BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada hakekatnya umat Islam
di dunia ini sama dengan umat agama lain. Kesamaan yang dimaksud dalam hal ini
adalah sama-sama memiliki kitab sebagai pedomannya. Jika umat kristen memiliki
kitab Injil sebagai pedomannya, umat Hindu memiliki kitab Trimurti, dan umat
Budha yang memiliki kitab Weda sebagai pegangan hidupnya maka umat islam
memilki Kitab Al-Qur’an Al-Karim sebagai pedoman hidupnya. Kitab Al-Qur’an ini
adalah mukjizat yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW yang di
dalamnya terkandung nilai-nilai kebenaran, ketetapan yang mutlak mengenai agama
islam. Namun ada pembahasan yang terdapat dalam Al-qur’an yang masih bersifat
global.Oleh karena itu Munculah Al-Hadits yang fungsinya menyempurnakan dan
menjelaskan kitab-kitab terdahulu seperti kitab Taurat, Zabur, Injil dan
termasuk juga Al-Qur’an.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Konsep
Hadits, Sunnah, Khabar, Atsar, dan Hadits Qudsi?
2.
Bagaimana
Unsur-unsur Pokok Hadits: Sanad, matan dan Rawi?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Hadits,
Sunnah, Khabar, Atsar, dan Hadits Qudsi
1.
Hadits
Menurut bahasa Hadits berarti الجد يد , yaitu sesuatu
yang baru, menunjukan sesuatu yang dekat dan waktu yang singkat,[1] seperti
perkataan :
و حديث العهد فى الاء سلام
Artinya dia baru masuk / memeluk Islam. Lawan
kata الحديث adalah القديم , yang berarti sesuatu yang lama
Hadits juga berarti الخبر , “berita”, yaitu sesuatu
yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang kepada orang
lain. Disamping itu, Hadits juga berarti
القريب,”dekat” , tidak lama lagi
terjadi, sedangkan lawannya adalah البعيد , artinya “jauh”.[2]
Sedangkan pengertian hadits menurut istilah,
terdapat perbedaan antara beberapa ulama terutama antara ulama muhadditsun,
ushuliyyun, dan fuqaha.
-
Menurut
muhadditsun
Menurut ahli hadits atau muhadditsun,
pengertian hadist ialah:
آقوالالنبي صلي ا لله عليه و سلم و آفعاله وحواله وقال الاخر :
كل ما آ ثرر عن ا لنبي صلي ا لله عليه و سلم من قول آو فعل آو اقرار
Artinya : “ seluruh perkataan, perbuatan,
dan hal ihwal tentang Nabi Muhammad SAW. sedangkan menurut yang lainnya adalah
segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun ketetapannya.”
Menurut Al-Hafidz dalam syarh al-Bukhary,
dan al-hafizh dari Shakhawy ialah :
اقواله صلي ا لله عليه و سلم وا فعله
و احواله
“segala ucapan, perbuatan. Dan keadaan Nabi
SAW.”
Sebagian muhadditsin berpendapat bahwa
pengertian Hadits diatas adalah pengertian yang sempit. Menurut mereka, Hadits
mempunyai cakupan pengertian yang lebih luas, yang tidak terbatas pada apa yang
disandarkan kepada Nabi SAW. (Hadits marfu’) saja, melainkan termasuk di
dalamnya segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat (Hadits maqtu).
a. Menurut Ushuliyyun
Hadits menurut ahli Ushul adalah
Artinya : “ semua perkataan, perbuatan, dan
takrir Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum syara dan ketetapannya”
Sedangkan Hadits menurut ahli Hadits yang lain
adalah :
اقواله صلي ا لله عليه و سلم وافعاله
وتقاريره ممايتعلق به حكم بنا
“ segala perkataan, perbuatan, dan takrir
Nabi yang bersangkutan dengan hukum
b. Menurut Fuqaha
Menurut fuqaha, selain keterbatasan “materi”,
dari sisi sumber rujukan pun Hadits hanya terbatas kepada Nabi (Hadits marfu).
