Thursday, 2 February 2017

Makalah Ulumul Hadits

PENDAHULUAN

Pada masa permulaan Islam, umat Islam belum mengenal adanya ulumul hadits atau ilmu hadits. Hal ini mungkin dikarenakan fokus perhatian umat Islam pada waktu itu masih terpecah antar dakwah, jihad dan pendalaman Al-Qur’an, sehingga perhatian terhadap hadits walaupun sudah cukup intens namun belum segencar pada masa-masa berikutnya.
Kita ketahui bahwasanya hadist merupakan sumber sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Keberadaan hadist disamping telah mewarnai masyarakat dalam kehidupan juga telah menjadi bahasan kajian yang menarik. Hadist mengandung makna dan ajaran serta memperjelas kandungan al-Qur’an dan lain sebagainya. Para peneliti dan ahli hadist telah berhasil mendokumentasikan hadist baik kepada kalangan masyarakat, akademis, penelitian hadist tersebut telah membuka peluang untuk mewujudkannya suatu kajian disiplin Islam, yaitu bidang study Ulumul Hadist. Maka dalam makalah ini, penulis menyajikan tentang “Pengertian Ulumul Hadist, Sejarah Perkembangannya, dan Cabang-cabang Ulumul Hadits”, semoga makalah sederhana ini dapat bermanfaat bagi semuanya, terutama bagi penulis. Amin.






PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ulumul Hadist
Ulumul Hadits adalah istilah ilmu hadits didalam tradisi hadits. ( ‘ulum al-hadits) ‘ulum al-hadits terdiri atas dua kata yaitu ‘ulum dan al-hadits. Kata ‘ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm yang berarti “ilmu”, sedangkan hadits berarti: “segala sesuatu yang taqrir atau sifat”. Dengan demikian gabungan antara ‘ulum dan al-hadits mengandung pengertian “Ilmu yang membahas atau yang berkaitan dengan hadits Nabi Saw”.
Ulumul Hadis adalah istilah ilmu hadis di dalam tradisi ulama hadits. (Arabnya: ‘ulumul al-hadist). ‘ulum al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu ‘ulum dan Al-hadist. Kata ‘ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti “ilmu-ilmu”; sedangkan al-hadist di kalangan Ulama Hadis berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan, perkataan, taqir, atau sifat.” Dengan demikian, gabungan kata ‘ulumul-hadist mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan Hadis nabi SAW”.[1]
Pada mulanya, Ilmu hadist memang merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, yang berbicara tentang Hadist Nabi Saw dan para perawinya, seperti Ilmu al-Hadist al-Shahih, Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma wa al-kuna, dan lain-lain. Penulisan ilmu-ilmu hadist secara parsial dilakukan, khususnya, oleh para ulama abad ke-3 H.
Ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat persial tersebut disebut dengan Ulumul Hadist, karena masing-masing membicarakan tentang Hadist dan para perawinya. Akan tetapi, pada masa berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta selanjutnya, dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Terhadap ilmu yang sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan nama Ulumul Hadist, sebagaimana halnya sebelum disatukan. Jadi, penggunaan lafaz jamak Ulumul Hadist, setelah mengandung makna mufrad atau tunggal, yaitu ilmu hadist, karena telah terjadi perubahan makna lafaz tersebut dari maknanya yang pertama – beberapa ilmu yang terpisah – menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus, yang nama lainnya adalah Mushthalah al-Hadist.[2]  
B.     Sejarah Perkembangan Ulumul Hadist
Hadist sebagai suatu informasi, memiliki metodoliogi untuk menentukan keotentikan periwayatannya yang dikenal dengan Ulum al- Hadist, yang merupakan bentuk manajemen infomasi. Hanya saja, pada masa Rasulullah SAW sampai sebelum pembukuan Ulumul Al-hadist istilah Ulum al-hadist, jelas belum ada. Akan tetapi prinsip-prinsip yang telah berlaku pada masa itu sebagai acuan untuk menyikapi suatu informasi yang telah ada.[3]
Pada dasarnya ulumul hadist telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadist di dalam Islam, terutama setelah Rasul Saw wafat, ketika umat merasakan perlunya menghimpun hadist-hadist Rasul Saw dikarenakan adanya kekhawatiran hadist-hadist tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan periwayatan hadist.mereka telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu ddalam menerima hadist, namun mereka belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut.[4]
Dasar dan landasan periwayatan hadist di dalam Islam dijumpai di dalam Al-Qur’an dan hadist Rasul Saw.
