Friday 24 February 2017

Makalah Kelompok Sosial

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebagai makhluk sosial kita pasti melakukan bahkan membutuhkan interaksi sosial dengan orang lain karena dalam kehidupan ini mustahil kita bisa hidup sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Dalam interaksi yang terjadi dikalangan masyarakat tersebut secara sengaja maupun tidak sengaja  maka akan membentuk kelompok sosial mulai dari kelompok sosial yang terkecil yaitu keluarga sampai dengan kelompok sosial yang sangat kompleks. Kelompok sosial itu terbentuk karena adanya kesamaan kepentingan, sejumlah tujuan, serta untuk memenuhi peran sosial yang kita terima sebagai anggota masyarakat. Kelompok memainkan peran yang sangat penting dalam struktur sosial. Oleh karena itu dalam makalah ini kelompok kami akan membahas serta mengidentifikasi sedikit mengenai  kelompok sosial yang terjadi di masyarakat.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian dari Stuktur Sosial dan Hukum ?
2.      Apa saja Kaidah Sosial dan Hukum ?
3.      Apa pengertian Kelompok Sosial ?
4.      Apa tipe Kelompok Sosial ?
5.      Bagaimana bentuk dinamika sosial?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Struktur Sosial dan Hukum
1.      Pengertian
Dalam pelajaran kita sering mendengar bahwa manusia adalah makhluk sosial yang artinya makhluk yang tidak bisa hidup sendiri. Kita selalu membutuhkan bantuan orang lain dalam hal apapun meskipun kegiatan tersebut terdengar remeh. Pernyataan tersebut sering membuat banyak orang bertanya-tanya mengenai pengertian sosial yang sebenarnya. Asal kata sosial mulanya berasal dari bahasa latin “socius” yang mempunyai arti segala sesuatu yang lahir, tumbuh, serta berkembang dalam kehidupan bersama. Itu artinya seorang individu memang sudah ditentukan tidak bisa hidup terlepas dari bantuan orang lain karena dia tetap membutuhkan bantuan dan perhatian dari orang lain. Mustahil, bagi seseorang untuk hidup tanpa orang lain jika dia ingin tunbuh dan berkembang.
Jika ingin benar-benar memahami pengertian sosial maka pemahaman tersebut tidak bisa terlepas dari struktur sosial. Struktur sosial yaitu suatu keadaan atau tatanan dari hubungan-hubungan sosial yang ada dalam masyarakat dimana pihak-pihak tertentu seperti individu, kelas, keluarga, ataupun kelompok ditempatkan dalam posisi sosial tertentu berdasarkan suatu sistem nilai serta norma yang berlaku dalam masyarakat di suatu waktu tertentu. Ada juga yang mengartikan struktur sosial sebagai seperangkat unsur yang mempunyai ciri dan seperangkat hubungan unsure-unsur tertentu. Jika seperti yang disebutkan sebelumnya maka pengertian sosial adalah segala hal yang berkaitan dengan lahir, tumbuh, dan berkembangnya masyarakat dalam kehidupan bersama.[1]
Berikut beberapa pendapat dari para ahli ilmu-ilmu sosial mengenai perbedaan antara perilakelakuan sosial yang nyata dengan perilekakuan sebagaimana yang diharapkan oleh hukum. Menurut Hurt, inti dari suatu sistem hukum terletak pada kesatuan antara aturan utama dan aturan-anturan sekunder (prymary and secondary rules). Aturan-aturan utama merupakan ketentuan informal tentang kewajiban yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pergaulan hidup. Oleh karena itu diperlukan aturan-aturan sekunder yang terdiri dari[2]:
1.      Rules of recognition yaitu aturan yang menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan aturan utama dan dimana perlu menyusun aturan-aturan tadi secara hirarkis menurut urutan kepentingannya.
2.       Rules of change yaitu aturan yang mensahkan adanya aturab-aturan utama yang baru
3.       Rules of adjudication yaitu aturan yang memberikan hak-hak kepada orang perseorangan untuk menentukan apakah pada peristiwa tertentu suatu aturan utama dilanggar.
Hukum adalah peraturan yang berupa norma dan sanksi yang dibuat dengan tujuan untuk mengatur tingkah laku manusia, menjaga ketertiban, keadilan, mencegah terjadinya kekacauan.
Hukum memiliki tugas untuk menjamin bahwa adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh sebab itu setiap masyarat berhak untuk memperoleh pembelaan didepan hukum. Hukum dapat diartikan sebagai sebuah peraturan atau ketetapan/ ketentuan yang tertulis ataupun yang tidak tertulis untuk mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi untuk orang yang melanggar hukum.
Hukum dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a.       Hukum berdasarkan Bentuknya: Hukum tertulis dan Hukum tidak tertulis.
b.      Hukum berdasarkan Wilayah berlakunya: Hukum local, Hukum nasional dan Hukum Internasional.
c.       Hukum berdasarkan Fungsinya: Hukum Materil dan Hukum Formal.
d.      Hukum berdasarkan Waktunya: Ius Constitutum, Ius Constituendum, Lex naturalis/ Hukum Alam.
e.       Hukum Berdasarkan Isinya: Hukum Publik, Hukum Antar waktu dan Hukum Private. Hukum Publik sendiri dibagi menjadi Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pidana dan Hukum Acara. Sedangkan Hukum Privat dibagi menjadi Hukum Pribadi, Hukum Keluarga, Hukum Kekayaan, dan Hukum Waris.
f.       Hukum  Berdasarkan Pribadi: Hukum satu golongan, Hukum semua golongan dan Hukum Antar golongan.
g.      Hukum Berdasarkan Wujudnya: Hukum Obyektif dan Hukum Subyektif.
h.      Hukum Berdasarkan Sifatnya: Hukum yang memaksa dan Hukum yang mengatur.
Suatu pendapat lain pernah dikemukakan oleh antropolog, yang menyatakan bahwa dasar-dasar hukum adalah sebagai berikut:[3]
                         a.      Hukum merupakan suatu tindakan yang berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial. Agar dapat dibedakan antara hukum dengan kaidah-kaidah lainnya, dikenal adanya empat tanda hukum atau attributes of law.
                        b.      Tanda yang pertama dinamakannya attribute of authority, yaitu bahwa hukum merupakan keputusan dari pihak yang berkuasa dalam masyarakat, keputusan mana ditujukan untuk mengatasi ketegangan yang terjadi di dalam masyarakat.
                         c.      Tanda yang kedua disebut attribute of intention of universal of application yang artinya adalah bahwa keputusan yang mempunyai daya jangkau panjang untuk masa mendatang.
                        d.      Attribute of obligation merupakan tanda keempat yang berarti bahwa keputusan penguasa harus berisikan kewajiban pihak kesatu terhadap pihak kedua dan sebaliknya. Dalam hal ini semua pihak harus masih di dalam kaidah hidup.
                         e.      Tanda keempat disebut sebagai attribute of sanction yang menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa harus dikuatkan dengan sanksi yang didasarkan pada kekuasaan masyarakat yang nyata.
