BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada esensinya, agama Islam yang terdiri atas aqidah, syariat dan akhlak, merupakan agama yang sempurna dan semua ajarannya terintegral dan saling berkaitan. Aqidah menjelaskan syariat, syariat menjelaskan aqidah, dan aqidah serta syariat menjelaskan akhlak. Dalam pelaksanaannya kemudian melahirkan praktek-praktek yang beragam dikalangan ummat Islam. Dan dalam sejarah kemudian kita mengenal adanya praktek-praktek sufi yang dijalani oleh beberapa orang dan kelompok.
Terdapat perbedaan pendapat berkaitan dengan kemunculan tasawuf dalam Islam. Ada yang berpendapat bahwa tasawuf baru muncul dalam Islam pada akhir abad ke II Hijriyah atau awal abad ke III Hijriyah, kelompok lain berpendapat bahwa praktek kehidupan sufi sudah ada sejak awal kemunculan Islam yang tercermin dalam kehidupan Nabi SAW., dan para sahabat serta jalan hidup yang ditempuh oleh beberapa kelompok di Madinah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah dan latar belakang munculnya praktek sufi?
2. Bagaimana Ruang Lingkup, Metode dan Kegunaan Ilmu Tasawuf?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Latar Belakang Munculnya Praktek Sufi
Istilah tasawuf dikenal secara luas di kawasan Islam sejak penghujung abad ke-dua Hijriyah, sebagai perkembangan lanjutan dari kesalehan asketis atau para zahid yang mengelompok di serambi mesjid Madinah. Dalam perjalanan kehidupan, kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi.[1]
Pola hidup kesalehan yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan pesat. Fase ini dapat disebut sebagai fase asketisme dan merupakan fase pertama perkembangan tasawuf yang ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat, sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah. Fase asketisme ini setidaknya berlangsung hingga abad ke-dua Hijriyah. Memasuki abad ke-tiga Hijriyah sudah terlihatadanya peralihan dari asketisme Islam ke sufisme.[2] Tetapi menurut mayoritas penulis sejarah tassawuf mengatakan bahwa embrio atau benih tasawuf dalam dunia Islam sudah Nampak dalam diri Nabi Muhammad SAW., baik jika melihat aspek kehidupan, akhlak serta ibadah Beliau.
Untuk lebih mengetahui sejarah munculnya tasawuf dalam Islam berikut penulis memaparkan indikasi-indikasi yang menjadi dasar lahirnya gerakan ini yang dimulai dari kehidupan para sahabat Rasul hingga menjelang akhir abad ke-dua Hijriyah.
1. Tasawuf Pada Masa Sahabat Nabi, Atau Khulafa’ Al-Rasyidin Dan Ahla Suffah
Untuk melihat lebih jauh bagaimana perkembangan tasawuf pada masa ini, diuraikan kehidupan beberapa sahabat nabi sebagai berikut:
a. Kehidupan Khulafa’ al-Rasyidin
Perkembangan tasawuf sangat nampak dalam kehidupan para khulafa’ al-rasyidin berikut ini :
1) Abu bakar as-Siddiq (w. tahun 13 H)
Sebelum beliau masuk Islam ia adalah seorang pedagang besar yag jujur di zamannya. Setelah ia memeluk agama Islam, maka dia berstatus donatur tetap dalam semua aktifitas agama, maka semua kekayannya disumbangkan demi kepentingan dan syiarnya agama Islam. Kejujuran dan kesucian hatinya menyebabkan beliau dapat mendalami jiwa dan semangat Islam lebih dari yang didapat para muslimin yang lain.[3]