Di dalam surah al-Hujurat ayat 6, Allah SWT memerintahkan orang-orang yang beriman untuk meneliti dan mempertanyakan berita-berita yang datang dari orang-orang yang fasik :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ŠÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR ÇÏÈ  
Artinya :
“Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah berita tersebut dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan ( yang sebenarnya) yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu” (QS. Al-Hujurat: 6)
Di samping itu, Rasul Saw juga mendorong serta menganjurkan para sahabat dan yang lainnya yang mendengar atau menerima hadist-hadist beliau untuk menyampaikan atau meriwayatkannya kepada mereka yang tidak mendengar atau mengetahuinya.
Apabila dicermati sikap dan aktifitas para sahabat terhadap hadist Nabi Saw dan periwayatannya, maka dapat disimpulkan beberapa ketentuan umum yang diberlakukan dan dipatuhi oleh para sahabat, yaitu :
1.      Penyelidikan periwayatan hadist (taqlil al-riwayat) dan pembatasannya untuk hal-hal yang diperlukan saja. Sikap ini dilaksanakan terutama dalam rangka memelihara kemurnian hadist dari kekeliruan dan kesalahan.
Selain itu, alasan lain dan bahkan lebih penting adalah pemeliharaan agar jangan terjadi pencampurbauran antara hadist dengan Al-Qur’an, karena Al-Qur’an pada masa itu, terutama pada masa Abu Bakar dan ‘Umar, belum dikodifikasi secara resmi.
2.      Ketelitian dalam periwayatan, baik ketika menerima atau menyampaikan riwayat.
3.      Kritik terhadap matan hadist (naqd al-riwayat). Kritik terhadap matan hadist ini dilakukan oleh para sahabat dengan cara membandingkannya dengan nash Al-Qur’an atau kaidah-kaidah dasar agama. Apabila terdapat pertentangan dengan nash Al-Qur’an, maka sahabat menolak dan meninggalkan riwayat tersebut.[5]
Ketelitian dan sikap hati-hati para sahabat diikuti pula oleh para ulama hadist yang datang sesudah mereka, dan sikap tersebut semakin ditingkatkan terutama setelah munculnya hadist-hadist palsu, yaitu sekitar tahun 41 H, setelah masa pemerintahan Khalifah Ali ra. Semenjak saat itu mulailah dilakukan penelitian terhadap sanad hadist dengan mempraktikan ilmu al-Jarrah wa al-Ta’dil, dan sekaligus mulai pulalah al-Jarrah wa al-Ta’dil ini tumbuh dan berkembang.[6]
Setelah munculnya kegiatan pemalsuaan hadist dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, maka beberapa akktifitas tertentu dilakukan oleh para ulama hadist dalam rangka memelihara kemurnian hadist, yaitu seperti :
1.      Melakukan pembahasan terhadap sanad hadist serta penelitian terhadap keadaan setiap para perawi hadist, hal yang sebelumnya belum pernah mereka lakukan.
2.      Melakukan perjalanan (rihlah) dalam mencari sumber hadist agar dapat mendengar langsung dari perawi asalnya dan meneliti kebenaran riwayat tersebut.