Keyakinan sebgian besar ulama Hadits yang menyebutkan sumber Hadits dapat saja
dari sahabat (Hadits mauquf) dan dari tabiin (Hadits maqtu) menjadi tidak
berlaku bagi kaum fuqaha. Diskusi bagi ulama fiqih, Hadits itu satu sumber , yakni Nabi dan dari
sisi substansi materi hanya yang menyangkut aspek-aspek hukum. Menurut
fuqaha juga dalam kacamata hukum, Hadits dibatasi hanya pada hal-hal yang
berhubungan dengan hukum saja. Hal-hal yang ada kaitannya dengan sifat basyariyah Nabi, seperti cara makan, tidur,
berjalan, berpakaian, memakai minyak wangi dan kebiasaan Nabi lainnya , tidak
termasuk dalam kategori Hadits.[3]
1) Hadis Qauli
Hadis qauli adalah segala bentuk perkataan atau
ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dengan kata lain, hadis qauli adalah
hadis berupa perkataan Nabi SAW. Yang berisi berbagai tuntutan dan petunnjuk
syara, peristiwa, dan kisah, baik yang berkaitan dengan aspek akidah, syariat,
maupun akhlak. Diantara contoh hadis qauli adalah:
عن ابى هريرة قال: قال رسول الله ص.ل. قال : من كذ ب على
متعمدا فاليتبوأ مقعده من النار. ( رواه مسلم )
Dari Abu
Hurairah r.a. , Rasulullah SAW bersabda : “barangsiapa sengaja berdusta atas
diriku, hendaklah dia bersiap-siap menempati tempat tinggalnya di neraka” (H.R.Muslim)
2) Hadis Fi’li
Hadis fi’li adalah segala perbuatan yang
disandarkan pada Nabi SAW. Dalam hadis tersebut terdapat berita tentang
perbuatan Nabi SAW. Yang menjadi anutan perilaku para sahabat pada saat itu,
dan menjadi keharusan bagi semua umat Islam untuk mengikutinya.
Hadis yang termasuk kategori ini diantaranya
hadis-hadis yang di dalamnya terdapat kata-kata kana/yakunu atau raitu/raina.[4] Contohnya
hadis berikut ini :
عن عا ئشة ان النبى ص.م. كان يقسم بين نسا ئه فيعد ل ويقول:
اللهم هده قسمتى فيما املك فلا تلمنى فيما تملك ولا املك.( رواه ابو داود والترمذى
والنسائ وابن ماجه )
Dari
Aisyah, Rasulullah SAW membagi (nafkah dan gilirannya) antara istri-istrinya
dengan adil. Beliau bersabda “ ya Allah ! inilah pembagianku pada apa yang aku
miliki. Janganlah Engkau mencelaku dalam hal yang tidak aku miliki” (H.R.
Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
3) Hadis Taqriri
Hadis taqriri adalah hadis berupa ketetapan
Nabi SAW. Terhadap apa yang datang atau dilakukan oleh para sahabatnya. Nabi
SAW. Mebiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para
sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah beliau membenarkan atau
mempermasalahkannya. Sikap Nabi yang demikian itu dijadikan dasar oleh para
sahabat sebagai dalil taqriri, yang dapat dijadikan hujjah atau mempunyai
kekuatan hukum untuk menetapkan suatu kepastian syara.[5]
Contohnya
:
لايصلين احدالعصر إلا فى بنى قريضه
(رواه البخارى)
Janganlah
seorangpun shalat ashar, kecuali nanti di Bani Quraidhah. (H.R.Bukhari)
2.
Sunnah
Dari segi bahasa, sunnah berarti jalan. Arti
sunnah ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang mengatakan : “ Barangsiapa
yang membuat sunnah (jalan) kebaikan dalam Islam, baginya pahala sunnah itu dan
pahala dari orang yang mengikuti sesudahnya tanpa berkurang pahala sedikitpun.
Dan barangsiapa yang membuat sunnah (jalan) buruk dalan Islam (tidak sesuai dengan syariat agama),
maka baginya dosa sunah itu dan dosa dari orang yang mengikuti sunnahnya
sesudahnya tanpa berkurang dosanya sedikitpun”.[6]
Sedangkan pengertian sunah menurut istilah,
terdapat perbedaan antara beberapa ulama terutama antara ulama muhadditsun,
ushuliyyun, dan fuqaha.
a.
Menurut Muhadditsun
Sunnah menurut istilah muhadditsun ialah
كل ما اثر عن النبي صلي ا لله عليه وسلم من قول اوفعل اوتقريراوصفةخلقية اوخلقية
اوسيرة سواءاكان ذا لك قبل البعثة ام بعد ها
segala
seseuatu yang bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir, budi pekerti, perjalanan hidup Nabi SAW. sebelum diangakat manjadi
Rasul, maupun sesudahnya.