2) Umar bin Khattab (w. tahun 23 H)
Beliau memiliki kewibawaan dan kharismatik yang kuat, baik sebelum dan sesudah masuk Islam. Dan sebelum dan sesudah menjabat khalifah, beliau selalu tampil dengan bersahaja. Beliau dikenal sangat adil, mempunyai keberanian yang kuat, dekat dengan kalangan bawah, dan sangat takut mengambil harta kekayaan negara (amanah). Beliau adalah profil pemimpin yang sejati dan sukses.[4]
3) Usman bin Affan (w. tahun 25 H)
Beliau adalah konglomerat dizamannya, ia selalu tampil sebagai penyandang dana, beliau rela menyerahkan sebahagian besar harta bendanya demi perjuangan Islam, beliau selalu membebaskan budak-budak yang teraniaya oleh orang-orang kafir yang ditebus dengan hartanya sendiri.[5]
4) Ali bin Abi Thalib (w. tahun 40 H)
Beliau yang paling zuhud dalam hidupnya, paling luas wawasannya tentang ilmu pengetahuan Beliau sangat luhur budi pekertinya, terkenal kesalehannya, dan juga kebersihan jiwanya.[6]
Dengan contoh-contoh akhlakul karimah seperti yang menjadi kepribadian khulafa’ al-Rasyidin itulah yang dipedomani oleh orang-orang sufi dan orang-orang saleh yang ingin memperaktekkan dan memperbanyak amalan-amalan ibadahnya dan melatih jiwanya untuk dekat dengan Allah SWT.
b. Kehidupan Para Ahli Suffah
Kehidupan ahli suffah yang memperlihatkan praktik-praktik ketaatan dapat uraikan sebagai berikut :
1) Salman al-Frisiy (w. 32 H)
Dikalangan ahli tasawuf Salman al-Farisy di kenal sebagai seorang sahabat yang hidupnya zuhud, suka mengembara dan hidup dalam kemiskinan, beliau di anggap sebagai ahli Suffah yang dikarunai ilmu-ilmu ladunni yang dalam.[7]
2) Abu Zar al-Gifariy (w. 22 H)
Salah satu sahabat Nabi yang paling zahid sabar adalah Abu Zar al-Gifariy. Beliau tidak pernah merasa menderita bila ditimpa musibah, senang menerima cobaan, dan tidak pernah memiki apa-apa, dan tidak dimiliki oleh apa-apa. Abu Zar al-Gifariy menganggap cobaan itu sebagai perhatian Tuhan kepadanya, sehingga ia selalu bersyukurdan bertahmid.[8]
Pernyataannya tentang cobaan Tuhan adalah “Sesungguhnya saya menyadari bahwa kemiskinan itu lebih kusukai dari kekayaan, kesakitan lebih kusukai dari pada kesehatan, kematian lebih kusukai dari pada kehidupan”.
Dari uraian di atas, maka perkembangan tasawuf abad ini yaitu pada masa Nabi, khulafa’ al-Rasyidin, dan masa ahlu Suffah, nampaknya istilah atau term penggunaan tasawuf untuk kehidupan rohani memang belum ada, tetapi tidak bisa di pungkiri faktanya bahwa Nabi dan para sahabatnya adalah praktisi yang dijadikan teladan para sufi sesudahnya.
Dengan demikian kehidupan Nabi dalam segala hal di anggap, sebagai embrio yang selanjutnya tumbuh dan dikembangkan oleh para sahabat khulafa’ al-Rasyidin dan ahlu Suffah yang dianggap sebagai pelaku-pelaku ibadah yang konsisten mementingkan kehidupan rohani seperti yang dicontohkan oleh Nabi dan selanjutnya diikuti oleh orang-orang shaleh dan orang-orang sufi abad berikutnya.
2. Dimulainya kehidupan Zuhud
Dari kondisi politik yang tidak kondisif, dan dari kondisi sosial yang tidak bermoral, maka muncul kaum muslimin yang merasa punya kewajiban moral mengingatkan penguasa, rakyat agar kembali pada kehidupan seperti yang dicontohkan Nabi.
