PEMBAHASAN
Landasan epistemologi ilmu
disebut metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun
pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan
pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan
yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah,
sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi
syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu
pengetahuan bisa disebut ilmu yakni tercantum dalam metode ilmiah.
Metode ilmiah berperan dalam
tataran transformasi dari wujud pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Bisa
tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan sangat bergantung pada
metode ilmiah. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar
pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif. Pengetahuan yang
diperoleh oleh manusia melalui akal, indera mempunyai metode tersendiri dalam
teori pengetahuan,diantaranya adalah:[1]
A.
Metode Induktif
Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan
pernyataan hasil observasi dalam suatu pernyataan yang lebih umum dan menurut
suatu pandangan yang luas diterima, ilmu-ilrnu empiris ditandai oleh metode
induktif, disebut induktif bila bertolak dari pernyataan tunggal seperti gambaran
mengenai hasil pengamatan dan penelitian orang sampai pada pernyataan pernyataan
universal.
David Hume telah membangkitkan pertanyaan mengenai induksi
yang membingungkan para filosof dari zamannya sampai sekarang. Menurut Hume,
pernyataan yang berda observasi tunggal betapapun besar jumlahnya, secara logis
tak dapat menghasilkan suatu pernyataan umum yang tak terbatas. dalam induksi
setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan ha-hal lain, seperti ilmu
mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi juga akan mengembang, bertotak dari
teori ini kita tahu bahwa logam lain yang kalau dipanasi juga akan mengambang.
Dari contoh di atas bisa diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu
pengetahuan yang disebut juga dengn pengetahuan sintetik.[2]
Metode
induksi adalah suatu cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau
masalah yang bersifat khusus, kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum.
Apabila orang menerapkan cara penalaran yang bersifat induktif berarti orang
bergerak dari bawah ke atas. Artinya, dalam hal ini orang mengawali suatu
penalaran dengan memberikan contoh-contoh tentang peristiwa-peristiwa khusus
yang sejenis kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum.[3]
B.
Metode Deduktif
Deduksi adalah suatu metode yang menyimpan bahwa data-data
empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang harus ada dalam
metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan
itu sendiri. Ada bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori tersebut
mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-teori lain
dan ada pengujian teori dengan jalan rnenerapkan secara empiris
kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.
Popper tidak pernah menganggap bahwa kita dapat membuktikan
kebenaran teori-teori dari kebenaran pernyataan-pernyataan yang bersifat
tunggal. Tidak pernah dia menganggap bahwa berkat kesimpulan-kesimpulan yang
telah diverifikasikan teori ini dapat dikukuhkan sebagai benar atau bahkan
hanya mungkin benar, sebagai contoh, harga akan turun. Karena penurunan beras
besar. maka harga beras akan turun.[4]
Metode deduksi adalah suatu cara yang dipakai untuk
mendapatkan pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas
hal-hal atau masalah yag bersifat umum, kemudian menarik kesimpulan yang
bersifat khusus. Apabila orang menerapkan cara penalaran yang bersifat deduktif
berarti orang bergerak dari atas menuju ke bawah. Artinya, sebagai langkah
pertama orang menentukan satu sikap tertentu dalam menghadapi masalah tertentu,
dan berdasarkan aatas penentuan sikap tadi kemudian mengambil kesimpulan dalam
tingkatan yang lebih rendah.[5]
C.
Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August Comte. Metode ini berpangkal
dari apa yang diketahui yang faktual yang positif. Dia menyampingkan segala
uraian persoalan di luar yang ada sebagai fakta oleh karena itu, ia menolak
metafisika yang diketahui positif, adalah segala yang nampak dan segala efode
ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan diatasi kepada bidang
gejala-gejala saja.
Menurut Comte, Perkembangan pemikiran manusia berlangsung
dalam tiga tahap teologis metafisis, dan positif. Pada tahap teologis, orang
berkeyakinan bahwa dibalik segala sesuatu hehendak khusus. Pada tahap
metafisik, kekuatan itu diubah menjadi kekuatan yang abstrak, yang dipersatukan
dalam pengertian yang bersifat umum yang disebut alam dan dipandangnya sebagai
asal dari segala gejala.
Pada dasarnya
positivisme adalah sebuah filsafat yang menyakini bahwa satu-satunya
pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktualfisikal.
Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori
melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari.
