BAB I
PENDAHULUAN
Pemikiran hukum Islam
berkembang sejalan dengan perkembangan dan perluasan wilayah Islam melalui
kontak dengan budaya masyarakat setempat. Hal ini terjadi karena
sesungguhnya, al-Qur’an pada mulanya diwahyukan sebagai respon terhadap situasi
masyarakat saat itu yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi lebih luas
lagi. Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu pun, masih ada yang
memerlukan penafsiran dan mempunyai potensi untuk berkembang. Jika pada masa
Rasulullah SAW, dalam memahami ayat-ayat semacam itu, penjelasan diberikan
langsung oleh beliau dengan Sunnahnya. Akan tetapi, setelah Rasulullah wafat
dan wilayah kekuasaan Islam semakin luas, penjelasan itu dilakukan oleh para
Sahabat. Tanggung jawab itu terus berlanjut dan beralih kepada para tokoh atau
ulama mujtahid pada generasi berikutnya.
Semangat ijtihad
senantiasa dihidupkan oleh para fuqaha, meskipun di antara mereka ada yang
lebih memilih status quo. Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H/1505 M) memberikan
kritikan tajam kepada mereka yang mengabadikan taqlid, dan Ibn Taimiyyah (661
H-728 H) juga tidak membenarkan pendapat yang menyatakan bahwa pintu ijtihad
telah tertutup.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Proses Keluar dari Taqlid
Dalam periode taqlid berkembanglah
bid’ah dan kurafahdan bekulah pikiran ulama. Para ulama dalam periode taqlid
mengikat dirinya dengan ijtihad seseorang imam, membelakangi ruh syari’at
sendiri.[1]
Sebagai reaksi terhadap sikap taqlid,
pada abad ke-14 telah timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara
baru dan segar dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Namanya Ibnu Taimiyah
(1263-1328) dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-1356). Hanya saja
barangkali pemikiran-pemikiran hukum Islam yang mereka ijtihadkan khususnya
Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, tidak menyebar luas kepada dunia Islam sebagai
akibat dari kondisi dan situasi dunia Islam yang berada dalam kebekuan,
kemunduran dan bahkan berada dalam cengkeraman orang lain, ditambah lagi dengan
sarana dan prasarana penyebaran ide-ide seperti percetakan, media massa dan
elektronik serta yang lain sebagainya tidak ada, padahal sesungguhnya
ijtihad-ijtihad yang mereka hasilkan sangat berilian, menggelitik dan sangat
berpengaruh bagi orang yang mendalaminya secara serius.
Dalam rangka usaha-usaha pembaharuan
Islam, para ulama berusaha untuk menafsirkan kembali sumber-sumber tasyri’. Hal
ini diambil karena para mufassir terdahulu sebagian besar terpengaruh
dongeng-dongeng israiliyat dan Nasraniyat, karena banyak orang Yahudi dan
Nasrani yang masuk Islam.
Sebagai upaya menghadapi tantangan
zaman yang serba modern, para mujadid menafsirkan al-qur’an dengan disesuaikan
perkembangan zaman, juga menghindarkan diri dari dongeng Israiliyaht dan
Nasraniyat. Maka pada abad 14 H lahirlah aliran baru dalam menafsirkan
al-qur’an seperti aliran al-Manar yang dipelopori oleh Jamaludin al-afghani
(1315 H), Muhammad Abduh (1323 H) dan muridnya M. Rasyid Ridha.
Dalam penafsiran ini Muhammad Abduh
senantiasa berusaha mencari persesuaian antar al-Qur’an tidak mungkin mengandung
ajaran-ajaran yang berlawanan dengan hakikat ilmu. Bahkan, al-Qur’an mencakup
ilmu pengetahuan modern di abad yang akhir ini. Pemikiran Abduh terutama dalam
bidang hukum Islam, diinspirasi oleh pemikiran Ibnu Taimiyah. Ia membagi ruang
lingkup agama ke dalam dua bidang besar, yaitu ibadah dan mu’amalah. Beliau
juga menganjurkan agar tidak terikat kepada madzhab tertentu. Sikap semacam ini
dilatarbelakangi oleh luasnya wawasan Abduh dalam hukum Islam. Ia berani
mengambil berbagi keputusan hukum secara bebas dan penuh tanggungjawab. Hal ini
nampak dari setiap keputusannya ketika ia menjadi mufti di Mesir.