Hal ini dipertajam lagi oleh Nurchalis Madjid bahwa dampak dari perubahan-perubahan itu menimbulkan adanya beberapa orang yang merasa bahwa Islam saat ini sudah tidak lagi seperti pada masa Nabi, khulafa’ al-Rasyidin sehingga menimbulkan letupan-letupan dan kritikan-kritikan terhadap penguasa Umaiyyah yang wujudnya berbentuk oposisi keagamaan terhadap rezim Umayyah.[9]
Kaum muslimin yang punya keperdulian itu dikenal sebagai tokoh zahid, artinya orang yang menjauhi kehidupan duniawi yang ingin melihat rakyat menjadi aman. Tokoh-tokoh zahid yang termasyhur antara lain seperti Hasan al-Basri (w. 728 M). Beliau banyak mempelajari ilmu yang sifanya moralitas sehingga ajaran itu sangat mempengaruhi pola pikiran, sikap dan perilakunya sehari-hari, dan dia juga dianggap sebagai tokoh oposisi moral. Karena beliau berani mengirim surat kepada penguasa Abd. Malik Bin Marwan menuntut agar penguasa dapat memberikan hak dan kebebasan pada rakyat.[10] Selain Hasan al-Basri, masih banyak lagi tokoh-tokoh yang zahid seperti Sufyan as-Sauriy (w. 135 H), Malik bin Dinar (w. 171 H) dan lain sebagainya.
Perkembangan term tasawuf pada masa ini (abad I memasuki awal abad II H) masih terlihat belum jelas wujudnya. Istilah-istilah yang dikenal pada masa ini hanyalah kehidupan zuhud’, artinya suatu sikap jiwa yang lebih memilih dan menyukai kehidupan akhirat dan memperbanyak ibadah dari pada hidup keduniaan[11].
Memasuki akhir abad II H, terlihat adanya peralihan kehidupan zuhud ke istilah tasawuf. Hal ini di tandai dengan adanya para zahid-zahid yang mulai membicarakan konsep-konsep mengenai kehidupan yang berdimensi spiritual. Sekalipun sangat sulit membedakan secara tepat dan pasti adanya peralihan itu, tapi secara umum pendapat yang mengatakan bahwa adanya kecenderungan membicarakan konsep tasawuf termasuk di dalamnya cara untuk kepada Tuhan maka masa tersebut dinamai masa peralihan.
Nicholson mengatakan bahwa sulit membedakan antara hidup zuhud dan hidup kesufian, sebab umumnya orang sufi masa ini tadinya atau sebelumnya adalah orang-orang zahid. Hal ini dipertajam oleh Taftazani bahwa mereka lebih layak dinamai zahid daripada “sufi”.[12]
Tokoh-tokoh zahid akhir abad II H, dan sudah mempunyai konsep tentang oleh rohani antara lain diwakili oleh Rabiahtul Adawiah, seorang zahid perempuan yang telah mengukir lembaran sejarah tasawuf dengan membawa versi baru yang bernama hubb (cinta).
Pada abad II H, dalam kehidupan spiritual telah terjadi transformasi, dari metode zuhud ke metode tasawuf, yang di tandai dengan munculnya tokoh-tokoh sufi yang menawarkan suatu konsep atau gagasan yang berbentuk teori sebagai suatu cara untuk berdekatan dengan Allah, seperti Rabiahtul Adawiyah dengan konsep mahabbah atau cintanya.[13]
Adanya term tasawuf pada akhir abad II H, tapi itu tidak berarti telah lahir sistem tasawuf sebagai suatu ilmu yang walaupun praktenya telah ada sejak masa Rasulullah. Namun ketika memasuki abad ke III H., perkembangan tasawuf sudah mulai jelas dan istilah tasawuf sudah dikenal secara meluas. Perkembangan tersebut disebabkan prinsip-prinsip teoritisnya sudah mulai tersusun secara sistimetis, demikian pula aturan-aturan praktisnya, sehingga melahirkan tiga macam corak tasawuf yaitu: tasawwuf akhlaki, tasawuf amali, dan tasawuf falsafi.[14] Pada masa inilah tasawuf mencapai puncak keemasannya sebagai sebuah gerakan yang banyak dikaji dan diamalkan/dipkraktikkan sebagai prinsip hidup.