2.      Kaedah Sosial dan Hukum
Pergaulan hidup manusia diatur oleh pelbagai macam kaidah atau norma, yang pada hakikatnya bertujuan untuk menghasilkan kehidupan bersama yang tertib dan tentram. Di dalam pergaulan hidup tersebut, manusia mendapatkan pengalaman-pengalaman tentang bagaimana memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok atau premary needs, yang antara lain mencakup sandang, pangan, papan, keselamatan jiwa dan harta, harga diri, potensi untuk berkembang dan kasih sayang. Pengalaman-pengalamn tersebut menghasilkan nilai-nilai yang positif maupun negatif, sehingga manusia mempunyai konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang baik dan harus dianut, dan mana yang buruk dan harus dihindari. Sistem nilai tersebut sangat berpengaruh terhadap pola pikir manusia, hal mana merupakan suatu pedoman mental baginya.[4]
Pola pikir manusia mempengaruhi sikapnya yang merupakan kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap manusia, benda maupun keadaan-keadaan. Sikap-sikap manusia kemudian membentuk suatu kaidah.
Di satu pihak kaidah-kaidah itu ada yang mengatur pribadi manusia, dan terdiri dari kaidah-kaidah kepercayaan dan kesusilaan. Kaidah kepercayaan bertujuan untuk mencapai suatu kehidupan yang beriman. Sedangkan kaidah kesusilaan bertujuan untuk mencapai manusia yang hidup berakhlak atau mempunyai hati nurani yang bersih. Di lain pihak ada kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan antar manusia atau antar pribadi, yang terdiri dari kaidah-kaidah kesopanan dan kaidah hukum. Kaidah kesopanan bertujuan agar pergaulan hidup berlangsung dengan menyenangkan, sedangkan kaidah hukum bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam pergaulan antar manusia. Kedamaian tersebut akan tercapai, dengan menciptakan suasana keserasian antara ketertiban (yang bersifat lahiriah) dengan ketentraman (yang bersifat bathiniah). Kedamaian melalui keserasian antara ketertiban dengan ketentraman, merupakan suatu ciri yang membedakan hukum dengan kaidah-kaidah sosial lainnya.

Ekonomi Mikro Islam

EKONOMI MIKRO ISLAM
Dengan menolak redistribusi sebagai suatu cara penting utnuk meningkatkan standar idup si miskin, alternatif utama adalah pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana Pareto menegaskan hal ini. “Suatu pengurangan dalam ketidakmerataan pendapatan tidak dapat terjadi... kecuali ketika pendapatan total meningkat lebih cepat dibandingkan penduduk. Pernyataan Pareto ini berarti bahwa mendistribusikan tidak mungkin dan bahwa penghasilan dapat ditingkatkan hanya dengan suatu peningkaan produk. Dengan demikian, baik kaum liberal maupun konservatif dalam masyarakat Barat telah bersandar pada pertumbuhan ekonomi untuk menghindari pembuatan pertimbangan-pertimbangan distributif.
Dalam beberapa hal distribusi sumber daya ekonomi ekonomi secara otomatis akan menjadi semakin adil dalam proses pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian pertumbuhan ekonomi mendapat penekanan yang tidak semestinya dan menjadi alat utama untuk mengurangi ketidakmerataan. Pertumbuhan yang tinggi memberikan suatu dorongan lebih besar buat penghasilan si kaya, sebab semua isntitusi kapitalis yang memperomosikan ketidakmerataan tersu berjalan mulus.
Walaupun perlunya pertumbuhan tak dapat disnagkal, namun penekanan yang tidak semestinya telah menciptakan sejumlah problem yang akan dikaji kemudian. Ia telah menekankan defisit anggaran dan neraca pembayaran, inlflasi dan stagflasi, dan beban pembayaran hutang.
Pandangan Skeptis
Bahkan di negara-negara kapitalis terdapat suatu pandangan skeptis mengenai kecukupan distribusi dari mekanisme pada dasar persaingan. Peranan “kegagalan pasar”, ketidakmampuan ekonomi pasar untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diharapkan dalam pemanfaatan sumber daya, juga semakin diakui. Diakui bahwa persaingan sempurna tidak terjadi, dan monopoli, peluang yang tidak merata, akses yang tidak menjamin pada sumber daya keuangan besar, penipuan dan pembatasan untuk memasuki suatu industri, suatu kawasan tertentu, atau suatu kedudukan, berperan besar dalam ketidak merataan pendapatan dan kekayaan yang ada.
Salah satu alasan terpenting ketidakmerataan pendapatan adalah tiadanya suatu distribusi bisnis dan saranan produksi yang meluas. Sistem perbankan memainkan suatu peran penting dalam masalah ini. Kredit hanya diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar. Galbraith dengan cepat menekankan bahwa, “sistem perencanaan dari perusahaan besar, ketika ia harus meminjam, maka ia menjadi klien favorite bank, perusahaan-perusahaan asuransi, dan bank-bank investasi. Selanjutnya ia menyatakan, “Mereka yang kurang memerlukan pinjaman dan yang paling disukai sebagai peminjam atau mereka yang kurang disukai bank ada dalam sistem pasar.
Kepentingan pribadi dalam bisnis-bisnis besar dan keuangan besar menjadi amat begitu kuat baik secara ekonomi maupun politik, sehingga boleh jadi akan mustahil untuk mendorong mereka melakukan perubahan-perubahan radikal yang diperlukan bagi suatu hasil yang lebibh baik.
Jalan Reformasi yang berduri: Bermulanya Negara Sejahtera.
Esensi General Theory-nya Keynes bukanlah pembicaraan mengenai fungsi preferensi likuiditas, atau fungsi konsumsi dan investasi tabungan (saving-investment), tetapi penolakan konsep klasik yang berlaku sejakan Adam Smith bahwa tingkat full employment dijamin secara otomatis. Keynes berpendapat bahwa ekonomi pasar bebas tidak dapat diharapkan untuk mempertahankan full employment dan kemakmuran selamanya. Ekonomi semacam itu dapat merosot ke dalam depresi panjang dan sungguh akan tetap mengalami depresi berlarut-larut. Kepercayaan bahwa pemberian waktu dalam suatu perekonomian pasar bebas yang mengalami depresi akan selalu memantulkan kemakmuran dalam jangka panjang adalah, menurut Keynes, didasarkan pada teori ekonomi yang salah.

