BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an bagaikan samudra yang tidak pernah
kering airnya, gelombangnya tidak pernah reda, kekayaan dan khazanah yang
dikandungnya tidak pernah habis, dapat dilayari dan selami dengan berbagai
cara, dan memberikan manfaat dan dampak luar biasa bagi kehidupan manusia.
Dalam kedudukannya sebagai kitab suci dan mukjizat bagi kaum muslimin,
Al-Qur’an merupakan sumber keamanan, motivasi, dan inspirasi, sumber dari
segala sumber hukum yang tidak pernah kering bagi yang mengimaninya. Di dalamnya
terdapat dokumen historis yang merekam kondisi sosio ekonomis, religious,
ideologis, politis, dan budaya dari peradaban umat manusia sampai abad ke VII
masehi.
Jika demikian itu halnya, maka pemahaman
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an melalui penafsiran-penafsiran, memiliki peranan
sangat besar bagi maju-mundurnya umat, menjamin istilah kunci untuk membuka
gudang simsimpani yang tertimbun dalam Al-Qur’an.
Sebagai pedoman hidup untuk segala zaman, dan
dalm berbagai aspek kehidupan manusia, Al-Qur’an merupakan kitab suci yang
terbuka (open ended) untuk dipahami, ditafsirkan dan dita’wilkan dalam
perspektif metode tafsir maupun perspektif dimensi-dimensi kehidupan manusia.
Dari sini muncullah ilmu-ilmu untuk mengkaji Al-Qur’an dari berbagai aspeknya,
termasuk di dalamnya ilmu tafsir. Makalah ini akan membahas tentang ilmu tafsir
meliputi sejarah dan perkembangannya, serta corak dan metode dalam penafsiran.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Defenisi Al-Qur’an
Ditinjau dari segi bahasa, secara umum
diketahui bahwa kata al-qur’an (القران ٌ) berasal dari kata قرا yang berarti mengumpul atau menghimpun.
Qira’ah berarti merangkai huruf-huruf dan kata-kata satu dengan lainnya dalam
satu ungkapan kata yang teratur. Al-qur’an asalnya sama dengan qira’ah, yaitu
akar kata (mashdar-infinitif) dari qara’a, qira’atan wa qur’anan. Allah
menjelaskan :
إنَّ عَلَيْنَاجَمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ (17) فَإِذَاقَرَأْنَهُ
فَاتَّبِعْ قُرْءَانَهُ (18)
“Sesungguhnya
Kami-lah yang bertanggung jawab mengumpulkan (dalam dadamu) dan membacakannya
(pada lidahmu). Maka apabila kami telah menyempurnakan bacaannya (kepadamu,
dengan perantara Jibril), maka bacalah menurut bacaannya itu.” (Al-Qiyamah :
17-18)[1]
Disamping itu masih ada lagi bentuk
mashdar dari lafadh qara’a yaitu qur’ (قُرْء) tanpa alif dan nun yang mengikuti wazan fu’l (فُعْلٌ). Dengan demikian kata qara’a
mempunyai tiga wazan (bentuk/sighat) mashdar, yakni qur’an (قرآن), qira’ah, dan qur’ (قُرْء). Ketiga wazan tersebut tetap
memiliki satu makna yaitu bacaan. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa kata
al-Qur’an merupakan bentuk mashdar yang mengandung fungsi makna isim maf’ul
(yang di......), sehingga maknanya menjadi yang dibaca atau bacaan.[2]
Para Ahli ushul fiqih menetapkan bahwa
al-Qur’an adalah nama bagi keseluruhan al-Qur’an dan nama untuk
bagian-bagiannya yang diturunkan kepada Muhammad SAW. Maka jadilah ia sebagai
identitas diri.
Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan dengan kebenaran
mutlak yang menjadi sumber ajaran Islam. Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam yang memberi petunjuk kepada jalan
yang benar. Ia berfungsi untuk memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan
bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok.[3] Ia juga menjadi tempat pengaduan dan
pencurahan hati bagi yang membacanya.
B.