3.      Melakukan perbandingan antara riwayat seorang perawi dengan riwayat perawi lain yang lebih tsiqat dan terpercaya dalam rangka untuk mengetahui ke-dha’if-an atau kepalsuan suatu hadist. Hal tersebut dilakukan apabila ditemukan suatu hadist yang kandungan maknanya ganjil dan bertentangan dengan akal atau dengan ketentuan dasar agama secara umum. Apabila telah dilakukan perbandingan dan terjadi pertentangan antara riwayat perawi itu dengan riwayat perawi yang lebih tsiqat dan terpercaya, maka para ulama hadist umumnya bersikap meninggalkan dan menolak riwayat tersebut, yaitu riwayat dari perawi yang lebih lemah itu.[7]
Pada abad ke-2 H, ketika hadist telah di bukukan secara resmi atas prakarsa Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz dan dimotori oleh Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri, para ulama yang bertugas dalam menghimpun dan membukukan hadist tersebut menerapkan ketentuan-ketentuan ilmu hadist yang sudah ada dan berkembang sampai pada masa mereka. Mereka memperhatikan ketentuan-ketentuan hadist Shahih, demikian juga keadaan para perawinya. Hal ini terutama karena telah menjadi perubahan yang besar didalam kehidupan umat Islam, yaitu para penghapal hadist sudah mulai berkurang dan kualitas serta tingkat kekuatan hapalan terhadap hadist pun sudah semakin menurun karena telah menjadi percampuran dan akulturasi antara masyarakat Arab dengan non-Arab menyusul perkembangan dan perluasan daerah kekuasaan Islam. Kondisi yang demikian memaksa para ulama hadist untuk semakin berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan riwayat, dan mereka pun telah merumuskan kaidah-kaidah dalam menentukan kualitas dan macam-macam hadist. Hanya saja pada masa ini kaidah-kaidah tersebut masih bersifat rumusan yang tidak tertulis dan hanya disepakati dan diingat oleh para ulama hadist di dalam hati mereka masing-masing, namun mereka telah menerapkannya ketika melakukan kegiatan perhimpunan dan pembukuan hadist.[8]
Pada abad ke-3 H yang dikenal dengan masa keemasan dalam sejarah perkembangan hadist, mulailah ketentuan-ketentuan dan rumusan kaidah-kaidah hadist ditulis dan dibukukan, namun masih bersifat parsial. Yahya bin Ma’in (w. 234 H/848 M) menulis tentang tarikh al-Rijal, (sejarah dan riwayat para perawi hadist), Muhammad bin Sa’ad (w. 230 H/844 M) menulis al-Thabaqat (tingkatan para perawi hadist ), Ahmad bin Hanbal (241 H/855 M) menulis al-An’Ilal (beberapa ketentuan tentang cacat atau kelemahan suatu hadist atau perawinya), dan lain-lain.
Pada abad ke-4 dan ke-5 Hijriah mulailah ditulis secara khusus kitab-kitab yang membahas tentang ilmu hadist yang bersifat komprehensif, seperti kitab al-Muhaddits al Fashil byn al-Rawi wa al-Wa’i oleh al-Qadhi Abu Muhammad al-Hasan ibn ‘Abd al-Rahman ibn al-Khallad al-Ramuharmuzi (w.360 H/971 M), Ma’rifat ‘Ulum al-Hadist oleh Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Hakim al-Naisaburi (w.405 H/1014 M), al-Mustakhraj ‘ala Ma’rifat ‘Ulum al-Hadist oleh Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abd Allah al-Ashbahani (w.430 H/1038 M), al-Kifayah fi ‘Ulum al-Riwayah oleh Abu Bakar Muhammad ibn ‘Ali ibn Tsabit al-Khathib al-Baghdadi (w.463 H/1071 M), al-Jami’ li Akhlaq wa adab al-Sami’ oleh al-Baghdadi (463 H/1071 M). dan lain-lain.[9]
Pada abad-abad berikutnya bermunculanlah karya-karya di bidang ilmu hadist ini, yang sampai saat sekarang masih menjadi referensi utama dalam membicarakan ilmu hadist, yang di antaranya adalah: ‘Ulum al-Hadist oleh Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman yang lebih dikenal dengan Ibn al-Shalah (w.643 H/ 1245 M), Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawaei oleh Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abu Bakar al-Suyuthi (w.911 H/ 1505 M).[10]
C.    Cabang-cabang “ulum al-hadits”
1.      Ilmu Rijal Al-Hadits ( علم رجال الحديث )
Ilmu Rijal al-Hadits adalah ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam kapasitasnya sebagai perawi hadits.