Makalah Etika Bisnis Era Global

BAB I
PENDAHULUAN
Bisnis merupakan sebuah kegiatan yang telah mengglobal. Setiap sisi kehidupan diwarnai oleh bisnis. Dalam lingkup yang besar, Negara pastinya terlibat dalam proses bisnis yang terjadi. Tiap-tiap Negara memiliki sebuah karakteristik sumber daya sendiri sehingga tidak mungkin semua Negara merasa tercukupi oleh semua sumber daya yang mereka miliki. Mulai dari ekspedisi Negara Eropa mencari rempah-rempah di Asia sampai perdagangan minyak Internasional merupakan bukti bahwa dari dulu sampai sekarang sebuah Negara tidak dapat bertahan hidup tanpa keberadaan bisnis dengan Negara lainnya. Dewasa ini, pengaruh globalisasi juga menjadi faktor pendorong terciptanya perdagangan internasional yang lebih luas. Kemajemukan ekonomi dan sistem perdagangan berkembang menjadi sebuah kesatuan sistem yang saling membutuhkan. Ekspor-Impor multinasional menjadi sesuatu yang biasa. Komoditi nasional dapat diekspor menjadi pendapatan Negara, serta produk-produk asing dapat diimpor demi memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri.
Akhir-akhir ini pelanggaran etika bisnis dan persaingan tidak sehat dalam upaya penguasaan pangsa pasar terasa semakin memberatkan para pengusaha menengah kebawah yang kurang memiliki kemampuan bersaing karena perusahaan besar telah mulai merambah untuk menguasai bisnis dari hulu ke hilir. Perlu adanya sanksi yang tegas mengenai larangan prakti monopoli dan usaha yang tidak sehat agar dapat mengurangi terjadinya pelenggaran etika bisnis dalam dunia usaha.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Etika Bisnis di Era Globalisasi
Perkembangan internet dan bisnis yang menyertainya dalam beberapa tahun ini juga makin terasa dampaknya dalam aktivitas masyarakat keseharian. Kemudahan komunikasi yang disajikan memungkinkan perolehan informasi seketika. Dekade ini menyajikan kemajuan luar biasa dalam ketersediaan informasi, kecepatan komunikasi, bahan-bahan baru, kemajuan biogenetika, obat-obatan, serta keajaiban elektronika. Kemajuan teknologi komputasi, telepon, dan televisi telah memberikan dampak besar terhadap cara perusahaan menghasilkan dan memasarkan produk mereka. Karena teknologi telah memberikan makanan, pakaian, perumahan, kendaraan, dan hiburan baru yang lebih bervariasi. Jarak geografis dan budaya telah menyempit dengan munculnya pesawat udara, mesin faks, sambungan telepon, dan komputer global serta siaran televisi satelit. Kemajuan-kemajuan ini memaksa perusahaan untuk mengerti bahwa hakikat pasar tidak lagi terbatas pada ruang dan waktu.[1]
Globalisasi dan teknologi telah mendorong seleksi alamiah yang mengarah pada ‘yang terkuat yang bertahan’. Keberhasilan pasar akan didapat oleh perusahaan yang mampu menyesuaikan diri dengan persyaratan lingkungan saat ini, yaitu mereka yang mampu memberikan apa yang siap dibeli orang. Baik individu, bisnis, kota bahkan seluruh negara harus menemukan cara menghasilkan nilai yang dapat dipasarkan (marketable value) yaitu barang dan jasa yang menarik minat beli.
 Dalam era globalisasi berarti setiap orang bisa mendapatkan informasi dengan mudah dan dari mana saja dalam waktu yang singkat, segala sesuatu yang terjadi di belahan dunia manapun bias diakses oleh setiap orang, pergolakan ekonomi dan perubahan mata uang dunia dapat dilacak dari kantor / tempat kerja hanya lewat alat elektronik yang canggih yaitu komputer. Jadi permasalahan dan tantangan berbisnis di Indonesia khususnya sangatlah multi kompleks baik dari dalam perusahaan sendiri maupun dari luar seperti halnya persaingan mutu produk atau pemasaran dalam perdagangan pasar dunia yang mengglobal.
Dalam era globalisasi, persaingan bisnis menjadi sangat tajam, baik di pasar domestic (nasional) maupun di pasar internasional atau global. Tanpa terkecuali di Negara kita, dunia usaha di Indonesia juga berkembang dengan pesat. Perdagangan bebas AFTA (ASEAN Free Trade Area) di tahun 2003 dan APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) mulai tahun 2020 memberikan kesempatan para produsen untuk memasarkan produknya secara bebas.[2]
Sebagai dampak globalisasi dan perubahan teknologi, situasi pasar saat ini didorong ke arah keadaan yang berbeda jauh sekali dibandingkan situasi pasar sebelumnya.
Perubahan-perubahan tersebut tampak pada berbagai fenomena, antara lain:
1.      Kekuasaan saat ini sudah beralih ke tangan konsumen.
2.      Skala produksi yang besar tidak lagi merupakan keharusan.
3.      Batasan-batasan negara dan wilayah tidak lagi menjadi kendala.
4.      Teknologi dengan cepat dapat dikuasai dan ditiru.
5.      Setiap saat akan muncul pesaing-pesaing dengan biaya yang lebih murah.
6.      Meningkatnya kepekaan konsumen terhadap harga dan nilai.
B.     Peran Etika Bisnis di Era Global
Era globalisasi adalah situasi dan keadaan yang seolah-olah tanpa batas antar orang, tugas, tempat, ruang atau dengan kata lain “mendunia.”
Sehingga dalam menjalankan bisnis dalam era globalisasi ini para pelaku bisnis menghadapi tantangan utama, yakni :[3]
  1. Pelanggan lebih menuntut kecepatan waktu, dan budaya instant sudah menjadi trend masa kini. Hal ini menjadikan waralaba yang laris adalah yang dapat menyediakan makanan cepat saji.
  2. Etika-etika dalam bisnis kurang diperhatikan oleh pelaku bisnis yang memang hanya mengandalkan kekuatan dan kekuasaan saja, sehingga terjadilah pengkotak-kotakan kepada pelaku bisnis menurut suku, etnis ataupun agama.
  3. Pelanggan kini lebih cerdas dan kritis, dalam arti mereka tidak hanya melihat harga tetapi juga membandingkan dengan mutu atau kualitas produk dan pasti akan mengklaim jika kecewa terhadap suatu produk yang dibelinya.
  4. Ditentukan adanya standar mutu tertentu yang diputuskan secara bersama-sama oleh suatu komite yang ditunjuk, misalnya ISO.
  5. Tingkat ekspansi dan persaingan bisnis sangat tinggi, baik secara domestic maupun internasional, begitu suatu produk muncul di pasaran dan ‘booming’ , pasti dalam sekejap ada produk lain yang meniru, entah halal maupun tidak.
  6. Perubahan yang sangat cepat kadang-kadang tak terduga atau memang sulit diduga, misalnya setelah terjadi pemboman gedung WTC di AS oleh teroris, pasar modal dunia menjadi lesu dan bergejolak tak menentu, yang pasti dampaknya ke aspek bisnis yang sangat mengejutkan bagi setiap pelaku bisnis.
  7. Muncul ketidak pastian di sekitar hal-hal yang berkaitan dengan sumberdaya manusia, misalnya bagaimana memotivasi karyawan dengan bermacam-macam latar belakang pendidikannya, bagaimana mendapatkan karyawan yang berkualitas, cerdas, berwawasan luas dalam lingkup domestic dan internasional.
