PENDAHULUAN
Pada masa permulaan Islam, umat Islam belum mengenal
adanya ulumul hadits atau ilmu hadits. Hal ini mungkin dikarenakan fokus
perhatian umat Islam pada waktu itu masih terpecah antar dakwah, jihad dan
pendalaman Al-Qur’an, sehingga perhatian terhadap hadits walaupun sudah cukup
intens namun belum segencar pada masa-masa berikutnya.
Kita ketahui
bahwasanya hadist merupakan sumber sumber ajaran Islam yang kedua setelah
al-Qur’an. Keberadaan hadist disamping telah mewarnai masyarakat dalam kehidupan
juga telah menjadi bahasan kajian yang menarik. Hadist mengandung makna dan
ajaran serta memperjelas kandungan al-Qur’an dan lain sebagainya. Para peneliti
dan ahli hadist telah berhasil mendokumentasikan hadist baik kepada kalangan
masyarakat, akademis, penelitian hadist tersebut telah membuka peluang untuk
mewujudkannya suatu kajian disiplin Islam, yaitu bidang study Ulumul Hadist.
Maka dalam makalah ini, penulis menyajikan tentang “Pengertian Ulumul Hadist,
Sejarah Perkembangannya, dan Cabang-cabang Ulumul Hadits”, semoga makalah
sederhana ini dapat bermanfaat bagi semuanya, terutama bagi penulis. Amin.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ulumul Hadist
Ulumul Hadits adalah istilah ilmu hadits
didalam tradisi hadits. ( ‘ulum al-hadits) ‘ulum al-hadits terdiri atas dua
kata yaitu ‘ulum dan al-hadits. Kata ‘ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk
jamak dari ‘ilm yang berarti “ilmu”, sedangkan hadits berarti: “segala sesuatu
yang taqrir atau sifat”. Dengan demikian gabungan antara ‘ulum dan al-hadits
mengandung pengertian “Ilmu yang membahas atau yang berkaitan dengan hadits
Nabi Saw”.
Ulumul Hadis adalah istilah ilmu hadis di dalam
tradisi ulama hadits. (Arabnya: ‘ulumul al-hadist). ‘ulum al-hadist terdiri
dari atas 2 kata, yaitu ‘ulum dan Al-hadist. Kata ‘ulum dalam bahasa arab
adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti “ilmu-ilmu”; sedangkan al-hadist di
kalangan Ulama Hadis berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW
dari perbuatan, perkataan, taqir, atau sifat.” Dengan demikian, gabungan kata
‘ulumul-hadist mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan
Hadis nabi SAW”.[1]
Pada mulanya, Ilmu hadist memang merupakan
beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, yang berbicara tentang Hadist
Nabi Saw dan para perawinya, seperti Ilmu
al-Hadist al-Shahih, Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma wa al-kuna, dan
lain-lain. Penulisan ilmu-ilmu hadist secara parsial dilakukan, khususnya, oleh
para ulama abad ke-3 H.
Ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat persial
tersebut disebut dengan Ulumul Hadist, karena masing-masing membicarakan
tentang Hadist dan para perawinya. Akan tetapi, pada masa berikutnya, ilmu-ilmu
yang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta selanjutnya,
dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Terhadap ilmu yang
sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan nama
Ulumul Hadist, sebagaimana halnya sebelum disatukan. Jadi, penggunaan lafaz
jamak Ulumul Hadist, setelah mengandung makna mufrad atau tunggal, yaitu ilmu
hadist, karena telah terjadi perubahan makna lafaz tersebut dari maknanya yang
pertama – beberapa ilmu yang terpisah – menjadi nama dari suatu disiplin ilmu
yang khusus, yang nama lainnya adalah Mushthalah
al-Hadist.[2]
B. Sejarah Perkembangan Ulumul Hadist
Hadist sebagai suatu
informasi, memiliki metodoliogi untuk menentukan keotentikan periwayatannya
yang dikenal dengan Ulum al- Hadist, yang merupakan bentuk manajemen infomasi.