Cakupan Kandungan Al-Qur’an
Al- Qur’an adalah
sumber utama ajaran Islam. Di dalamnya termuat ajaran dan petunjuk tentang
akidah, hukum, ibadah, dan akhlak. Pada intinya, al-Qur’an mengandung petunjuk
tentang jalan hidup manusia kepada kebahagiaan dan kesejahteraan. Allah
berfirman:
إِنَّ هَٰذَا ٱلْقُرْءَانَ يَهْدِى
لِلَّتِى هِىَ أَقْوَمُ(9)
“Sesungguhnya
al-Qur’an ini menunjukkan kepada jalan yang lebih lurus.” (Al-Isra’: 9)
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ
تِبْيَٰنًا لِّكُلِّ شَىْءٍ(89)
“Kami menurunkan
al-kitab (al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu.” (An-Nahl: 89)
Menurut fazhul
Rahma, terdapat delapan tema pokok yang terkandung dalam al-Qur’an, yaitu :
1. Tuhan
2. Manusia sebagai individu
3. Manusia sebagai anggota masyarakat
4. Alam semesta
5. Kenabian dan wahyu
6. Eskatologi
7. Setan dan kejahatan, dan
8.
Lahirnya
masyarakat muslim
Di dalam karyanya yang lain, Rahman
menyatakan bahwa semangat dasar al-Qur’an adalah semangat moral yang yang
sangat menekankan monoteisme (tauhid), keadilan sosial, dan ekonomi.
Menurutnya, hukum moral adalah abadi, manusia tidak dapat memusnahkan hukum moral.
Manusia harus menyerahkan diri (islam) kepada hukum moral itu. Selain itu,
dalam al-Qur’an terkandung juga pernyataan-pernyataan hukum yang penting. Hukum
moral dan pernyatan-pernyataan itu mengarah kepada satu tujuan, yaitu
menciptakan tata tertib yang berkeadilan di alam semesta.[4]
Dari pernyataan yang lain, dikatakan
pula bahwa di dalam surat-surat dan ayat-ayat alquran terkandung kandungan yang
secara garis besar dapat kita bagi menjadi beberapa hal pokok atau hal utama
beserta pengertian atau arti definisi dari masing-masing kandungan inti
sarinya, yaitu sebagaimana berikut ini :
1. Akidah
Akidah adalah
keyakinan atau kepercayaan. Akidah islam adalah keyakinan atau kepercayaan yang
diyakini kebenarannya dengan sepenuh hati oleh setiap muslim.Dalam islam,akidah
bukan hanya sebagai konsep dasar yang ideal untuk diyakini dalam hati seorang
muslim.Akan tetapi,akidah tau kepercayaan yang diyakini dalam hati seorang
muslim itu harus mewujudkan dalam amal perbuatan dan tingkah laku sebagai
seorang yang beriman.
2.
Ibadah dan Muamalah
Kandungan
penting dalam Al-Qur’an adalah ibadah dean muamallah.Menurut Al-Qur’an tujuan
diciptakannya jin dan manusia adalah agar mereka beribadah kepada Allah.Seperti
yang dijelaskan dalam (Q.S Az-Zariyat 51:56).
Manusia selain
sebagai makhluk pribadi juga sebagai makhluk sosial.manusia memerlukan berbagai
kegiatan dan hubungan alat komunikasi .Komonikasi dengan Allah atau hablum
minallah ,seperti shalat,membayar zakat dan lainnya.Hubungan manusia dengan
manusia atau hablum minanas ,seperti silahturahmi,jual beli,transaksi dagang,
dan kegiatan kemasyarakatan. Kegiatan seperti itu disebut kegiatan
Muamallah,tata cara bermuamallah di jelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 82.
3. Hukum
Secara garis
besar Al-Qur’an mengatur beberapa ketentuan tentang hukum seperti hukum
perkawinan,hukum waris,hukum perjanjian,hukum pidana,hukum musyawarah,hukum
perang,hukum antar bangsa.