Tidak dapat dipungkiri dunia bisnis dalam era global ini dihadapkan pada proses perubahan yang begitu cepat dan rumit. Untuk itu kebutuhan akan perubahan yang dinamis dalam berbagai hal seperti visi, misi, tujuan dan sistem berpikir menjadi hal  pokok yang harus dimiliki perusahaan. Dalam konteks organisasi belajar, setiap individu organisasi bisnis harus memiliki komitmen dan kapasitas untuk belajar pada setiap tingkat apapun dalam perusahaannya. Dengan kata lain setiap pekerjaan harus mengandung unsur pembelajaran yang semakin aktif.
Membawa perusahaan ke arah sukses adalah impian dan harapan setiap pemimpin bisnis, sepertinya memang mudah jika hanya berupa teori, namun akan menjadi sulit jika harus diterapkan menjadi suatu rancangan strategi yang menghasilkan program masa depan dan mampu menjawab tantangan.
Oleh karena itu dibutuhkan seorang pemimpin yang unggul dengan etika sebagai berikut :[4]
1.      Memiliki tujuan yang tepat.
Penetapan tujuan merupakan salah satu langkah dasar yang sangat penting untuk menuju tangga sukses dan jika kita merencanakan terlebih dahulu, pasti akan senang melihat banyak hal yang kita inginkan itu bisa terwujud.
Agar tujuan lebih bisa terukur kinerjanya, maka perlu diingat SMART [Spesific, Measurable, Attainable, Realistic, Tangible].
Tanpa menetapkan tujuan, visi kita hanya tetap menjadi angan-angan. Dan satu hal yang pasti adalah sikap realistis kita, yakni untuk mencapai tujuan haruslah ada kerja keras atau usaha besar dan tingkat usaha kita sesuai dengan tujuan yang telah kita tetapkan.
2.      Berpikir imajinatif dan inovatif.
Yang dimaksudkan adalah seorang pemimpin yang senantiasa berpikir ke arah masa depan, membuat rancangan-rancangan strategi yang imajiner tetapi tetap berpijak pada realitas perusahaan, masa kini dan kemampuan diri.
3.      Memiliki antusiasme yang berasal dari dalam hati.
Menanamkan rasa antusiasme dalam diri kita merupakan energi positif untuk membangkitkan semangat kerja.
Abraham Lincoln pernah mengatakan, “Aku akan mempersiapkan diri dan pasti kesempatanku untuk sukses akan tiba.”  Itulah antusiasme yang ditanamkan dalam diri sendiri, selama perjalanan menuju kursi kepresidenan, beliau telah melewatinya dan berhasil.
4.      Berorientasi pada pelayanan.
Pemahaman baru dan lebih manusiawi adalah proses kerja yang menempatkan pelanggan sebagai posisi yang paling tinggi dan paling penting karena mereka adalah bagian yang paling utama dalam bisnis.
Selain keharusan mengubah diri, dunia usaha juga harus melihat perubahan itu sendiri secara baru. Pemimpin seharusnya selalu membuat perubahan terus menerus sebagai cirri utama kinerjanya dalam perusahaan.
5.      Memiliki sifat pemberani dan bertanggung jawab.
Sifat ini juga merupakan bagian yang penting untuk sukses, sepertinya tak aka nada pertumbuhan dan perkembangan pribadi jika kita tidak berani berubah dan disiplin dalam bekerja.
Para pemimpin besar adalah orang-orang yang pemberani dalam artian mereka berani menghadapi tantangan, bahaya, hambatan maupun gangguan yang ada di sekitarnya; keberanian di sini diartikan sebagai kesediaan untuk bekerja di jalan yang berbahaya dan melakukan hal yang berbahaya jika memang diperlukan bukan karena semata-mata ingin hidup dalam bahaya bahaya, namun karena ingin menyelesaikan pekerjaan dengan baik; intinya bahwa seorang pemberani tidak takut terhadap masalah, menganalisanya dan memusatkan pada solusi yang akan dicapai serta menerapkannya pada tindakan nyata.[5]
Sedangkan ciri orang yang bertanggung jawab adalah memiliki komitmen dan dedikasi dalam melakukan suatu pekerjaan sehingga tujuan yang dicapai bukanlah seberapa besar penghasilan atau keuntungan semata, melainkan demi tujuan kemajuan perusahaan dan perkembangan diri. Sebelum tujuan akhir tercapai, mereka tidak akan berhenti, karena seorang pemimpin sejati tidak mengenal kata menyerah atau putus asa.
Sebagai manajer, dia bersama karyawan seharusnya terdorong untuk selalu melakukan kajian dengan menghasilkan gagasan-gagasan baru dan mengkontribusikannya pada perusahaan. Sikap manajer yang mungkin selama ini begitu toleran terhadap setiap kesalahan karyawan manajer patut diubah. Manajer harus mengambil posisi untuk mencegah terjadinya resiko besar dari suatu kesalahan kerja. Memang suatu ke berhasilan biasanya didasarkan pada kegagalan yang pernah dialaminya. Namun manajer harus mengevaluasi setiap kegagalan dan melakukan evaluasi diri.
Fungsi manajer adalah lebih sebagai peneliti dan sekaligus perancang ketimbang hanya sebagai penyelia. Dalam hal ini manajer harus mendorong para karyawan untuk menciptakan gagasan baru, sekecil apapun, dan mengkomunikasikan gagasan-gagasan tersebut ke karyawan lain. Selain itu hendaknya manajer mendorong karyawan untuk mengerti keseluruhan pekerjaan dan permasalahannya, membangun visi kolektif dan bekerja bersama mencapai tujuan perusahaan.
Untuk menghadapi perubahan pasar yang sangat cepat sangatlah diperlukan perencaan yang tepat. Perencanaan bisnis yang baik harus dapat secara jelas menggambarkan karakteristik bisnis yang sedang atau akan dilaksanakan sehingga pihak-pihak yang tertarik dapat melihat secara transparan dan mengerti dengan jelas prospek perkembangannya dimasa yang akan datang. Perencanaan bisnis yang baik harus memuat asumsi-asumsi serta alasan yang dipergunakan sebagai dasar perhitungan, seperti dasar perhitungan besarnya permintaan dan proyeksi penjualan, perhitungan harga pokok penjualan, strategi-strategi yang akan dilakukan, serta berbagai strategi manajemen untuk pengembangan bisnis.[6]
Rencana bisnis yang disusun secara cermat akan sangat menolong dalam pengambilan keputusan karena subtansinya mencakup strategi, target, dan posisi bisnis di tengah-tengah persaingan yang ada. Agar semua tujuan tersebut tercapai, sangat diperlukan strategi untuk mencapai keunggulan bersaing. Keunggulan bersaing ini penting untuk diketahui dalam penyusunan perencanaan bisnis karena tidak lepas dari prinsip-prinsip ekonomi, yaitu bagaiman kegiatan operasional perusahaan dapat berjalan lancar dengan meminimalkan seluruh biaya yang ditimbulkan dan memaksimalkan keuntungan.

