (sicilia), menaklukan beberapa benteng lalu pulang dengan membawa kemenangan. Pada tahun 305 H (917 M ), Kerajaan Rum mengirimkan utusan untuk membicarakan penukaran tawanan dan perdamaian, dan kedatangannya diterima oleh khalifah al Muqtadir dengan acara penaymbutan yang penuh kemewahan. Tahun 310 H (922 M) diterima kabar bahwa pasukan Islam yang dipimpin Muknis al Khadim telah menaklukan berbagai benteng negeri Rum. Dan tahun 311 H (923 M), Muknis al Khadim pulang dengan membawa rampasan dan tawanan.
Pada awal tahun 314 H (926 M), kaisar Rum mengultimatum penduduk pesisir pantai supaya membayar jizyah kepadanya. Karena mereka menolak, kaisar Rum menyerang Multhiyah dan mendudukinya selama 17 hari, kemudian pulang dengan membawa tawanan. Sebagai balasan, pasukan Islam menyerang Rum dari arah Tharsus, lalu kembali pula dengan membawa rampasan dan tawanan. Al Muqtadir juga menugaskan Muknis al Khadim dengan pasukan yang besar untuk menggempur kerajaan Rum.  Pada tahun 317 H (929 M) terjadi pertempuran antara Gubernur Azerbijan dengan Muflih al Sajiy  dengan Kaisar Rum Damsik, yang berakhir dengan kehancuran tentara Rum, sehingga kaisarnya melarikan diri kembali ke negerinya.
       Pada tahun 319 H (931 M), pimpinan wilayah Tharsus juga menyerang wilayah Rum, membunuh banyak tentara musuh, pulang dengan membawa rampasan dan 3.000 tawanan. Pada tahun ini penguasa Armenia Ibn al Diraniy, bersekongkol dengan Kaisar Rum untuk menjarah wilayah Islam. Karena itu, Gubernur Azerbeijan Muflih al Sajiy segera menyerang Armenia; menewaskan ribuan tentaranya, menawan yang lainnya dan pulang dengan membawa rampasan yang sangat banyak. Kisar Rum mencoba mengepung kota Syimisat, namun penguasa Mawshil Sa’id ibn Hamdan datang menghadangnya, sehingga Kaisar Rum kembali ke negerinya.
       Pada tahun 321 H (933 M), di masa al Qahir, Kaisar Rum menyerang Multhiyah dengan 50.000 orang pasukannya; membunuh penduduk dan menawan yang lainnya. Pada tahun 326 H (937 M), di masa al Radhiy, Kaisar Rum mengirim surat kepada khalifah mengajak saling penukaran tawanan. Al Radhiy menerimanya, sehingga Rum membebaskan sekitar 6.000 orang tawanan muslim yang berada di tangan mereka.
Pada tahun 330 H (941 M), di masa al Muttaqiy, tentara Rum menyerang ke dekat Halab. Setelah membunuh sebagian penduduknya, merekapun pulang dengan membawa 15.000 orang tawanan, namun pada tahun 331 H (942 M) Kaisar Rum membebaskan ribuan tawanan, sebagai imbalan dari pengembalian kendi puasaka kepada mereka. Pada tahun 332 H (943 M), Kaisar Rum ini dengan 80.000 tentaranya menyerang ke Raks al ‘Ayn. Setelah membunuh banyak penduduk dan menawan sebagian besarnya, mereka menetap di sana selama tiga hari. Namun orang-orang Badui menyerang mereka, sehingga mereka kabur melarikan diri meninggalkan wilayah itu.
Demikianlah peperangan anatara Dawlah ‘Abbasiyah dengan kerajaan Rum pada Periode Kedua ini. Saling serang-menyerang, bunuh-membunuh, tawan-menawan, dan kadang-kadang saling menukar tawanan.
Selain pemberontakan, teror ataupun perang yang berkepanjangan seperti di atas, pada Periode Kedua ini juga sering terjadi pemberontakan yang dilakukan Gubernur kepala wilayah, teror apapun gerakan zindiq pada berbagai daerah. Namun sifatnya seporadis dan tidak berkepanjangan, sehingga dapat ditanggulangi oleh pemerintahan dengan cepat.
­­­­­­­­
B.     Dinasti-Dinasti Yang Memerdekakan Diri
Pada periode pertama dahulu, telah disebutkan adanya lima dinasti yang memisahkan diri dari kekhilafan ‘Abbasiyah, yakni Dinasti Bani Umayyah di Andalusia, Dinasti Rustamiyah di Aljazair Barat (160-296 H/ 777-909 M), Dinasti Idrisiyyah di Marokko (172-375 H/ 788-985 M), Dinasti Aghlabiyyah di Tunisia (184-296 H/ 800-909 M) dan Dinasti Thahiriyyah di Khurasan (201-259 H/ 821-873 M). Kelima dinasti tersebut tetap bertahan sampai masuknya Periode Kedua ini. Kemudian, pada Periode Kedua ini, tercatat pula beberapa dinasti yang memisahkan diri dari kekhalifahan ‘Abbasiyah, yakni:
1)      Dinasti zaydiyyah di yaman (246 -454 H/ 860 – 1062 M)
Dinasti ini didirikan oleh al Husayn ibn Qasim ibn ibrahim, keturunan al Hasan ibm ‘Ali di yaman pada tahun 246 H / 860 M. Dinasti ini dikenal juga dengan nama al Rassiyyah dan menganut aliran  Syi’ah Zaydiyah, yakni salah satu cabang Syi’ah yang moderat dan mengakui Abu al Husayn Zayd ibn Zayn  al ‘Abidin ‘Ali ibn al Husayn al Syahid ibn ‘Ali ibn Abi Thalib sebagai imam mereka. Dinasti ini dapat bertahan sampai tahun 454 H / 1062, ketika dimasa kepemimpinan Abu al Fath al Nashir al Dyalamiy, wilayah mereka dianeksasi oleh Dinasti Shuhayliyah.
2)      Dinasti Shafariyah di Parsia ( 254 – 290 H / 868 – 901 M )
Dinasti ini didirikan oleh YA’qub ibn al Layts al Shaffariy tahun 254 H / 868 M dengan pusatnya di Sistem Persia. Namun umur dinasti ini tidak panjang, karena pada tahun 290 H / 901 M, kekuasaan direbut pula oleh Dinasti Samaniyah.
3)      Dinasti Thuluniyah di Mesir (254 – 292 H / 837 – 903 M)
Dinasti ini didirikan oleh Ahmad ibn Thulun di Mesir, Ahmad ibn Thulun ini pada muanya adalah Gubernur Mesir dari Dawlah Abbasiyah, namun kemudian dia membentuk pemerintahan sendiri, namun kemudian dia membentuk pemerintahan sendiri, yang wilayah mencakup Mesir dan Syiar. Umur tahun 292 H / 903 M, dimasa kepemimpinan Sayban, pemerintahan ‘Abbasiyah berhasil memaksa mereka untuk kembali mengakui kekuasaan khalifah ‘Abbasiyah.
4)      Dinansti Samaniyah di Transxonia ( 261 – 395 H / 873 – 1004 M )
Dinasti ini didirikan oleh Nashr ibn Ahmad ibn Asad al Samaniy di Samarqand Transxania pada tahun 261 H / 873 M. Setalah kuat, dinasti ini mengneksasi wilayah Dinasti Thahiriyah dan Dinasti Syafariyah, namun pada tahun 395 H / 1004 M, do ,asa kepemimpinan Isma’il al Muntashir, wilayah mereka direbut oleh Dinasti Ghaznawiyah.
5)      Dawlah Fathiyah di Mesir ( 296 – 567 H / 909 H 1171 M )
Dinasti ini didirikan oleh orang-orang Syi’ah Isma’iliyah di afrika Utara, dengan pimpinan pertanyaan ‘Ubaydullah al Mahdiy. Setelah kuat, dinasti ini mengneksasi wilayah dinasti lainnya, yakni dinasti Aghlabiyah dan dinasti dan dinasti Rustamiyah. Pimpinan dinasti ini memakai gelar khalifah, Sebagai tandingan terhadap khalifah ‘Abbasiyah di Baghdad. Uraian lebih lanjut tentang dinasti Fathimiyah ini akan dikemukakan dalam Bab VIII, sewaktu memberikan tiga dinasti yang melepaskan diri dari ‘Abbasiyah.
6)      Dinasti Ziyariyah di Thabaristan daN Gorden (315 – 483 H / 909 - 1171)
Dinasti ini didirikan oleh mardawayh ibn Ziyyar al Daylamiy pada tahun 315 H / 927 M. Madrasah ini pada mulanya adalah panglima tentara Samaniyah, namun kemudian dia membentuk pemerintahan sendiri di Persia Utara dan meluaskan wilayah kekuasaan sampai ke Ishafahan  dan Hamdan. Pada tahun 323 H. Mardawayh ini tewas karena dibunuholeh tentaranya sendiri, sehingga pimpinan dinasti ini dilanjutkan oleh saudaranya Vusymaghir sampai tahun 483 H, ketika di masa kepemimpinannya Ghilan Syah, daerah mereka direbut oleh Dinasti Ghaznawiyah.
7)      Dinasti Hamdaniyah di maushil dan Aleppo (317 – 394 H / 929 – 1004 M)

Dinasti ini didirikan oleh Nashir al Dawlah al Hasan ibn ‘Aabdillah ibn hamdan di Mawshil pada tahum 317 H / 929 M, dan kemudian meluaskan wilayah kekuasaannya sampai ke Syiria. Namun di masa puteranya Abu Tahglib, wilayah kekuasaan mereka do Mawshil ini direbut oleh Dinasti Buwashy pada 369 H / 979 M, sedangkan yang di Aleppo Syiria bertahunan sampai tahun 394 H / 1004 M, ketika dimasa kepemimpinan Syirif II, wilayah mereka dianeksasi oleh Dinasti Fathimiyah.

No comments:

Post a Comment