BAB I
PENDAHULUAN
Kamboja atau
Kampuchea merupakan negara di Asia Tenggara yang semula berbentuk Kerajaan di
bawah kekuasaan Dinasti Khmer di Semenanjung Indo-China antara Abad Ke-11 dan
Abad Ke-14. Rakyat Kamboja biasanya dikenal dengan sebutan Cambodian atau
Khmer, yang mengacu pada etnis Khmer di negara tersebut. Negara anggota ASEAN
yang terkenal dengan pagoda Angkor Wat ini berbatasan langsung dengan Thailand,
Laos dan Vietnam. Sebagian besar rakyat Kamboja beragama Buddha Theravada, yang
turun-temurun dianut oleh etnis Khmer. Namun, sebagian warganya juga ada yang
beragama Islam dari keturunan muslim Cham.
Pada tanggal 9
November 1953, Perancis mengakhiri penjajahannya di Kamboja yang telah
berlangsung sejak tahun 1863 dan Kamboja pun menjadi sebuah negara berdaulat.
Setahun kemudian mantan pemimpin negara kawasan Indo-China itu, Raja Norodom
Sihanouk, kembali dari pengasingannya di Thailand. Sihanouk kemudian membentuk
partai politik dan menggelar pemilihan umum (pemilu).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perang Teluk
Pasca Perang
Dunia II kebanyakan konflik besar yang terjadi berada di daerah Timur Tengah
atau Asia Barat Daya. Salah satunya adalah Perang Teluk, perang ini terjadi dua
kali. Disebut dengan Perang Teluk karena Perang ini berlangsung di daerah
Teluk Persia yaitu negara Irak, Iran dan Kuwait. Berikut adalah pembahasannya.
1.
Perang Teluk I
Perang Teluk I
terjadi pada tanggal 22 September 1980, dimana pihak yang terlibat adalah Irak
dan Iran. Sengketa ini memperebutkan perbatasan di Selat Shatt al Arab.
Sengketa dan ketegangan sementara dapat diredakan dengan perjanjian
Algeir pada tahun 1975, yang menyatakan bahwa Iran akan menghentikan dukungan
kepada pemberontak Kurdi dan perbatasan irak-iran di Shatt al Arab akan digeser
dari timur ke tengah perairan.[1]
Secara
jelasnya berikut adalah beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya Perang
Teluk I.
a. Irak khawatir
akan meluasnya pengaruh Revolusi Iran di bawah Imam Khomeni. Revolusi tersebut
berhasil menggulingkan dinasti Reza Shah Pahlevi yang memerintha Iran dan
mendirikan Republik Islam Iran yang dipelopori kaum Mullah (Ulama Syiah).
b. Irak secara
sepihak membatalkan perjanjian dengan Iran, yaitu perjanjian Algier mengenai
penguasaan bersama daerah Shat el Arab yang kaya akan minyak.
c. Ketika Irak
dibawah Saddam Husein, dia ingin mengembalikan daerah yang pernah dikuasai oleh
Kerajaan Babylonia.
Krsisis
semakin meningkat dengan terjadinya insiden peledakan granat pada tanggal 1
April 1980 yang hampir membunuh Wakil Perdana Menteri Irak Tariq Aziz. Presiden
Irak Saddam Husein menyalahkan Iran atas insiden tersebut dan mengusir
keturunan Iran yang ada di Irak, selain itu Irak juga menuntut kembali untuk
merundingkan perjanjian Algeir serta menuntut mengembalikan pulau di Selat
Hormuz.
Ketegangan berlanjut
ketika kedua belah pihak mengirim tentara di perbatasan kedua negara. Insiden
tembak menembakpun terjadi pada tanggal 17 September 1980. Pada tanggal 22
September 1980 Irak mengerahkan pesawat tempur untuk menggempur Iran dan
menandai pecahnya Perang Teluk I.
2.