Makalah Hadist Dhaif

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam pembuatan hadits dha’if supaya kita mengerti bagaimana pengertian hadits dha’if. Disini diterangkan bahwa hadits dha’if adalah hadits yang lemah, disebabkan karna gugurnya rawi, cacat pada rawi dan matannya, dalam pembahasan ini kita dapat mengetahui bagaimana hadits yang dha’if, maudhu atau hadits yang shahih.
Hadits dha’if ini banyak macam ragamnya oleh karena itu kita harus lebih memahami tentang hadits dha’ifnya. Kemudian tentang kehujahan hadits dha’if ini dapat diamalkan secara mutlak yang berkaitan dengan masalah halal dan haram, kewajiban dengan syarat tidak ada hadits lain, kemudian dipandang baik mengamalkan hal-hal yang dianjurkan dan meninggalkan hal-hal yang dilarang.
lmu hadits adalah ilmu yang sangat rumit dan menyisakan banyak problematika ditengah-tengah umat, juga merupakan bagian dari ilmu yang harus diketahui dan dipelajari oleh segenap kaum muslim, karena dewasa ini banyak kita temukan sekelompok orang yang tidak bisa dikatakan kredibel dalam bidang ilmu ini dengan sangat yakin melontarkan hadits demi hadits untuk menjustifikasi apa yang dia lihat tanpa memperhatikan aspek apa saja yang harus dilalui. Seperti halnya bagian dari pembahasan yang ada di dalam ilmu hadits ini, yaitu hadits dha’if dan maudhu’, apapun bentuknya dan apapun kasusnya. Maka dari itu, sangat penting untuk mempelajari hadits dha’if dan maudhu’ agar tidak mudah terjebak dengan pemahaman-pemahaman yang penuh dengan pertentangan menurut disiplinnya



BAB II
PEMBAHASAN
HADITS DHA’IF
A.    Defenisi
Hadis dha’if ialah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat bisa diterima. Mayoritas ulama menyatakan: Hadits dha’if yaitu hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat shahih ataupun syarat-syarat.
Menurut bahasa dha’if berarti ‘Aziz: yang lemah sebagai lawan dari Qawiyyu yang artinya kuat.
Sedang menurut istilah, Ibnu Shalah memberikan definisi :
ما لم يجمع صفات الصحيح ولاصفات الحسن
Artinya:
“Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”.
Zinuddin Al-Traqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan kalimat yang seharusnnya dihindarkan, menurut dia cukup :
ما لم يجمع صفات الحسن
Artinya:
“yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan”
Karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan sudah barang tentu tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih.[1]
Para ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if :
 “hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.[2]
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian hadits dha’if adalah hadits yang lemah, yakni para ulama masih memiliki dugaan yang lemah, apakah hadits itu berasal dari Rasulullah atau bukan. Hadits dha’if itu juga bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih tetapi juga tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan.
B.     Jenis-jenis Hadits dha’if
Untuk memudahkan kajian membagi hadits dha’if dikaitkan dengan dua sebab pokok itu.
1.      Pertama, hadis-hadis dha’if karena ketidak muttasilah sanad, yaitu:
a.       Hadits Mursal
Hadits Mursal yaitu:
Hadits yang dimarfu’kan oleh seorang tabi’iy kepada rasul SAW, baik berupa sabda, perbuatan maupun taqrir, baik tabi’in itu kecil atau besar.
Hadits mursal menurut ulama’ fiqh dan ushul adala hadits yang perawinya melepaskannya tanpa menjelaskan sahabat yang ia ambil riwayatnya.
Hukum Mursal Tabi’iy
Pendapat di kalangan ulama tentang hadits mursal yang terpopuler ada tiga pendapat, yaitu:
a.       Boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak
b.      Tidak boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak.
c.       Bisa dijadikan sebagai hujjah bila ada yang menguatkannya.
Bila shahih kedatangan suatu hadits mursal dari jalur lain secara musnad dengan perawi-perawi yang tidak sama dengan perawi-perawi yang pertama, maka ia bisa dijadikan sebagai hujjah menurut mayoritas ulama dan ahli hadits. Karena yang musnad itu mampu menyingkap keshahihan yang mursal. Bahkan bila keduanya bertentangan dengan hadits lain yang shahih, maka keduanya tetap didahulukan bbila tidak dikompromikan. Ini dikarenakan keterbilangan jalurnya.[3]



b.      Hadits Munqathi’
Yaitu hadits yang dalam sanadnya gugur satu orang perawi dalam satu tempat atau lebih, atau didalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham.
Hadits munqati menurut bahasa artinya terputus. Menurut sebagian para ulama hadits, hadits munqati’ ialah hadits yang dimana didalam sanadnya terdapat seseorang yang tidak disebutkan namanya oleh rawi, misalnya perkataan seorang rawi, “dari seseorang laki-laki”. Sedang menurut para ulama lain bahwa hadits muntaqi’ ialah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang gugur (tidak disebutkan) dari rawi-rawi sebelum sahabat, baik dalam satu atau beberapa tempat, namun rawi yang gugur itu tetap satu dengan syarat bukan pada permulaan sanad.[4]
Contoh yang mengandung perawi yang mubham adalah yang wiriwayatkan oleh Abu al-Ala’ Ibn asy-Syakhir dari dua orang dan Syaddan ibn Aus.
Hadits munqhati;  jelas tertolak dan tidak bisa dijadikan hujjah, karena tidak diketahuinya perawi yang dihilangkan dan disamarkan.
c.       Hadits Mu’dhal
Yaitu hadis dari sanadnya gugur dua atau lebih perawinya secara berturut-turut.
d.      Hadits Mudallas
Kata “tadlis” secara etimologis berasal dari akar kata ad –Dalas yang berarti “adz-Dzulmah (kedzaliman).
Tadlis dalam jual-beli berarti menyembunyikan aib barang dari pembelinya.
Tadlis terdiri dari dua jenis:
1.      Tadlis al-Isnad yaitu seorang perawi (mengatakan) meriwayatkan sesuatu sesuatu dari orang semasanya yang tidak  pernah ia bertemu dengan orang itu, atau pernah bertemu tetapi yang diriwayatkannya itu tidak didengarnya dari orang tersebut, dengan cara yang menimbulakn dugaan mendengar langsung.
Mengenai hukum tadlis ada tiga pendapat di kalangan ulama’
a.       Sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang diketahui melakukan tadlis, maka ia menjadi majruh dan tertolak riwayatnya secara mutlak.
b.      Sebagian lagi mengatakan bahwa hadits mudallas bisa diterima karena tadlis sama degan irsal.
c.       Sebagian yang lain lagi mengatakan bahwa ditolak setiap hal yang mengandung tadlis, sedang hadits-haditsnya yang lain yang tidak mengandung tadlis bisa diterima.