Sebagian besar muhadditsun menjelaskan, bahwa
sunnah dalam arti ini menjadi muradif bagi kata hadits [7]
b. Menurut Ushuliyyun
Berbeda dengan ahli hadits, maka ahli ushul
mengatakan,
كل ما صدر عن النبي صلي ا لله عليه و سلم غيرالقرا ن الكريم من
من قول اوفعل اوتقرير مما يصلح ان يكون دليلا لحكم شرعي
sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber
dari Nabi Muhammad SAW selain Al-Qur’anul karim, baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun taqrirnya yang berhubungan dengan hukum syara dan pantas
dijadikan dalil bagi hukum syara.
c. Menurut fuqaha
Ahli Fiqih mengartikan sunnah sebagai berikut :
ما ثبت عن عن النبي صلي ا لله عليه و سلم من غيرافتراض وتقا بل
الواجب وغيره من الاحكا م ا لخمسة وقد تطلق عندهم على ما يقا بل البدعة
“segala
ketetapan yang berasal dari Nabi SAW. selain yang difardukan dan diwajibkan.
Menurut mereka, sunnah merupakan salah satu hukum yang lima (wajib, sunnah,
haram, makruh, dan mubah) dan yang tidak termasuk kelima hukum ini desebut
bid’ah”
3.
Khabar
Secara bahasa, khabar berarti berita (warta)
yang disampaikan dari seseorang kepada seseorang. Jamaknya Akhbar.
Muradifnya naba’ yang jamaknya anba’. Orang yang banyak menyampaikan
khabar dinamai khabir.
Pengertian khabar menurut istilah, terdapat
perbedaan antara beberapa ulama terutama antara ulama muhadditsun, ushuliyyun,
dan fuqaha.
a.
Menurut muhadditsun
Menurut ahli hadits, makna khabar hampir sama
dengan atsar dan hadits. Perbedaannya terletak hanya dari sisi pengertian
istilah ulama hadits yang membatasi khabar hanya bersumber dari sahabat dan
Nabi, tidak sampai pada tabiin. Tetapi pemaknaan umum terhadap khabar memiliki
makna yang sama, yakni segala ucapan, perbuatan, taqrir dan hal ihwal
tentang Nabi, marfu, sahabat (mauquf) dan tabiin (maqtu). Tetapi ulama
muhadditsun yang berasal dari Khurasan mengkhususkan arti atsar dengan apa-apa
yang datang dari sahabat saja (mauquf) , dan khabar berasa; dari Nabi (marfu’)
saja.[8]
b.
Menurut Ushuliyyun
Khabar meliputi warta dari Nabi SAW. maupun
dari sahabat, ataupun dari tabiin. Ada yang berpendapat bahwa khabar digunakan
untuk segala warta yang diterima dari yang selain Nabi SAW. mengingat hal
inilah, orang yang meriwayatkan hadis disebut muahaddits, dan orang yang
meriwayatkan sejarah dinamai akhbar atau khabary. Adapula yang
mengatakan bahwa khabar lebih umum daripada hadis, karena yang termasuk ke
dalam khabar segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi SAW. maupun dari
selainnya, sedangkan hadis khusus terhadap yang diriwayatkan dari Nabi SAW.
saja. Ada juga yang mengatakan , khabar dan hadis, di-ithlaq kan
kepada yang sampai dari Nabi SAW. saja, sedangkan yang diterima dari sahabat
dinamai atsar.
c. menurut Fuqaha
khabar adalah sesuatu yang datang, selain dari
Nabi Muhammad SAW. karena yang datang dari Nabi Muhammad SAW. disebut hadis.
Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa hadis lebih umum daripada khabar,
sehingga tiap hadis dapat diakatakan khabar, tetapi tidak setiap khabar dapat
dikatakan hadis.
Contoh yang berupa perkataan:
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
من عمل عملا
ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barang siapa
yang melakukan perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka ia
tertolak.” (HR. Muslim)
Contoh yang berupa perbuatan:
كان صلى الله
هليه و سلم إذ دخل بيته بدأ با لسيواك
“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke
dalam rumahnya, maka yang dilakukan pertama kali adalah bersiwak.” (HR. Muslim)
Contoh yang berupa persetujuan:
تقريره الجارية حين سألها : أين الله ؟ قالت : في
السماء، فأقر ها على ذلك صلى الله هليه و سلم
Persetujuan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pada
budak wanita ketika ia bertanya padanya, “Dimana Allah”. Budak itu menjawab,
“Di langit”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujuinya. (HR.
Muslim)
4.