4. Akhlak
Dalam bahasa
Indonesia akhlak dikenal dengan istilah moral .Akhlak,di samping memiliki
kedudukan penting bagi kehidupan manusia,juga menjadi barometer kesuksesan
seseorang dalam melaksanakan tugasnya.Nabi Muhammad saw berhasil menjalankan
tugasnya menyampaikan risalah islamiyah,anhtara lain di sebabkan memiliki
komitmen yang tinggi terhadap ajhlak.ketinggian akhlak Beliau itu dinyatakan
Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Qalam ayat 4.
5. Tadzkir
Tadzkir adalah sesuatu yang memberi
peringatan kepada manusia akan ancaman Allah SWT berupa siksa neraka. Tadzkir
juga bisa berupa kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepadaNya dengan
balasan berupa nikmat surga
6. Kisah-kisah umat terdahulu
Kisah merupakan
kandungan lain dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an menaruh perhatian penting terhadap
keberadaan kisah di dalamnya.Bahkan,di dalamnya terdapat satu surat yang di
namaksn al-Qasas.Bukti lain adalah hampir semua surat dalam Al-Qur’an memuat
tentang kisah. Kisah para nabi dan umat terdahulu yang diterangkan dalam
Al-Qur’an antara lain di jelaskan dalam surat al-Furqan ayat 37-39.
7. Isyarat pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi
Al-Qur’an
banyak menghimbau manusia untuk mengali dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi.Seperti dalam surat ar-Rad ayat 19 dan al-Zumar ayat 9. Selain kedua
surat tersebut masih banyak lagi dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi
seperti dalam kedokteran, farmasi, pertanian, dan astronomi yang bermanfaat
bagi kemjuan dan kesejahteraan umat manusia.
Keistimewaan Dan Keutamaan Al-qur’an :
1. Memberi pedoman dan petunjuk
hidup lengkap beserta hukum-hukum untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia
seluruh bangsa di mana pun berada serta segala zaman / periode waktu.
2. Memiliki ayat-ayat yang
mengagumkan sehingga pendengar ayat suci al-qur’an dapat dipengaruhi jiwanya.
3. Memberi gambaran umum ilmu alam
untuk merangsang perkembangan berbagai ilmu.
4. Memiliki ayat-ayat yang
menghormati akal pikiran sebagai dasar utama untuk memahami hukum dunia
manusia.
5. Menyamakan manusia tanpa
pembagian strata, kelas, golongan, dan lain sebagainya. Yang menentukan
perbedaan manusia di mata Allah SWT adalah taqwa.
6. Melepas kehinaan pada jiwa
manusia agar terhindar dari penyembahan terhadap makhluk serta menanamkan
tauhid dalam jiwa.
C.
Definisi
Tafsir
Para pakar ilmu tafsir banyak memberi
pengertian baik secara etimologi maupun terminologi terhadap term tafsir.
Secara etimologi kata tafsir berarti al-ibanah wa kasyfu al-mughattha (menjelaskan
dan menyingkap yang tertutup). Dalam kamus Lisan al-‘Arab, tafsir
berarti menyingkap maksud kata yang samar. Hal ini didasarkan pada firman Allah
Sûrah al-Furqân: 33
وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا
جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
“Tidaklah
orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan
Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”[5]
Sedangkan secara terminologi penulis akan
mengungkapkan pendapat para pakar. Al-Zarqoni menjelaskan tafsir adalah ilmu
untuk memahami al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan
menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya.[6]
Menurut Abû Hayyân sebagaimana dikutip Manna
al-Qaththân, mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas cara
pengucapan lafaz al-Qur’an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika
berdiri sendiri maupun tersusun, dan makna yang dimungkinkan baginya ketika
tersusun serta hal lain yang melengkapinya.
Ilmu tafsir merupakan bagian dari ilmu syari’at
yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya
berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan sumber segala hikmah, serta
petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak
zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini. Kebutuhan
akan tafsir semakin mendesak lantaran untuk kesempurnaan beragama dapat diraih
apabila sesuai dengan syari’at, sedangkan kesesuaian dengan syari’at bannyak
bergantung pada pengetahuan terhadap Al-Qur’an, kitabullah.[7]
D.