Perang Teluk II
Perang Teluk
II merupakan perang antara Irak dan Kuwait. Irak yang melakukan serangan tak
terduga berhasil dengan cepat munguasai Kuwait. Kuwait kemudian memintabantuan
dari pasukan multinasional di bawah pimpinan Amerika Serikat. Adapun
sebab-sebab terjadinya Perang Teluk II adalah sebagai berikut:[2]
Invasi Irak ke
Kuwait disebabkan oleh kemerosotan ekonomi Irak setelah Perang Delapan Tahun
dengan Iran dalam Perang Teluk I. Ambisi pemimpin Irak Saddam Hussein untuk
tampil sebagai penguasa di negara-negara Arab. Terjadinya pelanggaran kuota
minyak oleh Kuwait dan Uni Emirat Arab sehingga produksi minyak dunia melimpah
yang mengakibatkan anjloknya harga minyak. Irak yang sangat mengandalkan
pendapatan negara dari sektor minyak sangat terpukul dengan peristiwa tersebut Kuwait
dituduh mencuri minyak Irak di ladang minyak Rumallah yang terletak di
perbatasan kedua negara tersebut dan sedang dipersengketakan. Penolakan Kuwait
terhadap tuntutan Irak yang berupa:
Irak
melancarkan invasi ke Kuwait pada tanggal 2 Agustus 1990 dengan strategi gerak
cepat. Emir Kuwait, Syeikh Jaber al Ahmed al Sabah segera meninggalkan
negaranya dan Kuwait dijadikan provinsi ke-19 Irak dengan nama Saddamiyat
Al-Mitla` pada tanggal 28 Agustus 1990. Kuwait pun berusaha membalasnya dengan
serangan udara kecil terhadap posisi-posisi Irak pada tanggal 3 Agustus 1991
dari pangkalan yang dirahasiakan, namun semua itu tidak ada artinya.[3]
B. Kamboja
1.
Persoalan Kamboja
Pada tahun 1432, Khmer dikuasai oleh Kerajaan Thai. Dewan Kerajaan Khmer
memindahkan ibu kota dari Angkor ke Lovek, di mana kerajaan mendapat keuntungan
besar karena Lovek adalah bandar pelabuhan. Pertahanan Khmer di Lovek akhirnya
bisa dikuasai oleh Thai dan Vietnam, dan juga berakibat pada hilangnya sebagian
besar daerah Khmer. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1594. Selama tiga abad
berikutnya, Khmer dikuasai oleh raja-raja dari Thai dan Vietnam secara
bergiliran.[4]
Pada tahun 1863, Raja Norodom, yang dilantik oleh Thai, mencari
perlindungan kepada Prancis. Pada tahun 1867, Raja Norodom menandatangani
perjanjian dengan pihak Prancis yang isinya memberikan hak kontrol Provinsi
Battambang dan Siem Reap yang menjadi bagian dari Thai. Akhirnya, kedua daerah
ini diberikan pada Kamboja pada tahun 1906 pada saat perjanjian perbatasan oleh
Prancis dan Thai.
Dalam pemilihan nasional, Sangkum Ratrniyum memperoleh suara
mayoritas dalam Dewan Nasional. Sihanouk berhasil mendominasi pandangan politik
Kamboja dan berhasil memadamkan oposisi konservatif dan sisi radikal. Ancaman
yang dihadapi pada masa Sihanouk, yaitu sebagai berikut:
a.
Partai Komunis Khmer
(KCP) yang dikenal dengan nama Khmer Merah;
b.
ancaman dari negara
tetangganya, yaitu Vietnam Selatan dan Thailand.
Pada saat Perang Vietnam tahun 1960-an, Kerajaan Kamboja memilih untuk
netral. Namun, hal ini tidak dibiarkan oleh petinggi militernya, yaitu Jendral
Lon Nol dan Pangeran Sirik Matak yang merupakan aliansi pro-AS. Mereka pun
menyingkirkan Norodom Sihanouk dari kekuasaannya. Dari Beijing, Norodom
Sihanouk memutuskan untuk beraliansi dengan gerombolan Khmer Merah, yang
bertujuan untuk menguasai kembali takhtanya yang direbut oleh Lon Nol. Hal
inilah yang memicu perang saudara di Kamboja.