Cita-cita pembaharuan Abduh kemudian
ditindak lanjuti oleh muridnya, Sayyid Muhmmad Rasyid Ridha. Titik tolak
pembaharuan Ridha berpangkal pada segi keagamaan, yaitu tuntutan adanya
kemurnian ajaran Islam, baik dari segi akidah maupun amaliyahnya. Ajaran Islam
yang murni inilah yang akan membawa kemajuan umat Islam. Itulah sebabnya
bid’ah, khurafat dan segala ajaran yang menyimpang harus disingkirkan.[2]
Adapun tafsir yang menitikberatkan
kepada ayat-ayat tasryri’ ialah tafsir al-Qurtubi, abu Bakar al-Arabi, Abu
Bakar al-Janash dan tafsir Shidiq Hasan Khan yang dikenal dengan tafsir ulama
tasyri’. Di samping itu, para mujadid juga berusaha menafsirkan sunah Rasul
disesuaikan dengan laju peradaban modern, sehingga sumber-sumber tasyri’ yang
pokok itu tetap menjadi pegangan pembuat undang-undang di zaman mutakhir.
Dalam mewujudkan pembaharuan dan
pembentukan hukum ini, para mujadid tidak terikat pada salah satu madzhab.
Mereka mengambil pendapat dari berbagai ulama ahli hukum yang lebih sesuai
dengan kemaslahatan umat dan masyarakat di alam modern. Sikap seperti ini
dikenal dengan istilah “talfiq” (meramu), yakni mengamalkan suatu hukum furu’
yang dzonni menurut ketentuan dua madzhab atau lebih.
Dalam masalah boleh tidaknya talfiq,
terdapat beberapa pendapat. Al-Ghozali, al-syatibi, al-Jalal Mahalli
mengharamkannya secara mutlak. Ulama lainnya, seperti Ibnu al-Athar, Ibnu Humma
Abu Ishak al-Marwani membolehkannya. Pendirian tersebut berpegang kepada firman
Allah: “Allah menghendaki kelonggaran bagimu” (Al-Baqarah: 185).
Usaha ulama yang lain adalah berkaitan
dengan kemurnian tasyri’ islam dari bid’ah dan khurafat. Bid’ah dapat diartikan
menjalani syariat yang tidak sesuai dengan ajaran Allah dan sunah Rasulullah,
baik dengan cara mengurangi maupun menambah ketentuan yang telah ditetapkan
oleh nash. Khurafat diartikan sebagai keyakinan atau i’tikad yang menyalahi
kehendak al-Qur’an dan sunah Rasulullah.
Dalam memperbaharui tasyri’ Islam,
para mujtahid berusaha untuk memurnikan tasyri’ Islam dari bid’ah dan khurafat,
umatnya tidak akan mengalami kemajuan apalagi kejayaan sebagaimana yang dialami
pada masa Rasulullah dan masa sahabat. Tokoh terkenal yang menentang bid’ah dan
khurafat adalah Abu Al-Wahhab di Saudi Arabia dan Syekh Waliyullah al-Dahlawi
dari India.
Kebangunan dan kemunduran hukum Islam
sangat erat hubungannya dengan kebangunan kaum muslimin dan kemundurannya dalam
lapangan politik. Usaha-usaha kebangunan tersebut sudah dimulai sejak abad-abad
yang lalu , akan tetapi masih terbatas sifatnya dan terjadi dalam lingkungan
yang terbatas pula. Baru setelah kesadaran nasional meliputi kaum muslimin dan
mereka sedah menginsafi kedudukan dirinya sebagai golongan yang mundur, maka
barulah mulai kebangunan universal yang meliputi seluruh kaum muslimin
dan negeri-negeri Islam.
B.
Pembaharuan pada setiap Negara Islam
Umat Islam merasa tergugah kembali
untuk meraih kembali kesuksesan yang pernah diraihnya itu. Kebangkitan umat
Islam muncul di Turki dan Mesir yang memulai usaha-usaha dalam bidang
pendidikan. Di Mesir, pada awal abad ke-13 H, Muhammad Ali Pasya tampil untuk
memajukan ilmu pengetahuan, kemudian dilanjutkan oleh al-Tahtawi, dengan usaha
penerjemahan buku-buku baru serta penerbitan berbagai surat kabar dan majalah
ilmu pengetahuan.