B. Ruang Lingkup, Metode dan Kegunaan Ilmu Tasawuf
1. Ruang Lingkup Ilmu Tasawuf
Secara umum para ahli tasawuf membagi tasawuf menjadi 3 (Tiga) macam : tasawuf akhlaki, tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Ketiga jenis tasawuf tersebut pada prinsipnya mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama ingin “mendekatkan diri kepada Allah” dengan cara membersihkan diri dari perbuatan tercela dan menghiasinya dengan perbuatan terpuji. Namun ketiga jenis tasawuf tersebut mempunyai perbedaan dalam penerapan “pendekatan” yang di gunakan.[15]
Pendekatan-pendekatan dari masing-masing jenis tasawuf, sekaligus merupakan spesifikasi dan ajaran inti masing-masing jenis tasawuf tersebut. Para tasawuf yang bercorak akhlaki, pendekatan yang di gunakan adalah pendekatan “moral” ( teori-teori أخلاق الكريمة ) atau biasa di sebut pencerdasan emosi.
Untuk tasawuf yang bercorak falsafi, maka pendekatan yang di gunakan adalah pendekatan “rasio” memberdayakan akal pikiran yang biasa di sebut pencerdasan inteligen. Sedangkan tasawuf yang bercorak amali, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan “amaliah”, memperbanyak aktifitas yang bersifat rohani yang biasa disebut pencerdasan spiritual.
Ketiga bentuk corak tasawuf itu merupakan perwujudan untuk meng-Esakan Tuhan secara mutlak, dan itu berarti kita harus menyadari bahwa meng-Esakan dan memahami Tuhan tidak bisa di jangaku atau didekati hanya dengan rasio atau akal semata, tetapi memahami Tuhan harus dibantu dengan pendekatan moral atau emosi dan spiritual yang keduanya itu bertempat dalam hati sebagai tempatnya iman bersemayam.[16]
2. Metode Ilmu Tasawuf
a. ﻣﻗﺎﻣﺎﺕ ( Maqamat )
Untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan, sufi memberikan suatu metode atau cara atau jalan. Jalan itu berisi stasiun yang disebut ﻣﻗﺎﻣﺎﺕ . Maqamat berasal dari bahasa Arab yang artinya tempat orang berdiri. Selanjutnya istilah tersebut berkembang lebih jauh dengan arti tingkatan, atau tahapan, atau jalan panjang yang harus dilewati oleh sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah SWT. Tingkatan tersebut berupa atau berbentuk sikap hidup yang nampak kelihatan dan tercermin dalam perilaku akhlak yang mulia. Maqamat ini sebagai hasil dari mujahadah (kesungguhan) dan riyadah (latihan) berkesinambungnan yang dilaksanakannya serta putusnya hubungan dengan selain Allah.[17]
Berdasarkan defenisi di atas, dapat dikemukakan bahwa maqamat merupakan suatu tingkatan, tahapan yang dicapai oleh sufi dari usahanya yang keras dan sungguh-sungguh serta perjuangannya terus menerus dalam rangka mendekatan diri kepada Allah SWT. Sebagai mana yang disebutkan oleh Harun Nasution bahwa ada lima tingkatan yang populer dan diterima secara umum yaitu: Taubat, Zuhud, Sabar,Tawakkal dan Ridha.[18] Berikut penjelasan singkat kelima macam maqamat tersebut:
1) ﺍﻟﺗﻭﺑﺔ ( taubah ) ialah meninggalkan keinginan untuk kembali melakukan kejahatan seperti yang telah pernah dilakukannya karena rasa takut akan kebesaran Allah SWT., dan menjauhkan diri dari kemurkaannya. Para sufi berpendapat bahwa taubat adalah maqamat pertama.[19]
2) ﺍﻟﺯﻫﺩ ( zuhud ) diartikan sebagai keadaan meninggalkan dunia dan menjauhkan diri dari hidup kebendaan.[20] Namun al-Gazali mengartikan zuhud sebagai sikap mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran.