Pada tanggal 9 Oktober 1970 Lon Nol mengangkat dirinya sebagai presiden di
Kamboja. Pada tahun 1975 Pol Pot dapat merebut kekuasaan Lon Nol. Pol Pot
memegang kekuasaan pemerintahan di Kamboja dengan keras dengan melakukan
tindakan, seperti setiap penduduk dipaksa untuk bekerja di ladang; semua
kegiatan pertanian dan perusahaan dikuasai sepenuhnya oleh negara; semua
praktik keagamaan dihapus.
Pada tahun 1977 timbul perselisihan antara rezim Pol Pot yang didukung Khmer Merah danHeng Samrin yang didukung Vietnam. Pada tanggal 8
Januari 1979 Heng Samrin dapat menjatuhkan pemerintahan Pol Pot. Itu sebabnya
Pol Pot akhirnya mundur ke daerah pedalaman Thailand. Kekuasaan negara dipegang
oleh golongan komunis yang pro-Vietnam dengan Heng Samrin sebagai presiden dan
Hun Sen sebagai perdana menteri. Pada tanggal 22 Juni 1982 Son San membentuk
aliansi dengan Khieu Samphan wakil Pol Pot untuk bersama-sama menentang Heng
Samrin. Pada tahun 1985 Sihanouk dan pasukannya menyerang
Heng Samrin dan mengalami kekalahan dan terpaksa mundur serta masuk ke wilayah
Thailand.[5]
Agaknya dukungan rakyat Kamboja terhadap Hun Sen terjadi karena dia
membuktikan sebagai pemimpin sejati. Ia hadir di tengah rakyatnya yang sedang
kehilangan jati diri. Ia diakui sebagai pemimpin sebab di saat elite lainnya
banyak meninggalkan Kamboja untuk penyelamatan diri dan kekuarga mereka, Hun
Sen bertahan untuk menyelamatkan bangsanya. Waktu, pikiran, dan dedikasinya
hanya untuk Kamboja. Inilah yang membuat pembangunan di Kamboja berhasil.
Kehidupan rakyat Kamboja berangsur berubah. Ibu kotanya Phnom Penh menggeliat.
Dari sebuah negara miskin menjadi negara relatif berkecukupan.[6]
2.
Penyelesaian Masalah Kamboja
a. Konferensi
Internasional
Serangan tentara Vietnam dan munculnya Heng
Samrin sebagai penguasa di Kamboja, ternyata telah melahirkan masalah Kamboja
yang terus berkepanjangan. Bahkan boleh dikatakan masalah ini merupakan sumber
konflik antara Vietnam dengan negara-negara ASEAN, terutama dalam soal konsepsi
dan strategi politiknya.
Berbagai langkah diplomasi telah pula
dilakukan, tetapi sebegitu jauh belum mencapai hasil yang diharapkan. Vietnam
masih tetap menempatkan sekitar 200.000 pasukannya di Kamboja. Satu-satunya
hasil penting adalah dikeluarkannya resolusi Majelis Umum PBBno. 35 pada
Oktober 1980 yang lalu, isinya agar Vietnam menarik pasukannya dari wilayah
Kamboja.
b. Terbentuknya
koalisi longgar
Ada tiga kelompok yang melawan tentara
vietnam di kamboja. Pertama, kelompok Khmer Merah yang berhaluan komunis
dibawah pimpinan Kieu Samphan, Pol Pot dan Leng Sary. Kedua, kelompok non
komunis dipimpin oleh Son Sannu. Ketiga, kelompok netralis Moulinika pimpinan
Norodom Sihanouk. Ketiga kelompok tersebut terusmelakukan perlawanan
teradap Vietnam.Khmer Merah dengan terus mengadakan perang gerilya,
non komunis dengan melakukan perlawanan yang pusat kegiatannya di Muangthai,
netralis dengan mengeluarkan stattement-stattement.