Maksudnya adalah ilmu yang membicarakan seluk-beluk dan sejarah kehidupan para perawi, baik dari generasi sahabat, tabi’in maupun tabi’ tabi’in. Intinya objek kajiannya adalah pada matan dan sanad. Perawi yang menjadi objek kajian ilmu ini adalah
a.       Para Sahabat, sebagai penerima pertama dan sebagai kelompok yang dikenal dengan sebutan thabaqat awwalun (generasi pertama)
b.      Para Tabi’in, dikenal sebagai thabaqat tsani (generasi kedua)
c.       Para Muhadlramin, yaitu orang-orang yang mengalami hidup pada masa jahiliyyah dan masa Nabi saw..
d.      Para Muwaliy, yaitu para perawi hadits dan ulama yang pada awalnya berstatus budak.
Ulama yang pertama kali yang menuyusun kitab riwayat ringkas para sahabat adalah Al-Bukhary (256 H), dan dilanjutkan oleh Muhammad Ibnu Saad, dan ada lagi Ibnu Abdil Barr (463 H) dalam kitabnya yang bernama Al-Istiab.[11]
2.      ‘Ilmu Tarikh al-Ruwwat ( علم تاريخ الرواة )
Ilmu Tarikh al-Ruwwat adalah ilmu mengetahui para perawi hadits dari sisi hubungannya dengan usaha periwayatan mereka terhadap hadits.
Maksudnya adalah ilmu yang membahas masalah sejarah perjalanan hidup para perawi. Kitab yang membahas masalah ini adalah
a.       التاريخ الكبير, karya al-Imam Muhammad bin Isma’il al-Bukhari (194-256 H),
b.      تهذيب الكمال, karya Jamaluddin bin Yusuf al-Muzziy (742 H),
c.       تهذيب التهذيب, karya Al-Hafidh Syihabuddin Abi al-Fadlal Ahmad bin ‘Ali (Ibn Hajar) al-‘Atsqalaniy (773-852 H),

3.      ‘Ilmu al-Jarh Wa at-Ta’dil ( علم الجرح والتعديل )
Ilmu al-Jarh wa at-ta’dil adalah “Ilmu yang membahas keadaan para perawi hadits dari sisi diterima dan ditolaknya periwayatan mereka.”
Ilmu jarakh wa ta’dil bisa dijadikan sebagai salah satu alat untuk mengungkapkan sikap negatif dan positif yang melekat pada perawi hadits.
Diantara ulama yang menyusun kitab ilmu ini antara lain kitab Tabaqat karya Muhammad ibn Saad Az-Zuhri Al-Basari (230 H).[12]
4.      ‘Ilmu Asbab al-Wurud (علم ا سبا ب ا لورود)
Asbabu wurud al-hadist ialah sesuatu yang membatasi arti dari suatu hadist, baik yang berkaitan dengan arti umum atau khusus, muqayyadi atau mutallak, di nasakh atau seterusnya.
Menurut istilah, ilmu Asbab Al-Wurud adalah Suatu ilmu yang membahas masalah sebab-sebab nabi saw menyampaikan sabdanya pada saat beliau menuturkannya, sedang tata cara untuk mengetahui sebab-sebab lahirnya hadits, hanya bisa diketahui dengan adanya periwayatnya, bukan lainnya.[13]
Ulama ahli hadits yang menyusun kitab ini antara lain:
a. اسباب الحديث , karya Abu Hafs al-‘Akbari, Syaikh al-Qadli Abi Ya’la Muhammad bin al-Hussain al-Fazza’I al-Hanbali (380-458 H)
b. البيان والتعريف فى اسباب ورود الحديث الشريف , karya Sayyid Ibrahim bin Muhammad bin Kamaluddin (Ibnu Hamzah) al-Husainiy al-Dimasyqy (1054-1120 H).[14]
5.      ‘Ilmu al-Nasikh wa al-mansukh ( علم النسخ والمنسوخ )
Al-Nasikh Wa Al-Mansukh ialah Ilmu yang membahas problem hadits-hadits yang secara lahiriyah berlawanan, yang dintara keduanya tidak mungkin untuk di pertemukan lantaran adanya materi (yang secara lahiriyah) bertentangan, padahal hakikatnya saling hapus menhapus. Makanya (hukum) yang datangnya terdahulu dikenal dengan sebutan “mansukh dan yang datangnya kemudian dikenal dengan sebutan “nasikh”.