2.      Tadlis asy-Syuyukh
Ini lebih ringan daripada tadlis al-isnad.
Hukum melakukan tadlis asy-syuyukh adalah makruh menurut ulama hadits, karena mengandung kerumitan bagi pendengar untuk mengecek sanadnya atau untuk mengecek guru-gurunya.
Kemakhruhan itu berbeda-beda, tergantung factor yang mendorong seseorang melakukannya.[5]
e.       Hadits Mu’allal
Yaitu hadits yang tersingkap didalamnya ‘illah qadihah, meskilahiriahnya tampak terbebas darinya.
2.      Kedua, hadits-hadits dha’if karena sebab lain ketidakmuttashilan sanad.
a.       Hadits Mudha’af
Yaitu hadits yang tidak disepakati kedhai’ifannya. Sebagian ahli hadits menilainya mengandung kedha’ifan, baik di dalam sanad atau dalam matannya, dan sebgaian lain menilainya kuat. Akan tetapi penilaiannya dha’if itu lebih kuat, bukannya lebih lemah. Atau tidak ada yang lebih kuat antara penilaian dha’if dan penilaian kuat.
b.      Hadits Mudhtharib
Yaitu hadits diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang saling berbeda, yang tidak mungkin mentarjihkan sbagiannya atas sebagian yang lain, baik perawinya satu atau lebih. Adapun bilsa salah satunya bisa ditarjihkan dengan salah satu alasan tarjih. Maka penilaian diberikan kepada yang rajah.[6]
c.       Hadits Maqlub
Yaitu suatu hadits yang mengalami pemutarbalikan dari diri perawi mengenai matannya, nama salah satu perawi dalam sanandnya atau suatu sanand untuk matan lainnya.
Kadang-kadang keterbalikan itu terjadi pada sanad, yaitu terbaliknya nama seorang perawi atau suatu hadis diriwayatkan melalui jalur perawi yang telah dikenal atau dengan sanad yang telah popular. Lalu tertukar dengan perawi (lain) pada tingkatannya atau dengan sanad yang bukan sanadnya, karena tidak sengaja atau seorang perawi sengaja membalikkan dengan itu tujuan menunjukkan yang aneh dengan harapan orang-orang akan ebih tertarik meriwayatkan darinya.
Keterbalikan yang terjadi pada diri seorang perawi karena lupa, bukan karena tujuan mengetes (orang lain) menjadikannya dha’if karena kedha’ifan hafalannya, bila hal itu diketahui padanya atau karena seringnya hal itu terjadi pada dirinya.[7]
d.      Hadits Syadz
Imam asy-Syafi’iy, beliau mengatakan bahwa hadits syadz bukanlah hadits dimana perawi tsiqat meriwayatkan hadits yang sama sekali tidak diriwayatkan oleh yang lain. Yang dimaksud hadits syadz adalah bila diantara sekian perawi tsiqat ada diantara mereka yang menyimpang dari lainnya.

e.       Hadits Munkar
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi dha’if yang berbeda dengan perawi-perawi (lain) yang tsiqat. Oleh karena itu, criteria hadits munkar adalah penyendirian perawi dha’if dan mukhalafah.
Bila haditsnya ditentang dengan adanya hadits dari perawi tsiqat atau shaduq, sementara pada hadits munkar, perawinya dha’if.[8]
f.       Hadits matruk dan Mathruf
1)      Hadist matruk yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang “muttaham bi al-kidzbi” (yang tertuduh melakukan dusta) dalam hadits nabawiy, atau sering berdusta dalam pembicaraannya, atau yang terlihat kefasikannya melalui perbuatan maupun kata-katanya ataupun yang sering sekali salah dan lupa, bahwa hadits matruk merupakan tingkat hadits terendah.
2)      Hadits Mathruh
Al-Hafidz adz-Dzahabiy menjadikannya sebagai jenis terse belaiu mengambil istilah itu dari terma ulama “Fulan Ma al-Hadits” (seseorang dalam daftar hadits-hadits perawi dha’if tertinggal haditsnya.
C.    Peningkatan Kualitas Hadits Dha’if Karena Jumlah Sanadnya
Sebab-sebab kedha’ifan perawi kembali kepada dua sebab pokok. Pertama, kedha’ifan karena cacatnya kualitas pribadi (adalah) perawi.
Kedua, kedha’ifannya karena cacatnya kapasitas intelektual, yaitu kelupaan sering salah, buruk hafalan, kerancuan hafalan dan kekeliruan.
An-Nawawiy mengatakan bahwa hadits dha’if, tatkala jalurnya berbilang bisa meningkat kepada derajat hasan, sehingga bisa diterima dan diamalkan. Sementara as-Sakhawiy mengatakan bahwa hal itu tidak membawa konsekuensi mengamalkan hadits dha’if. Penggunaan hujjah adalah dengan gabungan dari jalur-jalurnya.
D.    Hukum mengamalkan Hadits Dha’if
Ada tiga pendapat di kalangan ulama mengenai penggunaan hadits dha’if:
1.      Hadits dha’if tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadha’il maupun ahkam.
2.      Hadits dha’if bisa diamalkan secara mutlak.
3.      Hadits dha’if bisa digunakan dalam masalah fadha’il, mawa’idz atau yang sejenis bila memenuhi beberapa syarat.
E.     Bagaimana Meriwayatkan Hadits Dha’if
Ulama Hadits mengingatkan agar orang yang meriwayatkan hadits dha’if tanpa sanad tidak meriwayatkannya dengan redaksi yang menunjukkan kemantapan penuh bahwa ia merupakan hadits. Sehingga ia tidak diperkenankan mengatakan: “Rasulullah SAW. Menyabdakan begini-begini”. Dan sejenisnya. Bahkan ia harus meriwayatkannya dengan redaksi yang menunjukkan keraguan akan keshahihannya. Misalnya “ruwiya”, “ja’a”, “nuqila”, “fi ma yurwa” dan sejenisnya. Dan kata-kata itu justru makruh digunakan dalam meriwayatkan hadits-hadits shahih. Sehingga dalam meriwayatkan hadits-hadits shahih, seorang harus menggunakan redaksi yang menunjukkan kemantapan penuh akan kualitasnya.[9]
Al-Hadits Al-Maudhu’
A.    Defenisi
1.      Hadits maudhu’ secara etimologis merupakan bentuk isim maf’ul dari وضع,يضع. Kata وضع memiliki beberapa makna, antara lain (menggugurkan). Juga bermakna الترك (meninggalkan).[10]
2.      Sedang pengertian maudhu’ menurut terminology ulama hadits adalah:
Sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasul saw, secara mengada-ada dan dusta, yang tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan ataupun beliau taqrirkan.
Sebagian mengatakan hadits yang dibuat-buat
B.     Permulaan terjadinya pemalsuan
Ketegangan terjadi antara Amirul MukmininAli Ibn abi Thalib ra. dan Gubernur Syam Mu’awiyah ibn Abu Sufyan ra. memiliki dampak besar terhadap pecahnya umat dan kemunculan berbagai aliran keagamaan dan politik. Masing-masing ingin melegitimasi pendapatnya dengan AL-Qur’an dan as-Sunnah.