Hanya saja, pada masa Rasulullah SAW sampai sebelum pembukuan Ulumul Al-hadist
istilah Ulum al-hadist, jelas belum ada. Akan tetapi prinsip-prinsip yang telah
berlaku pada masa itu sebagai acuan untuk menyikapi suatu informasi yang telah
ada.[3]
Pada dasarnya ulumul
hadist telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadist di dalam Islam, terutama
setelah Rasul Saw wafat, ketika umat merasakan perlunya menghimpun
hadist-hadist Rasul Saw dikarenakan adanya kekhawatiran hadist-hadist tersebut
akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan
periwayatan hadist.mereka telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan
metode-metode tertentu ddalam menerima hadist, namun mereka belumlah menuliskan
kaidah-kaidah tersebut.[4]
Dasar dan landasan
periwayatan hadist di dalam Islam dijumpai di dalam Al-Qur’an dan hadist Rasul
Saw.
Di dalam surah al-Hujurat
ayat 6, Allah SWT memerintahkan orang-orang yang beriman untuk meneliti dan
mempertanyakan berita-berita yang datang dari orang-orang yang fasik :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR ÇÏÈ
Artinya :
“Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang
fasik membawa suatu berita maka periksalah berita tersebut dengan teliti agar
kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan ( yang
sebenarnya) yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu” (QS. Al-Hujurat:
6)
Di samping itu, Rasul Saw juga mendorong serta
menganjurkan para sahabat dan yang lainnya yang mendengar atau menerima
hadist-hadist beliau untuk menyampaikan atau meriwayatkannya kepada mereka yang
tidak mendengar atau mengetahuinya.
Apabila dicermati sikap dan aktifitas para sahabat
terhadap hadist Nabi Saw dan periwayatannya, maka dapat disimpulkan beberapa
ketentuan umum yang diberlakukan dan dipatuhi oleh para sahabat, yaitu :
1. Penyelidikan periwayatan hadist (taqlil al-riwayat) dan pembatasannya untuk hal-hal yang diperlukan
saja. Sikap ini dilaksanakan terutama dalam rangka memelihara kemurnian hadist
dari kekeliruan dan kesalahan.
Selain itu, alasan
lain dan bahkan lebih penting adalah pemeliharaan agar jangan terjadi
pencampurbauran antara hadist dengan Al-Qur’an, karena Al-Qur’an pada masa itu,
terutama pada masa Abu Bakar dan ‘Umar, belum dikodifikasi secara resmi.
2. Ketelitian dalam periwayatan, baik ketika menerima
atau menyampaikan riwayat.
3. Kritik terhadap matan hadist (naqd al-riwayat). Kritik terhadap matan hadist ini dilakukan oleh
para sahabat dengan cara membandingkannya dengan nash Al-Qur’an atau
kaidah-kaidah dasar agama. Apabila terdapat pertentangan dengan nash Al-Qur’an, maka sahabat menolak dan
meninggalkan riwayat tersebut.[5]
Ketelitian dan sikap hati-hati para sahabat
diikuti pula oleh para ulama hadist yang datang sesudah mereka, dan sikap
tersebut semakin ditingkatkan terutama setelah munculnya hadist-hadist palsu, yaitu sekitar
tahun 41 H, setelah masa pemerintahan Khalifah Ali ra. Semenjak saat itu
mulailah dilakukan penelitian terhadap sanad
hadist dengan mempraktikan ilmu al-Jarrah
wa al-Ta’dil, dan sekaligus mulai pulalah al-Jarrah wa al-Ta’dil ini tumbuh dan berkembang.[6]
Setelah munculnya kegiatan pemalsuaan hadist
dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, maka beberapa akktifitas
tertentu dilakukan oleh para ulama hadist dalam rangka memelihara kemurnian
hadist, yaitu seperti :
1. Melakukan pembahasan terhadap sanad hadist serta penelitian terhadap keadaan setiap para perawi
hadist, hal yang sebelumnya belum pernah mereka lakukan.
2. Melakukan perjalanan (rihlah) dalam mencari sumber hadist agar dapat mendengar langsung
dari perawi asalnya dan meneliti kebenaran riwayat tersebut.