3) ﺍﻟﺻﺑﺮ ( sabar ), secara harfiah berarti menahan. Menurut al-Gazali sabar adalah sebuah kondisi mental dalam mengendalikan hawa nafsu yang tumbuhnya adalah atas dorongan agama. Sabar yang dimaksud para sufi adalah konsekwen dan konsisten dalam melaksanakan perintah Allah dan meniggalkan larangnannya, tahan uji mengahdapi kesulitan dan cobaan yang ditimpakan kepadanya.[21]
4) ﺍﻟﺗﻭﻛﻞ ( tawakkal ). Pengertian tawakkal secara umum adalah sikap pasrah secara total setelah melaksanakan suatu usaha. Tawakkal juga berarti berpasrah diri sepenuhnya kepada Allah SWT dalam menghadapi atau menunggu pekerjaan. Menurut sufi tawakkal tidak cukup hanya sekedar penyerahan diri seperti itu, tetapi lebih mendalam lagi dengan merefleksikannya melalui sikap dan tindakan dalam segala hal.[22]
5) ﺍﻟﺮﺿﺎ ( Ridha ), secara harfiah ridha artinya rela. Sementara menurut Harun Nasution ridha berarti menerima qadha dan qadar Tuhan dengan senang hati. Untuk itu, semua perasaan benci di dalam hati harus dibuang jauh-jauh sehingga yang tersisa ialah perasaan senang dan gembira walaupun ditimpa mala petaka ia tetap senang dan ridha menerimanya sebagaimana ketika ia mendapat rahmat dan nikmat.[23]
b. ﺍﻷﺣﻭﺍﻞ ( Ahwal )
Selain maqamat, dalam tasawuf juga dikenal istilah ahwal. Ahwal merupakan keadaan mental, seperti keadaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya.[24] Ahwal Juga diartikan sebagai keadaan mental atau situasi kejiwaan yang diperoleh sufi sebagai karunia dari Allah SWT. Ahwal sebenarnya manifestasi dari maqamat yang dilalui oleh sufi sehingga ahwal sangat sulit untuk dilukiskan secara informatif dan dideteksi secara logis, sebab ia termasuk pengalaman rohani yang hanya diketahui oleh sufi yang yang pernah mengalaminya. Karena itu ahwal sangat bersifat subjektif dan personal.[25]
Dalam tasawuf kemudian dikenal bermacam ahwal. Berikut penjelasannya:
1) ﺍﻟﺧﻭﻑ merupakan sikap mental dengan merasakan ketakutan pada Allah SWT, karena kurang sempurna pengabdiannya dan atas kesalahan yang telah diperbuat. Takut dan khawatir jika Allah SWT tidak senang padanya. Oleh karena itu, sufi selalu berusaha agar perilakunya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah SWT. Sikap seperti ini memberikan motivasi untuk berbuat baik dan mendorong untuk menjauhi maksiat.[26]
2) ﺍﻟﺮﺟﺎﺀ merupakan sikap mental yang optimis dalam memperoleh karunia Ilahi. Allah yang maha pengampun dan penyayang, maka sufi penuh ‘harap’ memperolah ampunan dan limpahan rahmat. Sikap raja ini akan memberi semangat dalam riyadhah dan mujahadah sehingga dengan penuh gairah menanti harapan datangnya rahmat Allah SWT.[27]
3) ﺍﻟﺷﻭﻖ : Kondisi kejiwaan yang dirasakan oleh sufi untuk ingin bertemu dengan Tuhannya. Hasratnya bergelora untuk selalu bersama dengan yang dikasihi. Dalam hal ini, pengetahun, pemahaman, pengenalan yang sempurna dan mendalam pada Allah SWT, menimbulkan rasa senang yang luar biasa dan bergairah yang melahirkan cinta dan obsesi yang kuat untuk bertemu dengan Yang dicintai.[28]
4) ﺍﻷﻧﺲ : yaitu kedaan jiwa yang sepenuhnya terfookus kepda Alah SWT. Tidak merasa tidak mengingat dan tidak mengharap kecuali kepada Alah SWT.[29]
Dari penjelasan di atas, maka ddapat diketahui bahwa ahwal itu sebagai kondisi mental yang sedang dirasakan dan dinikmati secara damai dan intensif oleh sufi. Selanjutnya dapat diketahui bahwa jalan yang harus ditempuh oleh sufi untuk mencapai tujuan memperoleh hubungan batin dan “bersatu” dengan Tuhan bukanlah sesuatu cara yang mudah.