Oleh karena itu, sebagian mereka mencoba menta’wilkan Al-Qur’an danmenafsirkan hadis-hadis dengan pengertian yang sebenarnya tidak dikandungnya. Dan ketika mereka tidak menemukan apa yang mereka cari.
Maka mereka mencoba beralih kepada pola pemalsuan dan pendustaan atas diri rasul SAW. Sejak itu, muncullah hadits-hadits tentang keutamaan Khlaifah Rasyidah yang empat dan yang lain dari para pemimpin dan pemuka aliran, di samping muncul haidts-hadits yang secara tegas menyatakan pengukuhan atas kelompok-kelompok politik dan aliran-aliran keagamaan serta yang lainnya.
Hadits-hadits maudhu’ tidaklah bertambah banyak kecuali karena bertambah banyaknya bid’ah dan pertikaian.
Dalam hal-hal hadits palsu, semua kedustaan atas para sahabat harus dinafikan. Karena sungguh tidak mungkin mereka menyelami pekerjaan berdusta dan memalsu, setelah kita mengetahui pengorbanan mereka dan kecintaan mereka kepada rasul SAW, setelah kita mengetahui keadilan mereka berdasarkan dalil naqli. Al-Qur’an dan al-Hadits dan ‘Aqli, dan setelah kita mengetahui semangat mereka terhadap syari’ah dan kegigihan mereka memegannya dan menjaganya.[11]
Pemalsuan hadits pada masa tabi’in relative lebih sedikit disbanding dengan yang terjadi pada masa-masa selanjutnya.
C.    Sebab-sebab Pemalsuan
1.      Golongan-golongan Politik
a.       Pengaruh Syi’ah dan Musuh-musuhnya dalam pemalsuan hadits Ibn Abi al-Hadid di dalam Syarh Nahj al-Balaghah mengatakan: Asal mula munculnya hadits-hadits dusta dalam hal keutamaan-keutamaan adalah dari syi’ah.
Yang menjadi sasaran Syi’ah adalah pengukuhan wasiat rasul SAW. Kepada Ali ra. untuk memegang khilafah setelah beliau wafat. Sehingga mereka membuat hadits palsu yang sangat banyak.
Mereka juga membuat hadits-hadits palsu tentang Ali, keturunan dan pendukungnya.
Disamping itu, kaum Syi’ah juga membuat hadits-hadits palsu yang mendorong Abu Bakar, Umar dan yang lain.[12]
b.      Khawarij dan pemalsuan hadits
Tidak ada riwayat yang tegas bahwa kaum Khawarij membuat hadits palsu. Bahkan menurut pendapat yang kuat, bahwa latar belakang ketiadaan mereka membuat hadits palsu adalah keyakinan mereka bahwa pelaku dosa besar adalah kafir, dan berdusta termasuk dosa besar. Bahkan banyak kabar yang mengukuhkan bahwa mereka merupakan kelompok yang paling jujur dalam meriwayatkan hadits.
2.      Negara Islam Telah Mampu Meruntukkan Dua Negara Adikuasa
Pada masa itu Negara Islam telah mampu meruntuhkan dua Negara adikuasa, yakni Kisra dan Qaishar dan mampu meredam raja-raja dan amir-amir yang bertindak sewenang-wenang terhadap wilayah-wilayah kekuasaan mereka dengan cara menyiksa, menjarah harta benda dan menjadikan budak warganya. Di antara para penguasa itu ada kelompok-kelompok khusus, pihak-pihak yang mengambil keuntungan dan mereka yang bersikap ekstrim.
Pada saat yang sama, para penguasa merasakan kehilangan kekuasaan dan status serta kehilangan kesempatan memanipulasi rakyat. Para penguasa itu tidak kunjung mendapatkan posisi yang baru.
Mereka jelas tidak mampu merealisasikan keinginan mereka dengan kekuatan senjata, karena kuatnya pemerintah Islam. Karena itu mereka mencoba menjauhkan masyarakat dari akidah yang baru dan menggambarkan Islam dan ajaran-ajarannya dengan gambaran yang sangat buruk, baik dalam hal akidah maupun ibadahnya serta pemikiran-pemikirannya.

Sejarah Singkat Hadits

A.    Pendahuluan
Sejarah perjalanan hadits tidak sama dengan perjalanan al-Qur’an. Jika al-Qur’an sejak awalnya sudah diadakan pencatatan secara resmi oleh para pencatat wahyu atas perintah dari nabi dan tidak ada tenggang waktu antara turunya wahyu dengan penulisanya, maka tidak demikian dengan hadits nabi. Jika al-Qur’an secara normatif telah ada garansi dari allah, dan tidak ada keraguan akan otentisitasnya, maka tidak juga demikian dengan hadits nabi, yang mendapatkan perlakuan berbeda dari al-Qur’an. Dalam kitab-kitab hadits terdapat larangan penulisan hadits.[1]
Dengan perbedaan sejarah perjalanan hadits dan sumber hukum utama al-Qur’an. Maka kami, dalam makalah ini akan membahas sejarah singkat perkembangan hadits dari zaman Rasulullah sampai zaman sekarang ini.
B.     Sejarah Ringkah Hadis
1.      Hadits pada Masa Nabi dan Sahabat
a.      Hadits pada masa nabi
Membicarakan hadits pada masa rasulullah, berarti membicarakan hadits pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi rasulullah SAW sebagai sumber hadits. Rasulullah SAW membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini cukup singkat, dimulai sejak tahun 13 sebelum Hijriah atau bertepatan dengan 610 Masehi sampai dengan tahun 11 Hijriah atau bertepatan dengan 632 Masehi. Masa ini merupakan kurun waktu turunya wahyu dan sekaligus diwurudkannya Hadits. Keadaan ini sangat menuntut keseriusandan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam.[2]
Wahyu Allah SWT kepadanya dijelaskannya melalui perkataan (aqwal), perbuatan  (af’al), dan penetapan (taqriir)-nya. Sehingga apa yang didengar, dilihat dan disaksikan oleh para sahabatmerupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiyah mereka. Nabi muhammad merupakan contoh satu-satunya bagi para sahabat, karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul Allah SWT yang berbeda dengan manusia lainya.[3]
a.      Cara nabi menyampaikan hadits
Ada suatu keistemawaan pada masa ini yang membedekannya dengan masa lainnya. Umat islam pada masa ini dapat secara lanhgsung memperoleh hadits dari Rasul SAW sebagai sumber hadits. Allah menurunkan al-Quran dan mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya adalah satu paket yang tidak bisa dipisah-pisahkan, dan apa-apa yang disampaikannya juga merupakan wahyu. Allah berfirman dalam menggambarkan kondisi utusan-Nya tersebut.[4]
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ   ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ  
Artinya: Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). QS al-Najm (53):3-4)
Ada beberapa cara Rasululullah menyampaikan hadits kepada para sahabat, yaitu: Pertama, melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-Ilmi. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Kedua,nabi menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertertu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Hal ini terjadi karena, terkadang ketika nabi mewurudkan haditsnya, para sahabat yang hadir hanya beberapa saja. Ketiga, Nabi Muhammad SAW menyampaikamn hadits melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh makkah.[5]
b.      Menghafal hadits
Untuk memelihara kemurnian  dan mencapai kemaslahatan al-Quran dan Hadits, sebagai dua sumber ajaran islam, Rasulullah menempuh jalan yang berbeda. Terhadap al-Quran beliau secaraa resmi mengintruksikan kepada sahabat supaya ditulis disamping dihafalkan. Sedang tehadap hadits Rasulullah hanya menyuruh menghafalkannya dan melarang menulisnya secara resmi.