3. Melakukan perbandingan antara riwayat seorang perawi
dengan riwayat perawi lain yang lebih tsiqat
dan terpercaya dalam rangka untuk mengetahui ke-dha’if-an atau kepalsuan suatu hadist. Hal tersebut dilakukan
apabila ditemukan suatu hadist yang kandungan maknanya ganjil dan bertentangan
dengan akal atau dengan ketentuan dasar agama secara umum. Apabila telah
dilakukan perbandingan dan terjadi pertentangan antara riwayat perawi itu
dengan riwayat perawi yang lebih tsiqat
dan terpercaya, maka para ulama hadist umumnya bersikap meninggalkan dan
menolak riwayat tersebut, yaitu riwayat dari perawi yang lebih lemah itu.[7]
Pada abad ke-2 H, ketika hadist telah di bukukan
secara resmi atas prakarsa Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz dan dimotori oleh
Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri, para ulama yang bertugas dalam
menghimpun dan membukukan hadist tersebut menerapkan ketentuan-ketentuan ilmu
hadist yang sudah ada dan berkembang sampai pada masa mereka. Mereka
memperhatikan ketentuan-ketentuan hadist Shahih,
demikian juga keadaan para perawinya. Hal ini terutama karena telah menjadi
perubahan yang besar didalam kehidupan umat Islam, yaitu para penghapal hadist
sudah mulai berkurang dan kualitas serta tingkat kekuatan hapalan terhadap
hadist pun sudah semakin menurun karena telah menjadi percampuran dan
akulturasi antara masyarakat Arab dengan non-Arab menyusul perkembangan dan
perluasan daerah kekuasaan Islam. Kondisi yang demikian memaksa para ulama
hadist untuk semakin berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan riwayat, dan
mereka pun telah merumuskan kaidah-kaidah dalam menentukan kualitas dan
macam-macam hadist. Hanya saja pada masa ini kaidah-kaidah tersebut masih
bersifat rumusan yang tidak tertulis dan hanya disepakati dan diingat oleh para
ulama hadist di dalam hati mereka masing-masing, namun mereka telah
menerapkannya ketika melakukan kegiatan perhimpunan dan pembukuan hadist.[8]
Pada abad ke-3 H yang dikenal dengan masa keemasan
dalam sejarah perkembangan hadist, mulailah ketentuan-ketentuan dan rumusan
kaidah-kaidah hadist ditulis dan dibukukan, namun masih bersifat parsial. Yahya
bin Ma’in (w. 234 H/848 M) menulis tentang tarikh
al-Rijal, (sejarah dan riwayat para perawi hadist), Muhammad bin Sa’ad (w.
230 H/844 M) menulis al-Thabaqat (tingkatan para perawi hadist ), Ahmad bin
Hanbal (241 H/855 M) menulis al-An’Ilal (beberapa ketentuan tentang cacat atau
kelemahan suatu hadist atau perawinya), dan lain-lain.
Pada abad ke-4 dan ke-5 Hijriah mulailah ditulis
secara khusus kitab-kitab yang membahas tentang ilmu hadist yang bersifat
komprehensif, seperti kitab al-Muhaddits
al Fashil byn al-Rawi wa al-Wa’i oleh al-Qadhi Abu Muhammad al-Hasan ibn
‘Abd al-Rahman ibn al-Khallad al-Ramuharmuzi (w.360 H/971 M), Ma’rifat ‘Ulum al-Hadist oleh Abu ‘Abd
Allah Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Hakim al-Naisaburi (w.405 H/1014 M), al-Mustakhraj ‘ala Ma’rifat ‘Ulum al-Hadist
oleh Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abd Allah al-Ashbahani (w.430 H/1038 M), al-Kifayah fi ‘Ulum al-Riwayah oleh Abu
Bakar Muhammad ibn ‘Ali ibn Tsabit al-Khathib al-Baghdadi (w.463 H/1071 M), al-Jami’ li Akhlaq wa adab al-Sami’ oleh
al-Baghdadi (463 H/1071 M). dan lain-lain.[9]
Pada abad-abad berikutnya bermunculanlah karya-karya
di bidang ilmu hadist ini, yang sampai saat sekarang masih menjadi referensi
utama dalam membicarakan ilmu hadist, yang di antaranya adalah: ‘Ulum al-Hadist oleh Abu ‘Amr ‘Utsman
ibn ‘Abd al-Rahman yang lebih dikenal dengan Ibn al-Shalah (w.643 H/ 1245 M), Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawaei
oleh Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abu Bakar al-Suyuthi (w.911 H/ 1505 M).[10]
C. Cabang-cabang “ulum al-hadits”
1.