Corak
dan Metode Penafsiran
1. Tafsir bi al-Ma’tsur
Cara penafsirian yang ditempuh oleh para
sahabat dan generasi berikutnya itu dalam kerangka metodologis, disebut jenis
tafsir bil al-ma'tsur (periwayatan). Metode periwayatan ini oleh
al-Zarqani didefinisikan sebagai semua bentuk keterangan dalam Al-Qur'an,
al-sunnah atau ucapan sahabat yang menjelaskan maksud Allah SWT pada nash
Al-Qur'an.[8]
2. Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-ra'yi adalah jenis metode
penafsiran Al-Qur'an dimana seorang mufassir menggunakan akal (rasio) sebagai
pendekatan utamanya. Sejalan dengan definisi diatas, Ash-Shabuni menyatakan
bahwa tafsir bi al-ra'yi adalah tafsir ijtihad yang dibina atas
dasar-dasar yang tepat serta dapati diikuti, bukan atas dasar ra‘yu semata
atau atas dorongan hawa nafsu atau penafsiran pemikiran seseorang dengan sesuka
hatinya. Sementara menurut Manna al-Qattan, tafsir bi al-ra'yi adalah
suatu metode tafsir dengan menjadikan akal dan pemahamannya sendiri sebagai
sandaran dalam menjelaskan sesuatu.[9]
3. Tafsir Tahlily
Metode tafsir tahliliy, atau yang oleh
Baqir Shadr dinamai metode tajzi'iy adalah suatu metode yang berupaya
menjelaskan kandungan ayat-ayat AI-Qur'an dari berbagai seginya dengan
memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Qur'an sebagaimana yang tercantum dalam
mushaf (Shadr, 1980:10). Cara kerja metode ini terdiri atas empat langkah, yaitu
a. Mufassir mengikuti runtutan ayat sebagaimana
yang telah tersusun dalam mushaf,
b. Diuraikan dengan mengemukakan arti kosakata dan
diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat,
c. Mengemukakan munasabah (koralasi)
ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain,
d. Mufassir membahas asbab al-nuzul dan
dalil-dalil yang berasal dari Rasul, sahabat dan tabi'in.[10]
4. Tafsir Muqaran
Dalam bahasa yang sistematis, Said Agil Munawar
dan Quraish Shihab mendefinisikan tafsir muqaran sebagai metode penafsiran yang
membandingkan ayat Al-Qur'an yang satu dengan ayat Al-Qur'an yang lain yang
sama redaksinya, tetapi berbeda masalahnya atau membandingkan ayat Al-Qur'an
dengan hadits-hadits nabi Muhammad saw, yang tampaknya bertentangan dengan
ayat-ayat tersebut, atau membandingkan pendapat ulama tafsir yang lain tentang
penafsiran ayat yang sama[11]
5. Tafsir Ijmaly
Tafsir ijmaliy adalah suatu metode
penafsiran Al-Qur'an yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan cara
mengemukakan makna global. Dalam sistematika uraiannya, mufassir membahas ayat
demi ayat sesuai dengan susunannya yang ada dalam mushaf, kemudian mengemukakan
makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut. Dengan demikian cara kerjan
metode ini tidak jauh berbeda dengan metode tahliliy, karena keduanya
tetap terikat dengan urutan ayat-ayat sebagaimana yang tersusun dalam mushaf,
dan tidak mengaitkan pembahasannya dengan ayat lain dalam topik yang sama
kecuali secara umum saja.[12] Contoh dari tafsir yang mempergunakan
metode ini adalah tafsir Jalalain.