c. JIM (Jakarta
Informal Meeting)
Pada tanggal 25–28 Juli 1988 di Bogor,
Indonesia. Pertemuan yang dikenal dengan Jakarta Informal Meeting I (JIM I) ini
menampilkan terobosan untuk pertama kalinya, di mana pihak-pihak yang secara
langsung terlibat di dalam konflik, yaitu keempat faksi, Dalam rangka menindaklanjuti JIM I, pada
tanggal 16-18 Februari 1989 digelar JIM II yang turut dihadiri oleh
negara-negara peserta JIM I. Pada pertemuan ini dapat disepakati berbagai
kemajuan yang bersifat teknis sebagai tindak lanjut dan penyeragaman persepsi
dari hasil pertemuan pertama. Beberapa hasil yang menonjol diantaranya adalah
penarikan seluruh pasukan Vietnam yang harus segera dilakukan dengan batas
waktu 30 September 1989 sebagai bagian dari kerangka penyelesaian politik yang
menyeluruh. Kemudian dibahas pula mengenai himbauan penghentian keterlibatan
pihak asing termasuk dukungan militer dan persenjataan terhadap masing-masing
pihak yang bertikai di Kamboja.
Pertemuan ASEAN di Brunei pada tanggal 3-4
Juli 1989 telah memformulasikan suatu pijakan bersama atas konflik Kamboja
sebagai hasil dari pertemuan JIM I dan JIM II.
d. Paris
International Conference (PIC)
Paris International Conference di Paris, 30
Juli-30 Agustus 1989. Dihadiri 19 negara yangtermasuk P-5 (DK PBB),
negara-negara ASEAN, dan empat faksi yang bertikai di Kamboja. Dengan hasil
Pembentukan tim pencari fakta guna pembentukan ICM (International Control
Mechanism) yang bertugas untuk pemantauan penarikan mundur pasukan Vietnam dan
pelaksanaan gencatan senjata.
e. Paris
International Conference on Cambodia
Paris International Conference on Cambodia
pada23 Oktober 1991. Kesepakatan Paris telah muncul sebagai suatu kerangka
kerja yang sah bagi penyelesaian konflik Kamboja sekaligus menjadi pertanda
berakhirnya konflik berkepanjangan di Kamboja.
Kesepakatan Paris yang merupakan hasil akhir
dari rangkaian proses perdamaian Kamboja selanjutnya menandai suatu awal baru
bagi kehidupan Kamboja selanjutnya.
3.
Dampak Konflik Kamboja
a.
Dampak Sosial
Perang tak pernah meninggalkan dampak yang
sederhana, terutama bagi kehidupan sosial masyarakat di daerah konflik. Pasti
akan ada perubahan karena banyaknya korban akibat perang. Hal tersebut akan
sangat berpengaruh pada stabilitas kondisi masyarakat, menyebabkan mobilitas
penduduk ke daerah yang dianggap aman dan bahkan masalah seperti krisis pasti
akan terjadi.
1)
Dalam perang
tersebut Vietnam kehilangan tentara lebih banyak dari pada saat perang melawan
Amerika Serikat. Vietnam juga kehilangan banyak dana untuk membiayai perang
ini, sehingga menyebabkan bencana kelaparan di Vietnam.
2)
Dari pihak
Kamboja, banyak penduduknya yang mengungsi ke perbatasan Kamboja-Thailand.
Tentara dan penduduk Kamboja pun banyak terbunuh akibat perang tersebut.
3)
Dampak bagi masyarakat
ASEAN sendiri, mereka lebih banyak tergerak untuk memberikan bantuan. Banyak
negara-negara di ASEAN yang berinisiatif untuk membantu menyelesaikan konflik.
Berbagai bantuan juga telah diusahakan oleh ASEAN seperti bantuan diplomasi
untuk menghentikan konflik, bantuan logistik dan bahan makanan untuk membantu
para korban perang.
b.
Dampak Politik
Salah satu dampak yang paling nampak adalah
jatuhnya rezim Pol Pot yang dianggap sebagai diktator yang berkuasa di Kamboja.
Kemudian Vietnam berusaha menanamkan komunismenya di Kamboja. Dalam konflik
tersebut juga diwarnai peta kerjasama antara Vietnam yang pro dengan Uni
Sovyet, dan Kamboja yang dekat dengan RRC, padahal waktu itu Vietnam sedang
memusuhi RRC. Terjadilah elaborasi pemicu perang.
c.
Dampak Diplomatik
Kemenangan Vietnam atas Amerika Serikat
menimbulkan ketakutan bagi ASEAN akan tersebarnya komunisme di Asia Tenggara.