Mesir juga berusaha keras untuk
menguasai ilmu-ilmu pengetahuan modern. Mahasiswa-mahasiswa mesir dibiayai
untuk belajar di negeri barat, saat itu dikirim mahasiswa tidak kurang dari 300
mahasiswa di Itali, Perancis, Inggris dan Austria. Sekembali dari negeri Barat
itu, mereka melihat situasi di negerinya jauh ketinggalan dengan negeri-negeri
Barat. Maka para pemuda Islam yang terdidik itu berusaha membangkitkan dunia
Islam ke arah peradaban modern. Mereka dilengkapi berbagai metode dan strategi
untuk menyesuaikan syari’at Islam dengan pandangan dunia.
Gerakan Wahabiah dengan dibawah
pimpinan Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H) yang terjadi di Saudi Arabia
merupakan usaha permualaan ke arah kebangunan kaum muslimin. Gerakan tersebut
menyerukan pemberantasan bid’ah-bid’ah dan khurafat-khurafat yang merugikan dan
menyerukan menjauhi taqlid, membersihkan islam dari kekotoran-kekotoran yang
memasukinya dan kembali kepada Quran dan Hadits serta apa yang diwariskan ulama
salaf (ulama-ulama dahulu).[3]
Usaha yang sama timbul pula di Libya
dengan pimpinan Muhammad bin As-Sanusi (1791-1859 M) pada awal-awal abad ketiga
belas yang melancarkan da’wahnya di negeri-negeri Afrika utara untuk
membersihkan agama Islam dari noda-noda yang dimasukkan oleh musuh-musuh Islam
dan menyerukan kembali kepada Quran, Hadits dan apa yang ditinggalkan oleh
ulama salaf.
Di Sudan juga kita dapati Al-Mahdi
(1843 – 1885 M. ) yang berjuang untuk mengemnalikan Islam kepada kesederhanaan
dan toleransinya yang semula dan dalam pengambilan dasar hukum hanya berpedoman
kepada Al-Quran dan Hadits.[4]
C.
Para Tokoh Pembaharuan
Sebagai reaksi terhadap sikap taqlid, pada
abad ke-14 telah timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru
dan segar dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Namanya Ibnu Taimiyah
(1263-1328) dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-1356). Hanya saja
barangkali pemikiran-pemikiran hukum Islam yang mereka ijtihadkan khususnya
Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, tidak menyebar luas kepada dunia Islam sebagai
akibat dari kondisi dan situasi dunia Islam yang berada dalam kebekuan,
kemunduran dan bahkan berada dalam cengkeraman orang lain, ditambah lagi dengan
sarana dan prasarana penyebaran ide-ide seperti percetakan, media massa dan
elektronik serta yang lain sebagainya tidak ada, padahal sesungguhnya
ijtihad-ijtihad yang mereka hasilkan sangat berilian, menggelitik dan sangat
berpengaruh bagi orang yang mendalaminya secara serius. Kemudian banyak
tokoh-tokoh yang mengikuti jejak para pendahulunya untuk membangkitkan kembali
semangat ijtihad dan menolak taqlid, diantaranya :
- Jamaluddin Al
Afghani
Nama panjang beliau adalah Muhammad
Jamaluddin Al Afghani, dilahirkan di Asadabad, Afghanistan pada tahun 1254
H/1838 M. Ayahanda beliau bernama Sayyid Safdar al-Husainiyyah, yang nasabnya
bertemu dengan Sayyid Ali al-Turmudzi (seorang perawi hadits yang masyhur yang
telah lama bermigrasi ke Kabul) juga dengan nasab Sayyidina Husain bin Ali bin
Abi Thalib.
Tidak ada perbedaan diantara Al-Afghani
dengan Ibnu Taymiyyah (seperti kebanyakan ulama dari generasi awal) lebih
banyak berhujjah dengan menggunakan dalil-dalil agama dan pendekatan logika (mantiqy)
dalam menegakkan panji/bendera yang dibawanya, seperti yang kita bisa lihat
dari karya-karya beliau. Sedangkan Al Afghani lebih kepada pendekatan provokasi
(dalam term positif) atau membakar semangat, menyadarkan ummat atas realitas
keterpurukan mereka, serta menjalin komunikasi dengan para ulama dan pemimpin
kaum Muslimin.