Positivisme,
dalam pengertian di atas dan sebagai pendekatan telah dikenal sejak Yunani
Kuno. Terminologi positivisme dicetuskan pada pertengahan abad ke-19 oleh salah
satu pendiri ilmu sosiologi yaitu Auguste Comte. Comte percaya bahwa dalam alam
pikiran manusia melewati tiga tahapan historis yaitu teologi, metadisik, dan
ilmiah. Dalam tahap teologi, fenomena alam dan sosial dapat dijelaskan
berdasarkan kekuatan spiritual. Pada tahap metafisik manusia akan mencari
penyebab akhir (ultimate causes) dari setiap fenomena yang terjadi. Dalam
tahapan ilmiah usaha untuk menjelasakn fenomena akan ditinggalkandan ilmuan
hanya akan mencari korelasi antarfenomena. Pengembangan penting dalam paham
positivisme klasik dilakukan oleh ahli ilmu alam Ernst Mach yang mengusulkan
pendekatan teori secara fiksi. [6]
Teori ilmiah
bermanfaat sebagai alat untuk menghafal, tetapi perkembangan ilmu hanya terjadi
bila fiksi yang bermanfaat digantikan dengan pernyataan yang mengandung hal
yang dapat diobservasi. Meskipun Comte dan Mach mempunyai pengaruh yang besar
dalam penulisan ilmu ekonomi (Comte mempengaruhi pemikiran J.S. Mill dan Pareto
sedangkan pandangan Mach diteruskan oleh Samuelson dan Machlup). Pengaruh yang
paling utama adalah ide dalam pembentukan filosofi ilmiah pada abad 20 yang
disebt logika positivisme (logical
positivism).
Pada tahap ini usaha mencapai pengenalan yang mutlak, baik
pengetahuan teologis ataupun metafisis dhpandang tak bergama, menurutnya,
tidaklah berguna melacak asal dari tujuan akhir seluruh alam melacak hakikat
yang sejak dari segala sesuatu. Yang penting adalah menemukan hukum-hukum
kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta dengan pengamatan dan
penggunaan akal.[7]
D.
Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indra dan
akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang
dihasilkan pun akan berbeda-beda, harusnya dikembangkan satu kemampuan akal
yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini bias
diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan oleh Al-Ghazali.
Intuisi dalam tasawuf disebut dengan ma’rifah
yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran.
Al-Ghazali menerangkan bahwa pengetahuan intuisi atau ma’rifah yang
disinarkan oleh Allah secara langsung merupakan pengetahuan yang paling benar.
Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini hanya bersifat individual dan
tidak bisa dipergunakan untuk mencari keuntungan seperti ilmu pengetahuan yang
dewasa ini bisa dikomersilkan.[8]
E.
Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode
tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh
Socrates. Namun, Plato mengartikannya diskusi logika. Kini dialektika berarti
tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga
analisis sistematis tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam
pandangan.
Dalam kehidupan sehari-hari dialektika berarti
kecakapan untuk melakukan perdebatan. Dalam teori pengetahuan ini merupakan
bentuk pemikiran yang tidak tersusun dari satu pikiran tetapi pemikiran itu
seperti dalam percakapan, bertola paling kurang dua kutub.
Hegel menggunakan metode dialektis untuk menjelaskan
filsafatnya, lebih luas dari itu, menurut Hegel dalam realitas ini berlangsung
dialektika. Dan dialektika di sini berarti mengompromikan hal-hal berlawanan
seperti:[9]
1.
Diktator. Di sini manusia
diatur dengan baik, tapi mereka tidak punya kebebasan (tesis).
2.
Keadaan di atas menampilkan
lawannya, yaitu Negara anarki (anti tesis) dan warga Negara mempunyai kebebasan
tanpa batas, tetapi hidup dalam kekacauan.
3.
Tesis dan anti tesis ini
disintesis, yaitu Negara demokrasi. Dalam bentuk ini kebebasan warga negara
dibatasi oleh undang-undang dan hidup masyarakat tidak kacau.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa suatu
informasi baru bisa dikatakan sebagai sebuah ilmu pengetahuan berdasarkan
sifat-sifatnya dan dihasilkan atas suatu proses yang prosedural dan
terstruktur. Dengan demikian ilmu pengetahuan yang ada tersebut dapat
dipertanggungjawabkan baik secara individu maupun kelompok. Apabila orang
menerapkan cara penalaran yang berarti orang bergerak. Artinya, sebagai langkah
pertama orang menentukan satu sikap tertentu dalam menghadapi masalah tertentu,
dan berdasarkan atas penentuan sikap tadi kemudian mengambil kesimpulan dalam
tingkatan yang lebih rendah
B.
Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari
kesempurnaan, masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam bahasanya,
materi dan penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik,
saran dan masukan yang dapat membangun penulisan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,
Sudarto, 2002. Metodologi Penelitian
Filsafat, Jakarta, Raja Grafindo Persada,
Salahudin, Anas.
2011. Filsafat Pendidikan. Bandung: CV. Pustaka Setia,
Tafsir, Ahmad, 1990. Filsafat Umum;
Akal dan Hati; Thales sampai Capra. Bandung: Remaja Rosdakarya,
[2]Ibid
[3]Sudarto, Metodologi
Penelitian Filsafat, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. Ke-3, hal 57.
[4]Ibid, h.
153
[5]Sudarto, Op.Cit.
h. 58
[7]Amsal Bakhtiar,
Op.Cit, h. 154
[8]Ibid, h.
155
[9]Ahmad
Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati; Thales sampai Capra. (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1990) h. 153
No comments:
Post a Comment