Pada saat itu ASEAN bebas dari pengaruh komunisme dan takut Vietnam akan
menanamkan pengaruh komunisnya di Asia Tenggara.
Karena kedekatan kawasan regional dan semakin
solidnya ASEAN dalam membantu menyelesaikan masalah-masalah negara-negara di
kawasan Asia Tenggara, maka banyak negara yang berada di kawasan Asia Tenggara
masuk ke dalam keanggotaan ASEAN. Hal tersebut juga menunjukkan kepercayaan
negara-negara di kawasan Asia Tenggara kepada ASEAN sebagai organisasi yang
bisa membawa mereka pada kondisi yang lebih baik.
d.
Dampak Ekonomi
Tak bisa dipungkiri lagi bahwa dampak
peperangan seperti mata rantai yang tidak bisa dipisahkan, dampak yang satu
akan mempengaruhi yang lainnya. Seperti dampak perekonomian yang dipengaruhi
juga keadaan sosial yang terjadi pada saat itu.
Dari segi ekonomi, Vietnam lah yang paling
mengalami keterpurukan. Sebelumnya Vietnam tidak pernah menaksir berapa saja
dana yang akan dikeluarkan untuk membiayai perang, sehingga Vietnam terus
melakukan peminjaman ke negara seperti Uni Sovyet, padahal pinjaman tersebut
memiliki bunga yang cukup besar karena kebijakan baru Gorbachev.
Dari masalah-masalah yang ada di kawasan Asia
Tenggara, maka muncullah nama ASEAN yang selalu berperan dalam penyelesaian
setiap permasalahan. Konflik antara Vietnam dan Kamboja ini diselesaikan berkat
campur tangan negara-negara anggota ASEAN.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masalah Kamboja yang berkecamuk karena adanya
instabilitas politik dan konflik antar faksi dalam negerinya hingga berkembang
karena adanya intervensi dari Vietnam, merupakan konflik yang mengganggu
stabilitas kawasan, khususnya Asia Tenggara, karena dilatarbelakangi oleh berbagai
kepentingan. Untuk itu, demi mewujudkan perdamaian dunia, maka negara-negara
yang merasa memiliki tanggung jawab untuk menjaga perdamaian dunia, ikut
mengupayakan perdamaian di Kamboja. Mulai dari peranan ASEAN, PBB, dan beberapa
negara lainnya. Namun begitu, di antara semua, Indonesia memiliki peranan yang
sangat signifikan dalam perwujudan perdamaian di Kamboja, hal ini dibuktikan
dengan keikutsertaan Indonesia dalam setiap perundingan perdamaian Kamboja dari
awal hingga akhirnya tercapai kesepatakan di Paris.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari
kesempurnaan, masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam bahasanya,
materi dan penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik,
saran dan masukan yang dapat membangun penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Astrid. 2001. Sejarah Perang-Perang Besar Di Dunia. Yogyakarta :
Familia Pustaka Keluarga.
Badrika, I Wayan, 2005Sejarah Nasional Indonesia dan Umum SMA Jilid 3.
Jakarta: Erlangga.
Daliman. 1990. BPK: Sejarah asia Barat daya. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia : Universitas sebelas Maret surakarta.
Widyana, Rita. 1999. Paper : Perang Teluk( Irak-Iran ).
Sejarah FKIP UNS Surakarta.
[1]Astrid. Sejarah
Perang-Perang Besar Di Dunia. (Yogyakarta : Familia Pustaka Keluarga. 2001),
h. 75
[2] Rita Widyana.
Paper : Perang Teluk( Irak-Iran ). (Sejarah FKIP UNS Surakarta.
1999), h. 23
[3]Ibid
[4]Achmad Chaldun,. Atlas
Pengetahuan Sosial Indonesia Wawasan Nusantara dan Dunia, (Surabaya: Karya
Pembina Swajaya. 1995), h.76
[5]I Wayan
Badrika, Sejarah Nasional Indonesia dan Umum SMA Jilid 3. (Jakarta:
Erlangga, 2005), h. 318-319
[6] Ibid, h. 79
No comments:
Post a Comment