6. Tafsir Maudhu’i (Tematik)
Ali Khalil sebagaimana dikutip oleh Abd al-Hay
al-Farmawi memberikan batasan pengertian tafsir tematik, yaitu : Mengumpulan
ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai satu tujuan dan bersekutu dengan tema
tertentu. Kemudian sedapat mungkin ayat-ayat tersebut disusun menurut kronologi
turunnya disertai dengan pemahaman asbab al-Nuzulnya. Lalu oleh mufassir
dikomentari, dikaji secara khusus dalam kerangka tematik, ditinjau segala
aspeknya, ditimbang dengan ilmu yang benar, yang pada gilirannya mufassir dapat
menjelaskan sesuai dengan hakikat topiknya, sehingga dapat ditemukan tujuannya
dengan mudah dan menguasainya dengan sempurna.[13] Jadi lewat metode ini, penafsiran
dilakukan dengan jalan memilih topik tertentu yang hendak dicarikan
penjelasannya menurut Al-Qur'an, kemudian dikumpulkanlah semua ayat Al-Qur'an
yang berhubungan dengan topik ini, kemudian dicarilah kaitan antara berbagai
ayat ini agar satu sama lain bersifat menjelaskan, baru akhirnya ditarik
kesimpulan akhir berdasarkan pemahaman mengenai ayat-ayat yang saling terkait
itu.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang
abadi. Al-Qur’an ibarat samudera tak bertepi yang menyimpan berjuta-juta
mutiara ilahi. Untuk meraihnya, semua orang harus berenang dan menyelami
samudera al-Qur’an. Tidak semua penyelam itu memperolah apa yang diinginkannya
karena keterbatasan kemampuannya. Di sinilah letak urgensi perangkat ilmu
tafsir.
Ilmu tafsir senantiasa berkembang dri masa ke
masa, bahkan para pakar telah banyak menelurkan tafsir yang sesuai dengan
tuntutan zaman demi menegaskan eksistensi al-Qur’an salih li kulli zaman wa
makan
Banyak sekali metode yang digunakan dalam
penafsiran di antaranya metode tahlily, ijmaly, muqaran, dan maudhu’i.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari
kesempurnaan, masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam bahasanya,
materi dan penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik,
saran dan masukan yang dapat membangun penulisan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir
al-Maudlu'i, Kairo: Al-Hadharah al-Arabiyah, 1977
Abdul Azhîm al-Zarqanî, Manâhil al-Irfân fi
Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Maktabah al-Arabiyah, 1995.
Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqon fi 'ulum
al-Qur'an, Cairo: Mathba'ah Hijazy, tt.
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an.
Bandung: Mizan, 1995.
M. Syakur, Ulum
al-Qur’an, Semarang: PKPI2 – Universitas Wahid Hasyim, 2001.
Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî
Ulûm al-Qur’ân, Riyadh: Mansyurat al-‘ashr al-hadits, 1973.
Quraish Shihab, Sejarah
& Ulum Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Muhammad Abd. Al-Adzim al-Zarqani. Manahil
al-'Irfan fi `Ulum Al-Qur'an, Mathba'ah Isa al-Bab al-Halaby, 1957.
Said Aqil al-Munawwar, I,jaz Al-Qur'an dan
Metodologi Tafsir,Semarang : Dina Utama, 1994
Syaikh Manna’ Al-qaththan,
Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.
[1] Syaikh Manna’ Al-qaththan, Pengantar Studi Ilmu
Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm. 16
[3] M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1995), h. 172.
[5]Manna
al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, (Riyadh: Mansyurat
al-‘ashr al-hadits, 1973), h. 323.
[6]Abdul
Azhîm al-Zarqanî, Manâhil al-Irfân fi Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr
al-Maktabah al-Arabiyah, 1995), vol 2, h. 6
[7] Jalaluddin
al-Suyuthi, Al-Itqon fi 'ulum al-Qur'an, (Cairo: Mathba'ah Hijazy, tt.)
Juz II, hlm. 172.
[8]Muhammad
Abd. Al-Adzim al-Zarqani. Manahil al-'Irfan fi `Ulum Al-Qur'an, (Mathba'ah
Isa al-Bab al-Halaby, 1957), h. 3
[9] Manna
al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 351-352.
[10] Abd.
Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i, Kairo: Al-Hadharah
al-Arabiyah, 1977, hlm. 18.
[11] Said
Aqil al-Munawwar, I,jaz Al-Qur'an dan Metodologi Tafsir, (Semarang
: Dina Utama, 1994), hlm. 36.
[12] Abd.
Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i,hlm. 67.
[13] Abd.
Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i, hlm. 41-42.
No comments:
Post a Comment