Atsar
Atsar dari segi bahasa berarti “ bekas sesuatu“
, “sisa sesuatu “, “sisa waktu “ atau “sesuatu yang dinukilkan “.
pengertian atsar menurut istilah, terdapat
perbedaan antara beberapa ulama terutama antara ulama muhadditsun, ushuliyyun,
dan fuqaha.
a. Menurut Muhadditsun
Atsar berarti segala ucapan, perbuatan, taqrir
dan hal ihwal tentang Nabi, sahabat, dan tabiin.
Atsar cakupannya lebih luas daripada hadis.
Sumber rujukan atsar tidak terbatas hanya pada Nabi, tetapi sahabat dan tabiin.[9]
b. Menurut Ushuliyyun
atsar adalah segala sesuatu yang didasarkan
kepada Nabi Muhammad SAW. sahabat dan tabiin. Atsar ditujukan untuk yang mauquf,
sedangkan khabar ditujukan untuk yang marfu’
c. Menurut Fuqaha
Para fuqaha memakai istilah atsar untuk
perkataan-perkataan ulama salaf, tabiin, dan lain-lain. Ada yang mengatakan
bahwa atsar lebih ‘aam (umum) daripada khabar. Atsar dihubungkan kepada
yang datang dari Nabi SAW. dan yang selainnya, sedangkan khabar dihubungkan
kepada yang datang dari Nabi SAW. saja.
Contoh
Atsar
Perkataan Hasan Al-Bashri rahimahullaahu
tentang hukum shalat di belakang ahlul bid’ah:
وَقَالَ
الْحَسَنُ: صَلِّ وَعَلَيْهِ بِدَعَتُه
“Shalatlah
(di belakangnya), dan tanggungan dia bid’ah yang dia kerjakan.”
5.
Hadits Qudsi
Hadits qudsi secara bahasa berasal dari kata
qadasa, yaqdusu, qudsan, artinya suci atau bersih. Jadi hadits qudsi secara
bahasa adalah hadits yang bersih.
Secara terminologi, terdapat banyak definisi
dengan redaksi yang berbeda-beda. Akan tetapi, dari semua definisi tersebut,
dapat ditarik kesimpulan bahwa hadits qudsi adalahsegala sesuatu yang di
berikan Allah SWT. Kepada Nabi Muhammad SAW. Selain Al-Quran, yang redaksinya
disusun oleh Nabi Muhammad SAW.
Untuk lebih jelasnya, kami akan mengemukakan
beberapa definisi tersebut,
مايخبراالله تعالي به النبي صلي الله عايه وسلم بالالهام
اوبالمنام فاخبرالنبي من دلك المعني بعبارة نفسه
Sesuatu yang diberikan Allah SWT. Kepada
Nabi-Nya dengan ilham atau mimpi, kemudian Nabi Muhammad SAW. Menyampaikan
berita itu dengan ungkapan-ungkapan sendiri.
كل حد يث يضيف فيه رسول الله صلي الله عليه وسلم
قولا الي الله عزوجل
ما اخبرالله نبيه تارة بالوحي وتارة بالإالهام وتارة بالمنام
مفوضا اليه التعبير باي عبارة شاء
Sesuatu yang diberikan Allah SWT. Terkadang
melalui wahyu, ilham, atau mimpi, dengan redaksinya yang diserahkan kepada Nabi
SAW.
Disebut hadits karena redaksinya disusun sendiri
oleh Nabi Muhammad SAW. Dan disebut Qudsu karena hadits ini suci dan bersih ( Ath-Thaharah
wa At-Tanzih) dan datang dari dzat yang maha suci. Hadits qudsi ini juga
sering disebut dengan hadits ilahiyah atau hadits rabbaniyah. Disebut
ilahi atau rabbani karna hadits ini datang dari Allah SWT. Rabbil
‘alamiin.[11]
Contoh hadis qudsi :
عن ابى هريرة قال: قال رسول الله ص.ل. قال : قال الله : ثلا ثة
انا خصمهم يوم القيامة رجل اعطى بى ثم غدر ورجل باع حرا فاكل ثمنه ورجل استأ
جراجيرا فاستوفى منه ولم يعط اجره.( رواه البخارى وابن ماجه واحمد )
Dari Abu
Hurairah, sesungguhnya Nabi SAW. Bersabda, “Allah SWT berfirman, ‘Ada tiga
golongan yang Aku menjadi musuh mereka kelak di hari kiamat. Siapa yang Aku
menjadi musuhnya, maka Aku akan menjadi musuhnya. Seseorang yang memberikan
(janji) kepada-Ku lalu mengingkari. Seseorang yang mennjual orang merdeka, lalu
memakan hasil penjualannya. Dan seseorang yang memperkerjakan karyawan, lalu
karyawan itu memenuhi tugasnya, tetapi orang itu tidak memenuhi upahnya’.” (H.R.