Maka segala hadits yang diterima dari Rasulullah oleh para sahabat diingatnya secara sungguh-sungguh dan hati-hati, dengan cara menghafalnya. Mereka sangat khawatir dengan ancaman Rasulullah untuk tidak terjadi kekeliruan tentang apa nyang diterimanya. Ada beberapa dorongan yang memotivasi para sahabat dalam kegiatan menghafal hadits ini. Pertama,menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak jamaman pra islam dan mereka terkenal kuat hafalannya; Kedua, rasulullah banyak memberikan spirit melalui doa-doanya; Ketiga, seringkali ia menjanjikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadits dan menyampaikan kepada orang lain.[6]
c.       Menulis hadits
Di balik larangan Rasulullah SAW seperti pada hadits Abu Sa’id Al-Khudri di atas, ternyata ditemukan sahabat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan terhadap hadits Nabi. Di antaranya adalah sahabat Abdullah ibn amr Al-‘ash. Ia memiliki catatan hadits yang menurut pengakuannya dibenarkan oleh rasulullah SAW. Sehingga diberi nama al-sahifah al-shadiqah. Menurut sebuah riwayat diceritakan, bahwa orang-orang Quraisy mengeritik sikap Abdullah ibn Amr, karena sikapnya yang selalu menulis apa yang datang dari rasulullah. Mereka berkata: “Engkau tuliskan apa saja yang datang dari rasulullah, padahal rasul itu manusia, yang bisa saja bicara dalam keadaan marah”. Kemudian kritikan itu disampaikan kepada rasulullah dan Rasul menjawabnya dengan mengatakan:[7]
اُكْتُبْفَوَاَلذِىنَفْسِىبِيَدِهِمَايَخْرُجُمِنْهُاِلاَّالحَقُّ.)رواهالبخارى(
Tulislah! Demi zat yang diriku berada di tangan-Nya,tidak ada yang keluar daripadanya kecuali yang benar”.(HR. Bukhari)[8]
Hadits-hadits yang terhimpun dalam catatannya ini sekitar seribu hadits, yang menurut pengakuanya diterima langsung dari Rasulullah ketika mereka berdua tanpa ada orang lain yang menemaninya.[9]
b.      Hadits pada Masa Sahabat
Periode sejarah perkembangan hadits setelah masa nabi adalah masa sahabat, khususnya masa Khulafa’ al-Rasyidin, yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H. Masa ini disebut juga masa sahabat besar.[10]
Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Quran, maka periwayatan hadits belum begitu berkembang dan berusaha untuk membatasinya. Oleh karena itu, oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan ( al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwayah).[11]
Pesan Rasulullah sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasul dibuktikan dengan melaksanakan segala yang dicontohkannya. Perhatian para sahabat padaa masa ini terutama sekali terfokus pada usaha memlihara dan menyebarkan al-Quran. Ini terlihat bagaimana al-Quran dibukukan pada masa Abu Bakar atas  saran Umar bin Khatab. Usaha pembukuan ini diulang juga pada masa Usman bin Affan, sehingga melahirkan Mushaf Usmani. Sikap memusatkan perhatian terhadap al-Quran bukan berarti mereka lalai dan tidak menaruh perhatiannya terhadap Hadits. Mereka memegang hadits seperti halnya yang diterimanya dari Rasulullah secara utuh ketika beliau masih hidup. Akan tetapi dalam meriwayatkan mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri. Karena mereka khawatir terjadi kekeliruan, yang padahal hadits merupakan sumber tasryi’ setelah al-Quran, yang harus terjaga dari kekeliruannya sebagaimana al-Quran. Mereka membatasi dalam meriwayatkan hadits-hadits tertentu. Khususnya yang berkaitan dengan permasalahan ibadah dan muamalah. Periwayatan itu dilakukan setelah diteliti secara ketat pembawa hadits tersebut dan kebenaran isi matannya. Ada dua jalan para sahabaat dalam meriwaytkan hadits dari rasul SAW. Pertama dengan jalan periwayatan lafzhi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul SAW) dan kedua dengan jalan periwayatan maknawi (maknanya saja).[12]
Karakteristik yang menonjol pada era sahabat ini adalah para sahabat memiliki komitmen yang kuat terhadap Kitab Allah. Mereka memelihara dalam lembaran-lembaran, mushaf, dan dalam hati mereka. Kehati-hatianya terhadap al-Quran ini juga diberlakukan terhadap sunnah (hadits) meskipun di satu sisi ada larangan dari Nabi SAW untuk tidak menuliskannya. Meskipun demikian mereka berupaya mempertahankan keotentikan kedua-duanya. Setelah al-Quran terkumpul dalam satu suhuf, mereka baru berani menuliskan sunnah nabi.[13]

2.      Hadits pada Masa Penulisan
Hadits Nabi saw memang belum ditulis secara umum pada zaman Nabi saw masih hidup, karena ketika itu Al-Qur’an masih dalam proses diturunkan dan diurutkan. Nabi Muhammad SAW menempuh jalan yang berbeda. Terhadap al-Quran beliau secara resmi menginstruksikan kepada para sahabat supaya ditulis disamping dihafal. Sedang terhadap hadits beliau hanya menyuruh menghafalnya dan melarang untuk menulisnya.
Hal ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu:[14]
a.       Para sahabat berpegang pada kekuatan hafalan dan kecerdasan akal mereka, disamping tidak lengkapnya peralatan tulis menulis yang mereka miliki.
b.      Adanya larangan menulis hadits, Rosululloh bersabda:
لا تَكْتُبُوْا عَنِّيْ وَ مَنْ كَتَبَ عَنِّيْ غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَ حَدِّثُوْا عَنِّيْ وَ لا حَرَج وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّار (رواه مسلم(
“Janganlah kalian menulis sesuatu pun dariku, barangsiapa yang telah menulis dariku selain Al-Qur’an hendaklah dia menghapusnya, dan beritakanlah hadits dariku, yang demikian tidak berdosa, namun barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah dia mengambil tempat duduknya dari api neraka.” ( HR. Muslim )