Kitab-kitab terkenal di bidang ini antara lain Nasikh al-Hadis wa Mansukhih karya Abu Hafs Umar bin Ahmad bin Usman yang terkenal dengan nama Ibnu Syahin (297-385 H) dan al-I'tibar fi an-Nasikh wa al-Mansukh min al-Asar karya Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimi (547-584 H).
6.      ‘Ilmu ‘Ilal al-Hadits (علم علل ا لحد يت)
‘Ilal Al-Hadits ialah ilmu yang membahas tentang sebab-sebab tersembunyi yang dapat membuat hadits shahih yang menjadi tercemar, seperti menyatakan hadits muttashi pada hadits yang pada hakikatnya munqathi’, menyatakan hadits marfu’ pada hadits yang pada hakikatnya mauquf atau memasukan hadits kedalam hadits lain dan lain sebagainya.
Ulama ahli hadits yang menyusun kitab ini antara lain Kitab Ilalil Hadits karya ‘Ibnu Abi Hatim (327 H).[15]
7.      ‘Ilmu Gharib al-Hadits (علم غر يب ا لحد يث)
Ilmu Gharib al-Hadits ialah ungkapan arti kosa kata matan hadits yang sulit dimengerti dan rumit dipahami lantaran kosakata tersebut memang asing dan tidak dikenal.
Objek pembahasan ilmu ini adalah kata-kata yang sulit atau susunan kalimat yang sulit dipahami maksud yang sebenarnya.
Diantara para ulama yang pertama kali menyusun hadits-hadits yang gharib ini adalah Abu Ubaidah Ma’mar bin Masnat At-Tarmimi Al-Bisri (w. 210 H) dan salah satu kitab terbaik yang ada saat sekarang ini adalah kitab Nihayah Gharib Al-Hadis karya Ibnu Al-Asir.[16]
8.      ‘Ilmu Mukhtalif al-Hadits ( علم مختلف الحديث )
Ilmu Mukhtalif Al-Hadits adalah ilmu yang membahas hadits-hadits secara lahiriah saling bertentangan, lalu dihilangkan atau keduanya dikompromikan, sebagaiman membahas masalah hadits-hadits yang kandungannya sulit dipahami atau sulit dicari gambaran yang sebenarnya, lalu kesulitan tersebut dihilangkan dan dijelaskan hakikat yang sebenarnya.
Objek pembahasan ilmu ini adalah hadits-hadits yang secara lahiriyyah saling bertentangan, sehingga dengan mempergunakan ilmu ini, tingkat kesulitan bisa teratasi.
Adapun ulama yang pertama kali meyusun kitab yang khusus membahas ilmu ini adalah Imam Syafi’i dengan bentuk satu jilid dalam kitabnya al-Um, juz VII yang berjudul “Ikhtilaf al-Hadits” lalu disusul oleh ulama lain, diantaranya kitab Musykil al-atsar karya Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Al-Thahawi (321 H).[17]
9.      ‘Ilmu al-Tash-hif Wa al-Tahrif ( علم التصحيف والتحريف )
‘Ilmu al-tashhif wa al-tahrif adalah ilmu yang membahas keadaan hadits-hadits yang sudah diubah titik-titik atau syakal (مصحف )nya dan bentuk (محرف)nya.
Adapun kitab yang membahas ilmu ini antara lain kitab Ad Daraquthny (385 H) dan kitab At Tashhif wat tahrif, karangan Abu Ahmad Al Askary (283 H).