Kontribusi Al-Afghani
Pertama; Perlawanan terhadap
kolonial barat yang menjajah negri-negri Islam (terutama terhadap penjajah
Inggris). Beliau turut ambil bagian dalam peperangan kemerdekaan India pada
bulan Mei 1857, juga mengadakan ziarah ke negri-negri Islam yang berada di
bawah tekanan imperialis dan kolonialis barat seperti tersebut di atas.
Kedua; upaya melawan pemikiran
naturalisme di India, yang mengingkari adanya hakikat ketuhanan. Menurutnya,
dasar aliran ini merupakan hawa nafsu yang menggelora dan hanya sebatas egoisme
sesaat yang berlebihan tanpa mempertimbangkan kepentingan umat manusia secara
keseluruhan.
Hal ini dikarenakan adanya pengingkaran
terhadap hakikat Tuhan dan anggapan bahwa materi mampu membuka pintu
lebar-lebar bagi terhapusnya kewajiban manusia sebagai hamba Tuhan. Dari
situlah Al-Afghani berusaha menghancurkan pemikiran ini dengan menunjukkan
bahwa agama mampu memperbaiki kehidupan masyarakat dengan syariat dan
ajaran-ajarannya.
- Muhammad Abduh
Taklid kepada ulama lama tidak perlu
dipertahankan bahkan mesti diperangai, karena taklid inilah yang membuat umat
Islam berada dalam kemunduran dan tidak dapat maju.Muhammad Abduh dengan keras
mengkritik ulama-ulama yang menimbulkan faham taklid. Sikap ulama ini, membuat
umat Islam berhenti berpikir dan akal mereka berkarat. Sikap umat Islam yang
berpegang teguh pada pendapat ulama klasik, dipandang berlainan betul dengan
sikap umat Islam dahulu.al-Qur’an dan Hadis, melarang umat Islam bersifat
taklid.
Pendapat tentang pembukaan pintu ijtihad dan
pemberantasan taklid, berdasarkan kepercaan Muhammad Abduh pada kekuatan akal.
Menurut pendapatnya al-Qur’an berbicara, bukan hanya kepada hati manusia,
tetapi juga kepada akalnya.
Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar
peradaban suatu bangsa. Akal terlepas dari ikatan tradisi akan dapat memikirkan
dan memperoleh jalan-jalan yang membawa pada kemajuan. Pemikiran akallah yang
menimbulkan ilmu pengetahuan.[5]
- Syeikh Muhammad
As-Sirhindi
Syeikh Ahmad mempunyai beberapa manhaj untuk
mencapai fase kebangkitan :
a)
Dia banyak memberikan
pengajaran dan pendidikan kepada umat untuk mempersiapkan mereka berdakwah
dalam level yang tinggi.
b)
Dia mengkritik pada
pemikiran filsafat yang menyimpang dan pemikiran tasawuf yang batil, dari para
penganut wihdatul wujud dan ittihad (yakni orang bisa bersatu dengan Tuhan).
c)
Dia memerangi semua bentuk
syirik.
d)
Dia mengajak manusia pada
tauhid yang murni dan keabadian risalah Muhammad Rasulullah, dan mengajak umat
muslim untuk bersatu dalam pangkuan Islam.
- Sayyid Ahmad
Syahid
Sayyid Ahmad Syahid juga menentang taqlid
pada pendapat ulama, termasuk di dalamnya pendapat keempat Imam Besar. Oleh
karena itu berpegang pada mazhab tidak menjadi soal yang penting, sungguh pun
ia sendiri adalah pengikut mazhab Abu Hanifah. Karena taqlid ditentang pintu
ijtihad baginya terbuka dan tidak tertutup.[6]
- Muhammad Abdul
Wahab
Salah satu pelopor pembaruan dalam dunia
Islam Arab adalah suatu aliran yang bernama Wahabiyah yang sangat berpengaruh
di abad ke-19. Pelopornya adalah Muhammad Abdul Wahab (1703-1787 M) yang berasal
dari nejed, Saudi Arabia. Pemikiran yang dikemukakan oleh Muhammad Abdul Wahab
adalah upaya memperbaiki kedudukan umat Islam dan merupakan reaksi terhadap
paham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam saat itu. Paham tauhid mereka
telah bercampur aduk oleh ajaran-ajaran tarikat yang sejak abad ke-13 tersebar
luas di dunia Islam
Disetiap negara Islam yang dikunjunginya
Muhammad Abdul Wahab melihat makam-makam syekh tarikat yang bertebaran. Setiap
kota bahkan desa-desa mempunyai makam Syekh atau walinya masing-masing.