Ilmu
Rijal Al-Hadits ( علم رجال الحديث )
Ilmu Rijal al-Hadits adalah ilmu untuk
mengetahui para perawi hadits dalam kapasitasnya sebagai perawi hadits.
Maksudnya adalah ilmu yang membicarakan
seluk-beluk dan sejarah kehidupan para perawi, baik dari generasi sahabat,
tabi’in maupun tabi’ tabi’in. Intinya objek kajiannya adalah pada matan dan
sanad. Perawi yang menjadi objek kajian ilmu ini adalah
a. Para Sahabat, sebagai penerima pertama dan
sebagai kelompok yang dikenal dengan sebutan thabaqat awwalun (generasi
pertama)
b. Para Tabi’in, dikenal sebagai thabaqat tsani
(generasi kedua)
c. Para Muhadlramin, yaitu orang-orang yang
mengalami hidup pada masa jahiliyyah dan masa Nabi saw..
d. Para Muwaliy, yaitu para perawi hadits
dan ulama yang pada awalnya berstatus budak.
Ulama yang pertama kali yang menuyusun kitab
riwayat ringkas para sahabat adalah Al-Bukhary (256 H), dan dilanjutkan oleh
Muhammad Ibnu Saad, dan ada lagi Ibnu Abdil Barr (463 H) dalam kitabnya yang
bernama Al-Istiab.[11]
2.
‘Ilmu
Tarikh al-Ruwwat ( علم تاريخ الرواة )
Ilmu Tarikh al-Ruwwat adalah ilmu mengetahui
para perawi hadits dari sisi hubungannya dengan usaha periwayatan mereka
terhadap hadits.
Maksudnya adalah ilmu yang membahas masalah
sejarah perjalanan hidup para perawi. Kitab yang membahas masalah ini adalah
a. التاريخ
الكبير, karya al-Imam Muhammad
bin Isma’il al-Bukhari (194-256 H),
b. تهذيب
الكمال, karya Jamaluddin bin
Yusuf al-Muzziy (742 H),
c. تهذيب
التهذيب, karya Al-Hafidh
Syihabuddin Abi al-Fadlal Ahmad bin ‘Ali (Ibn Hajar) al-‘Atsqalaniy (773-852
H),
3.
‘Ilmu
al-Jarh Wa at-Ta’dil ( علم الجرح والتعديل )
Ilmu al-Jarh wa at-ta’dil adalah “Ilmu yang
membahas keadaan para perawi hadits dari sisi diterima dan ditolaknya
periwayatan mereka.”
Ilmu jarakh wa ta’dil bisa dijadikan sebagai
salah satu alat untuk mengungkapkan sikap negatif dan positif yang melekat pada
perawi hadits.
Diantara ulama yang menyusun kitab ilmu ini
antara lain kitab Tabaqat karya Muhammad ibn Saad Az-Zuhri Al-Basari
(230 H).[12]
4.
‘Ilmu
Asbab al-Wurud (علم ا سبا ب ا لورود)
Asbabu wurud al-hadist ialah
sesuatu yang membatasi arti dari suatu hadist, baik yang berkaitan dengan arti
umum atau khusus, muqayyadi atau mutallak, di nasakh atau
seterusnya.
Menurut istilah, ilmu Asbab Al-Wurud adalah
Suatu ilmu yang membahas masalah sebab-sebab nabi saw menyampaikan sabdanya
pada saat beliau menuturkannya, sedang tata cara untuk mengetahui sebab-sebab
lahirnya hadits, hanya bisa diketahui dengan adanya periwayatnya, bukan
lainnya.[13]
Ulama ahli hadits yang menyusun kitab ini
antara lain:
a. اسباب الحديث , karya Abu Hafs al-‘Akbari, Syaikh al-Qadli Abi Ya’la Muhammad
bin al-Hussain al-Fazza’I al-Hanbali (380-458 H)
b. البيان والتعريف فى اسباب ورود الحديث
الشريف , karya Sayyid Ibrahim bin Muhammad bin Kamaluddin (Ibnu Hamzah)
al-Husainiy al-Dimasyqy (1054-1120 H).[14]
5.
‘Ilmu
al-Nasikh wa al-mansukh ( علم النسخ والمنسوخ )
Al-Nasikh Wa Al-Mansukh ialah
Ilmu yang membahas problem hadits-hadits yang secara lahiriyah berlawanan, yang
dintara keduanya tidak mungkin untuk di pertemukan lantaran adanya materi (yang
secara lahiriyah) bertentangan, padahal hakikatnya saling hapus menhapus.