KESIMPULAN

Ulumul Hadits adalah istilah ilmu hadits didalam tradisi hadits. ( ‘ulum al-hadits) ‘ulum al-hadits terdiri atas dua kata yaitu ‘ulum dan al-hadits. Kata ‘ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm yang berarti “ilmu”, sedangkan hadits berarti: “segala sesuatu yang taqrir atau sifat”. Dengan demikian gabungan antara ‘ulum dan al-hadits mengandung pengertian “Ilmu yang membahas atau yang berkaitan dengan hadits Nabi Saw”.
Pada dasarnya ulumul hadist telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadist di dalam Islam, terutama setelah Rasul Saw wafat, ketika umat merasakan perlunya menghimpun hadist-hadist Rasul Saw dikarenakan adanya kekhawatiran hadist-hadist tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan periwayatan hadist.mereka telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu ddalam menerima hadist, namun mereka belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut.
Cabang-cabang “ulum al-hadits” antara lain:
1. Ilmu Rijal Al-Hadits ( علم رجال الحديث )
2. ‘Ilmu Tarikh al-Ruwwat ( علم تاريخ الرواة )
3. ‘Ilmu al-Jarh Wa at-Ta’dil ( علم الجرح والتعديل )
4. ‘Ilmu Asbab al-Wurud (علم ا سبا ب ا لورود)
5. ‘Ilmu al-Nasikh wa al-mansukh ( علم النسخ والمنسوخ )
6. ‘Ilmu ‘Ilal al-Hadits (علم علل ا لحد يت)
7. ‘Ilmu Gharib al-Hadits (علم غر يب ا لحد يث)
8. ‘Ilmu Mukhtalif al-Hadits ( علم مختلف الحديث )
9. ‘Ilmu al-Tash-hif Wa al-Tahrif ( علم التصحيف والتحريف )
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, 1997. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
Ahmad, M. dan M. Muzakkir, 1998­. Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia,.
Izzan, Ahmad. Ulumul Hadist. Bandung:Tafakur
Khon, Abdul Majid. 2010. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah,
Rudliyana, Muhammad Dede. 2004.  Perkembangan pemikiran Ulumul Hadist dari klasik sampai modern, Pustaka Setia, Bandung
Suparta, Munzier, 2001. Ilmu Hadis, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,.
Wahid, Ramly Abdul, 2005. Studi Ilmu Hadist, Cita Pustaka Medi, Bandung.
Zein, Mashum, 2007. Ulumul Hadits dan Musthalah Hadits, Direktorat Pendidikan Madrasah Dirjen Pendis Depag,.
Zainimal. Hadis: Suatu Kajian Teoritis, Historis dan Sosiologis. Bukittinggi : The Minangkabau Foundation, 2013.



[1]Abdul Majid Khon. Ulumul Hadis. (Jakarta: Amzah, 2010). h. 68
[2] Ahmad Izzan, Ulumul Hadist. Bandung:Tafakur. Hal  94
[3] Ramly Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadist, Cita Pustaka Media, Bandung 2005, hlm 52
[4] Ahmad Izzan. Ulumul Hadist. Bandung:Tafakur. Hal 102
[5]Ibid hal 104-105
[6]Zainimal. Hadis: Suatu Kajian Teoritis, Historis dan Sosiologis. (Bukittinggi : The Minangkabau Foundation, 2013), h.  109
[7]Nur al-Din Atr. “al-Madkhal ila ‘ulum al-Hadist.” Hal 8-10
[8]Ibid hal 10-18
[9]Mahmud al-Thahan, Tafsir Mushthalah al-Hadist. Hal 9-10
[10]Muhammad Dede Rudliyana. Perkembangan pemikiran Ulumul Hadist dari klasik sampai modern, Pustaka Setia, 2004  Bandung hlm 109
[11] M. Ahmad dan M. Muzakkir, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 1998­), hlm. 58
[12] M. Ahmad dan M. Muzakkir, Op. cit., hlm. 61
[13] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 38
[14] Mashum Zein, Ulumul Hadits dan Musthalah Hadits, (Direktorat Pendidikan Madrasah Dirjen Pendis Depag, 2007), hlm. 112
[15]Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 140
[16] Mudasir, Op.cit., hlm. 56
[17] Ma’shum Zein, Op. cit., hlm. 125

No comments:

Post a Comment