Kemakam-makam itulah umat Islam pergi dan meminta pertolongan dari syekh atau
wali yang dimakamkan disana untuk menyelesaikan masalah kehidupan mereka
sehari-hari. Ada yang meminta diberi anak, jodoh disembuhkan dari penyakit, dan
ada pula yang minta diberi kekayaan. Syekh atau wali yang telah meninggal.
Syekh atau wali yang telah meninggal dunia itu dipandang sebagai orang yang
berkuasa untuk meyelesaikan segala macam persoalan yang dihadapi manusia di
dunia ini. Perbuatan ini menurut paham Wahabiah termasuk syirik karena
permohonan dan doa tidak lagi dipanjatkan kepada Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Umat
Islam merasa tergugah kembali untuk meraih kembali kesuksesan yang pernah
diraihnya itu. Kebangkitan umat Islam muncul di Turki dan Mesir yang memulai
usaha-usaha dalam bidang pendidikan. Di Mesir, pada awal abad ke-13 H, Muhammad
Ali Pasya tampil untuk memajukan ilmu pengetahuan, kemudian dilanjutkan oleh
al-Tahtawi, dengan usaha penerjemahan buku-buku baru serta penerbitan berbagai
surat kabar dan majalah ilmu pengetahuan.
Mesir
juga berusaha keras untuk menguasai ilmu-ilmu pengetahuan modern.
Mahasiswa-mahasiswa mesir dibiayai untuk belajar di negeri barat, saat itu
dikirim mahasiswa tidak kurang dari 300 mahasiswa di Itali, Perancis, Inggris
dan Austria. Sekembali dari negeri Barat itu, mereka melihat situasi di
negerinya jauh ketinggalan dengan negeri-negeri Barat. Maka para pemuda Islam
yang terdidik itu berusaha membangkitkan dunia Islam ke arah peradaban modern.
Mereka dilengkapi berbagai metode dan strategi untuk menyesuaikan syari’at
Islam dengan pandangan dunia.
Dalam
rangka usaha-usaha pembaharuan Islam, para ulama berusaha untuk menafsirkan
kembali sumber-sumber tasyri’. Hal ini diambil karena para mufassir terdahulu
sebagian besar terpengaruh dongeng-dongeng israiliyat dan Nasraniyat, karena
banyak orang Yahudi dan Nasrani yang masuk Islam.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari
kesempurnaan, masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam bahasanya,
materi dan penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik,
saran dan masukan yang dapat membangun penulisan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Djatnika, Rahmat, Dkk. 1986. Perkembangan
Ilmu Fiqih Di Dunia Islam. Jakarta: Dept. Agama RI.
Nasution, Harun, 1996. Pembaharuan
dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang.
Hanafi, Ahmad, Pengantar dan Sejarah Hukum
Islam . Jakarta ; Bulan Bintang, Cet VII, 1995.
Ash-Shiddiegy, T.M. Hasbi. 1970. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum
Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
[1] M.
Hasbi Ash-Shiddiegy. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam.
(Jakarta: Bulan Bintang,) h. 188
[2] Ibid,
[3] T.M.
Hasbi Ash-Shiddiegy. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam.
(Jakarta: Bulan Bintang,) h. 188
[4]Ahmad
Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam . (Jakarta ; Bulan Bintang,
Cet VII, 1995) hlm 211
[5] Rahmat
Djatnika, Dkk. 1986. Perkembangan Ilmu Fiqih Di Dunia Islam.
(Jakarta: Dept. Agama RI.) h, 46
[6] Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta
: Bulan Bintang, 1996), h. 58
No comments:
Post a Comment