Bukhari, Ibnu Majah dan Ahmad)
عن ابى ذ ر عن النبي ص.ل. فيما روى عن الله تبا رك وتعالى انه
قال: ياعبادي إنى حرمت الظلم على نفسى وجعلته بينكم محرما فلا تظا لموا.( رواه
مسلم )
Dari Abu
Dzar dari Nabi SAW. Seperti yang beliau riwayatkan dari Allah, bahwa Allah azza
wa jalla berfirman,”wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan
perbuatan aniaya pada dri-Ku sendiri, dan Aku jadikan ia diharamkan diantara
kalian. Karena itu, janganlah kalian berbuat saling aniaya.” (H.R
Muslim)
Adapun hadits qudsi tidak disuruh dibaca
dadalam shalat. Allah memberikan pahala membaca hadits Qudsi secara umum saja.
Membaca hadits qudsi tidak akan memperoleh pahala seperti yang disebutkan dalam
hadits mengenai membaca Al-Quran bahwa pada setiap huruf terdapat kebaikan.[12]
B.
Unsur-unsur Pokok
Hadits, Sanad, Matan, dan Rawi
1.
Sanad
Kata “Sanad”
menurut bahasa adalah “sandaran” atau sesuatu yang akan dijadikan
sandaran. Dikatakan demikian, karena hadist bersandar kepadanya. Sedangkan
menurut istilah, terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al-Badru bin Jama’ah
dan Al-Thiby mengatakan bahwa : “Berita tentang jalan matan”.
Ada juga yang menyebutkan
:“Silsilah para perawi yang menukilkan hadist dari sumbernya yang pertama”
Yang berkaitan dengan istilah sanad,terdapat
kata-kata seperti, al-isnad, al-musnid dan al-musnad. Kata-kata ini secara terminologis mempunyai arti yang
cukup luas, sebagaimana yang dikembangkan oleh para ulama.
Kata al-isnad
berarti menyandarkan, mengasalkan (mengembalikan ke asal) dan mengangkat. Yang
dimaksud disini ialah menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakannya (raf’u
hadits ila qa ‘ilih atau ‘azwu hadits ila qa’ilih). Menurut At-thiby, “Kata
al-isnad dan al-sanad digunakan oleh para ahli dengan pengertian yang sama”.Kata
al-musnad mempunyai beberapa arti, bisa berarti hadits yang disandarkan
atau diisnadkan oleh seseorang, bisa berarti nama suatu kitab yang menghimpun
hadits-hadits dengan system penyusunan berdasarkan nama-nama para sahabat, perawi
hadits, seperti kitab Musnad Ahmad, bisa juga berarti nama bagi hadits yang
marfu’ dan muttashil.
2.
Matan
Kata “matan” atau “al-matn”
menurut bahasa berarti Mairtafa’a min al-ardi (tanah yang meninggi).
Sedangkan menurut istilah ahli hadits adalah : “Perkataan yang disebut pada
akhir sanad, yakni sabda Nai SAW. Yang disebutkan sanadnya”.[14]
3.
Rawi
Kata “rawi” atau “al-rawi”
berarti orang yang meriwayatkan atau memberitakan hadits (naqil al-hadits).
Sebenarnya
antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan.
Sanad-sanad hadits pada tiap-tiap tabaqahnya juga disebut rawi, jika
yang dimaksud rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadits. Akan
tetapi yang membedakan antara sanad dan rawi adalah terletak pada
pembukuan atau pentadwinan hadits. Orang yang menerima hadits dan kemudian
menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin, disebut dengan perawi. Dengan demikian,
maka perawi dapat disebut mudawwin (Orang yang membukan dan menghimpn
hadits).[15]
Dari
berbagai pengertian tentang sanad, matan dan rawi dengan berbagai
urgensi yang berbeda-beda yang menunjukan begitu indah perbedaan pemikiran yang
menghiasi pengertian tentang sanad, matan dan rawi. Dengan ini kami
menyimpulkan bahwa yang dimaksud sanad adalah orang-orang yang
meriwayatkan hadits atau yang menyampaikan hadits pada matan. Matan
adalah isi, materi atau lafadz hadits itu sendiri sedangkan rawi adalah
orang yang menghimpun dan membukukan hadits.[16]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hadits
(Sunnah) merupakan dasar bagi ajaran islam, merupakan salah satu syari’at,
yakni sebagai sumber syariat islam yang ke-2 setelah Al-Qur’an yang harus
dijadikan pedoman. Dampak Ummat Islam terhadap hadits sangat menonjol terutama
dikalangan sufi, yang lebih mendalami sunnah-sunnah rasul. hal ini terbukti
banyaknya Muhadditsin dikalangan masyarakat.