Makanya (hukum) yang datangnya terdahulu dikenal dengan sebutan “mansukh”
dan yang datangnya kemudian dikenal dengan sebutan “nasikh”.
Kitab-kitab terkenal di bidang ini antara lain
Nasikh al-Hadis wa Mansukhih karya Abu Hafs Umar bin Ahmad bin Usman yang
terkenal dengan nama Ibnu Syahin (297-385 H) dan al-I'tibar fi an-Nasikh wa
al-Mansukh min al-Asar karya Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimi (547-584 H).
6.
‘Ilmu
‘Ilal al-Hadits (علم علل ا لحد يت)
‘Ilal Al-Hadits ialah
ilmu yang membahas tentang sebab-sebab tersembunyi yang dapat membuat hadits
shahih yang menjadi tercemar, seperti menyatakan hadits muttashi pada
hadits yang pada hakikatnya munqathi’, menyatakan hadits marfu’ pada
hadits yang pada hakikatnya mauquf atau memasukan hadits
kedalam hadits lain dan lain sebagainya.
Ulama ahli hadits yang menyusun kitab ini
antara lain Kitab Ilalil Hadits karya ‘Ibnu Abi Hatim (327 H).[15]
7.
‘Ilmu Gharib
al-Hadits (علم غر يب ا لحد يث)
Ilmu Gharib al-Hadits ialah
ungkapan arti kosa kata matan hadits yang sulit dimengerti dan rumit dipahami
lantaran kosakata tersebut memang asing dan tidak dikenal.
Objek pembahasan ilmu ini adalah kata-kata yang
sulit atau susunan kalimat yang sulit dipahami maksud yang sebenarnya.
Diantara para ulama yang pertama kali menyusun
hadits-hadits yang gharib ini adalah Abu Ubaidah Ma’mar bin Masnat At-Tarmimi
Al-Bisri (w. 210 H) dan salah satu kitab terbaik yang ada saat sekarang ini
adalah kitab Nihayah Gharib Al-Hadis karya Ibnu Al-Asir.[16]
8.
‘Ilmu
Mukhtalif al-Hadits ( علم مختلف الحديث )
Ilmu Mukhtalif Al-Hadits adalah ilmu yang
membahas hadits-hadits secara lahiriah saling bertentangan, lalu dihilangkan
atau keduanya dikompromikan, sebagaiman membahas masalah hadits-hadits yang
kandungannya sulit dipahami atau sulit dicari gambaran yang sebenarnya, lalu
kesulitan tersebut dihilangkan dan dijelaskan hakikat yang sebenarnya.
Objek pembahasan ilmu ini adalah hadits-hadits
yang secara lahiriyyah saling bertentangan, sehingga dengan mempergunakan ilmu
ini, tingkat kesulitan bisa teratasi.
Adapun ulama yang pertama kali meyusun kitab
yang khusus membahas ilmu ini adalah Imam Syafi’i dengan bentuk satu jilid
dalam kitabnya al-Um, juz VII yang berjudul “Ikhtilaf al-Hadits” lalu
disusul oleh ulama lain, diantaranya kitab Musykil al-atsar karya Abu
Ja’far Ahmad bin Muhammad Al-Thahawi (321 H).[17]
9.
‘Ilmu
al-Tash-hif Wa al-Tahrif ( علم التصحيف والتحريف )
‘Ilmu al-tashhif wa al-tahrif adalah ilmu yang
membahas keadaan hadits-hadits yang sudah diubah titik-titik atau syakal (مصحف )nya dan bentuk (محرف)nya.
Adapun kitab yang membahas ilmu ini antara lain
kitab Ad Daraquthny (385 H) dan kitab At Tashhif wat tahrif, karangan Abu Ahmad
Al Askary (283 H).
KESIMPULAN
Ulumul Hadits adalah
istilah ilmu hadits didalam tradisi hadits. ( ‘ulum al-hadits) ‘ulum al-hadits
terdiri atas dua kata yaitu ‘ulum dan al-hadits. Kata ‘ulum dalam bahasa Arab
adalah bentuk jamak dari ‘ilm yang berarti “ilmu”, sedangkan hadits berarti:
“segala sesuatu yang taqrir atau sifat”. Dengan demikian gabungan antara ‘ulum
dan al-hadits mengandung pengertian “Ilmu yang membahas atau yang berkaitan
dengan hadits Nabi Saw”.