Maqamat dan ahwal memiliki perbedaan dalam konsep dan penrapannya. Maqamat diperoleh melalui usaha yang berat dan keadaan atau kondisinya tetap bersifat stabil dan tidak berubah. Seperti kesabarnnya menerima cobaan sama saja ketika menerima nikmat. Sikap hidupnya dapat dilihat dari prilaku keseharian sufi seperti kesabaran, tawakkal, suzud dan kerrelaan. Sementara ahwal diperoleh sebagai suatu anugrah, rahmat (bukan unsur usaha dan perjuangan), keadannya bersifat labil dan tidak tetap, mudah berubah, (kadang merasa sedih, kadang senang). Kondisi mental yang dirasakan bersifat abstrak (tidak bisa dilihat orang lain), dan hanya bisa dirasakan dan dipahami serta diketahui oleh orang yang mengalaminya.
Walaupun keduanya mempunyai perbedaan, namun keduanya sangat berkaitan. Karena keduanya mempunyai dua sisi yang sama dan sulit dipisahkan. Hal ini disebabkan makin tinggi tingkat maqamat yang dicapai oleh seorang sufi, maka semakin intens pula ahwal yang diperolehnya dan dirasakannya.
3. Kegunaan Ilmu Tasawuf
Pada dasarnya hakikat Tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT. Melalui penyucian diri dan perbuatan-perbuatan (amaliyah) Islam. Oleh karena itu, beberapa tujuan Tasawuf adalah Ma’rifatullah (mengenal Allah secara mutlak dan lebih jelas). Inti sari ajaran Tasawuf bertujuan memperoleh hubungan langsung dengan Allah SWT. Sehingga seseorang akan merasa berada di hadirat-Nya.
Tasawuf memliki tujuan yang baik yaitu kebersihan diri dan taqorrub kepada Allah SWT. Namun, Tasawuf tidak boleh melanggar apa-apa ynag telah jelas diatur dalam Al-Qur’an dan As-sunnah , baik dalam aqidah, pemahaman ataupun tata cara yang dilakukan, Mustafa Zuhri mengatakan bahwa tujuan perbaikan akhlak itu, ialah untuk membersihkan kalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci dan bersih, bagaikan cermin yang dapat menerima Nur cahaya Tuhan.
Ada beberapa peran Tasawuf dalam kehidupan modern, antara lain:
a. Menjadikan manusia berkepribadian yang saleh dan berakhlak baik
b. Lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.
c. Sebagai obat mengatasi krisis kerohanian manusia (dekadensi moral) .