Menta’ati
Rasul artinya mengikuti Rasul tentang segala perintahnya dan segala
larangannya, dengan kata lain mengikuti Sunnahnya. Karena itu, segala Hadits
yang diakui shahih, wajib diikuti dan diamalkan oleh ummat islam, sama halnya
dengan keharusan mengikuti Al-Qur’an sebab Hadits merupakan interpretasi
(bayan) dari Al-Qur’an. Melihat kedudukannya yang sangat penting ini, maka jika
kita mengetahui dan memahami Hadits secara benar, kita bisa mengamalkannya
dalam menjalankan syariat islam, melakukan istinbath hukum dan agar mengetahui
problematikanya lalu dapat meletakkan Hadits pada proporsi yang sebenarnya.
Berpedoman kepada al-Hadits untuk
di’amalkan dan menganjurkan orang lain untuk
maksud yang sama, adalah suatu
kewajiban. Agar kewajiban tersebut dapat dipenuhi
tentulah harus mempelajari ilmu tentang hal tersebut dengan kata lain
mempelajari ilmu hadits itu wajib.
B.
Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari
kesempurnaan, masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam bahasanya,
materi dan penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik,
saran dan masukan yang dapat membangun penulisan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Ajaj, Al-Khatib, As-Sunnah Qabla At-Tadwin, Darul
Fikr, Beirut, 1971.
Dzafar Ahmad Utsmani al Tahawuni, Qowa’id
al Ulum al-Hadits, cet III .Beirut : Maktab al Mathba’ah al Islamiyah, 1972.
Khusniatu
Rofiah, Studi Ilmu Hadits, Yogyakarya: STAIN PO Press,
2010.
Muhammad al Wiy al Maliki, al Qawa’id al
Ulum al Hadis, cet.IV. Jeddah : al Maktabah al Ilmiyah, 1402.
Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003.
Shubhi As-Shalih. ‘ulum Al-Hadits wa
Musthlahuh. Beirut: Dar Al-‘Ilm li Al-Malayin. 1959 M/1379 H. Hlm. 11-13,
dan Muhammad Utsman Al-Khusyat. Ma fatih ‘ulum Al-Hadits. Kairo:
Maktabah Al-Quran. T.t. hlm. 48.
Utang Ranuwijaya. Ilmu hadis. Jakarta : Gaya media
pratama.1996.
[1] Dzafar
Ahmad Utsmani al Tahawuni, Qowa’id al Ulum al-Hadits, cet III ( Beirut : Maktab
al Mathba’ah al Islamiyah, 1972) hal.24
[2] Ajaj,
Al-Khatib, As-Sunnah Qabla At-Tadwin, Darul Fikr, Beirut, 1971, hlm.20
[3] Ibid.
hal.27
[4] Ibid.
h.15
[5] Utang
Ranuwijaya. Ilmu hadis. Jakarta : gaya media pratama.1996.hlm.15
[6] Mustafa
al Siba’i, loc.cit
[7] Lihat
Qawai’d at-Tahdits : 35, Taujih an-Nazhar : 2, Miftah as-Sunnah : 5
[8] Ajaj al
Khatib, op.cit.hal.28
[9]Muhammad
al Wiy al Maliki, al Qawa’id al Ulum al Hadis, cet.IV (Jeddah : al
Maktabah al Ilmiyah, 1402) , hal.15
[10] Ibid.
h.. 38.
[11]
Al-Khatib. Ushul.... op.cit. hlm. 28.
[12]lihat
shubhi As-Shalih. ‘ulum Al-Hadits wa Musthlahuh. Beirut: Dar Al-‘Ilm li
Al-Malayin. 1959 M/1379 H. Hlm. 11-13, dan Muhammad Utsman Al-Khusyat. Ma
fatih ‘ulum Al-Hadits. Kairo: Maktabah Al-Quran. T.t. hlm. 48.
No comments:
Post a Comment