Pada dasarnya ulumul hadist telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadist
di dalam Islam, terutama setelah Rasul Saw wafat, ketika umat merasakan
perlunya menghimpun hadist-hadist Rasul Saw dikarenakan adanya kekhawatiran
hadist-hadist tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat
melakukan pencatatan dan periwayatan hadist.mereka telah mulai mempergunakan
kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu ddalam menerima hadist, namun mereka
belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut.
Cabang-cabang “ulum
al-hadits” antara lain:
1. Ilmu Rijal Al-Hadits ( علم رجال الحديث )
2. ‘Ilmu Tarikh al-Ruwwat ( علم تاريخ الرواة
)
3. ‘Ilmu al-Jarh Wa at-Ta’dil ( علم الجرح والتعديل
)
4. ‘Ilmu Asbab al-Wurud (علم ا سبا ب ا لورود)
5. ‘Ilmu al-Nasikh wa al-mansukh ( علم النسخ والمنسوخ )
6. ‘Ilmu ‘Ilal al-Hadits (علم علل ا لحد يت)
7. ‘Ilmu Gharib al-Hadits (علم غر يب ا لحد يث)
8. ‘Ilmu Mukhtalif al-Hadits ( علم مختلف الحديث
)
9. ‘Ilmu al-Tash-hif Wa al-Tahrif ( علم التصحيف والتحريف )
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, 1997. Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
Ahmad, M. dan M. Muzakkir, 1998. Ulumul
Hadis, Bandung: Pustaka Setia,.
Izzan, Ahmad. Ulumul Hadist. Bandung:Tafakur
Khon, Abdul Majid. 2010. Ulumul
Hadis. Jakarta: Amzah,
Rudliyana, Muhammad Dede. 2004. Perkembangan
pemikiran Ulumul Hadist dari klasik sampai modern, Pustaka Setia, Bandung
Suparta, Munzier, 2001. Ilmu Hadis,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,.
Wahid, Ramly Abdul, 2005. Studi Ilmu Hadist, Cita Pustaka Medi,
Bandung.
Zein, Mashum, 2007. Ulumul Hadits dan
Musthalah Hadits, Direktorat Pendidikan Madrasah Dirjen Pendis Depag,.
Zainimal. Hadis: Suatu
Kajian Teoritis, Historis dan Sosiologis. Bukittinggi : The Minangkabau
Foundation, 2013.
[1]Abdul
Majid Khon. Ulumul Hadis. (Jakarta: Amzah, 2010). h. 68
[2] Ahmad
Izzan, Ulumul Hadist. Bandung:Tafakur.
Hal 94
[3] Ramly
Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadist, Cita
Pustaka Media, Bandung 2005, hlm 52
[4] Ahmad
Izzan. Ulumul Hadist. Bandung:Tafakur.
Hal 102
[5]Ibid
hal 104-105
[6]Zainimal.
Hadis: Suatu Kajian Teoritis, Historis dan Sosiologis. (Bukittinggi :
The Minangkabau Foundation, 2013), h.
109
[7]Nur
al-Din Atr. “al-Madkhal ila ‘ulum al-Hadist.” Hal 8-10
[8]Ibid
hal 10-18
[9]Mahmud
al-Thahan, Tafsir Mushthalah al-Hadist.
Hal 9-10
[10]Muhammad
Dede Rudliyana. Perkembangan pemikiran
Ulumul Hadist dari klasik sampai modern, Pustaka Setia, 2004 Bandung hlm 109
[11] M.
Ahmad dan M. Muzakkir, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 1998),
hlm. 58
[12] M.
Ahmad dan M. Muzakkir, Op. cit., hlm. 61
[13] Munzier
Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 38
[14] Mashum
Zein, Ulumul Hadits dan Musthalah Hadits, (Direktorat Pendidikan
Madrasah Dirjen Pendis Depag, 2007), hlm. 112
[15]Ash-Shiddieqy,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
1997), hlm. 140
[16]
Mudasir, Op.cit., hlm. 56
[17] Ma’shum
Zein, Op. cit., hlm. 125
No comments:
Post a Comment