Faedah Tasawuf ialah membersihkan hati agar sampai kepada Ma’rifat Allah SWT. Sebagai Ma’rifat yang sempurna untuk keselamatan diakhirat dan mendapatkan keridlaan Allah SWT. Dan mendapat kebahagiaan abadi . Dengan adanya bantuan Tasawuf , maka ilmu pengetahuan satu dengan yang lainnya tidak akan bertabrakan, karena ia berada dalam satu jalan dan satu tujuan . Juga Untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari denganTuhan, sehingga seseorang merasa berada di hadirat-Nya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tasawuf pada umumnya merupakan usaha untuk melaksanakan ajaran agama Islam secara murni dengan maksud untuk mendekatkan dirai kepada Allah SWT. dengan cara menempuh kehidupan zuhud, menghindari gemerlap kehidupan dunia, rela hidup dalam keprihatinan, melakukan berbagai jenis amalan ibadah, melaparkan diri, mengerjakan shalat malam, dan melakukan berbagai jenis wirid sampai fisik atau dimensi jasmani seseorang menjadi lemah dan dimensi jiwa atau ruhani menjadi kuat.
Embrio munculnya praktek sufi dan ajaran tasawuf dalam Islam telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah SAW. dan para sahabatnya. Dan menjadi sebuah gerakan yang terperinsip dan menjadi sebuah cabang keilmuan pada akhir abad ke II Hijriyah.
Maqamat berarti tingkatan, atau tahapan, atau jalan panjang yang harus dilewati oleh sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah SWT. Tingkatan tersebut berupa atau berbentuk sikap hidup yang nampak kelihatan dan tercermin dalam perilaku akhlak yang mulia. Dan Ahwal diartikan sebagai keadaan mental atau situasi kejiwaan yang diperoleh sufi sebagai karunia dari Allah SWT.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan, masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam bahasanya, materi dan penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran dan masukan yang dapat membangun penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Asmaran AS, 1994. Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo,.
Hamka, 1960. Tasawuf Dari Masa ke Masa, Jakarta: Pustaka Islam,
Ibrahim, Muhammd Zaki, 2002. Abjadiyyah al-Tashawwuf al-Islam, terj. Abdul Syukur dan Rivai Usman, Tasawuf Salafi, Cet. I; JAkarta: Hikmah,.
Kalsum, Ummu, 2002 Ilmu Tasawuf, Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar.
Madjid, Nurcholis, 1992. Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
Nasution, Harun, 1995. Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Rondon, 1995. Tashawwuf dan Aliran Kebatinan: Suatu Perbandingan antara Aspek-Aspek Mistik Jawa, Cet. II; Yogyakarta: LESFI.
Siregar, H. A. Rivay, 2002. Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, 1993. Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, jilid 5.
![]() |
[1] H. A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 36
[2] Ibid. h. 37
[3] Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002), h.30
[4] Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, jilid 5, 1993, h. 127
[5] Ibid. h. 141
[6] Ummu Kalsum, op. cit. h. 31
[7] Ibid.
[8] Hamka, Tasawuf Dari Masa ke Masa, Jakarta: Pustaka Islam, 1960, h. 61
[9] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992, h. 256.
[10] Ummu Kalsum, op. cit., h. 34
[11] Muhammd Zaki Ibrahim, Abjadiyyah al-Tashawwuf al-Islam, terj. Abdul Syukur dan Rivai Usman, Tasawuf Salafi, (Cet. I; JAkarta: Hikmah, 2002), h. 23.
[12] Rondon, Tashawwuf dan Aliran Kebatinan: Suatu Perbandingan antara Aspek-Aspek Mistik Jawa, (Cet. II; Yogyakarta: LESFI, 1995), h. 15
[13] Ummu Kalsum, op. cit., 36.
[14] Ibid
[15] Asmaran AS, Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1994, h. 46
[16] H. A. Rivay Siregar, op. cit., h. 52.
[17] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995, h. 62
[18] Harun Nasution, op. cit., h. 102.
[19] Ummu Kalsum, op. cit., h. 64
[20] Ibid. h. 65
[21] Harun Nasution, op. cit., h. 68
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Harun Nasution, op. cit., h 63
[25] Ummu Kalsum. op. cit., h. 71
[26] Ibid. h. 71
[27] Harun Nasution, op. cit., h. 73
[28] Ibid. h. 75
[29] Ummu Kalsum, loc. cit.
No comments:
Post a Comment